SIAPA YANG TIDAK PROFESIONAL?

2025 Words
CPR3: SIAPA YANG TIDAK PROFESIONAL? BRAAK! Lagi-lagi terdengar suara gebrakan meja dan adegan kertas-kertas berterbangan pun kembali terulang yang membuat hati Rania mencelos. Apakah ini adalah akhir dari karirnya di Light Up? 'Enggak bisa!' Rania tak bisa membiarkan pikirannya mengarah ke sana. Rania tak mau dirinya kehilangan pekerjaan. Rania masih membutuhkan uang itu. Kalau dia dipecat dari Light Up, di zaman yang serba sulit ini tak akan mudah Rania mendapatkan pekerjaan yang setimpal bayarannya dengan semua fasilitas yang didapatnya sekarang. `Rania ngeri memikirkan dirinya yang tanpa pekerjaan. "Maaf Pak. Saya disini sudah berusaha untuk profesional dan saya sudah menanyakan pada Bapak di mana letak kesalahan sebelumnya." Rania tadinya memang menunduk. Tapi karena tak mau disalahkan lagi, Rania memberanikan diri menatap Reza eyes to eyes. Sudah cukup Rania mengalah. Ada sesuatu yang harus dipikirkannya dan ini lebih penting dari segalanya. Biaya sekolah dan kebutuhan untuk masa depan putrinya. "Kita di sini kerja tim Pak!" karena itulah Rania makin berani membela dirinya. "Saya adalah bawahan bapak dan bapak atasan saya yang menjadi pemimpin di perusahaan ini. Bapak adalah CEO Light Up dan saya adalah sekretaris Bapak. Saya mengalami kesulitan, tadi saya sudah mengatakan pada Bapak kalau saya tidak tahu di mana letak kesalahan saya. Di meja saya tadi saya juga sudah mengecek ulang berkasnya. Saya sudah berusaha mencari tapi saya tidak menemukannya." Rania tegas menceritakan keadaannya jujur. "Semua yang saya tulis di sana berdasarkan pengalaman kerja saya dari tahun ke tahun. Saya melakukan hal yang sama tanpa ada yang protes. Saya yakin sekali tidak ada yang kurang di laporannya." Rania makin menggebu-gebu hingga naik turun napasnya tak teratur. Rania tak memberikan kesempatan pada Reza menyanggahnya. Rania mengungkapkan luapan isi hatinya yang selama seminggu ini sangat tertekan dengan sikap Reza yang selalu saja menyalahkannya dan terus-terusan mengomel padanya. Rania sudah gerah. Ada batasan kesabarannya yang sudah tak bisa lagi ditoleransi dan ini membuat Rania lebih berani membela diri. "Bukankah sebagai seorang atasan yang tahu di mana letak kesalahan bawahannya akan lebih baik jika Bapak memberitahukan pada saya agar ke depannya saya tidak akan lagi melakukan kesalahan yang sama?" Rania menjeda sebentar karena dia kehabisan napas. Bahunya masih naik turun tak beraturan dan wajahnya memerah karena luapan adrenalin. "Jika Bapak seorang pemimpin yang profesional, maka Bapak akan mencoba untuk membantu kami. Membimbing kami belajar dengan cara yang lebih baik. Tidak dengan memaki-maki dan memarahi kami. Bukankah jika kinerja kami baik ujung-ujungnya Bapak juga yang akan mendapat pujian?" Rania membalikkan. "Tapi bagaimana jika tim Bapak bobrok dan Bapak bukan membantu malah terus menjatuhkan mental kami dengan makian Bapak? Apa akan ada untungnya buat Bapak? Apakah dengan mengganti orang lama dengan pegawai baru itu akan menyelesaikan semua permasalahan di perusahaan ini? Bukankah akan ada biaya pelatihan dari awal dan mereka perlu beradaptasi dan ini lebih besar biayanya dari memberdayakan sumber daya yang ada? Karena yang penting komunikasi Pak! Bapak bilang maunya Bapak dan nanti bisa diikuti karyawan Bapak." Rania sejatinya adalah seorang gadis yang memang ingin mencari aman dalam bekerja demi putrinya, Marsha. Tapi saat ini dia sudah terlalu muak. Sudah kepalang protes, Rania ingin menumpahkan uneg-unegnya. Rania tidak terima kalau harus dimaki-maki seperti tadi. "Pffh! Pantas saja perusahaan ini bangkrut dan hasil data menunjukkan kemunduran dari tahun ke tahun. Staff perusahaan yang dijadikan karyawan terbaiknya saja bodoh begini dan tak berkembang! Ayo David!" Bukan mendapatkan jawaban yang diinginkannya dari bosnya, Rania justru melihat pria itu berdiri dan sudah meninggalkan kursi kebesarannya setelah bicara seperti tadi. 'Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?' Rania meringis pelan ketika pintu sudah ditutup dan dirinya tinggal seorang diri di sana. David sudah pergi meninggalkan ruangan itu dan mengikuti bosnya ke ruangan rapat. Sedangkan Rania kebingungan. Haruskah dia ikut ke ruangan rapat dan menjadi notulen dalam agenda rutin Light Up itu? Bukankah statusnya sebagai sekretaris CEO Light Up Rania harus membantu bos-nya meski ada notulen rapat juga, itu masih kewajibannya hadir mendampingi bosnya, bukan? Tapi Kenapa Reza tadi pergi begitu saja tanpa mengajaknya? Ataukah Rania disuruh mencari lagi semua kesalahannya dari kertas-kertas yang disebar di seluruh ruangan itu dan tak perlu ikur rapat? Atau dia harus bergegas ke sana sekarang karena bosnya sudah pergi duluan? Atau yang terburuk, apa dia sudah di pecat? Kepala Rania berkedut dengan pilihan yang belum jelas itu. Apa yang harus dipilih Rania? 'Apa kau akan diam aja melihat pekerjaanmu hilang, Rania?' Rania akhirnya mengambil keputusan merapikan semua lembaran yang berserakan lalu menyusul bosnya ke ruang rapat. Tak rela dirinya kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber pemasukannya. Demi anaknya, Rania menanggalkan semua rasa malunya. "Mau apa kau ke sini?" Tapi dihadapan banyak orang yang sudah berkumpul dan duduk, Rania yang datang terakhir justru diberikan pertanyaan itu oleh sang CEO baru dengan ekor matanya yang melirik sangat tak bersahabat. "Saya mau ikutan rapat Pak," jawaban ini refleks diberikan Rania karena apalagi memang yang ingin dilakukannya di ruangan itu kalau bukan ikut rapat? "Kapan aku menyuruhmu untuk hadir rapat?" Selama Rania bekerja di perusahaan start up terbesar di Indonesia, ini pertama kalinya Rania dipermalukan dihadapan para manager Light Up dengan pertanyaan Reza dan sikapnya yang tak acuh. Rania adalah karyawan terbaik. Tak ada yang berani mem-bully-nya dan semua tahu bagaimana kinerjanya Rania dan menghormatinya. Tapi sekarang, lihat bagaimana Reza berhasil membuat Rania tak bisa bicara apapun dan dia hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya memerah, Rania menundukkan kepala, tak bisa berargumen. Rania terlihat lemah meski satu tangan yang ada dipunggungnya mengepal kuat mencengkram lembaran kertas laporan tadi sebagai luapan emosinya. "Maaf Pak saya permisi dulu." Rania yakin kalau dirinya tidak diperlukan Reza dalam ruangan rapat. Untuk apalagi dia tetap di sana? "Apa pekerjaanmu di perusahaan ini?" Tapi saat tangannya memegang handle pintu hendak keluar, Rania mendengar lagi sebuah pertanyaan yang Rania yakin sekali ditujukan untuknya. "Saya sekretaris dari CEO Light Up." Rania bicara setelah membalikan badan dan memindai Reza kembali. Suasana dalam ruangan rapat itu hening. Tak ada satupun yang berani bicara. "Apa tugas sekretaris?" makanya suara Reza terdengar menggema di ruangan itu. "Membantu pekerjaan bos saya, CEO Light Up," ujar Rania mengikuti alur saja. "Di mana bosmu?" Pertanyaan bodoh menggemaskan. Tapi, bukankah Rania tetap harus menjawabnya meski dia tak ingin? "Bos saya Pak Reza Fletcher Clarke ada di ruang rapat dan baru saja memberikan pertanyaan pada saya." Ya, tak salah dong jawaban Rania begitu? Sungguh dia tak paham apalagi yang ingin dilakukan Reza dengan memberikan pertanyaan bodoh padanya yang membuat Rania makin malu. Seakan dirinya sedang di sidang karena terlambat datang ke sekolah. Kesal Rania. Tapi bisa apa dia? Reza punya kuasa. Dan berani melawannya, bukankah itu artinya Rania merelakan pekerjaanya? Bagaimana nasib putrinya nanti? Hanya menyindir halus seperti tadi yang bisa dilakukan Rania sambil banyak-banyak menyabarkan diri. "Apa tugas sekretaris saat bosnya sedang rapat?" Reza sudah mengajukan pertanyaan lagi. "Mencatat semua hasil rapat." "Lalu kau mau ke mana?" "Saya akan ikut rapat Pak," jawab Rania yang sebetulnya ingin sekali mencakar wajah Reza. Rania memang terlihat cool dan dia masih bisa me-manage dirinya saat berjalan mendekat ke meja rapat, duduk dan melakukan tugasnya. Tapi jauh dalam relung hatinya Rania merasa kesal teramat sangat. Dia merasa dipermalukan oleh Reza. Siapa sebenarnya yang tidak profesional dalam bekerja? Rania merasa sesuatu yang tidak sesuai dengan protokol yang seharusnya berlaku antara karyawan dengan atasan. Rania merasa dibully. Sulit baginya menghilangkan semua perasaan kesal dan emosi dalam hatinya ini. Tapi bukankah Rania harus fokus dengan pekerjaannya supaya dirinya tidak masuk ke dalam daftar karyawan yang dipecat bulan depan? Rania bersusah payah untuk berkonsentrasi mencatat semua yang menjadi tugasnya selama rapat itu berangsung. Ini bukanlah soalan mudah disaat hati seseorang sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja, dia harus tetap bekerja dan fokus. Menepis semua perih yang merongrong kewarasan jiwanya dengan berbagai prasangka negatif. "Aku rasa cukup untuk rapat hari ini. Segera realisasikan apa yang sudah diputuskan." Tapi Rania berhasil melewati itu. Lega hatinya setelah rapat akhirnya berakhir. Rania yakin sekali tidak ada yang terlewatkan semua keputusan sudah dicatatnya meski dalam kondisi hati tak baik-baik saja. "Aku ingin laporannya dalam waktu sejam sudah ada di mejaku!" Rania memang belum berdiri dari tempat duduknya saat semua peserta sudah keluar dari ruangan. Sekarang hanya Bos-nya, David asisten Reza dan dirinya yang masih diam di kursi. David dan Rania tak bisa kemana-mana sebelum Reza berdiri dan meninggalkan ruangan. "Kau yang mengaku sebagai sekretarisku, siapkan laporan rapat barusan!" dan tadi baru saja Reza berdiri sambil mengingatkan Rania sesuatu yang dia butuhkan. "Sama perbaiki laporan yang sebelumnya. Jam empat sore aku ada rapat dengan Shining Star Group dan harus melaporkannya. Selesaikan tugasmu sebelum jam dua siang!" 'Perbaiki?' Rania geli sendiri ketika dia mendengar ini. Apalagi yang harus diperbaiki? Rania pikir seharusnya kemarahannya tadi di ruangan Reza sudah membuat pria itu sadar kalau dia tidak merasa melakukan kesalahan dari laporan yang dibuatnya. Tapi Reza tidak berpikir demikian. Dia masih meminta Rania mengkoreksi pekerjaannya. Dan itu hanya sejam waktunya. Termasuk Rania harus membuat laporan rapat yang baru saja berlangsung. 'Jadi di sini siapa yang bermain perasaan?' Rania yakin keterikatannya dengan Reza pada masa lalunya yang membuat dirinya dibully saat ini. 99,9% jauh dalam relung hati Rania dia percaya itu. "Kenapa sih kamu bodoh banget?" 'Sudah kuduga kan aku pasti salah lagi! Dia hanya ingin melampiaskan semua emosinya kepadaku. Padahal seharusnya aku yang melampiaskan emosi padanya bukan? Dia meninggalkanku, membiarkanku sendirian mengasuh benihnya, bersusah payah bertahan hidup demi membesarkan anaknya. Apa salahku? Dia yang salah bukan?' kesal hati Rania ketika dia sudah membawa lagi dua laporannya dan itu lagi-lagi membuat wajah Reza murka hingga pekikan kemarahannya menyakiti gendang telinga Rania. Laporan itu masih tidak sesuai dengan yang Reza inginkan. "Pak Reza, saya sudah katakan pada anda sebelumnya kalau saya tidak paham." "Apa yang kau paham kalau buat laporan begitu saja tidak paham?" wajah itu kembali menyindir Rania. "Seorang sekretaris tak bisa membuat laporan? It's ridiculous!' mata itu tajam mengintimidasinya. Dan kata-kata sarkas itu tak luput memberi rasa sesak di hati Rania. "Pantas saja perusahaan ini hampir hancur! Ternyata memang seperti ini isinya. Orang-orang tidak kompeten!" dan sebelum Rania membela diri, lagi dan lagi Reza berdesis. Rania makin yakin yang tidak kompeten adalah orang yang duduk di hadapannya. Tapi bisa apa Rania? Pria itu yang punya kuasa di Light Up sekarang. Apakah ini tandanya memang dia akan dipecat kurang dari sebulan lagi? Kalau begini, bukankah dari sekarang Rania harus mencari cara supaya dirinya bisa mendapat pekerjaan? "David katakan pada kantor pusat SSG, aku tidak bisa datang rapat nanti. Minta mereka mengulur waktu sehari lagi untuk laporannya." "Baik Pak Reza," saat tadi bicara dengan David mata Reza tak sama sekali memandang asistennya itu. Justru netra itu menghunus tajam pada Rania. "Karena kebodohan sekretarisku aku tidak bisa memberikan laporan ke pusat! Menggelikan! Kau tahu betapa tak bergunanya dirimu, hmm? Buat laporan rapat saja gak becus. Buruk sekali kerjamu!" Ingin sekali Rania membuka sepatunya dan melempar itu sekarang juga ke wajah Reza. MAMA, ACHA MO CUCU, CUCU ABIS, BELI MAMA! MAMA, ACHA DI CEKOLAH TADI GAMBAR LUMAH AMA POHON. MAMA, ACHA PUNYA TEMEN BANYAK DI CEKOLAH! 'Marsha!' tapi sayangnya bayangan tentang putrinya membuat rasa menjelu dalam hati Rania yang kembali khawatir tentang pekerjaannya. "Pikirkan kesalahanmu itu di rumahmu. Kerjakan pekerjaanmu dan besok bawa apa yang aku inginkan!" Rania diam saat mendengarkan perintah Reza ini. 'Walaupun Bapak ingin saya membawanya besok saya akan tetap membawa yang ini karena saya yakin sekali ini yang paling benar!' sebetulnya Rania ingin memekik seperti ini. Tapi percuma. Kalau Reza memang ingin memecatnya apapun yang Rania bawa walaupun itu benar, bosnya itu tetap tidak akan pernah mendukungnya. Rania lemas! Sepertinya harapan untuk bekerja di Light Up tidak akan bisa diharapkan lagi. Reza tak menyukainya. Dia tetapi ingin Rania pergi dari hidupnya. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Rania kecuali menerimanya dan mulai berpikir cara bertahan hidup selanjutnya. Rania masih tidak bisa berkonsentrasi untuk mencari apa kesalahannya dalam laporan itu karena dia memang sudah melakukan yang benar. berkali-kali Rania membaca ulang, dia merasa semua sempurna. Bahkan sampa di jam pulang kantor, Rania tak habis-habisnya memikirkan tentang semua pekerjaannya itu. Tapi dia tetap buntu. 'Marsha, maafkan mama, Nak!' Rania hanya bisa menitikkan air mata karena semua beban di kepalanya saat matanya melirik putrinya yang terlelap di sebelahnya. Rania membaca ulang laporan pun tetap saja, dia tak bisa menemukan di mana salahnya. Rania pasrah. "Kau tidak melakukan apapun dengan laporan ini!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD