RUMAH BORDIL

1229 Words
"Kamu pakai dulu deh seatbelt-nya. Sini kuenya aku pegangin dulu." "Oh, iya makasih Mar." 'Haduh, Kenapa aku bisa lupa kalau masih ada mereka dan aku tadi ngeloyor pergi gitu aja!' Sesaat setelah Rania menyerahkan kue dia ingin pasang seat belt makanya menatap ke arah kiri dan sadarlah dia kalau masih ada bayang-bayang beberapa orang berdiri di pintu masuk lobi kantornya. Pucatlah wajahnya. "Sini kuenya aku udah selesai. Yuk cepetan kita pulang Mar, kesian Acha!" Rania ngeri berlama-lama di sana. Untuk sekarang Rania memilih menghindar. "Hmm. Ngomong-ngomong soal Acha, tadi itu seru loh ngeliatin Acha yang nyeritain tentang ulang tahunmu sama temen-temennya di sekolah pas udah bubaran kelas," sambil menginjak pedal gasnya Amar sambil bercerita. 'Tapi seharusnya nggak masalah dong buat aku kalau tadi Amar kasih surprise ulang tahunku di sana ya?' Rania mencoba mencari alasan mengurangi rasa bersalahnya di hatinya, tanpa merespon Amar. 'Dan nggak masalah juga kali ya kalau aku nggak ngucapin selamat tinggal? Atau maksudnya selamat malam gitu? Soalnya kan tadi aku juga nggak sengaja sih keluar buru-buru karena keingetan Marsha. Lagian aku dan dia hanya atasan dan bawahan sekarang harusnya aku gak perlu merasa gak enak begini padanya.' Rania berpikir sendiri di dalam hatinya mencoba mencari pembenaran yang bisa membuatnya sedikit lebih baik sampai dia tidak terlalu mendengarkan cerita dari Amar tentang putrinya. Entah kenapa pikiran Rania tersedot semua membayangkan yang akan dipikirkan Reza. Apakah Reza ingat hari ulang tahunnya? Apakah dia melihat surprise Amar dan tahu Rania sudah move on? 'Duh, tadi dia liat aku mengecup Amar juga ya? Nggak apa-apa kan ya? Kan aku sama dia juga nggak ada hubungan apa-apa dan dia sendiri yang bilang kalau aku dan dia sudah nggak ada apa-apa lagi!' SETELAH PERTEMUAN INI, KAMU DAN AKU TAK ADA HUBUNGAN APA-APA LAGI. JADI KALAU SUATU SAAT KAMU BERTEMU DENGANKU, ANGGAP SAJA KITA TAK SALING MENGENAL. Rania masih ingat betul apa yang dikatakan oleh Reza jadi dia merasa semua akan baik-baik saja! Itu afirmasi dalam benak Rania supaya dirinya bisa tenang malam itu. "Happy birthday Mama! Happy birthday Mama! Happy birthday Mama! happy birthday Mama!" 'Nanti aku di kantor nggak akan dimarah-marahin sama dia kan?' Dan pagi itu di meja makan di apartemen, Rania bukannya menikmati putrinya yang sangat bahagia dengan kue ulang tahunya, dia masih kepikiran soal Reza. "Yeaay! Acha mau potongan kuenya?" untung ada Amar yang menemaninya. 'Apakah aku akan mendapatkan hukuman yang mengerikan nanti di kantor?' Rania memang tersenyum dan tertawa. Dia ikut berpartisipasi dalam kegiatan itu tapi pikirannya masih melayang ke mana-mana tak tenang hatinya. Dia sangat terganggu sekali dengan urusannya karena masalah tadi malam. "Amar, kalau misalkan aku naik mobilku sendiri terus kamu bisa nggak anterin Marsha ke sekolahnya?" "Bisa aja nganterin Marsha. Tapi aku tetep ga izinin. Aku yang akan nganterin kamu ke kantor, Rania. Biar pada tahu temen di kantormu kalau kamu ga single lagi, hehe." "Ish, Amar." "Biarlah, lagian nanti pulang kantor kan kita harus cari gaun untukmu. Ulang tahun pernikahan papa dan mamaku tinggal dua hari lagi. Sekarang udah hari Kamis loh! Berarti kan hari sabtu besok bajunya masih udah mesti siap kan? Kita juga mesti cari cincin pertunangan kita." Rania sebetulnya ingin datang ke kantor dan tidak mau sampai ada masalah kalau sampai dia terlambat. Meski bersama Amar tetap tidak terlambat sih, cuma Rania hanya ingin tiba di kantor sejam lebih awal. Tapi sayangnya dia sudah punya komitmen dengan Amar. Jadi kalau Rania bawa mobil juga ini akan aneh. Masa iya mereka pakai dua mobil berbeda? Lalu bagaimana jika Marsha mau bersama Amar juga? Makanya Rania terpaksa menerima. "Kamu yakin nanti kita pergi pakai mobilmu yang banyak coretan kayak gitu nggak apa-apa?" "Dah lah, biarin aja! Yang nyoret-nyoret juga anakku sendiri kok! Cuman mobil. Cuman kaleng. Nggak usah terlalu dipikirin kayak gitu." Amar itu pada dasarnya sangat baik sekali. Kalau sudah bicara soal Marsha, Rania jadi malu sendiri pada Amar. Pria itu sangat menyayangi Marsha dan rasanya untuk memarahi Putri Rania dia tak pernah tega. 'Aku kalau jadi menikah dengannya berarti aku memang berhutang banyak padanya! Dia terlalu baik untukku! Dan aku harus cepat-cepat membuang semua masa laluku supaya aku bisa memulai cinta dan hidupku yang baru dengan Amar.' Rania pun mencoba memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak mempermainkan perasaan Amar. Dia sudah bagus menolak Amar selama bertahun-tahun dan saat ini Rania sudah banting stir memutuskan untuk menerima Amar. Rania tak mau menyakiti hati pria itu! Ini komitmen di dalam relung sanubarinya. "Amar aku kerja dulu ya!" "Hmm. Tapi Rania boleh aku tanya sesuatu padamu gak? " Rania sebetulnya ingin langsung turun tapi karena pertanyaan Amar ini dia tetap berada di mobil dan menatap pria itu. "Kalau nanti kita udah nikah apa kamu bakalan tetap kerja?" "Aku mau nikah denganmu supaya aku bisa mengurus Marsha. Itupun kalau kamu gak keberatan menanggung biaya kami sih. Aku nggak minta banyak buat aku sendiri. Aku cuma pikirin gimana buat Marsha dan aku akan coba cari kerjaan di rumah lewat bisnis online untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, kaya jadi affiliate di--" "Ya ampun Rania jauh amat Kamu berpikir begitu!" Amar yang gemas mencubit pelan dagu Rania karena Rania memiliki dagu yang lancip dan sangat manis! Itu yang membuat Ambar kadang-kadang gemas padanya. "Aku nggak akan larang kamu pakai uangku! Semua itu punya kamu! Setelah menikah denganmu, semuanya kamu yang urus. Jadi jangan pernah berpikir yang aneh-aneh kayak gitu. Nggak ada namanya uang aku uang kamu. Itu uang kita berdua dan kita akan jadi keluarga!" Yah, Rania tahu soal itu dan kebaikan Amar memang tak diragukan. Tapi tetap Rania merasa tidak enak kalau harus menggunakan uang Amar. Pria itu sudah terlalu baik baginya. "Tapi kamu enggak akan ngelarang Aku bekerja kan mar? " "Ya enggak lah. Tapi aku tetap enggak akan setuju kalau kamu bilang kamu harus memenuhi kebutuhan hidupmu sendiri dengan bekerja. Aku ada dan aku masih hidup di sini. Aku akan memenuhi semuanya. Aku akan berjuang untukmu dan Marsha!" lagi-lagi kata-kata Amar menyentuh hati Rania. Membuat dirinya merasa bodoh sendiri kalau tak mencintai Amar. Apa yang Rania cari dengan menyimpan semua lamunan cinta palsunya pada seseorang yang seharusnya dilupakan? Amar sudah begitu sempurna untuknya. Amar sudah sangat mencintainya. Rania tertawa kecil sendiri saat duduk di mejanya dan lagi-lagi senyum itu dilihat oleh dua orang yang memang baru saja datang. "Pagi Bu Rania." "Eh! Selamat pagi Tuan Clarke, Pak David!" Sampai Rania yang sedang daydream jadi kagok dan dia sudah berdiri sambil menundukkan kepalanya pelan, memberikan hormat. 'Responnya seperti biasa kan dingin?' Rania mengangkat bahunya sambil merapikan laporannya yang memang membuat dirinya melembur tadi malam. Hendak menyusul bosnya. "Selamat pagi Tuan Clarke. Saya mau mengantarkan kopi dan cemilan paginya. Sama laporan yang harus saya serahkan pagi ini, rangkuman hasil kegiatan kemarin dan rapat." Rania pun hendak melangkah masuk ke dalam ruangan pria itu. "Apa kau pikir kantor ini rumah bordil?" Sampai kaget Rania ditanya begitu dan wajahnya memerah tak tahu apa yang salah dengan dirinya. Perasaan semua yang dia gunakan tidak ada yang berbeda! Kata-katanya juga tak ada yang tak sopan dan menggoda. Lalu kenapa dia disangka menjadikan kantor itu rumah para wanita yang menjual diri? Rania tak pernah melakukan hal itu dan menyuruh teman-temannya melakukan itu juga! "Maaf Pak, saya tidak paham," ujar Rania dan berusaha untuk menahan emosinya yang mulai berubah. "Aku disini butuh sekretaris yang bisa kerja bukan sekretaris yang bisanya cuman pakai baju ketat menerawang sepertimu dengan rok span di atas lutut! Kau pikir tubuhmu Paling indah di dunia sampai harus dipamerkan begitu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD