Sekertaris Pribadi

1485 Words
Anindya tersenyum lebar melihat semua tingkah laku manusia dalam layar laptop miliknya. “Seperti inilah dirimu Raquel, kamu terlihat lebih jalang.” Yang satunya penggoda, yang satunya tak tahu diri. Sangat cocok bukan? “Mas, maaf. Aku nggak bisa ikut makan siang, maaf ya. Nikmati hidangan kalian ya,” Send. Ya nikmati sepuas kalian sampai ulat terus menggerogoti tubuh kalian. Untuk mendekatkan keduanya dia perlu banyak ide. Kali ini satu ide muncul, Anindya pun beranjak tak lupa menutup laptopnya. Sambil terus berjalan sesekali menyapa tamu, Anindya kembali sibuk memantau Caka dan Raquel di ponselnya. Anindya bahkan melewati Adyatma dan Fabian, keduanya saling lirik memandang punggung Anindya. “Sebentar, dia mengabaikan saya?” Adyatma merasa sakit hati diabaikan menunduk Anindya. “Ya, benar. Anda diabaikan.” “Be-benarkah?” “Ada apa? Patah hati kah?” “Saya diabaikan. Saya diabaikan. Saya diabaikan. Waw… hahaha.” Adyatma terus bergumam kembali masuk ke lift meninggalkan Fabian. “Sabar Bian, sabar. Dia lagi gila-gilanya.” Ucap Fabian berjalan ke lift lain mengikuti Adyatma yang lagi patah hati. “Dia kenapa?” Gio mendekati Kinan bertanya kala melihat Anindya sedikit aneh. “Nggak tau. Tadi sempat ketemu calon suaminya, habis itu orangnya ke resto VIP sedangkan dia balik kerja. Jadi bingung saya.” Ujar Kinan. “Berarti mereka nggak ada masalah apa-apa dong. Tapi kok bisa gagal?” Alesha datang tiba-tiba ikut nimbrung. “Eih, kalau nggak ada masalah gak mungkin batal. Kira-kira ada apa ya? Jangan-jangan mbak Anin nih yang bermasalah. Dengar-dengarkan hubungan mereka belum dapat restu. Ah, kasian banget.” Lanjut Alesha. “Iyakan… ish, kok Alesha ditinggal sih. Nyebelin.” Alesha menghentakkan kaki saat tak menemukan Kinan dan Gio disana. Tok tok tok… Sedang bersenang-senang, Caka dan Raquel tersentak mendengar ketukan dari luar. Bertanya-tanya, apakah Anindya masih menyiapkan sesuatu untuk mereka atau Anindya sendiri yang datang. “Hai,” Anindya masuk dengan senyum lebar, bisa ia lihat raut kecewa dari sahabat dan suaminya. Ah, menyenangkan sekali berada di sini. Anindya menikmati perannya sebagai perempuan bodoh. “Hai sayang, kita udah makan duluan. Gapapa, ‘kan?” Caka rasanya enggang menyambut Anindya begitu juga Raquel tersenyum paksa. “Gak apa-apa dong. Enak nggak? Kebetulan semua hidangan yang udah aku siapin tuh sampel gitu. Daripada manggil orang lain, lebih baik kalian kan mumpung gratis. Hehehe.” Anindya tersenyum lebar, tak membiarkan Caka dan Raquel protes ia berucap lagi. “Dessert nya gimana? Kalian ngerasa ada yang kurang atau berlebihan gitu gak sih? Actually… desert ini tuh yang ditolak GM baru, cuma… aku ngerasa butuh sesuatu yang baru jadi mau minta pendapat kalian. Bentar ya,” Anindya berjalan mendekati meja, beberapa hidangan penutup terlihat habis. “Oh, I see. Thanks guys, kalian sangat membantu aku sebagai manajer disini. Oyah, sebagai bonus…” Anindya mengeluarkan amplop 2 lembar lalu ditaruhnya di meja. “...ini nggak seberapa kok, anggap aja gaji sebagai juri dadakan.” Bisiknya. “Nin,” “Mas,” Anindya memeluk Caka menyela lelaki itu. “Makasih ya, kamu tau habis ini aku bakal dapat bonus lagi.” Sambil merangkul pinggang Caka mesra, Anindya melonggarkan pelukannya menoleh menatap Raquel. Gadis itu tersenyum canggung. “Thanks ya beb.” ucapnya Anindya dan ia mengangguk kecil. “It’s oke, bukan apa-apa. Namanya juga sahabat, gue pasti bantu kapanpun kamu minta.” Ujarnya dalam hati begitu jengkel dengan Anindya merasa dihina. “Benar sayang, ini juga demi kamu. Yaudah kamu makan gih, tuh masih banyak sampel.” “Nggak deh mas, kalian aja.” Anindya mengedikkan bahu, seperti jijik melihat hidangan di meja. Diam-diam, Raquel mengepalkan tangan menatap Anindya. “Kenapa, nggak suka?” tanya Raquel, nada suaranya sedikit berbeda. “Bukan nggak suka, cuman… Oyah, kebetulan El. Boleh minta bantuan lagi nggak?” Anindya mengalihkan obrolan. “Jadi gini, soal dana ganti rugi pembatalan kemarin aku boleh_” “Darimana gue dapat uang sebanyak itu Nin, lu kan tau kerjaan gue gimana.” Potong Raquel. “Mas apa lagi Anin. Bukannya kamu bilang, semuanya ditanggung kamu. Kenapa sekarang limpahkan ke kita?” ujar Caka sedikit ngegas. “Ih, makanya dengerin dulu dong kalau orang ngomong tuh jangan di potong. Aku cuman mau minta tolong El temenin mas Caka mengurus semuanya soalnya aku harus ikut bos ke bandung. Tenang aja, nih tabungan aku kalian pakai buat bayar semuanya.” Anindya meletakkan kartu ATM pribadi miliknya di meja dan juga daftar yang diberikan Caka kemarin. “Mas, bisa ya bareng El ngurusnya. Please, aku harus ikut kalau enggak bakal kena semprot nantinya. Boss yang sekarang tuh beda, dia lebih kejam. Nggak punya perasaan, mau nya dituruti terlalu manja. Please ya,” rengek Anindya mencoba merayu Caka, walau merasa jijik sebenarnya melakukan ini namun ia harus melakukannya dengan baik. Ah, bos. Maafin saya. Anindya jadi ngerasa bersalah, semoga saja tuh orang nggak keselek diomongin. Caka mengambil kartu milik Anindya, “Semua ini cukup kan? Mas nggak bisa talangin apapun, kamu tau gaji mas tidak sebesar kamu.” ujar Caka. “Insyaallah, lebih kok mas. Kalau emang nggak cukup, mas ngomong aja ntar pinjam sama bos mudah-mudahan bisa ambil gaji lebih awal. El,” Anindya beralih pada Raquel. “temenin mas Caka ya, ntar aku kasih voucher lagi deh. Gimana?” “Voucher menu utama disini, gimana?” Enak aja makan sampel doang. Cih, dasar Anin menyebalkan. “Deal. Makasih beb.” Anindya memeluk Raquel, tersenyum menyeringai sebelum melepas pelukannya. “Oke, kalau gitu kalian lanjut lagi aku harus balik soalnya masih ada kerjaan. Mas, jaga sahabat Anin ya awas aja kalau sampai macem-macem.” muka Anindya dibuat garang, agar Caka dan Raquel merasa menang. “Apa sih, aman. Tapi satu macam boleh nggak?” canda Caka. “Ihhh… mas punya Anin pokoknya.” Anindya merajuk gelendotan di daun pintu. “Ih, lu kira gue apaan. Sorry ya, nggak doyan sama orang bucin yang ada makan ati.” “Idih, terus crush lu apaan.” “Beda ya. Udah sana, ntar kena marah lagi. Tenang aja, mas Caka mu bakal gue awasin biar nggak jelalatan matanya.” Tersenyum meledek Caka. Membuat laki-laki mendengus. “Sorry, mahal.” “Heleh, apaan.” “Idih.” “Dih.” “Hust, berisik kalian. Udah lanjut sana, mas aku pergi dulu ya. Hubungin aja kalau ada apa-apa.” Anindya melambaikan tangan sebelum menutup pintu membiarkan Keduanya bersenang-senang. Anindya ingin tahu, tabungan 350 juta miliknya dipakai untuk apa nanti oleh mereka. Lebih baik rugi uang daripada harus menanggung sakit dalam pernikahan. Pikirnya berlalu pergi. “Nona Anindya, tunggu sebentar.” Fabian berlari kecil menghampiri Anindya, terlihat gadis itu berhenti dan menoleh menatap nya. “Ya, pak.” Sedikit rasa bersalah terbesit kala mengingat dirinya memasang kamera tersembunyi di ruangan gadis cantik di hadapannya itu. “Pak. You, oke?” “Yes, of course. Em, cuman mau ngasih tau kalau kamu ikut kami ke bandung besok. Bos butuh seseorang buat ngurus dia, nggak mungkin saya dong yang mesti pasangin dia dasi.” “Lah? Gimana saya, saya aja bukan sekertaris nya.” bingung Anindya. Lagi-lagi diluar skenario yang terjadi sebelum pernikahan. “Anin please, kita udah sama-sama selama ini, bantulah.” Fabian memelas tak apa melepas harga dirinya demi bos menyogok bos nya biar semangat kerja. “Ya, tapi nggak bisa gitu dong. Saya aja tugasnya dimana dan ngapain, masa tugas sekretaris pribadi harus saya kerjakan juga. Itu nggak,” “Kalau begitu jadilah sekretaris pribadi saya atau keluar dari sini.” suara tegas, begitu dingin terkesan menuntut menggema. Beruntung, mereka berada di lobby restoran VIP jadi sepi orang. Fabian menahan geram. Nih orang minta diceburkan kayaknya. Sok sok an ngancem, dikira mempan apa ya sama gadis seperti Anindya. Fabian sangat tau Anindya seperti apa, tidak gampang di ancam. “So, make your choice. Jangan karena tuan Dante begitu peduli padamu, bukan berarti saya harus peduli juga.” Ujar Adyatma santai. “Kenapa harus saya?” Tanya Anindya menaikkan dagu seolah tidak takut. Sialan, tatapannya menyeramkan. Dalam hati Fabian berucap, “mampuslah kau Adyatma bodoh.” Shit. Dia menggemaskan. Adyatma terkekeh kecil, berjalan mendekati Anindya. “Sepertinya kamu butuh uang Nona Anindya.” “Siapa yang nggak butuh uang bodoh.” Gumam Anindya pelan. “Kamu mengumpat?” Anindya dengan cepat mundur menggelengkan kepala. “Tidak, siapa bilang.” “Saya denger ya, kamu kira saya tuli.” Adyatma menyentak. “Sumpah loh pak, saya nggak gitu. Mana berani saya,” “Terus yang manja, yang tidak punya perasaan, yang lebih kejam dan…” “Oh my gosh.” Anindya menutup mulut, matanya melotot terkejut. Kok dia bisa tau!! Spy huh? Jadi be-beneran ya, dia ngomong gitu? Adyatma patah hati lagi, padahal dia cuman nebak doang tadi ternyata beneran. “Kamu,” muka Adyatma memerah. Mungkin terlihat marah di mata Anindya, tetapi ketahuilah lelaki itu malu sekarang. Anindya dengan cepat membungkuk hormat. “Baik pak, saya jadi sekertaris pribadi bapak. Mohon bantuannya.” “Wah, hebat.” Fabian yang bingung hanya bertepuk tangan sambil ngomong nggak jelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD