Setelah jam olahraga berakhir, para murid diberi waktu untuk istirahat lebih dulu sebelum kembali melanjutkan pembelajaran berikutnya.
Dea duduk dengan kaki berselonjor. Mengusap peluh keringat di dahinya.
"Huh, lumayan juga ya tadi olahraganya." Lena berucap sembari bersandar pada dinding sekolah.
"Iya, Len. Nggak apa-apa tapi, biar badan sehat." Dea menyahut. Lena manggut-manggut mendengarnya.
Sebuah tangan terulur dengan mencekal botol air mineral di depan wajah Dea. Dengan gerakan slow motion, Dea mendongak untuk melihat siapa orang itu.
"Buat lo," ucap Aga sembari tersenyum manis pada Dea.
Dea menoleh pada Lena yang mengerit bingung. Kemudian Dea menggeleng. "Nggak usah, makasih. Gue bisa beli sendiri," tolaknya.
"Ayolah, De. Terima," ucap Aga sedikit memaksa.
"Nggak."
"Apa susahnya sih, tinggal nerima doang."
"Gue bilang nggak mau, Aga. Please deh, nggak usah paksa gue." Dea menatap tak suka pada Aga.
Keadaan hening sejenak. Lena menjadi canggung sendiri berada di antara Aga dan Dea.
"Ekhmmm.... De, gue ke kelas duluan ya," pamit Lena.
"Gue ikut," sahut Dea. Lalu bangun dari posisi duduknya. "Ayo."
Aga menatap langkah Dea yang semakin menjauh. "Dea kenapa? Apa malu karena tadi gue pergokin dia lagi senyum sama gue?" tebaknya.
♡
Dea dan Lena sedang berada di loker bersama para siswi lainnya. Membereskan kaus olahraga di sana.
"Lo kenapa sama Aga? Kok, tadi kesannya kayak jutek gitu?" Lena bertanya.
"Nggak apa-apa," jawab Dea.
Lena mendengus kesal. "Katanya kita temen, kok main rahasia-rahasiaan sih, De?"
Dea menghela napas panjang. Mengunci lokernya dan menatap pada Lena. "Gue habis dilabrak sama Sarah karena Aga."
"WHAT?!" jerit Lena dengan mata membulat sempurna. "Seriusan lo?"
Dea mengangguk. "Gue nggak mau punya masalah sama siapapun, Len. Karena itu, lebih baik gue jauhin Aga aja."
"Tuh kan, De. Apa kata gue, jangan ada urusan apapun sama si Aga. Mantannya tuh beringas. Dan sekarang lo udah ngerasain keberingasan si Sarah," ucap Lena.
"By the way, Sarah bilang apa aja sama lo?" lanjutnya bertanya.
"Gue nggak terima pas dia hina gue, Len. Masa gue dituduh penggoda sama Sarah. Pakai di sama-samain lagi sama kupu-kupu malam. Padahal kan gue sama Aga nggak ada apa-apa. Kok dia bisa nyimpulin yang nggak-nggak ya, sama gue," heran Dea.
Lena menghembuskan napas panjang. Mengangguk-anggukan kepala. "Iya juga sih. Apalagi lo baru sekolah kemarin di sini. Kenapa Sarah langsung nyimpulin gitu ya?"
Dea mengangkat bahu acuh. Dalam pikiran terlintas saat kejadian di koridor. Dea meringis, apa mungkin karena itu Sarah menganggapnya telah menggoda Aga?
"Gue udah beres nih, De. Yuk, kita ke kelas." Lena mengajak dan Dea mengangguk. Mereka pun berjalan bersama kembali ke kelas.
Rangga sebagai ketua kelas berdiri di depan dan meminta perhatian dari teman-teman. "GUYS, DENGERIN GUE! ADA PENGUMUMAN PENTING!"
Seketika keadaan kelas hening, menunggu pengumuman yang akan Rangga beri tahu.
"Hari ini, Bu Sonya berhalangan masuk. Dan itu berarti...."
"FREE CLASS!! YUHUU!!" lanjut murid seisi kelas, berseru heboh.
Dea dan Lena menggelengkan kepala setibanya di kelas.
Bagaimana tidak? Keadaan kelas sekarang sudah seperti pasar tradisional. Sudah menjadi rahasia umum yang terjadi saat kelas free.
"ANGKAT TANGANNYA DI ATAS!"
Sigit berseru di atas meja sembari membawa sapu untuk dijadikan mikrofon.
"DI DEPAN ORANG TUAMU KAU MALUKAN DIRIKU.... JENG! JENG! KAU BANDINGKAN AKU DENGAN DIRINYA.... HOBAH!"
Kacau. Itu yang menggambarkan keadaan kelas sekarang. Rangga selaku ketua kelas bukannya menertibkan teman-temannya, justru sedang asik bergoyang di depan kelas.
Aga melangkah ke arah bangku Dea. Melihat kedatangan Aga, buru-buru Dea menyibukkan diri dengan bermain ponsel.
"De, ikut gue yuk."
Dea seolah menulikan pendengarannya. Aga tersenyum pada Dea, tatapannya kembali jatuh pada liontin itu. Rasanya Aga ingin bertanya pada Dea tentang darimana Dea mendapatkan kalung serta liontin itu, tapi Aga harus menahannya lebih dulu. Sesuatu yang tergesa-gesa tidak akan baik.
"Dea," panggil Aga.
Sekali lagi Dea tak merespon. Dea tahu sikapnya terlalu kekanak-kanakan, tapi apa peduli Dea? Memang Aga siapanya Dea, sampai Dea harus selalu merespon Aga?
"De, kenapa gue dicuekin? Nggak enak tahu," ucap Aga. Melihat Dea yang sedari diam saja, Aga menarik pelan dagu Dea agar menatapnya.
"Apaan sih lo?!" Dea menatap tak suka pada Aga.
"Galak amat," protes Aga.
"Udah deh, sana. Nggak usah gangguin gue. Risih tahu!" usir Dea.
"Ikut gue dulu. Ayo." Aga meraih tangan Dea, namun dengan segera Dea menepisnya.
"Gue nggak mau," tekan Dea,.
Aga terdiam. Menatap dalam kedua mata Dea untuk beberapa detik lamanya. "Oke," jawabnya singkat.
Dan kembali keluar dari kelas.
Seperginya Aga, Dea jadi merasa bersalah. "Aga marah nggak ya, sama gue?" gumamnya.
"Nggak usah merasa bersalah, De. Anggap Aga angin lalu dan lo akan hidup tenang," sahut Lena yang sedari tadi memperhatikan interaksi antara Dea dan Aga.
Dea menoleh pada Lena. Kemudian mengangguk. "Ya, gue harus abaikan Aga. Gue nggak mau punya musuh di sini."
Mengindari Aga bukan berarti Dea takut pada Sarah. Hanya saja, Dea ingin hidup santai tanpa ada musuh. Memang mustahil kalau tidak ada orang membenci kita, tapi apa salahnya untuk menghindari musuh, bukan? Apalagi orang seperti Sarah yang masih mementingkan ego di atas segalanya.
Dea memang gadis manja, angkuh, dan sombong. Tapi itu Dea yang dulu. Tidak dengan Dea yang sekarang yang sedang berjuang menjadi dewasa.
♡
Aga mengendarai motornya dengan kecepatan pelan, mengingat ini adalah waktu pulang sekolah. Dimana jalan sekitar sekolah ramai oleh para murid. Dari balik helm full face-nya, Aga tak sengaja menangkap sosok yang tak asing di dekat halte. Dia adalah Dea.
Dea nampak sedang menunggu seseorang. Terlihat dari gerak-geriknya. Tanpa pikir panjang, Aga sedikit mengencangkan lajuannya ke arah Dea. Lalu berhenti tepat di depan gadis itu.
"Hai, De." Aga tersenyum, menyapa.
Dea menoleh pada Aga. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, tanpa berniat membalas sapaan Aga.
"Gue anterin lo balik ya?" tawa Aga.
"Nggak usah," ketus Dea tanpa menatap Aga.
"Kenapa? Gue nggak akan ngerasa direpotin sama sekali kok. Ayo, naik."
Dea mendelik tajam pada Aga. "Nggak mau," tekannya.
Interaksi antara Aga dengan Dea membuat seseorang dari dalam mobil menggeram marah.
"Dasar ganjen! Awas aja kalau sampai pulang bareng sama Aga."
Dea mengerucutkan bibir. Sedari tadi tak ada ojek yang lewat.Paket internetnya yang habis Dea tak bisa pesan ojek online.
"Kemana sih? Pada nggak mau uang kali ya?" gumamnya.
Aga terkekeh pelan mendengarnya. "Daripada lumutan di sini. Ayo ikut---,"
"Berisik!" potong Dea.
Handphone Dea berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk. Dea mengerit menatap nomor asing yang tertera dilayar ponselnya.
"Angkat aja. Barangkali mantan yang ngajak balikan," sahut Aga yang mengintip.
Dea mendengus. "Apa sih? Udah sana pergi!" Kemudian Dea mengangkat panggilan tersebut. Aga tak menuruti ucapan Dea, ia masih tetap di posisinya.
"Halo," ucap Dea begitu sambungan terhubung.
"...."
"Apa?! Ibu saya kenapa, Sus?" Dea terlihat panik.
"...."
"Baik-baik, saya akan segera ke sana. Terima kasih, Suster."
Kemudian Dea menutup sambungan telepon tersebut. Tak ada pilihan lain, Dea segera naik ke atas motor Aga. "Ayo, jalan!"
"Ha? Oh, iya-iya." Aga segera menjalankan mesin motor.
"Kemana?"
"Rumah sakit Pelita Kasih!" seru Dea, menepuk-nepuk pundak Aga.
Aga pun segera menancapkan gas motornya. Membelah jalanan menuju rumah sakit yang Dea katakan tadi.
"Cepetan!" seru Dea.
"Iya, sabar. Lo pegangan sama gue!" balas Aga dengan suara kencang. Lalu menambah kecepatan motor, hingga membuat Dea refleks melingkarkan tangannya di pinggang Aga.
"AAAA!!!"