BAB 8

1135 Words
“Pak Burhan sudah pengalaman, Ratri! Istrinya saja sudah empat. Dia pasti bisa bedakan yang perawan sama yang enggak. Gimana kalau pas dia udah nidurin Gita, tetap saja nyita rumah ini dan kita harus tetap lunasin utang-utang kita?” Ayah terlihat gusar dan panik. Nyesss! Ada yang nyelekit. Rupanya benar yang Ibu bilang. Ayah hanya mencariku dan ingin memanfaatkan. Tega-teganya dia menjadikanku gadis untuk membayar utang. Itu ‘kan utangnya dengan istri barunya, kenapa aku yang harus membayar? “Hmmm … tapi coba kita buat alasan saja kalau Nagita jatuh dari sepeda. Masalah kehamilannya biar aku yang tangani, Mas.” Istri baru ayah tampak tetap bersikeras. “Apa gak terlalu berisiko, Ratri? Gimana kalau Pak Burhan malah marah nanti?” Ayah tampak bingung. “Lebih berisiko lagi kalau perjodohannya batal. Apa Mas mau kita semua jadi gelandangan?!” Suara istri barunya ayah, meninggi. “Ck, kamu juga, sih! Sok ikut-ikutan investasi-investasi segala!” keluh Ayah. Dia tampak memijit dua pangkal alisnya. “Kamu juga jadi suami hobinya nyalahin istri. Ingat, Mas. Kalau sampai rumah kita semua kena gusuran. Mau gak mau kamu harus jual juga rumah kecil itu. Aku gak mau kita jadi gelandangan!” pekiknya tak kalah sengit. Sepertinya pertengkaran mereka masih lama. Aku bisa melarikan diri diam-diam dan kembali pulang. Setidaknya kalau di rumah, aku bisa hubungi Bu Ajeng. Dia kan sudah berjanji akan menolongku dari masalah ini. Gegas aku ke arah dapur, rumah ini bukan perumahan. Harusnya ada pintu samping. Benar saja, ada pintu. Aku tersenyum dan segera mendekat ke arah pintu itu. Namun rupanya dikunci. Ck! Belum pernah juga belajar bobol kunci. Nyesel dulu diajakin sama Dento waktu SMA gak mau ikutan. Di dapur memang ada jendela juga, tapi ada tralisnya. Aku coba cari-cari cara, sepertinya ada pisau di rak piring. Aku ambil saja dan segera mendekat lagi ke arah pintu. “Eh, kok bajunya belum ganti, sih? Mama sudah siapin makan buat kamu juga.” Suara Bu Ratri muncul. Aku yang sedang pegang pisau jadinya melongo. Bingung kalau kepergok seperti ini. Kirain bertengkarnya masih lama. “Gak usah, ganti, Mah. Gak enak saja, bajunya mahal.” Aku melirik pada baju yang masih rapi dalam lipatannya. “Oh ya sudah kalau gitu. Simpen saja buat besok, ya! Malam ini kamu istirahat saja biar pas bangun pagi besok, sudah segar.” Bu Ratri tersenyum, lalu mendekat ke arahku. Namun, dia sedikit mundur lagi ketika melihat pisau di tanganku. “K—Kamu ambil pisau?” Wajahnya sedikit pias. Tiba-tiba ide gila lagi muncul di benakku. “Aku pengen pulang, Ma. Kalau aku gak dianterin pulang. Aku bunuh diri saja di sini.” Aku mulai memasang wajah sedih. “Duh, jangan gitu, Sayang. Orang bunuh diri itu nanti masuknya ke neraka. Kamu jangan gitu. Istighfar, Gita! Istighfar!” Bu Ratri tampak ketakutan. Aku mendekatkan pisau ini ke urat nadi. Mana berani sebetulnya, hanya untuk menakut-nakuti. Omongannya pake bawa-bawa neraka, kayak orang suci saja. “Anterin aku pulang! Aku sedang hamil, Mah! Aku gak mau dijodohkan!” Aku memelas. “Ayah! Ayah! Nagita, Yah!” Bu Ratri tampak panik. Dia tak berani mendekat juga. Aku sudah tersenyum melihat wajahnya yang ketakutan. Namun, tiba-tiba ada yang menangkapku dari belakang. Direbutnya pisau dari tanganku. Aku yang gak siap-siap, gak bisa melawan juga. Rupanya dua lelaki yang tadi ikut sama Ayah muncul mendadak dari pintu samping. “Ck! Kecil-kecil bikin ulah mulu!” omel salah satu orang tersebut. “Mang Eman, jangan galak-galak! Nagita itu putri saya!” Eh Bu Ratri membentak. Aktingnya benar-benar bagus. Andai aku tak mendengar apa yang mereka obrolkan di ruang tengah. Mungkin aku pun akan percaya. Lelaki botak itu menarikku dan membawaku masuk ke kamar. Bu Ratri mendudukkanku di sebuah tempat tidur yang cukup lebar dengan Kasur empuknya. Enak banget hidup mereka, ya! Tempat tidurnya saja luas dan empuk. “Nagita … jangan seperti tadi, ya! Mama gak mau kamu kenapa-kenapa. Kalau ada masalah sama ayah bayi yang kamu kandung. Bisa cerita sama Mama. Kalau dia gak mau tanggung jawab gak usah takut. Ada kami di sini, Nak.” Akting yang sempurna. Wajahnya tampak dibuat seramah dan suaranya lembut banget. Aku hanya diam menunduk. Benci banget. “Ya, Ma. Kalau gitu, Gita gak takut lagi. Boleh pinjem ponsel, Ma?” Aku menatap wajahnya. Dah males lanjutin obrolan sama dia juga. “Ponsel, untuk?” Dia menatap curiga. “Aku mau nelepon Ibu. Takutnya dia cemas. Aku mau bilang, kalau di sini Mama baik dan aku gak diapa-apain.” Aku berusaha bicara senetral mungkin. “Oh biar Mama ambilkan sebentar, ya!” Dia bangkit, lalu pergi. Keluar kamar dan gak lama balik lagi membawa ponsel. “Makasih, Ma.” Senyum kubuat-buat. Dia pun keluar lagi. Aku mengingat-ingat nomor Bu Ajeng, tapi aku beneran gak hapal. Akhirnya aku masuk ke internet dan masuk ke akun sosial media. Masih ingat akun sosmed butik yang biasa aku pegang. Akun tersebut berteman dengan Bu Ajeng dan juga Pak Adrian. [Bu, ini Nagita. HP-ku jatuh di rumah. Aku dibawa paksa Ayah ke rumah istri barunya. Bu tolong aku. Aku gak mau dijodohkan sama orang pilihan Ayah. Aku Cuma mau dijadikan penebus utang. Tolong aku. Sekarang aku lagi pura-pura hamil untuk mengulur waktu. Ini alamat Ayah!] [Pak Adrian, tolong bilang sama Ibu, check DM IG sama sss nya.] Aku segera mengirim alamat rumah ini. [Kampung Gasing, Rumahnya jejer tiga, nomor rumahnya 73. Nama Ayahku Setiadi.] Segera aku logout ketika Bu Ratri muncul lagi dari ambang pintu. Dan aku coba hubungi nomorku, aku mau ngabarin Ibu. Sayangnya gak aktif. Mungkin lowbat. Cukup banyak makanan yang dia bawa. Ada dua gelas jus nanas bareng makanan berat di atas nampan, juga ada nanas potong dalam piring besar. “Diminum, ya! Kebetulan Mama baru panen nanas di belakang rumah.” Dia meletakkan semua yang dibawanya itu dan menatapku dengan lembut. “Makasih, Ma.” Aku mengembalikan ponselnya sekalian. “Sudah?” tanyanya. “Sudah.” Aku menjawab singkat. “Makanlah! Maaf ya, Mama kunci kamarnya dari luar. Mama takut kamu nekat lagi kayak tadi.” Dia membelai rambutku lantas pergi. Makanku yang tadi belum selesai membuatku berat untuk menolak makanan ini. Apalagi ada sate, pindang telor juga oseng-oseng kangkung pake udang. Wangi terasinya tercium sampai ke hidung. “Dih diracun gak, ya?” Aku menimbang-nimbang sebentar. Kalau dilihat dari kasusnya, sepertinya mereka gak akan racunin aku. Hanya mungkin saja mau meracuni anak dalam kandunganku. Apalagi ini sampe dua gelas gini jus nanas, di piring juga. “Bismillah, deh. Makan saja. Moga gak kenapa-kenapa.” Aku berjalan dulu ke arah pintu, lalu kupasang slotnya dari dalam. Setidaknya kalau pun ada obat tidur, aku masih aman. Dia gak bakal bisa ngapa-ngapain. Lantas aku makan dengan lahap. Aku harus sehat dan kuat biar besok bisa mikir lagi cara keluar dari sini. Moga-moga Bu Ajeng sudah baca pesanku di sosial media. Duh, parahnya aku gak hapal nomornya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD