BAB 5

1339 Words
“Kalau seperti ini, pada siapa aku bisa minta tolong sekarang?” Aku berjalan sambil melamun hingga terdengar bunyi klakson berulang terdengar. “Siapa, sih? Kan jalan masih lebar?” Aku menjadi kesal dan menoleh ke arah belakang. Sebuah mobil mazda cx8 grey metalik yang rasanya familiar, menepi di sampingku. Kacanya turun dan di dalamnya ternyata ada sosok seorang lelaki yang menoleh sekilas tanpa senyum. Aku kenal dia, lelaki yang mungkin usianya seumuran pamanku itu tak lain adalah Pak Adrian. “Ke depan jauh. Ayo naik!” Aku diam, sedikit kikuk kalau berhadapan dengan dia. Jujur, wajahnya memang ganteng, tapi usianya yang memang sudah matang, cukup membuatku segan. “Bapak habis dari mana?” Aku basa-basi, sambil mikir mau bicara apa lagi. “Dari rumah teman.” Dia menjawab singkat. Aku memaksakan buat senyum. “Ayo!” Suaranya bukan ngajak, tapi lebih ke nyuruh. “Ahm, iya, Pak. Hmmm s—saya d—duduk di belakang atau depan, Pak?” Aku gugup, bingung mau duduk di mana. “Di Jok.” Eh, jawabannya diluar perkiraanku. Aku hanya nyengir kuda, takutnya dia setengah ikhlas ngasih ngasih tumpangan. Ya sudah kubuka saja pintu belakang. Bingung kalau duduk di depan dan segan juga. Dia tak komentar. Segera kututup dan mobil dan duduk pada dengan jok yang terasa empuk ini. “Duh, empuknya. Kapan aku punya mobil yang joknya empuk kayak gini?” Hanya bicara dalam hati. Mana berani aku ngomong kayak gitu di depannya. Aku duduk dan asik memandangi ke jendela mobil, melihat rumah-rumah yang mulai bergerak seperti berlari, dan kerlip lampu tepi jalan yang sebagian redup cahayanya. Tak ada obrolan. Pak Adrian fokus pada setirnya dan aku fokus dengan pikiranku sendiri. Aku menyandar dan memejamkan mata, sesekali narik napas panjang. Ruwet banget kalau inget Ayah akan menjual rumah. Lalu kami akan tinggal di mana? Ataukah aku terima saja perjodohan ini? Beraaat! Aku yang masih delapan belas tahun lebih sedikit, harus mikir urusan orang tua seperti ini. Otakku gak sampe, huft. “Sudah sampai!” Suara Pak Adrian kudengar, mobil pun sudah berhenti di depan rumahku. “Eh, kok sudah sampai?” Spontan kalimat itu keluar. “Bener kan ini rumah kamu?” tanyanya, kulihat dari kaca penumpang alis tebalnya hampir menyatu. “Iy—Iya, Pak. Kok Bapak tahu rumah saya?” Aku yang masih melongo, mengangguk cepat. Wajahku mungkin kelihatan bingung. Hening, dia tak menjawab. Aku pun masih diam karena masih mikir, kok Pak Adrian tahu rumahku, ya? “Gak turun?” “Ah, iya, Pak. Makasih, Pak.” Segera aku buka pintu mobil dan mengangguk sekali lagi, “Makasih.” Mobil melaju. Dia tak menjawab ucapan terima kasih dariku. Apa dia gak ikhlas nganterin aku? Lalu, kenapa harus nganterin kalau gak ikhlas? Orang tua yang aneh. Aku lantas masuk dan segera menutup pintu. *** Hari kedua pun datang, pikiran makin mumet gak karuan. Aku berangkat kerja dengan wajah murung. Benar-benar tak semangat. Pikiranku masih ruwet dan tak bisa tidur dari semalam. Kerja, pun tak fokus. Beberapa kali salah jawab harga, beberapa kali salah ambil model baju yang diminta pelanggan. Apa solusi yang tepat? Apa aku bisa nego sama ayah yang menyebalkan itu. Apa aku iyakan saja perjodohannya dengan syarat ayah membuat surat pernyataan kalau rumah harta gono-gini itu akan tetap jadi milikku dan Cita? Lalu aku mengaku hamil saja pada lelaki itu agar dia ilfeel dan tak akan jadi nikahin aku atau pura-pura gila saja? Ah, konyol sekali ide ini rasanya. “Nagita!” “Astaghfirulloh!” Aku sampai terperanjat. Suara Bu Ajeng membuatku kaget luar biasa. Tumben sekali dia memanggilku dengan keras seperti itu. Baru saja tadi pelanggan pergi dan aku sedang duduk sekarang. Kedua tangan bertumpu pada meja dan memandang ke depan. “A—Apa, Bu?” Aku mendongak dan menatap wajahnya. “Kamu kenapa, Gita? Dari kemarin kayaknya banyak pikiran? Ibu tanya tadi, paketan pesanan online sudah dikirim belum?” Suaranya kembali lembut seperti biasa. “Oh, iya, Bu! Belum. Astaghfirulloh … saya lupa belum telepon lagi kurirnya suruh ambil. Baru info doang ada paket kemarin.” Aku segera meraih gagang telepon, lalu menghubungi kurir langganan yang biasa ngambil ke sini. Bu Ajeng berdiri menungguku, seolah memastikan kalau aku mengerjakan tugas itu hingga tuntas. Setelah selesai, aku tersenyum dan menatapnya lalu laporan. “Sudah kelar, Bu. Maaf.” “Makasih ya, Gita. Hmmm … Kata Rian, semalam bertemu kamu di jalan?” Bu Ajeng menatapku. “Iya, Bu.” “Habis dari mana?” “Dari rumah paman, Bu.” Aku tersenyum. Meskipun senyuman palsu. Senyuman yang sebetulnya gak ada bahagia-bahagianya. “Oh, ada perlu?” Bu Ajeng kok selalu kepo, ya? Aku hanya mengangguk. Dia terdiam lalu tampak berpikir. “Apa kamu lagi ada kesulitan masalah uang?” Aku melongo, bisa-bisanya nebak ke sana. Ah, iya pastinya pikiran Bu Ajeng ke sana. Aku kan pernah cerita kalau Ibu hanya kerja di toko sembako. Lalu aku hanya menggeleng. Ingin cerita, tapi sungkan. “Ibu gak biasa lihat kamu seperti ini, Gita. Boleh cerita ke Ibu masalah kamu apa, siapa tahu bisa bantu.” Tatapannya membuatku termangu. Apa aku bisa cerita saja padanya, ya? Masih bingung. Cerita enggak, cerita enggak? “Ya sudah … Ibu gak maksa. Kalau kamu ada kesulitan, cerita saja, ya!” Bu Ajeng menepuk bahuku, lalu pergi gitu saja. Kuhela napas kasar. Kenapa sih gak berani cerita? Kayak ragu banget karena Bu Ajeng kan orang lain. *** Hari ketiga. “Gita, apa ini?” Bu Ajeng menunjukkan review pada marketplace tentang gamis yang aku kirim. [Saya kecewa sekali, yang saya pesan warna grey, tapi yang datang cokelat.] Rate bintang dua, akhirnya tersemat untuk pertama kali. “Astaghfirulloh, Bu. Maaf.” Aku mengusap wajah. Bu Ajeng duduk dan menatap lekat. “Dari kemarin, Ibu tanya. Kalau ada masalah, cerita sama Ibu. Kalau seperti ini, lihat … akibatnya merembet ke mana-mana, kan? Bukan hanya pelanggan yang kecewa, Ibu juga.” Suaranya lembut, tetapi rasanya menusuk. “Maaf, Bu.” Aku memainkan jemari sambil nunduk. “Semua ini tidak akan selesai kalau kamu hanya minta maaf.” Bu Ajeng pergi begitu saja. Satu titik air mataku luruh. “Ibu, tunggu!” Suaraku bergetar. Antara rasa bimbang, takut dan malu. Bu Ajeng berhenti, lalu menoleh dan memberi senyuman padaku. “Ya?” Satu kata, tapi nadanya pertanyaan. Aku menunduk, rasanya malu mau cerita. Aku di sini baru enam bulan kerja dan tiba-tiba harus cerita masalah keluarga. Nanti takutnya malah dianggap gak professional dan cengenge. Hmmm, tapi memang aku cengeng, sih. Dari semalam nangis terus. “Ahm … apa Ibu tahu tentang harta gono-gini?” Aku bertanya padanya. Bu Ajeng menautkan alis dan menatapku dengan tatapan bingung. “Harta gono-gini?” Dia mendekat dan mengajakku duduk pada sofa yang ada. “Iya.” Aku mengangguk, masih ragu sebetulnya. “Jadi, apa sebetulnya kamu itu sudah nikah?” Eh, kok pertanyaannya jadi gitu. Aku nyengir kuda sambil garuk-garuk meski tak gatal. “Anu, Bu. B—Bukan gitu. Ini harta gono-gini Ayah dan Ibu saya. Apa benar, misal Ayah saya mau jual rumah yang kami tinggali itu, bisa? Padahal di rumah itu masih ada saya, ibu dan adik saya yang tinggal?” Bu Ajeng tampak terkejut. “Loh, Kok? Kenapa dijual?” “Dua hari yang lalu, ayah ke rumah. Dia mau bawa saya dari Ibu. Mau dijodohkan sama orang kaya. Ibu gak mau kasih, takutnya saya malah dijual. Tapi Ayah malah ngancem, kalau saya gak mau terima perjodohan itu, dia akan jual rumah yang kami tinggali. Maaf, Bu. Karena mikirin ini, saya dari kemarin gak bisa fokus. Saya bingung, kalau saya nolak, nanti kami akan tinggal di mana? Buat makan saja susah, apalagi buat beli rumah, mana mampu, Bu.” Aku menatap takut-takut. Bu Ajeng tampak menarik napas. Wajahnya yang tadi terkejut, kini malah terlihat cerah. Apa dia senang melihat karyawannya susah? “Ibu ada satu cara biar kamu gak dijodohkan oleh ayahmu itu dan kamu serta ibu dan adik kamu, bisa tetap punya tempat tinggal.” Wajahnya terlihat serius. Aku menegakkan duduk dan menatap Bu Ajeng dengan sebuah harapan. “Gimana, Bu? Gimana caranya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD