BAB 3

1060 Words
“Anak, kamu bilang dia anakmu, Mas? Kenapa baru sekarang kamu mencarinya? Waktu kami terseok-seok gak ada duit buat biaya sekolah, kamu ke mana? Waktu Nagita nunggak iuran sampe berbulan-bulan, kamu ke mana? Sekarang, giliran Gita sudah kerja, seenaknya kamu datang dan mau bawa dia! Seenaknya mau kamu jodohkan dengan lelaki yang bahkan aku gak kenal dia siapa?! Enggak, Mas! Gita gak akan selangkahpun pergi dari sini! Bagi kami, semenjak kamu memilih pergi bersama perempuan ini! Kamu sudah kami anggap mati!” Kudengar suara Ibu bergetar. Pedih, perih dan tampak penuh kemarahan. “Ck, masih saja kamu itu keras kepala, Ning! Padahal aku kurang baik apa, bahkan aku tak meminta harta gono gini dan masih membiarkan kamu menempati rumah ini. Namun, ternyata kamu masih sombong dan besar kepala seperti dulu. Kalau kamu mau itung-itungan, oke! Berkeraslah dengan sikapmu itu dan bersiaplah kamu angkat kaki dari rumah ini! Aku akan menjualnya dan mengambil bagianku.” “Kamu benar-benar gak punya hati, Mas!” “Kamu yang gak tahu diri, Ning!” Suara ayah dan Ibu terdengar bersahutan. Aku masih mematung ketika terdengar suara asing menimpali. Suara seorang perempuan yang kuyakini dialah perempuan yang sudah membuat ayah membuang kami. “Mbak Ning! Kami datang ke sini dengan baik-baik. Maksud kami juga baik. Kami hanya ingin menjemput Nagita untuk tinggal bersama kami. Kami memikirkan masa depan Nagita juga, Mbak. Lelaki yang dipilih oleh Mas Nanang itu dari kalangan atas, sudah jelas bebet, bibit dan bobotnya. Saya yakin, kalau Nagita tetap tinggal di sini, jodoh yang akan datang juga pasti hanya dari kalangan bawah. Apa Mbak Ning gak ingin kalau Nagita hidup kaya. Gak susah lagi seperti sekarang?” Suaranya terdengar lembut. Namun, bagiku terasa menyakitkan. Kelembutan itu hanya ada pada suaranya, tidak dengan hatinya. Hening, tak ada terdengar lagi Ibu menjawab. Aku masih mematung sambil mengatur napas turun naik. Ingin rasanya datang dan mengatakan pada perempuan itu, kalau dia tak berhak menentukan hidupku. Namun, rasa benciku pada lelaki yang sudah mencampakkan kami membuatku hanya mematung di teras rumah dan mendengarkan semuanya. Aku tak mau bertemu dengannya. Lelaki yang hanya punya gelar ayah, tetapi tak bec*s menjadi ayah yang sesungguhnya. “Iya, Ning! Apa yang dikatakan Ratri itu benar. Aku hanya ingin Nagita hidup berkecukupan. Lelaki yang kupilih bukan sembarangan. Dia kaya raya dan memiliki perusahaan.” “Cukup, Mas! Andai ucapan itu muncul dari mulut seorang ayah yang bertanggung jawab, mungkin aku bisa percaya. Aku juga bisa membujuk Nagita untuk mengikuti usulan kalian. Namun, mengingat hanya kenangan pahit yang pernah kau torehkan, aku tak percaya. Bisa saja kamu mau mengambil Nagita dan menjualnya pada orang kaya itu. Bisa saja dia hanya dijadikan istri simpanan dan kalian yang mengambil keuntungan dari pernikahannya! Sekarang, silakan pergi! Pintu rumah ini terbuka lebar!” Aku menarik napas berulang meredam gejolak dalam d**a. Kutahu, Ibu tengah berusaha mengendalikan semua kemarahannya. “Ck, keras kepala! Jangan salahkan aku kalau rumah ini akan kujual! Rumah ini harta gono-gini. Aku berhak setengahnya dan bersiaplah kemasi barang-barang kamu kalau masih gak mau dengar permintaanku.” Kudengar suara lelaki itu penuh penekanan. Ayah tetap memaksa. “Mas, apa tak sebaiknya kita berikan satu kesempatan lagi pada Mbak Ningsih. Mungkin dia masih bingung mau memutuskan. Aku gak tega kalau mereka harus kehilangan tempat tinggal, Mas.” Suara perempuan yang terdengar mendayu itu menimpali. Cih, kutahu niatmu pasti busuk. Kurasa Ibu benar, mereka ingin menjualku pada orang kaya itu. “Lihat, Ning! Betapa mulianya hati Ratri. Bahkan dia masih mikirin kalian walau kamu sudah nuduh kami yang bukan-bukan. Jadi, tolong pertimbangkan sekali lagi. Kuberi waktu tiga hari, ya! Tolong pikirkan!” Hening, Ibu tak kudengar lagi menjawab. “Mbak Ning! Kami pulang dulu. Tiga hari lagi kami akan ke sini! Tolong bilang pada Nagita sekalian kalau kami mau ketemu. Sampiakan padanya, lelaki yang akan kami jodohkan itu dari keluarga kaya raya. Gak mungkin akan ada lelaki sekeren dia yang bisa Nagita dapetin di kampung kecil seperti ini. Jadi tolong pertimbangkan.” Aku bergegas melipir ke samping rumah dan setengah berlari menuju pintu dapur karena kuyakin kalau ayahku dan perempuan itu akan segera keluar. Aku tak mau bertemu dengan orang-orang yang sudah menyakiti hidupku. Ayah tergoda dengan perempuan itu karena dia kaya raya. Profesinya sebagai supir pribadi naik langsung jadi menantu keluarga itu. Kata Ibu, perempuan itu naksir Ayah dan menjanjikan hidup mewah, hingga akhirnya, Ayah membuang kami. Deru napas turun naik ketika dari celah pintu samping kulihat mobilnya menjauh. Aku luruh di balik pintu dapur dan memeluk lutut. “Ayah ….” Sakit, sakit sekali. Rupa wajahnya masih terbayang jelasi ketika dia memuji nilaiku yang dapat tinggi. Masih teringat tatap mata hangatnya ketika mengantarku sekolah pagi-pagi. Betapa aku bangga memperkenalkannya pada teman-temanku dulu. Ayahku yang dulu diomongin tetangga karena tak memiliki pekerjaan tetap, akhirnya bisa jadi sopir pribadi yang gajinya lumayan. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Kebahagiaan itu ternyata hanya sesaat saja, bahkan setelahnya datang duka yang lebih menyedihkan. Ayah mulai jarang pulang, hingga akhirnya dia datang dengan perempuan tak punya hati itu dan meminta Ibu tanda tangan pada sebuah surat izin pernikahan. Dia bilang, Ayahku sudah menghamilinya dan mereka harus menikah. Aku yang waktu itu masih harus belajar, pada akhirnya harus turut memikul beban. Akulah yang menjadi saksi betapa bermalam-malam, Ibu hanya mampu menangis dan meratapi nasibnya. Aku yang seringkali mengintip dia dari balik kelambu ketika tiap malam tangisnya pecah. Aku yang menyaksikan betapa terlukanya dia dan pada akhirnya menyerah. “Gita? Sudah pulang, Nak?” Suara Ibu yang terdengar bergetar membuatku pada akhirnya mengangkat wajah. Air mataku sudah menganak sungai. Gegas berdiri dan berhambur memeluknya. Kutumpahkan semua rasa sesak dan tangis ini dalam pelukannya. “I--Ibu.” Aku memeluknya erat. Menahan agar tangis ini tak menjadi isak. Namun aku kalah, air mata yang mengucur ini begitu deras, menggambarkan betapa ada luka yang terhujam begitu dalam di dalam relung d**a. Ibu tak menangis. Dia hanya diam dan membiarkanku mengeluarkan semua kekesalan dan rasa tak berdaya ini dalam deraian air mata. Beberapa menit berlalu, hingga tangisku mulai mereda. Ibu mengajakku duduk di ruang tengah dan menatapku lekat. “Apa kamu mendengar semuanya?” Ibu menelisik. Aku mengangguk sambil menyeka sisa-sisa air mata. “Lalu, menurutmu bagaimana? Sebetulnya Ibu tak setuju. Takut jika mereka hanya memanfaatkanmu. Namun, Ibu pun tak akan bisa menghalangi jika kamu pun ingin mengambil perjodohan itu. Ibu sadar, Ibu tak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk kalian.” Suaranya terdengar pasrah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD