Bab 2

1017 Words
“Iya Zen, ada perlu apa? Bilang saja.” Buk Nisa kini fokus pada Zen, memperbaiki posisi duduknya. “Zen boleh gak Bu? Melihat tugas puisi semua anak kelas 2.” Buk Nisa kebingungan. “Untuk apa Zen?” “Gak boleh Bu?” Zen memasang ekspresi memelas, berharap diizinkan. “Boleh saja, tapi untuk apa dulu?” tanya buk Nisa kembali. “Zen cuman pengen baca puisi saja Buk.” Zen menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tertawa cengengesan. Buk Nisa menghela nafas. Membuka laci mejanya. “Ini.” Buk Nisa menyerahkan setumpuk kertas pada Zen. “Kamu ada-ada saja Zen, daripada baca puisi ini, lebih baik kamu belajar saja di kelas.” Buk Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan siswinya satu ini. “Kalau sudah selesai, letakkan kembali ke laci Ibuk ya? Puisi dari anak IPS juga masih ada di dalam laci, kalau semuanya sudah selesai kamu baca, silahkan rapikan kembali ya Zen, sekalian rapikan meja Ibuk. Haha.” Buk Nisa menunjuk mejanya yang berceceran banyak buku-buku paket dan buku catatan murid. “Ibu mau ke kelas 3 dulu. Kamu tadi keluar udah minta izin kan?" tanya buk Nisa memastikan, curiga jika Zen bolos. "Udah Buk!" Zen tersenyum lebar, menutupi kebohongannya rapat-rapat. Mana ada dia minta izin sama guru saat keluar di jam masuk. Puisi pertama dari anak kelas IPA 1, yang tidak lain adalah kelas Zen. Zen membaca sekilas, langsung men-skipnya, karena Zen tau kualitas teman sekelasnya yang lebih jago berhitung dan menghafal rumus fisika matematika daripada merangkai puisi. 101 puisi yang sudah dibaca Zen. Zen menghela nafas. Tidak menemukan tulisan yang sama dengan penyair favoritnya. Dari bentuk penulisannya saja Zen langsung tau mana yang amatir, mana yang asal jadi, mana yang sudah berusaha, dan mana yang memang bisa menulis puisi— walau tidak memuaskan bagi Zen. Zen memasukkan kembali semua lembar tugas anak IPA ke dalam laci buk Nisa. Zen mulai merapikan meja buk Nisa, berniat meninggalkan ruang guru. Zen baru ingat, masih ada tugas puisi anak IPS yang belum dibacanya, Zen kembali duduk, membuka laci, mengeluarkan semua lembar tugas puisi anak IPS, mulai membaca. 25 Mei Zen tersentak kaget, ini gaya penulisan penyair favoritnya, di setiap puisinya pasti selalu diawali dengan tanggal dan bulan lebih dulu. Zen deg-degan, takut-takut jika dugaannya kalau penyair favoritnya sekolah di tempat yang sama dengannya, bahkan satu tingkat. Zen menghela nafas, melanjutkan membaca puisi di dalam hati. Bulu-bulu burung berjatuhan dari langit, entah ada perihal apa sampai terjadi fenomena hujan putih itu Zen tersenyum senang, ini benar puisi dari penyair favoritnya. Ada 2 kesamaan dalam puisinya, pertama selalu diawali dengan tanggal dan bulan, kedua, pasti akan selalu ada tertulis kata warna, warna apa pun itu. Zen lanjut membaca puisi yang ada di kertas yang dipegangnya saat ini. Secarik senyum terukir di wajah kusamku yang selalu menampakkan ekspresi masam. Namun sayangnya… fenomena hujan putih itu cepat berlalu, berganti jadi fenomena jingga, sebab sang surya sudah mau tenggelam. Aku saja yang tidak pernah tenggelam dalam hasrat untuk melupakanmu, cinta putihku. Cinta suciku. Zen melompat kegirangan, menyimpan lekat-lekat nama penulis puisi yang merupakan anak kelas 11 IPS 2 itu di dalam memorinya. Zen memasukkan segera semua lembar tugas anak IPS ke dalam laci buk Nisa, menguncinya. Zen langsung ke kelas, bersenandung riang. Tak sabar ingin segera menemui pujangga favoritnya setelah pulang sekolah nanti. oOo “Zen, mau kemana?!” sorak Andin yang sedang melepas ikat rambutnya. Bel pulang sudah berbunyi, Zen tidak sabar ingin ke kelas 11 IPS 2, bertemu dengan laki-laki bernama Ardio Faster, seorang penyair milineal favorit Zen. “Aku mau—” Sebelum Zen menyelesaikan kalimatnya, Andin sudah lebih dulu menyodorkan kemoceng pada Zen. “Ingat! Ini jadwal piketmu.” Zen menghela nafas. “Baiklah-baiklah, aku akan piket.” Zen menggerutu, tidak ingat bahwa hari ini jadwal piket kelasnya. Zen takut Ardio keburu pulang. Setelah 5 menit berlalu, Zen langsung menarik tangan Andin, menyerahkan kemoceng. “Aku duluan ya!” Andin langsung menarik tas Zen. “Kemarin aku sudah buang sampah, Friska juga sudah lusa kemarin, sekarang giliran kamu.” Zen kembali menggerutu. Mau tak mau membawa sekantong plastik berisi robekan-robekan kertas punya teman sekelasnya. Andin dan Friska, yang satu jadwal piket kelas dengan Zen sudah pulang, membiarkan Zen menyelesaikan kewajibannya sendiri. Setelah selesai membuang sampah, Zen langsung berlari ke kelas 11 IPS 2, berharap Ardio, laki-laki yang dicarinya, penyair favoritnya masih ada di kelas. “Ardio… Ardio… Ardio Faster.” Zen selalu menggumamkan nama Ardio. Berlari. Seorang laki-laki dengan jaket hitam keluar dari kelas yang mau dikunjungi Zen. Zen menghentikan langkahnya. Ragu-ragu, menyebut pelan nama Ardio. “Ya?” Zen tersontak kaget, ternyata laki-laki yang ada di depannya saat ini benarkah laki-laki yang dicarinya. ‘Jodoh memang gak bakal kemana’ bathin Zen. “Ardio! Aku menyukaimu!” Zen tersontak kaget dengan ucapannya sendiri, tidak sadar bahwa kalimat itu keluar dari mulutnya. ‘Ya sudahlah, tidak masalah juga’ Langkah laki-laki bernama Ardio itu langsung terhenti, dia menoleh ke arah sumber suara dengan ekspresi kaget. “Maaf… bisa ulangi lagi ucapan lo?” tanya laki-laki bernama Ardio itu. ‘Wah, sepertinya dia suka padaku’ bathin Zen senang. Hanya dengan masalah seperti ini saja, Zen tidak bisa mempergunakan otak pintarnya itu. Zen menganguk, mengatur nafasnya yang masih tersengal. “Ardio Faster, aku Zyantia Verila mencintaimu!” Ardio itu menatap sinis Zen, “Maaf… Gue gak kenal sama lo. Bye,” ucap Ardio sambil membalikkan tubuhnya dan kembali melanjutkan perjalanannya. Zyantia Verila, cewek tercantik dan terpintar se-SMA Darma Nasional ini malah ditolak mentah-mentah oleh seorang laki-laki yang bahkan sama sekali gak terkenal, udah syukur ada satu dua orang yang kenal sama tuh cowok. Jelas sudah Zen mendesis sebal, untung saja tidak ada murid-murid yang berjalan di lorong itu. Kalau ada mau dikemanain tuh wajah cantiknya Zen. “Hei Ardio! Hari ini kamu boleh mengacuhkanku! Liat saja besok! Aku akan membuatmu tidak bisa berkutik di depanku!" sorak Zen dengan lantang. Penuh percaya diri. Zen sampai lupa dengan tujuannya yang hanya ingin berkenalan dengan penyair favoritnya, bukan untuk menyatakan cinta sampai ditolak mentah-mentah. Ardio tidak menghiraukan ancaman Zen, dia terus melanjutkan langkahnya tanpa menoleh kebelakang sedikit pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD