4.Melihat Majikan Pacaran

813 Words
Ririn sedang berlatih menggerakkan kakinya yang terasa sangat berat. Betapa ia begitu rajin melakukan fisioterapi dan terapi lainnya di sebuah rumah sakit, agar kakinya bisa kembali digerakkan. Namun, sudah hampir sepuluh bulan berlatih, kakinya masih saja terasa berat. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain duduk, tidur, makan, nonton, membaca, dan melamun. Kasihan dengan Dira, bayi berumur sepuluh bulan itu yang perlu perhatian lebih dari dirinya. Tetapi, sekeras apapun ia mencoba, namun tetap kakinya tidak bisa digerakkan. Jangankan untuk ke kamar mandi, untuk menggeser kakinya saja ia terkadang meminta suaminya. Bagaimana ia bisa melaksakan kewajibannya sebagai istri, jika menggeser tubuhnya saja ia tidak bisa. "Melamunkan apa, Sayang?" tegur Arya yang baru saja keluar kamar mandi dengan tubuh segar dan harum sampo serta sabun yang begitu menggoda indera penciuman. "Suamiku tampan sekali kalau habis mandi, segar," pujinya sambil tersenyum lebar. "Masa sih?" kini Arya berjalan ke arah sang istri, lalu mengecup keningnya penuh sayang. "Ganteng mana, kalau ininya dibuka." Arya membuka handuknya, bermaksud menggoda sang istri. "Ish, Papa. Apaan sih? Malu," ujar Ririn sambil menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. "Bukannya ini pose favorit Mama," bisik Arya lagi sambil melepas kedua tangan sang istri yang saat ini menutupi wajahnya. Cup... Arya mengecup bibir sang istri begitu lembut, bahkan sangat lembut hingga Ririn terbuai dan tersulut nafsunya. "Pa, gak bisa," lirih Ririn mencoba melepaskan diri dari suaminya. Berat ia membuang pandangan. Benar-benar ia tidak bisa memenuhi kebutuhan batin sang suami. Dengan tubuh telanjangnya, Arya masih mengungkung Ririn di sandaran ranjang. Menatap wajah sang istri yang kini bercucuran air mata. "Tuan, ini... Aaaarrg!" jerit Laili saat membuka pintu kamar majikannya yang tidak tertutup rapat dan salahnya juga tidak mengetuk dahulu sebelum membuka pintu kamar itu. Laili lari tunggang-langgang bagai melihat setan, bahkan ia melemparkan celana santai kotak-kotak yang tadi diminta Arya untuk disetrika karena akan dipakai. Ia syok dengan pemandangan tujuh belas tahun ke atas. Arya dan Ririn saling pandang. Wajah keduanya pucat saat Laili memergoki mereka dalam pose seperti ini. "Papa tadi ga tutup pintu rapat ya?" "Iya, Ma. Papa lupa." Arya memakai kembali handuknya lalu memungut celana santainya yang tergeletak di lantai depan kamar. Dengan cepat Arya memakainya, begitu juga dengan baju kaus yang dia ambil di dalam lemari.  "Pasti Laili kaget, Pa. Ha ha ha ... Papa sih!" Ririn terbahak, apalagi kini ekspresi suaminya tengah menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan wajah merona. **** Laili lari terbirit-b***t ke kamarnya. Jantungnya berdegub begitu kencang. Tangan dan kakinya gemetar. Pemandangan yang seharusnya tidak boleh ia lihat, kini ia lihat semuanya, ya...catat. Semuanya ia lihat dengan jelas.  "Ya ampun, sial banget sih!" gerutu Laili sambil menggaruk kasar rambutnya. "Aduh, mataku ternoda. Tak perawan lagi," Laili menggosok kasar matanya. Merasa semakin tak tenang, Laili memutuskan untuk ke kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari dapur.  Karena tergesa dan tidak memperhatikan langkahnya, Laili tersandung karpet dapur. Buugh "Eh... " hampir saja Laili terjerembab di lantai jika tidak ditahan tubuhnya oleh Arya. "Mau ke mana buru-buru?" tanya Arya sambil melepaskan pegangan tangannya pada Laili. "M-mau cuci muka, Tuan." "Kenapa muka kamu?" "Itu, tadi biar yang saya lihat di atas ti..." "Ha ha ha ... jadi kamu lihat semua?" "I-iya." "Kapan kamu selesai Ujian Nasional?" "Dua hari lagi, Tuan." "Kalau begitu, pekan depan kita menikah."  "Hah? t-tapi... Tuan! Tuan!" teriak Laili cukup keras, namun Arya tidak menoleh, kaki ya ringan melangkah naik ke lantai dua sambil membawa sepiring ubi rebus yang disediakan bibik untuk istrinya. Lelaki dewasa itu terkekeh geli. Laili sungguh polos, pikirnya. Sedangkan gadis remaja yang bernama Laili hanya bisa mengdengkus kesal, ia terus saja menghentak-hentakkan kakinya karena begitu sebal dengan majikan lelakinya ini. **** Pagi hari, seperti biasa selalu repot dengan tiga anak yang sangat aktif. Ditambah dua orang majikan Laili yang sama repotnya dengan ketiga anaknya. Pagi sekali, Laili sudah memasak air mandi untuk Nyonya Ririn, dilanjut dengan memandikan Dira, bayi sepuluh bulan Nyonya Ririn. Untunglah ada bibik yang membantu Anes mandi dan berpakaian, dilanjut memasak sarapan. Sedangkan Doni sudah lebih mandiri. "Permisi, Nyonya. Saya mau berangkat lebih dulu," pamit Laili pada Ririn dan Arya yang sedang menyantap sarapan bihun goreng. Laili berbicara sambil menunduk, tidak berani ia melihat ke arah Arya. "Diantar Tuan Arya ya," sahut Ririn. "S-saya sendiri saja, Nya. Gak papa. Pakai sepeda Doni." "Sepeda Doni rusak, belum diperbaiki. Kamu berangkat sama saya saja. Sayang, aku duluan gak papa'kan?" ujar Arya pada sang istri. Laili tidak bisa menolak, saat sang majikan wanitanya kini mengangguk senang. Seringainya begitu lebar, saat melepas kepergian sang suami dengan calon madunya. Jika semua wanita sakit hati saat suaminya ingin menikah lagi, lain hal dengan Ririn. Wanita itu sepertinya sangat senang, bahkan dengan sengaja memberikan kesempatan pada suaminya. Keluarga yang aneh! Itu yang terbersit di hati Laili saat ini.  "Kenapa diam saja? Sariawan?" "Eh, nggak kok, Tuan." "Masih memikirkan yang semalam? Udah jangan dipikirin, minggu depan juga pasti lihat." Huk! Huk! Huk! Laili tersedak ludahnya sendiri. ~Bersambung~       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD