“Mmm..” Rhe bingung.. Ia tergoda, tapi..
Barra tersenyum menatapnya, “Aku tidak akan menerkammu atau apa. Makan malam biasa saja. Aku hanya ingin bertemu denganmu sebagai kamu, bukan Inka atau siapapun. Di benakku, kamu perempuan yang mengesalkan. Just to make my head clear!” Rhe diam-diam tersenyum, “Baiklah.. Besok malam.. Kabari aku dimana..”
Rhe mengenakan jaketnya. Sedikit sulit karena ternyata luka di tangan kanannya agak menyakitkan. Baru ia rasakan sekarang. Barra dengan sigap membantunya mengenakan jaket itu..
“Terima kasih..” Rhe menatapnya dan tersenyum. Barra membalas tatapannya dan ikut tersenyum.
“Aku pergi..” Rhe berbalik dan membuka pintu ruangan itu. Barra hanya mengangguk. Pintu pun terbuka dan sosok Rhe menghilang dari pandangannya.
Barra menarik nafas panjang, mencoba mengatur degup jantungnya yang tak beraturan. Ada apa dengan dirinya? Apa yang merasukinya sehingga mengajak detektif itu makan malam? Barra memejamkan matanya dan duduk di kursi kerjanya. Ia termenung dan memutar-mutar kursi itu.. Aneh, sungguh aneh..
Lalu, alasannya? Apa detektif itu menerima alasannya begitu saja? Barra hanya tertawa.. Ia sendiri pun bingung, kenapa ada dorongan untuk mengajaknya kembali makan malam berdua?
Apa yang ia ungkapkan memang betul. Barra ingin menjernihkan pikirannya.. Mereka berdua mungkin akan sering bertemu gara-gara kasus ini. Bagaimana mungkin bisa bekerjasama dengan pikiran jelek yang mengganggunya soal perempuan itu di benaknya? Jadi semua ini harus clear.. Tapi, dinner? Berdua? Apa ini tepat?
Crazy! I’m crazy!
Barra hanya menggelengkan kepalanya. Ah sudahlah, just think of her as a colleague.. Tak berapa lama, bunyi ponsel menyadarkannya.
Ada telepon dari DAVINA JAYANTI, rekannya sesama dokter yang juga teman kuliahnya dulu. Mereka terbilang cukup dekat, hanya saja jarang bertemu karena memang Vina bertugas di rumah sakit yang berbeda.
Barra,” Halo..”
Davina, “Aku ada kabar berita. Tebak?”
Barra, “Apa? Kamu tahu aku tidak suka menebak.”
Davina, “I know, tapi jangan ketus begitu. Ini berita bahagia.. Mulai minggu depan, aku praktek di RSHN!”
Barra, “Woow.. Kamu Head of Psychiatry Clinic yang baru? Aku mendengarnya kalau ada pengganti dokter Benny yang pensiun.”
Davina, “Yes betul.. I treat you! Kita dinner ok?“
Barra, “Kita lihat nanti.. Btw, congrats!”
Davina, “Thanks! Tidak sabar ketemu kamu..”
Barra hanya tersenyum.. “Tidak ada yang baru denganku.. Sama saja..“
Davina, “Miss you buddy!”
Barra kembali tersenyum, “Ok, see you..”
Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dokternya dan melangkah menuju Trauma Center.
***
Sambil melangkah keluar dari ruangan Barra, Rhe mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan pada Inka.
Rhe : Kabari aku kalau urusanmu selesai! Ini urgent..
Inka : Ok, ini masih meeting. Wait sis..
Rhe menyimpan ponselnya di saku jaketnya. Tangannya terasa perih, sepertinya gara-gara kawat tadi. Sekilas Rhe melihat tadi memang tangannya terluka cukup dalam.
Tiba-tiba bayangan wajah Barra yang begitu telaten mengobati lukanya berkelebat di pikirannya. Hmm.. Rhe dengan reflek memukul-mukul kepalanya… Hilang kau!
Ia berjalan melangkah keluar dari rumah sakit dan bergerak menuju kantor polisi. Rhe harus membahas kejadian ini.
Setibanya di kantor polisi, Galang terlihat sedang membaca sesuatu di layar komputer. Rhe menghampirinya, “Apa?’ Galang menoleh, “Ini soal Nehan. Dia serius hilang ditelan bumi. Bang Damar sudah datang ke rumah orangtuanya dan mereka tidak tahu Nehan kemana. Lalu, jalur penerbangan luar negeri ataupun domestik tidak ada issue ticket atas nama Nehan Prambudi.”
“Nehan ternyata satu agency dengan Clara, dan Gavin pun mencarinya. Tidak ada kabar,” Galang hanya geleng-geleng kepala. “Kemana dia?”
“Sepertinya kita harus bicara dengan Gavin hari ini, bagaimana?” Rhe meminta pendapat Galang. “Setuju, hanya saja, dia sedang panik. Jadi tadi aku diinfo Bang Damar, ada wartawan yang sudah mengendus kejadian ini.”
“Ternyata hari ini ada jadwal promosi film yang seharusnya Clara jalankan. Baik Clara dan Nehan hilang.. Hanya supporting actor dan actress yang hadir. Wartawan tentu saja penasaran.. Tadi, ada dua wartawan dari dua media datang ke sini.. Kapten sudah bilang no comment..” Galang menjelaskan.
Rhe berpikir, “Hari ini sepertinya sudah harus mulai menempatkan polisi berpakaian sipil menjaga kamar Clara. Bagaimanapun dia selain korban juga saksi penting.. Apalagi Bang Damar meyakini, Clara tahu sosok SHOWMAN. Belum lagi kalau wartawan sudah mengendus keberadaan Clara.. Bisa gawat..”
Galang mengangguk, “Setuju..” Rhe lalu menatap Galang tajam, “Dan, tadi di rumah sakit, ada yang aneh. Aku melihat sosok orang mengenakan hoodie hitam. Aku memperhatikan, tanpa kecurigaan apapun awalnya, tapi ternyata orang itu sepertinya merasa sedang diperhatikan, dan langsung lari.”
“Akhirnya berkejaran.. Tapi dia menghilang di lorong sempit dekat jalan samping di area jalan utama rumah sakit. Nama jalannya, Jalan Kenari. Aku kehilangan dia..” Rhe menyesalinya. Galang mengerutkan keningnya, “Hmm.. Ini aneh, apa itu Nehan?”
“Rasanya tidak mungkin itu Nehan.. Aku belum pernah ketemu dia.. Jadi kenapa lari saat dia tahu aku memperhatikannya?” Rhe berpikir.. “Tapi bisa saja kalau memang dasarnya dia ketakutan..” Galang ikut berpikir.
“Ya kita tidak bisa menghilangkan segala kemungkinan..” Rhe mengangguk.. “Kita ketemu Gavin sekarang?” Galang melihat jam tangannya, “Ini sudah pukul 5 sore, mudah-mudahan suasana kantor sepi. Kita tidak bisa terlalu memperlihatkan diri, kemungkinan banyak wartawan stand by di sana.”
“Ok..” Rhe berdiri, mengajak Galang segera beranjak.
***
Meski hari beranjak malam, suasana kantor agency HD Management itu cukup ramai. Selain wartawan, ada beberapa kegiatan yang berlangsung. Rhe dan Galang susah payah mencoba menyelusup. Mereka naik ke lantai 7, dan melangkah ke kantor Gavin.
Gavin terlihat sedang bicara dengan beberapa orang. Ia pun menyadari kehadiran Rhe dan Galang. Gavin menghampirinya dan berbisik, “Apa dari kepolisian?” Rhe dan Galang mengangguk.
“Ikuti saya,” Gavin bicara pelan. Rhe dan Galang mengikutinya. Mereka pun masuk ke dalam ruang rapat. Gavin menutup pintunya rapat, “Maafkan saya, tapi salah satu orang yang sedang bicara dengan saya tadi adalah fashion editor salah satu majalah. Saya tidak mau media mencurigai dulu apapun soal ini.”
“Tadi beberapa wartawan sudah curiga. Ada yang menghubungi saya.. Tim PR sedang menyusun press release untuk kita siarkan.. Ini kacau.. Clara Nehan, entah apa yang terjadi?” Gavin menutup muka dengan kedua tangan.
“Soal Nehan, ada kecurigaan kenapa dia menghilang?” Rhe mulai bertanya. “Tidak, kemarin saya bahkan menunggunya di depan rumah, hingga dua jam. Ah, ini misteri,” Gavin menjawabnya dengan menggelengkan kepala. “Dia tidak ada masalah apapun sebelumnya..”
“Kapan terakhir kali melihatnya?” Rhe kembali bertanya. “Sehari sebelum kejadian, dia datang ke kantor dan membahas soal ada kontrak kerja untuk serial drama. Dan semua baik-baik saja,” Gavin menjelaskan. “Saya bingung, sungguh bingung. Mereka kenapa?”
“Lalu Clara, bisa cerita? Apa dia ada masalah?” Rhe terus bertanya. Gavin sedikit diam, seakan berpikir harus menjawab apa.. “Hari kejadian. Pagi itu saya ke apartemen Clara. Dia tiba-tiba emosional.. Dia stress.. Film kali ini jadi pertaruhan karirnya. Jadi, dia sangat berharap bisa menjadikan film ini box office.”
“Bukankah Clara memiliki fanbase yang besar? Dan dia juga sukses dengan image yang baik,” Galang bertanya-tanya. “Itu betul, hanya saja, film kali ini berbeda. Ini diangkat dari n****+ terkenal dengan pembaca spesifik. Ada tekanan di media sosial yang meragukan kemampuannya membawakan peran ini. Akhirnya stress.. Ini semua gara-gara media sosial! Saya sudah bilang untuk stop dan biarkan manajemen yang me-manage media sosialnya. Tapi, Clara menolak.”
“Clara stress, itu saya tahu.. Tapi Nehan.. Entahlah..” Gavin menjelaskan. Tiba-tiba pintu ruang rapat ada yang mengetuk. “Masuk,” Gavin meminta orang itu masuk.. Ternyata Ikram, “Bos, ada lagi wartawan yang minta waktu ketemu..” Gavin menghela nafas.. “Saya harus melayani media dulu.. Ini demi keamanan semuanya. Apa sudah?”
Rhe dan Galang mengangguk, mereka berdiri. Tapi, Rhe langsung berbalik, menoleh ke arah Gavin, “Satu pertanyaan lagi, hari itu, malam kejadian, ada dimana?” Gavin menjawabnya tegas, “Rumah.”
Rhe lalu menatap Ikram, “Besok kita bicara, apa bisa ke kantor polisi?” Ikram mengangguk, “Baik..” Mereka pun keluar dari gedung HD Management itu.
“Sekarang, kita mengintai rumah Nehan. Bagaimana?” Galang mengajaknya menuju rumah Nehan. Rhe mengangguk… Galang mulai menggerakkan mobil menuju lokasi rumah Nehan. Mereka parkir di lokasi tersembunyi,
Sekilas, tidak ada pergerakan apapun dari rumah itu. Masih terlihat sepi. Namun, ada yang aneh. Rhe dan Galang saling menatap, mereka kaget melihat pintu gerbang terbuka!