SWY- 6

2202 Words
.Rian. Dalam keheningan malam, suara tangisku mengadu bersama dentuman rindu. Dinding pun tak luput menjadi saksi, bagaimana namamu tersemat indah dalam lisanku. Jika kamu memang jodohku, meski kamu berada di ujung bumi ini. Maka jika sudah waktunya tiba, Allah akan membuatmu sedekat nadi. . . Rian merasa sangat beruntung dalam satu malam dapat kesempatan mengantar Lia pulang, sekaligus dapat nomor ponselnya. Sebenarnya dari informasi yang sudah di cari, Rian sudah dapat kedua hal tersebut, hanya lebih baik jika dengan cara bertahap dan normal hingga Lia tak akan takut dengan caranya ini. Bahagia terasa meletup-letup di hatinya, melebihi dia baru memenangkan persidangan untuk kliennya. Sepanjang jalan juga Lia mau menanggapi obrolan-obrolan ringan yang dibukannya. Meski berakhir dengan tatapan tak suka dari adik laki-laki Lia, kejutan lainnya ternyata sebelumnya Saddam pernah melihatnya di salah satu seminar umum di kampusnya, bahkan sampai tahu namanya. Saddam pasti akan menjadi salah satu tantangan yang harus Rian menangkan saat berjuang mendapatkan hati Lia. “Rian, ada kabar bahagiakah? Kok kamu senyum-senyum sendiri?” Sabtu sore ini Rian berada di tempat Eyang putri, ibu ayahnya. Rumahnya berada di kawasan Lembang, berbeda dengan rumah orang tuanya yang mewah dan megah, di sini Eyangnya yang memang tinggal sendiri hanya bersama beberapa pekerja rumah, memiliki rumah asri, cocok jadi persinggahan di masa senja. “Bahagia banget Eyang.” Dibanding dengan orang tuanya, Rian jauh lebih dekat dan terbuka pada Eyangnya. Sebenarnya jika kantor Rian dekat dari sini, dia pasti sudah pindah tinggal menemani Eyangnya. “Pasti karena perempuan, coba kenalkan pada Eyang.” Rian mendekat, dia duduk di atas permadani di dekat kaki wanita tua itu, Rian merebahkan kepala di pangkuannya demi bisa merasakan usapan lembut di puncak kepalanya. “Rian lagi usaha, doakan Rian bisa segera mengenalkannya pada Eyang.” Bahkan kini Rian sudah membayangkan bagaimana Eyang bertemu dan berkenalan dengan Lia. Wanita lembut dan berparas manis itu pasti mudah memenangkan hati Eyangnya. Walau Rian belum yakin berlaku juga pada orang tuanya. “Perempuan itu sangat spesial, sampai cucu Eyang perlu berusaha keras.” Rian mengangguk, “Dia berbeda dari perempuan lain yang pernah Rian kenal.” Wajah Lia terbayang di pelupuk matanya. Eyang tersenyum, “Jika memang patut di perjuangkan, jangan patah semangat. Eyang yakin pasti hasilnya akan sangat indah.” Rian menarik diri, dia menatap Eyangnya. “Sejak pertama kali melihatnya, hati Rian juga ikut menilainya. Seperti ada sesuatu yang Rian harapkan.” Getaran itu semakin dirasa semakin dia dekat dengan Lia. “Itu pasti pertanda kalau dia jodohmu, segerakan niat baikmu jika memang jadi tujuan mendekatinya, usiamu juga sudah sangat matang. Eyang nggak sabar lihat kamu membangun keluarga, yang benar-benar keluarga bukan seperti Papamu.” Eyang benar, Rian pun tak menginginkan keluarga seperti yang ada di keluarganya. Terlalu hambar, kasih sayang di nilai hanya melalui penuhi materi. Rian mulai memimpikan punya pasangan yang bisa diajak bertukar cerita setiap hari, hangat dan penuh kasih meski dalam keadaan sederhana. Kenyataannya, Rian akan terus pakai nama belakangnya sebagai pewaris tunggal. Jika tak ada Eyangnya, mungkin Rian tak akan tahu sekedar arti dari kasih sayang orang tua untuk anaknya. Rian terkadang sangat merindukan orang tuanya, tapi, dia tak bisa melakukan apa-apa saat yang di dapat hanya hampa meski masih punya orang tua lengkap. “Itu pun yang sangat Rian inginkan, Eyang. Mempunyai keluarga dalam arti sebenarnya.” Rian menyelami mata tua Eyangnya yang berkaca-kaca. Seakan menyesali apa yang Rian lewati, meski bukan salahnya tapi dia menyesal karena tak bisa berbuat banyak untuk cucu dari anaknya, Rama Hermawan. “Keluarga jauh lebih berharga dari apa pun di dunia ini, harta mudah di cari tapi waktu yang telah terlewati nggak akan pernah kembali.” petuah emas dari Eyangnya akan selalu Rian tanam untuk di masa depan nanti selalu di ingat. ***   Pekerjaan Rian yang menumpuk membuatnya hampir sudah dua minggu tak ke tempat Lia. Dia terus menatap nama kontak di kolom Chat dengan tanggal tertera di sana pun sama naasnya. Tak ada obrolan akrab yang terjalin. Rian pun tak seperti biasanya sulit menemukan cara untuk mulai menghubunginya, dia terlalu takut salah langkah dan Lia akan menjauh. Siang ini orang tuanya tak biasanya mengajak lunch bersama dan lebih menakjubkan, Rama, papanya akan ikut. Mereka sudah kembali ke Indonesia sejak beberapa hari lalu, Rian bertemu hanya saat kebetulan mereka belum berangkat beraktivitas masing-masing. “Lunch di mana, Rian?” Tara berpapasan dengannya saat menunggu lift untuk turun, sahabatnya terlihat akan keluar juga. “Lunch di luar, bareng Papa-mama gue.” Tara mengerutkan kening, sahabatnya itu jauh lebih beruntung jika menyangkut keluarga di banding Rian. Keluarganya selalu ada untuknya, bahkan saat musibah besar menimpa hidupnya beberapa tahun lalu saat Tara harus kehilangan mendiang istrinya. Tara juga sudah sangat mengenal Rian dan keluarganya, maka dia heran dengar Rian akan lunch bersama. “Anything special?” Rian tertawa, tak tersinggung sama sekali. Dia merangkul Tara dan sama-sama melangkah masuk ke lift. “Entahlah, firasat gue malah nggak enak.” Tara ikut tertawa, “Firasat nggak enak suka benar, terakhir gue kenalan sama Rei dan ternyata kami di jodohkan.” Rian terdiam dengan pikiran, apa jangan-jangan sekarang pun ini bagian dari rencana orang tuanya untuk memperkenalkan dia dengan seseorang? Sepanjang menuju resto yang di beritahu Mamahnya, Perasaan Rian berdebar. Jika memang hari ini dia akan dikenalkan dengan seseorang, bagaimana dengan pilihannya dan usahanya yang sedang mendekati Lia? Orang tuanya sudah menunggu Rian, sampai di sana pelayan resto langsung mengantarnya menuju ruang bersekat kaca, lebih privasi. “Hai Mam, Pa!” Sapa Rian, mencium pipi melinda dan menyapa Rama Hermawan dengan kaku. “Lama sekali kamu.” keluhan dengan nada tegas jelas dari papanya. “Jam makan siang pasti jalanan macet, Pa.” Jawab Rian. Rian tersenyum kaku, dia menatap sekitar dan bisa bernapas lega tak menemukan orang lain. “Duduk sayang, kamu mencari siapa?” tegur Melinda. “Hanya kita bertiga?” Rian duduk di kursi berseberangan dengan orang tuanya. “Ya, memang kamu pikir kita lunch dengan siapa lagi?” Mamahnya malah bertanya balik. Rian mengedikan bahu, “Rian mana tahu kalau ada rencana lain, lunch seperti ini sangat langka.” Ungkapnya jujur. “Hm.” Papanya berdehem dapat sindiran Rian. Beruntung pelayan datang membawakan menu lunch mereka, sehingga tak sampai bersitegang diantara papa dan anak tersebut. “Mama hanya ingin lunch bersama saja, sudah lama sekali kita nggak lunch bersama.” Melinda menengahi. Rian mengangguk saja dan mereka mulai menikmati makanannya. “Bagaimana pekerjaanmu, Rian?” Tanya Papa lagi. Rian mengangkat kepala hingga bisa menatap langsung mata serupa miliknya yang di dapatkan dari ayahnya. Kata orang-orang, mereka mengatakan jika Rian begitu mirip dengan Rama Hermawan. Dalam rupa memang serupa, namun jelas ada perbedaan dalam tujuan hidup dan karakter mereka. “Awesome, semakin ke sini aku semakin yakin dulu nggak salah bersikeras dengan pilihan hidupku.” Melinda menghela napas, jika Rian menanggapi seperti ini pasti akan terjadi perdebatan diantara anak dan suaminya. sedangkan Rian memang sengaja mengatakan itu, dia sadar dan bosan karena tak seharusnya interaksi orang tua dan anak seperti ini. “Oh ya? Jadi lebih menakjubkan dengan pilihanmu dibanding meneruskan perusahaan yang sudah Papa perjuangkan, beruntung sekali Papa punya anak tunggal sepertimu.” Balas Rama Hermawan lebih sinis. Rian tertawa, see... mudah membuat Papanya tersinggung. “Rian, please bisa kita lunch dengan tenang?” tegur Mamanya, berharap Rian tak merusak Lunch mereka. Rian menghela napas, “Oke.” Dia menurut karena tak ingin juga merusak makan siang langka bersama orang tuanya walau pada akhirnya Rian harus mendengarkan Papanya yang terus membicarakan bisnisnya, sengaja mencari jalan agar Rian tersadar dan mau membantunya di perusahaan. Rian tetap tenang, sampai Papanya kembali mengucapkan kalimat yang membuat Rian berdecak... “Jika memang kamu nggak mau bantu Papa untuk seterusnya, menikahlah dan beri papa pewaris yang mau meneruskan bisnis keluarga kita.” Untung saja sudah selesai makannya, hingga tak perlu menyia-nyiakan makanan karena dengar ucapan ayahnya. “Rian memang anak Papa, tapi, kita tak sama. Rian tak akan jadi orang tua egois yang menjadikan anak seperti boneka, memuaskan semua ego pribadi.” “Rian, jaga bicaramu!” Papa sangat marah. Lalu Papanya menatap Melinda dengan tatapan kecewa, “Ini yang aku takutkan ketika dulu kamu kuminta berhenti di Entertainment, aku bisa mencukupi kebutuhanmu dan kamu cukup mendidik Rian dengan benar. Pasti dia tak akan keras kepala seperti sekarang, membantah terus omongan orang tua.” Setelah mengomel pada Mamanya, Papa berdiri “Mas, mau ke mana?” cekal Melinda. Rama bergeming sesaat, “Aku kembali ke kantor, kamu bisa minta sopir menjemput atau minta Rian mengantarkanmu.” Ujarnya dingin, lalu pergi begitu saja. Rian menarik napas dalam-dalam, dia menata Melinda. “Mah, Rian minta maaf sudah merusak lunch kita.” “Sudahlah, bukan kamu yang salah.” Rian bisa melihat tatapan mata Melinda berkaca-kaca, “Papamu benar, jika Mama pilih jadi ibu rumah tangga dan mengurusmu pasti kamu nggak akan berseteru seperti ini dengan papamu.” “Kenapa perempuan harus memilih antara bekerja dan rumah tangga, Ma? Untuk Rian, Mama berhak dengan pilihan Mama dan semua yang terjadi bukan hanya kesalahan Mama saja. Maafkan Rian yang nggak bisa menuruti semua mau kalian.” Rian sudah lelah berusaha membuat pilihan hidup yang dijalani ini di terima dan di hargai orang tuanya, tapi, Rian juga coba paham kekesalan di pihak mereka, jika Rian berada di posisi mereka, dia pun akan merasakan kecewa yang sama. Lunch berakhir dengan selisih yang semakin lebar diantara dia dan Rama Hermawan. Rian keluar resto dan mengantarkan ibunya ke salah satu toko perhiasannya yang tak jauh dari sana. Ketika mobil berhenti dan Rian akan menurunkan Mamanya di lobi Mall, matanya tak sengaja bertemu dengan sosok familier yang berjalan bersama wanita paruh baya masuk ke Mall. Rian berpikir cepat, dan mengingat jika hari ini tak ada jadwal meeting di kantor bersama rekan maupun atasannya, bertemu Klien pun tak ada. Maka Rian putuskan untuk ikut masuk ke Mall siang itu. “Kamu kok ikut turun? Nggak kembali ke kantor?” tanya Melinda heran, Rian tak jadi berhenti di lobi melainkan langsung mencari spot parkir mobilnya. Rian tersenyum pada wanita yang telah melahirkannya itu. “Ada yang mau Rian beli.” Alasannya. Mama mengangguk dan mereka akan keluar dari mobil, “Rian...” panggil Melinda menghentikan gerakannya. “Yes, mam?” Melinda menatap serius Rian, “Mama rasa ini sudah waktunya kamu mempunyai pasangan, berkeluarga. Papamu benar, kamu anak semata wayang kami dan kami punya harapan besar padamu.” “Ma—“ “Jika memang kamu nggak mau meneruskan bisnis kita, maka biarkan anakmu yang jadi penerusnya. Hargai usaha keras Papa dan leluhur kamu, bisnis ini nggak dibangun dengan mudah. Keringat dan mempertaruhkan nyawa, hingga bisnis kita ada sampai sekarang. mengertilah, dan bersikap bijaksana!” Rian mematung karena untuk pertama kalinya, Mama tegas minta Rian untuk berperan layaknya anak semata wayang dengan tanggung jawab besar atau tepatnya membebani dirinya. Jika orang-orang di luar sana banyak yang iri dengan kehidupan seorang Rian Hermawan, dia justru iri pada mereka yang bisa bebas menjalani hidupnya tanpa perlu membawa beban sebuah nama besar. ***   Mama rasa ini sudah waktunya kamu mempunyai pasangan, berkeluarga. Kalimat itu terus terngiang-ngiang ditelinganya, Rian sudah berada dalam pusat perbelanjaan dengan tujuan menemui Lia. Bodohnya, tak akan mudah menemukan Lia diantara banyak orang dan tempat sebesar ini. Kaki jenjangnya berjalan tegas menuju salah satu gerai kopi khas Amerika. Rian berdiri di depan kasir, tiba gilirannya memesan. “Freshly brewed coffe—“ “Banana Split Frappuccino, satu.” Suara lembut yang familier di kasir sebelahnya membuat Rian langsung menoleh. Senyumnya saat itu juga langsung terbit. Wanita itu berdiri di sana dengan outfit celana kulot motif garis berwarna mocca, kemeja longgar putih sebagai atasan dan scarfs motif abstrak berwarna mocca menutupi kepalanya. “Pak, pesanannya jadi?” teguran penjaga kasir membuat Rian sadar jika dia fokus memerhatikan Lia, tak di sangka muncul di sampingnya saat dia mengurungkan diri untuk mencari. Rian kembali menghadap kasir, “Jadi, itu saja.” segera membayarnya. Sambil menunggu pesanannya, Rian memerhatikan Lia kembali yang sedang fokus pada layar ponselnya dan belum menyadari kehadirannya. Pesanan Lia lebih dulu selesai, Rian mulai tak sabar. “Masih lama, Mbak?” “Sudah, Pak.” Rian bisa bernapas lega saat pesanannya selesai. “Makasih.” Dia langsung menyambarnya dan berjalan cepat menyusul Lia yang masih terlihat, wanita itu menghampiri wanita paruh baya yang Rian lihat tadi. Diam-diam Rian tersenyum karena menemukan cara untuk memperkenalkan diri pada ibu wanita itu. Rian mulai menghitung satu sampai tiga di dalam hatinya. “Lia!” panggilnya lantang, dan pemilik nama langsung berhenti berjalan dan mencari keberadaannya begitu pun dengan ibu dari wanita itu. Hari ini orang tuanya menegaskan untuk Rian mulai memikirkan pernikahan, detik ini juga dia sedang usaha dapat pasangan untuknya dan menantu untuk orang tuanya. Orang tuanya hanya meminta Rian berkeluarga untuk seorang pewaris, maka Rian akan membawakan perempuan yang bisa mengubah keluarganya menjadi lebih berwarna dan baik. Wanita itu bidadari di depannya yang sedang menatap Rian dengan ekspresi terkejut. [to be continued] Wah ketemu Ibu nih Rian, apa bisa dapat restu? Orang tua Rian lebih keras dari orang tua Tara-Tyas, apa rintangan mereka juga akan lebih sulit? Tapi, aku kok maunya mereka manis-manis aja tanpa alur penuh tikungan tajam, naik-terjun kayak Tara-Rei. Menurut kalian gimana harapan sama cerita ini Atau percaya aja sama Una mau apa pun alur Yulia-Rian? Komentar yaaaa...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD