SWY- 10

2236 Words
.Rian. Rintangan pasti selalu ada, termasuk saat aku telah meyakini jika kamu adalah takdirku. Aku percaya Allah ada bersama kita, sampai akhirnya kau dan aku menjadi satu.  *** Wanita itu memberi Rian kesempatan untuk membuktikan bahwa yang dikatakan padanya bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. Rian sudah berdebar dengan pikiran bahwa Lia akan langsung menolak dirinya, tak disangka Lia memberikan jawaban sebaliknya meski Rian bisa melihat bayang-bayang ragu masih kental terasa di bola matanya yang indah. Jelas, Lia tak mudah percaya sebelum Rian mampu membuktikan. Rian memilih untuk tak menunda usahanya, pertama jelas yang harus dia lakukan adalah bicara pada orang tuanya. Apa pun reaksinya, Rian akan terus berusaha sampai membawa orang tuanya melamar Lia. “Mbak papah dan mamah di mana?” tanyanya pada salah seorang asisten rumah tangga tepat Rian masuk ke rumah. Dia melihat mobil keseharian yang di pakai orang tuanya sudah ada di depan. “Di ruang keluarga, Den.” Tepat sekali. Lalu Rian membawa langkahnya menuju tempat orang tuanya berada. Tumben sekali mereka duduk di sana sembari menikmati teh hangat. “Rian, sudah pulang?” Melinda yang pertama kali melihatnya. Rian mengangguk, mendekat untuk mencium pipi Melinda dan niatnya berhenti sebelum itu Rian mengambil tangan dan lebih dulu mencium punggung tangannya. Tindakan Rian membuat mamahnya terkejut, karena ketika bertemu kebiasaan itu sudah tak dilakukan, Rian lebih sering mencium pipinya. Semakin membuat Melinda tak berkedip menatapnya karena hal itu pun berlaku pada Rama dan berakhir dengan kerutan di kening suaminya. “Rian...” panggil mamahnya kehilangan kata-kata. Rian tahu tindakan dan perubahan sikapnya akan jadi tanda tanya besar dikepala orang tuanya dan ya, inilah perubahan positif dari dia kenal dengan Lia. “Kalian sudah makan malam?” tanyanya lagi. Melinda menyimpan tablet di sisinya yang kosong agar bisa sepenuhnya memerhatikan Rian. “Sudah, kamu nggak bilang kalau akan pulang cepat jadi Mamah dan Papah bisa menunggu.” “Rian sudah makan tadi sebelum pulang.” “Oh , oke. Hm kamu sebaiknya bersihkan diri dulu.” Rian melirik Rama yang sejak tadi kembali fokus pada layar tablet lainnya, pasti sedang memeriksa pekerjaan atau mencari tahu nilai saham terbaru. Anak semata wayang itu menarik napas dalam-dalam, berharap saat pembicaraan nanti berlangsung Rian bisa menahan emosinya jika ada sedikit perkataan Rama atau Melinda yang menyatakan keberatan. “Hm, ada yang mau Rian bicarakan, bisa minta waktu kalian berdua?” Kalimat Rian menarik Melinda tapi Rama masih bergeming. “Duduk, sayang.” Melinda bergeser memberi Rian tempat di sisinya. Rian tetap berdiri. “Pa, please.” Rian menatap Rama penuh permohonan, Rian bahkan tak pernah melakukan ini sudah sangat lama ketika dia minta diizinkan mengambil pendidikan untuk menjadi Lawyer dibanding mendalami bisnis. “Bicara saja, Papa bisa mendengar.” Jawaban acuh itu sudah membuat Rian yakin jika awalan saja sudah sangat mengujinya bagaimana jika dia langsung ke intinya. Rian menatap Melinda, minta untuk membuat Rama mengerti. “Mas, sepertinya memang akan ada hal penting yang ingin Rian bicarakan.” Melinda membantu, Rian sangat bersyukur mamahnya mengerti. Akhirnya lelaki paruh baya tersebut mengangkat kepala, tatapan tajam langsung tersuguh begitu bertemu tatap dengan Rian. “Nggak ada hal penting selain kamu mau meninggalkan profesimu dan kembali pada perusahaan kita.” Calm down, Rian! Batinnya terus membuat Rian untuk tetap waras, bagaimana pun dia tak mau terus menjadi anak pembangkang. “Termasuk soal masa depan Rian, bagi Papah nggak penting?” “Sayang, bicaralah sambil duduk.” Melinda menarik tangan Rian untuk duduk di sisinya. Rian menurut. “Papah sudah janjikan masa depan terbaik, kamu menolak. Jangan salahkan dan katakan Papah nggak peduli sama kamu!” Rian menarik napas dalam-dalam untuk sedikit mengusir sesak di dadanya. “Rian mau bicara baik-baik sama Papah, sebagai seorang anak pada orang tuanya.” dia meminta sekali lagi. Papahnya sedikit terkejut karena Rian berbeda dari biasanya, Rian bisa membaca ekspresi Rama. “Katakan langsung ke intinya, Papah masih ada pekerjaan.” Menjadi anak seorang Rama, tak menyenangkan seperti dalam bayangan orang-orang yang menatap iri padanya. Rian bahkan tak pernah menemukan makna kasih sayang seorang ayah sejak kecil. Dia bukan anak broken home apalagi yatim, Rama jelas sangat sehat untuk tetap mengurus bisnisnya sampai setua ini tapi, mempunyai waktu bersama antara anak dan orang tua, tak pernah Rian rasakan. Sejak dulu pusat dunia seorang Rama adalah bisnis, harta dan saham. Keluarga baginya tak penting. “Memangnya kapan Papah punya waktu untukku?” ungkap Rian sedikit muak. Dia menoleh saat merasakan tangan Melinda melingkupi tangannya dan menggeleng kecil serta tatapan memohon agar Rian tak memancing keributan tersemat sebagai harapan. Rian kembali menuntaskan helaan napas berat. “Kamu mau menuntut waktu Papah, maka gantikan posisi Papah di perusahaan.” Selalu kembali ke sana, Rama tak akan puas sampai Rian tunduk di kakinya. “Papah, dengarkan dulu Rian.” Tegur istrinya. Rama akhirnya diam, dan pilih duduk bersandar sambil menunggu Rian bicara. “Rian mau melamar seorang wanita.” Dia mengatakannya, Rian menjeda sebentar untuk mencari tahu ekspresi orang tuanya. Melinda terlihat terkejut dan penasaran sedangkan Rama datar dan sulit di baca. “Siapa wanita itu Rian?” tanya Melinda, Rian tak pernah mengenalkan wanita mana pun padanya. “Berharap saja dia layak dan sepadan dengan keluarga kita.” Bukan Rian yang menjawab, jelas jawaban angkuh itu milik Rama Hermawan dengan gayanya yang khas. Melinda terdiam, tapi dia menunggu Rian untuk bicara lagi. “Yang papah harapkan nggak akan terjadi.” Sepadan dalam pandangan Papah hanya soal status sosial yang sama dengan keluarga mereka. Lia meminta Rian untuk terbuka soal dirinya pada orang tuanya, Rian pun tak akan memberi harapan omong kosong pada Rama. Rama terkekeh meremehkan, “Kalau begitu kamu bisa melamarnya tanpa Papah dan Mamahmu.” “Pah, ini nggak adil!” Rian belum selesai bicara tapi Rama sudah memberi keputusan egois. “Aku berhak memilih wanita yang aku butuh kan untuk hidupku.” “Hak... hak dan hak terus yang kamu minta, apa pernah kamu berikan kewajibanmu sebagai anak semata wayang kami? Hidup semau kamu, nggak mau dengarkan kami. Sudahlah papah nggak mau buang-buang waktu berharga untuk memenuhi egomu.” Rama berdiri, meninggalkan sesak menghantam harga diri Rian sebagai seorang anak. Rama sekali lagi membuat Rian merasa tak punya seorang papah, bahkan dia berdiri sebelum Rian menjelaskan wanita pilihannya. Melinda masih di tempat, Rian mengusap wajah dan bersandar dengan menatap lampu-lampu kristal. “Mamah nggak ikut pergi seperti papah?” Melinda menatap putranya penuh sesal, “Siapa wanita itu? Bisa Mamah bertemu dengannya?” Setidaknya ada harapan kecil saat Melinda tetap mau mendengarkan dirinya. “Mamah mau bertemu Lia?” “Namanya Lia?” “Yulia Romeesa, dia wanita sederhana.” Pandangan mata Rian menerawang membayangkan wajah adem Lia. Patah di timbulkan tanggapan papahnya, mulai sedikit terobati saat itu juga. Rian tak akan menyerah, jika memang Papahnya tak mau mengantarnya melamar Lia, Rian berharap mamahnya akan mau menemaninya. “Kamu sangat yakin dengan keputusanmu?” Rian menatap ibunya, dia mengangguk. “Sangat, bahkan aku sampai memohon pada Papah.” Melinda tahu dirinya bukan seorang ibu yang selalu ada untuk Rian, namun dia sangat kenal putranya ini. Saat ini yang ada di hadapannya, Rian memang punya tekat dan keyakinan yang besar. “Sudah berapa lama kalian bersama? Kenapa kamu nggak kenalkan lebih dulu pada kami?” Bersama dalam arti orang tuanya pasti mengira relationship sepasang kekasih.  Rian menggelengkan kepala. “Hubungan kami nggak di dasari seperti yang Mamah pikirkan.” Melinda tak langsung paham maksud kalimat Rian. Pikirannya sudah bercabang ke mana-mana. “Lalu hubungan apa? Rian jangan buat Mamah berpikir buruk.” “Kami nggak pacaran, Rian langsung mengajaknya menikah.” Tentu saja Melinda langsung terdiam syok mendengar kejujuran putranya dan dia semakin penasaran ingin bertemu sosok wanita yang membuat anaknya berbeda. *** Rian masih akan menunggu Papanya berubah pikiran, Melinda akan bantu bicara pada Rama. Ada setitik harapan agar Rama kali ini terima pilihan Rian dengan terbuka. Orang tuanya terasa asing padahal hubungan darah diantara mereka kental. Rian kecil sampai beranjak remaja berusaha membuat prestasi akademik terbaik agar terutama Rama merasa bangga memiliki anak sepertinya. Sayang, sambutan Rama terlalu biasa bahkan setiap kali Rian berharap ada acara sekolah mengharuskan Rama atau Melinda datang, justru Rian harus menelan pahit saat hanya Eyangnya yang mewakili. Sejak saat itulah Rian tak mau lagi melakukan apa pun untuk orang tuanya, dia merasa segala usaha tak akan membuat orang tuanya bangga dan sedikit saja menyampingkan bisnis, pekerjaan, untuk memberi waktu dan perhatian pada anak semata wayang. Rian bertekat untuk melakukan segalanya untuk dirinya sendiri, termasuk pilihan pendidikan dan pekerjaan sebagai Lawyer. Rian menarik napas dalam-dalam, merasakan sesak mengimpit setiap sadar jika kehidupannya sangat hampa. Hari Sabtu siang Rian menghentikan mobil di pelataran parkir dekat toko milik Lia. sudah beberapa hari dia tidak ke sini karena sibuk dengan beberapa kasus dan pembicaraan dengan orang tuanya sangat menyita pikiran Rian. Sebelum Melinda ingin menemui Lia, maka Rian putuskan untuk minta persetujuan Lia lebih dulu. Rian tak mau membuat Lia terkejut jika langsung datang bersama Melinda. Rian turun dari mobil, hari ini dia bergaya santai tanpa kemeja dan celana bahan. Hanya T-shirt hitam dan jeans panjang biru. Langkah kaki pasti membawa Rian memasuki toko. Salah satu pegawai yang mengenali langsung menghampiri. “Selamat siang, Pak Rian. Mau pesan seperti biasa?” tanya Toni dengan ramah. Rian tak menemukan Lia di sana. “Saya sebenarnya mau bertemu Lia.” “Oh, Ibu Lia nggak datang ke toko hari ini.” Rian mengerutkan kening, “boleh saya tahu alasannya?” Toni berpikir jika Rian adalah kenalan bosnya, maka dia mengira pasti ada hal penting mendesak sampai Rian mau bertemu Lia. “Ibu kurang sehat sejak kemarin, Flu dan demam. Jadi nggak ke toko.” Jadi, Lia sakit? “Terima kasih atas informasinya.” Ucap Rian pada Toni, lalu dia keluar toko dengan langkah cepat, masuk mobil dan tanpa berpikir panjang Rian menuju rumah wanita itu. Di jalan Rian masih ingin menghentikan mobilnya di toko buah cukup besar, dia turun dan membeli buah tangan. ***  Rian sudah berdiri di depan pagar rumah sederhana milik Lia. Begitu melihat mobil sedan tua milik Lia terparkir, Rian yakin Lia ada di dalam. Rian mendekat mencari bel rumah, tapi dia tak menemukannya. Kreng! Suara decitan besi tua gerbang terdorong saat Rian memegangnya, “nggak di kunci?” gumamnya. Rian lalu masuk berharap tak di teriaki maling jika ada tetangga melihat dan dia sebagai orang asing. Tatapan mata Rian menyusuri setiap pekarangan rumah. Rumah sederhana satu lantai dengan cat putih, beberapa tanaman dan bunga terawat. Rian akan naik ke lantai depan rumah saat melihat beberapa sandal dan sepatu tertata raih di rak sepatu yang ada di dekat pintu. Jadi Rian bertindak sopan dengan melepas sepatu putih sport beserta kaos kaki di pakainya. Bertelanjang kaki, ubin dingin langsung menyentuh telapak tangannya. Rumah ini benar-benar sejuk. Rian berdiri di depan pintu dan mengetuknya secara manual karena lagi-lagi tak menemukan bel rumah untuk di tekan. Tok... tok... tok... Rian menunggu. Ceklek. Pintu terbuka, Rian langsung bertemu tatap dengan laki-laki berambut gondrong yang pernah bertemu dengannya sewaktu Rian mengantar Lia pulang. “Assalamualaikum.” Rian hampir lupa mengucap salam. Rian bisa melihat sikap siaga Saddam begitu tahu jika dirinya yang bertamu. “Waalaikumsallam. Anda? Cari teh Lia?” tanyanya datar. Rian mengangguk, “Saya dengar dari salah satu pegawai toko kalau Lia sakit.” “Iya, tapi dia lagi istirahat.” Rian sangat hafal kalimat Saddam mengandung makna pengusiran halus untuknya. “Oh, sudah dari kapan?” “Apanya?” Saddam bersedekap di depan pintu. Bahkan tak mengizinkan Rian hanya untuk sekadar mencari tahu isi dalam rumah mereka “Istirahatnya.” “Baru saja, terus mau minta saya bangunkan teh Lia?” Tentu saja tidak, jika wanita itu sedang istirahat maka Rian tak akan mengganggu. “Nggak usah kalau memang sedang istirahat biarkan saja, boleh saya minta tolong.” Rian tidak berpaling meski tatapan mata Saddam tak bersahabat. “Boleh asal nggak merepotkan.” Jawaban Saddam membuat Rian tersenyum kecil. Rian menyerahkan keranjang buah yang sejak tadi di pegangnya. “Sampaikan salam saya, Lia lekas sembuh.” Katanya. Saddam akan menerima keranjang buah besar tersebut saat mendengar suara langkah di belakangnya di susul suara menegurnya. “Saddam, ada tamu kok malah di tahan depan pintu.” Ibunya keluar dengan daster rumahan lengan panjang dan kerudung panjang seperti biasa. Rian tersenyum saat melihatnya sementara Saddam mendesah kesal. “Lho nak Rian? Jadi kamu tamunya.” Rian mengangguk kecil, lalu langsung menyalami tangan wanita paruh baya tersebut. “Apa kabar ibu?” “Baik-baik, alhamdulillah. Pasti mau jengguk anak ibu, ya?” Ibunya membuat Saddam menyingkir dari depan pintu. “Iya, saya mau jengguk Lia. Sakit apa Bu?” “Demamnya udah turun, tinggal flu aja. Eh pamali mengobrol depan pintu, ayo masuk ibu buatkan teh atau mau kopi?” Ibunya meminta Rian masuk, tindakan hangat seperti biasa membuat Rian yang padahal belum kenal lama malah merasa sudah sangat nyaman dan tak asing. “Nggak s**u murni aja ibu tawarkan sekalian?!” Suara celetukan Saddam di belakang langkah mereka membuat Rian terkekeh. “Dam, nggak sopan!” Ibunya menoleh dan langsung menegur tingkah Saddam. Diam-diam Rian merasa iri dengan suasana rumah yang di mimpikan sejak lama. Aroma masakan rumah, suara ramai khas ibu dan anak meributkan hal kecil meski di rumah sederhana, sangat berbeda dengan suasana rumah yang Rian rasakan selama ini. Rian semakin bertekat jika dia membutuhkan keluarga seperti ini untuk masa depannya. [to be continued] Main kerumah camer, tahapan pendekatannya keren ya. Baru nih cowok! Wkwk Komentar gengsss!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD