7. Tahap 1: Membersihkan Walk In Closet

1081 Words
Wow! Akhirnya aku kembali ke kamar ini. Menuju ke ruangan walk in closet milik Tiff, aku benar-benar masih menggelengkan kepalanya. Ternyata dari semua baju mewah yang digantung dalam lemarinya, ada beberapa yang masih kotor seperti terlewat untuk dicuci. Lalu di bagian wardrobe,Tiff memiliki banyak skin care mahal namun sebagian kadaluarsa. Di bagian etalase perhiasan, jam tangan dan aksesoris lainnya juga cukup parah. Penuh debu dan barang-barang yang rusak. Percaya atau tidak, bahkan jam tangan yang sedang aku pakai ini sebenarnya sudah patah. Hanya saja aku menambalnya dengan selotip. “Oh, Tiff. Semua barang mahalmu terlihat tak berharga jika kau tak merawatnya.” Untuk masalah membereskan rumah ini adalah keahlianku. Serahkan padaku, maka ruangan yang dikata gudang oleh Kak Arthur ini, seketika akan menjadi ruangan milik make up artist yang ternama. “Wuhuuu!” Aku bersorak, kegirangan, sangat girang. Bagaimana tidak, dulu rumahku kecil dan tak ada barang-barang seperti ini. Akan aku beri dekorasi yang saaaaaaangat cantik dan minimalis dengan gaya yang sesuai pada zaman sekarang. “Tapi sebelum itu, mari kita periksa play list di Iphone mahal ini. Aku benar-benar tak bisa bekerja tanpa adanya musik yang mendukungku.” Kuraih benda pipih berwarna silver dengan logo apel tergigit tersebut, lalu aku membuka ... apa ya? Aku tidak bisa menggunakan Iphone. Ya, bagian mana saja yang bisa menampilkan musik. Dan ... zonk! Tak satu pun musik tersedia dalam perangkat ini. Jadi selama ini, Tiff mendengarkan lagu apa? Aku pikir rasanya mustahil ada manusia yang tak pernah mendengarkan lagu sama sekali. Itu mustahil. Bahkan orang yang sekaku Kak Arthur pun masih mendengarkan lagu, walau lagu kesukaannya cukup nyentrik juga. Ya, keroncongan Jawa ciptaan Mantho’us. Seorang maestro musik lagu Jawa yang cukup populer di zamannya. Tapi, itu lumrah. Setiap orang berhak memilih seleranya. Begitulah selera ketua kami, jika dia sedang bekerja sendiri atau hanya berdua denganku, dia pasti memilih menyetel lagu-lagu keroncongan Jawa. Aku tak keberatan, bahkan berusaha menyukai apa yang dia sukai. Ya, walau dia tak pernah begitu padaku. Jadi ... kalau Tiff tidak memiliki musik, mungkin ini juga seleranya. Rasanya aku dan Tiff semuanya serba berkebalikan, namun satu-satunya kesamaan kita adalah, menyukai pria yang sama. “Selera kita terhadap pria memang sama, Tiff. Hanya saja kau beruntung karena bisa memilikinya. Sementara aku, dia bahkan tak tahu perasaanku.” Terpaksa aku mendownload beberapa lagu yang kusuka karena di sini tidak ada. Ternyata mengisi lagu untuk ponsel mahal cukup susah juga. Kenapa tidak terpikir dari tadi? Aku sebaiknya mendownload aplikasi musik yang menyediakan banyak lagu seperti Soptify. Dasar, Tiffany! Dasar! Dasar! Aku mengetuk-ngetuk kepala menggunakan pangkal telapak tangan seperti biasa. Ini adalah ciri khas ketika aku sedang merasa konyol, bodoh, dan mungkin juga lemot. “Wuhuuu! Yeay!” Musik-musik ini pun memenuhi irama dalam telingaku, aku menyukainya. Maafkan aku Tiff, aku terpaksa mengunduh semua lagu ini. Jika kau tak suka, protes saja dengan Tuhan yang telah menukar tubuh kita, Ok! Sekali lagi aku minta maaf. Aku pun kini bisa fokus pada isi ruangan yang oleh Kak Arthur disebut sebagai gudang ini. “Mari, Tiff. Kita rubah satu per satu kebiasaan burukmu ini.” “How you lek det dereret det dereret det. Bada bing bada bumbumbum.” Rasanya aku seperti hidup kembali. Tak peduli dengan tubuh gendut dan semua orang membenciku. Aku tetap akan hidup sebagai Tiffany walau dalam tubuh Tiff. Lihat saja, Tuhan! Ujian ini terlalu mudah untukku. Berjoged sambil membereskan baju. Kumasukkan baju-baju kotor ke ranjang laundry, lalu aku juga pisahkan baju-baju yang perlu dipermak. Sementara baju yang menurutku baik-baik saja, cukup digantung dengan rapi dan aku pisahkan berdasarkan tipe baju dan juga warna. “Oh, it’s looking so good!” pujiku pada hasil kerja sendiri. Aku pun mengeluarkan baju kotor yang berada di keranjang laundry. Apa para pelayan tadi mau membantu Tiff membersihkan bajunya? Atau biasanya ia mencuci sendiri? Kuangkat keranjang tersebut. Ralat, kuseret keranjang tersebut. Ya, tubuh gendut ini benar-benar membuatku tak bisa melakukan hal kecil seperti mengangkat keranjang laundry ini. Salah-salah aku oleng dan menggetarkan seluruh isi rumah ini. Oh, Tiff! Kenapa kamu tidak saja sih? Kamu, kan, punya banyak uang sayang. Aku pun langsung menyeret keranjang laundry yang terisi baju kotor sebesar ini. Hampir penuh, ya baju kotornya sebanyak itu. “Uuuf, tangga ini benar-benar menyusahkan.” “Ah, bukan tangga. Maksudku, tubuh ini.” Dengan susah payah aku menyeret dan baru sampai di tengah tangga, duduklah aku, terengah-engah. “Haah ... haah .... Ini gila. Bagaimana pekerjaan seringan ini terasa berat.” “Nyonya Tiff?” Seseorang berteriak histeris. Oh, ternyata para pegawai itu melihatku. “Hai? Bisakah kalian menolongku?” Aku melongok ke bawah dan menolong mereka. “Tentu saja, Nyonya.” Mereka langsung berlari ke atas dan membantuku menarik keranjang laundry yang berat ini. “Tolong dicuci, ya. Bisa aku menyerahkan pada kalian pekerjaan ini?” tanyaku dengan sopan. “Tentu saja, ini pekerjaan kami, Nyonya.” Mereka terlihat sangat takut saat merebut keranjang tersebut. Aku tak mengerti, kenapa para pegawai itu sangat ketakutan setiap melihatku. Maksudku melihat Tiff. Wajah Tiff memang penuh jerawat, namun dia tidak seseram itu. Menurutku. “Baiklah, terima kasih. Aku akan kembali ke atas karena pekerjaanku masih banyak.” Hari ini aku akan melakukan banyak pekerjaan, tapi karena sepertinya tubuh ini tidak bisa digunakan untuk banyak bergerak, maka dari itu aku butuh yang namanya tubuh orang lain. Ah, maksudku bantuan orang lain. “Anu ....” Aku kembali memanggil pelayan yang sedang menenteng keranjang laundry. “Iya, Nyonya Tiff. Ada apa?” “Emm, bisa tolong satu orang atau dua orang saja, pergi ke atas untuk membantuku? Aku sedang bersih-bersih.” Pelayan itu langsung menutup mulutnya. “Oh, tidak! Nyonya Tiff mau bersih-bersih, ayo cepat kita bantu dia.” Para pelayan yang sedang ada di sekitar sana langsung berkerumun dan berdiri di bawah tangga. “Well, maksudku ... hanya dua orang saja.” Aku menunjukkan angka dua dengan menggunakan jariku. Aku sudah bilang dua orang, tapi tak ada satu pun dari mereka yang bergerak. Jadi mereka ini kenapa sih, sebenarnya? Merasa aneh. Akhirnya kutunjuk saja dua orang dari mereka. “Kau dan kau!” Mereka berdua saling menunjuk pada dirinya sendiri. “Iya, kalian berdua. Ayo!” Aku mengajak mereka untuk pergi ke atas. Keduanya pun akhirnya mengikutiku. “A ... apa yang ingin dibersihkan, Nyonya?” tanya salah satu dari mereka. “Itu, walk in closet! Ruangan itu sungguh menjijikkan dan perlu dirapikan, jadi kalian tolong bantu aku,” ucapku sambil menunjuk pada pintu hitam menuju ke ruang tersebut. “A ... apa kami tidak salah dengar?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD