"Mama juga udah capek, Arthur! Kenapa mama harus makan satu meja dengan istri kamu yang seperti babi? Terserah mama dong mau makan di mana?"
"Tapi, Ma. Arthur dapat teguran dari orang tuanya Tiff, mereka bilang kita memperlakukan dirinya dengan tidak baik. Sehingga dia berusaha melakukan bunuh diri."
"Capek, mama capek. Istrimu itu suka berperilaku seenaknya. Memerintah mama dengan kata-kata yang pedas, menggunjing dan mengungkit pemberiannya. Mama rasanya ingin pergi saja dari rumah ini!"
"Oke, Mama. Arthur ngerti. Tapi ... sekarang coba mama pikir kembali, Tiff sudah lebih baik sejak kejadian kemarin. Dia tidak pernah lagi membentak mama. Tidakkah kita bisa berperilaku lebih baik demi keluarga kita, Ma? Hmmm?"
Sudah tiga hari, aku mendengar mereka berdebat. Ibu mertua yang tak ingin makan dalam satu meja denganku. Lalu suami yang terpaksa bersikap baik demi harta yang diberikan oleh orang tuaku.
Sebenarnya, wanita itu bukan ibu mertuaku. Lalu laki-laki tersebut juga bukan suamiku, ya meskipun aku mencintainya tapi dia bukan suamiku. Hanya saja ... aku terbangun di tubuh istrinya. Istri dari Kak Arthur yang gendut dan buruk rupa, lalu parahnya lagi ternyata wanita ini dibenci oleh semua manusia yang ada di rumah ini.
"Kenapa, sih? Dia itu kemarin nggak mati aja sana!" Kali ini ibu mertuaku lagi yang menyumpahi kematianku.
Aku bersembunyi di dapur untuk mendengar pembicaraan mereka di ruang makan.
"Mama jangan gitu, nanti dia dengar." Itu suara Kak Arthur, suamiku.
"Masa bodoh lah! Dia, kan, sudah ingin mati. Ingin bunuh diri! Kenapa sama Tuhan masih dikasi hidup lagi?"
Sambil bersembunyi mendengarkan mereka, aku melihat ke arah pergelangan tanganku. Sayatannya cukup dalam, namun dengan uang yang tebal dalam dompet, hal itu membuat tim medis ter-elit bisa mengobatinya dengan sempurna. Padahal saat itu, aku sedang berlari untuk menghindar dari rentenir. Tapi karena tidak memperhatikan jalan saat menyeberang, sebuah truk pun menabrakku. Lebih nahasnya lagi, aku koma dan terbangun dalam tubuh wanita ini.
"Eh, babi, babi, babi!" Seseorang tiba-tiba terkejut saat berpapasan denganku. "Kak Tiff, ngagetin aja. Maaf, ya." Gadis itu menunduk saat berjalan melewatiku seperti orang yang ketakutan. Dia adik iparku yang merupakan kembaran Kak Arthur, umurnya satu tahun lebih tua denganku. Namun karena dia tidak terlalu pintar, kuliahnya pun menjadi satu kelas denganku. Dia teman dekatku saat aku berada di tubuh asliku, namun setelah pindah dalam tubuh ini, aku merasa sedih karena ternyata dia juga membenci kakak iparnya.
Apa aku semenakutkan itu? Sebenarnya apa yang membuat orang ini begitu dibenci oleh semua orang? Apa karena obesitas?
Aku pun benci dengan tubuh milik orang ini!
"Nyonya Tiff nggak makan bareng ibu dan Mas Arthur?" Seorang pembantu berbicara padaku.
"Saya ... belum lapar, Bi. Makasih, ya. Nanti pasti saya akan makan." Mana mungkin aku bernafsu untuk makan, ketika semua orang mengataiku sebagai babi. Walau memang, ya, tubuh ini kuakui sangat gemuk penuh lemak seperti babi.
Entah apa yang menjadi perbedaan, namun nyatanya para pegawai di rumah ini, baik itu ART, tukang kebun sampai sopir pun memanggil aku sendiri dengan sebutan 'Nyonya', padahal anggota keluarga lain juga ada. Namun tidak ada yang mereka panggil dengan sebutan ‘Nyonya’ atau ‘Tuan’ seperti memanggilku. Mereka memanggil Kak Arthur dengan sebutan ‘Mas Arthur’ dan saudara kembarnya ‘Mbak Adrienna’.
Aku tak paham dengan bagaimana kedudukan dari pemilik tubuh ini di rumah sebesar ini. Apa dia paling spesial sehingga disebut ‘Nyonya’ oleh semuanya? Namun jika dia spesial, kenapa ibu mertuanya ingin orang ini mati sampai dia harus bunuh diri.
Lebih baik aku keluar rumah. Kebetulan aku masih dalam masa pemulihan dan cuti kuliah, sehingga aku tidak ada kegiatan. Menghirup udara segar pagi ini memang menyenangkan, dibanding udara dalam rumah yang penuh dengan do’a-do’a buruk dari sang pemilik rumah pada diri ini.
“Saya keluar dulu ya, Bi.”
“Oh, baik, Nyonya Tiff.”
Seperti yang sudah kujelaskan, tiga hari yang lalu aku bangun bukan di tubuhku sendiri. Melainkan milik kawan sekelasku, namanya Tiff. Dia adalah orang kaya yang memang memiliki perangai buruk. Aku memang sempat berangan menjadi orang kaya sepertinya. Namun jika banyak orang yang membencinya, maka aku memilih mundur.
Sesampainya di halaman, aku melihat tukang kebun itu duduk di samping pot bunga. Sepertinya dia kelelahan karena membersihkan halaman rumah yang luas ini sendirian. Kuhampiri tukang kebun itu dan dia tergagap-gagap ketakutan melihatku.
Refleks dia mengambil sapu dan langsung berdiri lagi untuk menyapu. Aku tau dia masih kelelahan, kenapa harus memaksakan diri?
Kuhampiri dia yang kali ini sedang mencabuti gulma yang tumbuh di pekarangan rumah. Seandainya tubuhku tidak bongsor seperti ini, aku pasti akan membantunya untuk mencabuti rumput. Tubuh ini begitu overweight yang membuatku sangat susah untuk berjongkok.
“Bapak nyabutin rumput itu, ya?”
“I … iya, Nyonya.” Dia menjawab dengan gugup.
Saat hendak ia raih sapu yang ada di sampingnya, aku meraih benda itu terlebih dahulu. “Biar aku yang menyapu, bapak lanjutin aja cabut rumputnya.”
“Eh, eh, jangan, Nyonya. Saya nggak capek, kok. Biar saya aja yang nyapu. Ini sudah kerjaan saya.” Si bapak ini merasa tak enak dan ingin merebut sapu yang ada di tanganku.
“Udah bapak nyabut rumput aja, saya yang akan nyapu. Kalau kurang bersih, baru bapak yang lanjutin. Ok!” jawabku dengan senyum ceria.
Tukang kebun itu menganga dan melihatku tak berkedip. Aku tak tahu, kenapa mereka semua begitu sungkan padaku. Sebenarnya, manusia macam apa Tiff ini di mata para pegawai rumahnya?
Namun aku membiarkannya saja tukang kebun itu dengan segala prasangkanya, lebih baik aku menyapu halaman rumah ini. Sudah tiga hari terjebak dalam tubuh obesitas yang begitu berat, rasanya akan begitu gerah jika aku diam saja tanpa melakukan apa-apa.
Suara sapu menggores tanah pun terdengar, aku mulai menyapu halaman. Walau badan ini sedikit susah dipakai jongkok tapi tak apa aku akan berusaha.
Sepertinya, suara suapa lidi ini mengundang orang lain yang sedang melewati rumah.
“Eh, Mbak Tiff lagi sapu-sapu?” Seorang perempuan menyapaku dari luar pagar rumah. Aku tidak mengenalnya, aku tidak tau siapa dia. Tapi yang jelas, pemilik tubuh ini pasti kenal dengan dia.
“I … iya, Bu.” Aku menjawab sewajarnya saja agar tidak menimbulkan kecurigaan.
“Haaa?” Wanita itu menganga dan menutup mulutnya.
Apa ada yang aneh?
“Perempuan nggak tau diri ini manggil aku ibu?” bentaknya dengan sombong.
Apa yang salah dengan sebutan itu? Dia itu wanita paruh baya, kenapa tak mau dipanggil ibu? Memang biasanya Tiff memanggilnya dengan sebutan apa?
“Eh, inget ya! Aku masih sakit hati waktu itu kamu sebut nenek sihir dengan mulut comberan!” Dia bertolak pinggang di tepi jalan dan meneriakiku yang ada di halaman rumah. Padahal dia tadi menanyaiku dengan ramah, kenapa sekarang tiba-tiba mengumpat?
“Perempuan obesitas kayak kamu ini sampah masyarakat! Apa-apa nyusahin orang! Kalau bukan karena kamu anak orang kaya, pasti kamu sudah ditendang keluar sama mertuamu!” Dia membentakku. Menyembutku sampah masyarakat karena tubuh gendut ini.
Aku pun tak menggubrisnya, kembali fokus pada sapu di tanganku dan menyapu saja membantu bapak tukang kebun.
“Halah! Emang bisa kamu nyapu? Mau kerja kayak apa juga, kamu nggak bakalan langsing. Sampai abad ke berapa pun Arthur nggak akan suka sama kamu. Babi ya babi! Mimpi jadi istri pangeran!”
Wanita itu pun memalingkan muka dan melihat pada tukang kebun.
“Kok dibiarin dia nyapu sih, Pak? Nanti dia ngadu ke orang tuanya, terus bapak dipecat, anak bapak juga terancam dikeluarkan dari sekolahnya. Jangan biarin dia kerja-kerja, Pak. Biar aja dia makin gendut makin nggak berguna cuma bisa ngadu ke orang tua.”
Umpatan itu bukan untukku, melainkan untuk pemilik tubuh ini, namun entah mengapa aku merasa bersedih. Rasanya sakit sekali mendengar ibu-ibu itu mengatai Tiff, orang yang memiliki tubuh ini. Mungkin karena aku tinggal di dalam tubuhnya, sehingga emosinya tertular padaku.
“Nyonya, kemarikan saja sapunya. Saya tak mau kena masalah, nyonya masuk saja ke rumah. Saya mohon, jangan tempatkan saya dalam kesulitan lagi.” Tukang kebun itu merebut sapu dari tanganku.
“Eh, Jeng Dani. Mampir kok nggak masuk ke rumah sih?” Suara mama Kak Arthur keluar dari rumah. Dia menyapa pada orang yang baru saja mengatai aku, ternyata nama wanita itu adalah Bu Dani.
Aku diam mematung seperti orang bingung.
“Nggak, Jeng. Saya cuma lewat, trus ngeliat menantu Jeng Arman lagi nyapu, jadi aku ngingetin tukang kebunnya. Takut ngadu, kan, ke Tuan Banu. Bisa bahaya,” ucap Bu Dani yang memprovokasi. “Mungkin dia sapu-sapu karena mau caper sama Arthur.”
“Oh, gitu! Aduh, Tiff, kamu jangan suka gitu deh sama pekerja di rumah ini. Kamu yang pura-pura rajin buat cari perhatian Arthur, tapi nanti orang tua kamu malah marah sama tukang kebun kita. Jangan gitu ya, lain kali!”
Mukaku pun lantas memerah. Bukan karena aku merasa malu, tapi aku merasa sedih dan kesal, namun entah bagaimana mengungkapkannya.
“Udah ayo masuk, yuk!” Mama Kak Arthur ingin menggandeng lenganku namun aku menepisnya. Entah mengapa aku benar-benar tak suka dengan perilakunya.
“Eh, udah dibaikin malah sok!” ucap Bu Dani yang masih terdengar meski aku sudah masuk rumah ini. Dengan segera aku menuju ke kamarku, aku pun langsung melompat ke atas ranjang dan menangis tersedu-sedu.
“Kenapa aku harus terjebak di sini? Walau sekarang aku menjadi istri dari orang yang kucintai, tapi bukan kehidupan seperti ini yang aku mimpikan. Lebih baik aku mati daripada terlahir kembali dalam tubuh orang ini.”