04 - Senja, Bersama

2574 Words
Gilang tahu bahwa semua ide konyol Ayara tidak akan menjadi hal yang masuk akal. Mengingat kehadiran Ayara dalam hidup Gilang hingga detik ini sama sekali tidak masuk akal pula. Namun tetap saja, rasa penasaran Gilang harus terpecahkan. Oleh karena itu, di jam istirahat ini Gilang memutuskan untuk makan di rooftop sekolah bersama dengan Ayara. Tanpa ada kata 'bersama' pun, Ayara--si hantu cantik itu akan selalu mengikuti kemana pun Gilang pergi! Rooftop sekolah memang selalu sepi. Tidak ada orang yang mendatanginya karena naik beberapa tangga itu melelahkan. Sama halnya seperti saat ini. Gilang dengan raut wajah datarnya sudah berkeringat karena menaiki tangga demi tangga. Ia sama sekali tidak mengeluh kelelahan. Hanya saja, hantu wanita yang mengikutinya yang sejak tadi berisik. "Gilang, aku capek.." keluhnya. "Istirahat dulu yuk.." ajaknya kemudian. Gilang yang penasaran dengan sosok hantu yang tengah kelelahan pun menoleh ke belakang. Dan ternyata benar, Ayara kelelahan. Bagaimana bisa sosok hantu kelelahan? Bukankah mereka bisa menggunakan kekuatannya untuk terbang bahkan menghilang? Sungguh kedua hal tersebut kini tengah berputar-putar di kepala Gilang. "Emangnya hantu bisa capek? Lo lupa kalau lo hantu? Lo bisa gunain kekuatan terbang lo, Ayara. Atau bahkan, lo juga punya kekuatan menghilang? Coba aja, nggak usah sungkan sama gue!" Dengan raut wajah melasnya Ayara menjawab, "Aku nggak tahu, Gilang. Aku belum pernah nyoba." "Ya makanya, coba sekarang juga. Jangan nyusahin gue karena keluhan capek lo itu, gue sendiri capek!" ".........." Ayara pun terdiam di tempatnya berdiri. Ia tak peduli dengan Gilang yang sudah melangkahkan kakinya melewati tangga-tangga di depan sana itu. Dalam diam Ayara, arwah itu pun mencoba memejamkan matanya, berharap ia bisa menemukan cara untuk sampai di rooftop seperti kata Gilang yakni dengan menggunakan kekuatannya. Entah apa yang terjadi, saat Ayara membuka mata, ia sudah terduduk di sebuah bangku. Dan di depan sana, ia yakin terdapat pemandangan kota yang sangat indah. Jadi, Ayara sudah berada di rooftop hanya dengan memejamkan matanya dan membatin tempat yang ingin ditujunya? Woahh, semudah ini ternyata untuk menghilang. Ketika Gilang sudah sampai di rooftop, ia sangat terkejut melihat Ayara sudah terduduk di sana dengan senyum lebar dan juga lambaian tangan penuh semangat itu. Astaga! Gilang pikir, Ayara akan menghilang selama-lamanya, nyatanya hantu gadis itu masih setia mengikutinya. "Lo bener-bener ya, curang banget lo. Gue capek-capek naik tangga, lo main hilang gitu aja!" Serba salah. "Tadi katanya aku suruh gunain kekuatanku. Gimana sih kamu?" "Ah udahlah! Langsung makan siang aja. Gue lapar." Ayara mengangguk-angguk antusias. Inilah bagian yang paling ditunggu-tunggunya. Pria di sampingnya itu lantas membuka kresek putih yang dibawanya. Di dalamnya terdapat sekotak roti bakar hangat dan juga dua kaleng soda. Entahlah apa sebenarnya yang merasuki Gilang hingga pria itu membeli dua kaleng soda. Memangnya Ayara bisa meminumnya? Lagipula, ada apa dengan Gilang? Saat ini Gilang baru menyadari bahwa dirinya terlalu mempedulikan hantu wanita yang tidak jelas asal-usulnya itu! Melihat makanan dan minuman yang dikeluarkan Gilang dari dalam kresek, Ayara pun lantas memberikan tatapan teduhnya para pria itu. "Kamu beli roti bakar lagi? Emangnya yang tadi pagi udah kamu makan, Gilang?" "Gue buang! Udah dingin, nggak bakal enak," jawab Gilang dengan sesuka hatinya. "Mubazir tau. Kamu harusnya--" "Kenapa lo jadi ceramah!? Tinggal makan aja apa susahnya sih? Kalau nggak mau--" "Mau kok! Nih, aku makan." Tunggu dulu. Ayara bisa memakan roti bakar hangat ini. Wow, rasanya ketika sampai di mulut Ayara terasa nikmat. Seperti seseorang yang tidak pernah makan roti bakar cokelat, Ayara kalap! Gilang mengulas senyum miringnya, dengan mata yang masih terus memandangi Ayara yang tengah makan dengan lahapnya itu. Kini Gilang melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa hantu cantik yang mulai hari ini akan terus mengikutinya itu bisa memakan-makanan manusia. "Jadi, hantu kayak lo beneran bisa makan-makanan manusia?" "Iya! Aku senang banget, Gilang! Mulai hari ini, kamu kalau beli makanan yang banyak ya.." Dengan kesal dan gemas, Gilang lantas menyentil dahi Ayara. "Siapa lo nyuruh-nyuruh gue?" "Kita 'kan teman! AKU-TEMAN-KAMU, Gilang." "Ah elah! Kenapa lo bisa makan-makanan manusia sih!? Kan kalau begini, uang jajan gue yang biasanya sisa, jadi habis karena lo." "Ihh, tenang aja. Aku makannya dikit kok. Ya udah deh, kamu tetep jajan seperti biasanya aja. Lagipula, aku nggak pernah bisa ngerasa lapar, Gilang. Aku memang bisa makan-makanan manusia, tapi aku nggak bisa ngerasain apa itu lapar." "Aneh lo. Bener-bener semua yang ada dalam diri lo, nggak masuk akal sama sekali." "Ya emang aku nggak masuk akal. Tapi kamu percaya 'kan sama aku? Buktinya kamu baik banget sampai beli dua kaleng soda. Pasti satunya buat aku." Tanpa meminta izin terlebih dahulu pada Gilang, Ayara langsung saja mengambil salah satu diantara dua minuman kaleng bersoda di hadapannya. "Anggap aja gue lagi sedekah sama makhluk tak kasat mata kayak lo." "Dermawan banget sih kamu, Gilang. Aku 'kan jadi makin betah jadi teman kamu!" "Gue yang nggak betah, Ayara! Kalau lo udah kelarin urusan lo di dunia ini, mendingan lo buruan minggat. Gue pengen hidup tenang kayak sebelumnya. Tentunya hidup tenang gue itu tanpa lo, Ayara." Merasa sedih mendengar ucapan serius Gilang. Ayara merasa tertampar karenanya. Dengan ketegarannya, Ayara mencoba membiasakan dirinya dengan segala sikap dan perkataan Gilang yang selalu saja menyakiti hatinya. Meskipun ia hanyalah sesosok hantu, bukan berarti ia tidak punya hati, dan tidak bisa merasakan apa itu sakit hati. Justru, hatinya sensitif. Dan, berdekatan setiap hari bahkan setiap saat dengan Gilang--Ayara harus menguatkan hatinya. Hitung-hitung, saat-saat bersama Gilang merupakan gemblengan mental agar Ayara semakin kuat menghadapi hari dimana ia akan menghilang dari muka bumi ini untuk selama-lamanya. "Iya-iya, nanti kalau urusan aku di dunia ini sudah selesai. Aku pasti akan pergi kok, Gilang. Kamu tenang aja.." "Hm." Tiba-tiba ada sebuah telapak tangan yang menyentuh dahi Gilang. Ternyata pelakunya adalah Efendi. Pria yang merupakan sahabat Gilang satu-satunya itu sudah berada di rooftop ini bersama dengan Shella. "Ngapain lo di sini, Lang? Ham-hem, ham-hem, sawan lo?" "L--lo!? Ngapain lo di sini, Fen?" tanya balik Gilang pada Efendi. Shella yang hanya diam di belakang Efendi pun membuat Gilang tersenyum miring. "Bagus deh, hubungan lo sama Shella ada kemajuan." "Kemajuan apanya!? Gue ke sini sama Shella karena mau ngobrolin sesuatu! Pikiran lo jangan ke situ-situ deh! Banyak nggak benernya!" Gilang paham betul dengan situasi dan kondisi saat ini. Ia pun berinisiatif untuk membereskan sisa makan siangnya bersama Ayara. Ayara yang belum selesai makan pun mendumel, "Ih aku belum selesai makan, Gilang!" "Rooftop milik lo berdua, gue turun dulu." Begitulah kata Gilang sembari tersenyum lebar dan menepuk-nepuk pundak Efendi. Efendi yang risih dengan tingkah Gilang pun menangkis tangan sahabatnya tersebut. Tidak tahu saja Gilang bahwasannya Efendi akan memarahi Shella habis-habisan di sini, bukan untuk berpacaran seperti apa yang ada di dalam benak Gilang. Pasrah acara makan siangnya harus berakhir lebih awal, apa memangnya yang bisa Ayara lakukan selain mengikuti Gilang? Ia pun melangkahkan kakinya menuju arah tangga. Teringat akan suatu hal bahwa dirinya bisa menghilang, Ayara pun berniat melakukannya kembali. "Daripada harus capek-capek. Kalau ada yang mudah, kenapa mempersulit diri sendiri?" Senyum lebarnya terulas sempurna. Ia sudah berancang-ancang untuk menghilang. Namun.. Suara lantang Efendi membuat Ayara mengurungkan niatnya untuk menghilang guna menyusul Gilang yang sudah turun terlebih dulu. Ayara mendengar dengan kedua telinganya sendiri bahwasannya Efendi tengah memarahi Shella habis-habisan karena masakannya tadi pagi. Pria itu benar-benar tidak tahu rasa terima kasih, Ayara yakin--masakan Shella sudah pasti lezat. Efendi saja yang terlalu gengsi! Dari sini, Ayara paham. Ternyata, Gilang jauh lebih baik daripada Efendi. Andai saja Shella bisa melihatnya, saat itu juga Ayara sudah pasti akan mengajak Shella untuk pergi dari hadapan Efendi. Hati perempuan mana yang tidak merasa sakit saat dibentak dengan kata-kata yang menusuk seperti itu? Dengan perasaan kesalnya, Ayara kemudian menghilang. Sampai di bawah, Gilang yang tampak ngos-ngos-an itu berusaha menunjukkan ekspresi seperti biasanya. Terlebih di hadapan Ayara. Ia harus tetap terlihat cool. Kulkas dua pintu harus kalah saing dengannya! "Gilang." "Hm." "Gilang, sahabat kamu kuurang ajar!" "Lo apa-apaan sih!?" Gilang tentu saja tidak terima ketika Ayara tiba-tiba mengatakan bahwa Efendi kuurang ajar. "Kamu nggak tahu 'kan apa yang terjadi di atas? Aku tahu semuanya! Kasihan Shella, Gilang.." "E--emangnya kenapa?" *** Setelah mendengar cerita yang keluar dari bibir Ayara, Gilang pun juga merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh Ayara. Ia iba dengan Shella. Pertanyaannya, bagaimana bisa Efendi yang Gilang kenal selalu baik terhadap wanita berkata semenyakitkan itu pada Shella yang jelas-jelas begitu tulus padanya? Benar-benar tidak bisa dibiarkan tindakan Efendi kali ini. Gilang harus menegurnya. Maka dari itu, di lapangan basket yang telah sepi inilah Gilang bermain basket sembari menunggu kedatangan Efendi yang masih harus mengikuti rapat OSIS. Ya, Efendi merupakan wakil ketua OSIS. "Gilang, kenapa nggak langsung pulang aja sih? Kan bisa besok aja ketemu Efendinya.." keluh Ayara yang sudah malas menyaksikan Gilang sejak tadi bermain basket sendirian. Kini Ayara mendudukkan dirinya dengan anteng di salah satu bangku yang tentu saja kosong itu. Murid-murid sudah banyak yang pulang, sehingga permainan basket Gilang tidak ada yang menonton. Padahal jika Ayara nilai, Gilang sangat pandai bermain basket. Di rumah Gilang pun, Ayara melihat ada beberapa piagam dan piala penghargaan tim basket Gilang! Jadi, sebenarnya Gilang ini anggota dari tim basket sekolah ini atau bukan? Entahlah..belum terjawab apabila Ayara belum menyaksikan secara langsung bagaimana Gilang dan timnya bermain basket di lapangan ini. Karena Gilang mendiamkannya sejak tadi. Ayara kembali bersuara, "Kamu jago banget main basketnya!" Pujian itu, pujian yang sudah lama sekali tidak pernah Gilang dengar. Diam-diam Gilang merindukan pujian itu. Andai saja.. Ah, apa yang dipikirkannya? Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, lantas melemparkan bola basket itu hingga menabrak kursi taman dimana menjadi tempat Ayara duduk. "Gilang!" pekik Ayara karena terkejut. Meskipun ia hanyalah sesosok arwah, bukan berarti ia tidak merasakan sakit apabila sampai bola basket itu mengenai dirinya. Dasar, Gilang tidak berperikearwahan! "Jangan puji gue tentang basket, benci gue dengernya." Setelah menyuarakan kekesalannya itu, Gilang pun kemudian mendudukkan dirinya di samping Ayara. Ia meraih botol minuman yang ia letakkan di sisi kiri Ayara. Tentu saja saat mengambil botol tersebut, posisi keduanya sempat hampir tidak berjarak. Ayara sampai diam membeku. Andai ia manusia, mungkin ia sudah menahan napasnya saat ini juga! "K--kenapa? Kenapa kamu benci? Kan emang benar, kamu jago banget main basketnya." "Berhenti, Ayara." Nada dingin dan juga tatapan tajam Gilang membuat Ayara tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya ada hal yang belum Ayara sepenuhnya ketahui dari sosok Gilang. "Gilang! Lo beneran nungguin gue? Ada apa sih? Sepenting itu sampai lo buang-buang waktu buat tungguin gue.." Terdengar kekehan kecil dari bibir Efendi. Ya, Efendi menghampiri Gilang. Tanpa aba-aba, Efendi segera menduduki tempat duduk kosong di samping Gilang. Ayara sontak bangkit dari duduknya. Rupanya tidak hanya Ayara, Gilang pun juga terkejut dengan Efendi yang tiba-tiba langsung mendudukkan dirinya di tempat duduk Ayara itu. "Untung saja nggak sampai didudukin Efendi.." gumam Ayara yang tentu saja didengar oleh Gilang. Tahu, apa tanggapan Gilang? Hanya tersenyum sembari menahan tawanya karena melihat ekspresi Ayara yang menurutnya sangat lucu itu. Dalam hati Gilang berkata Ya salah lo sendiri jadi setaan! Nggak kelihatan 'kan... Kembali pada niat awalnya menunggu Efendi. Gilang lantas memasang raut wajah seriusnya. Efendi tahu, kini raut wajah Gilang menampilkan sebuah ekspresi yang sangat tidak bersahabat. Maka dari itu, ia mencoba mengingat-ingat kembali--mungkinkah ia baru saja melakukan sebuah kesalahan pada Gilang? Sepertinya tidak! "Kenapa sih lo? Ngomong dong! Jangan diam aja lo, kayak cewek yang lagi ngambek aja lo," ledek Efendi yang masih mencoba mencairkan suasana. Kini Efendi menyadari perubahan sang sahabat dari pagi tadi hingga sore ini. Hari ini, Gilang Eri Permana cukup aneh! "Bisa nggak, lo memanusiakan manusia?" "Maksud lo?" "Shella." Ekspresi Efendi berubah menjadi sinis. "Shella ngadu ke lo, Lang?" "Sama sekali nggak, Fen. Lo lupa kalau mata dan telinga gue banyak?" "Gue eneg sama dia. Gue pikir, gue cuman kurang tegas aja sama dia. Gue mau dia berhenti sok-sok-an jadi cewek gue di sekolah. Cukup hubungan konyol sepasang kekasih itu membuat gue nggak bisa berkutik di depan seluruh anggota keluarga gue sama dia. Di sekolah? Gue nggak akan biarkan dia bertingkah." "Lo salah kalau kayak gitu, Fen. Perasaan manusia itu nggak bisa diatur. Gue lihat, Shella tulus sayang dan cinta sama lo. Lo aja yang nggak tahu diri dan kurang bersyukur." "Apa lo bilang!?" Ayara mulai khawatir akan adanya pergulatan diantara keduanya. Namun, apa yang bisa ia lakukan selain menjadi penonton? Tidak ada! Alhasil, Ayara hanya diam seraya terus menatap Gilang. Gilang tentu tahu, arti sorot mata Ayara--hantu itu memintanya untuk tetap tenang menghadapi Efendi. "Gue cuman mau ingetin lo aja. Sebelum semuanya terlambat. Gue tahu lo lebih dari siapapun, Fen. Dan gue tahu, seperti apa sebenernya perasaan lo. Gue yakin, Shella baik buat lo. Gue pulang dulu, takut Mama khawatir." Seusai menasihati Efendi, Gilang langsung pergi meninggalkan Efendi begitu saja. "Siialan lo! Lo nggak khawatir sama gue!?" Bahkan teriakan Efendi sama sekali tidak menghentikan langkah kaki Gilang. Pria itu masih terus berjalan dan menatap ke arah depan sana. Sementara Ayara juga sudah berjalan tepat di sampingnya. Mereka berdua berjalan beriringan tanpa seorangpun yang tahu, kecuali Gilang. "Aku senang dengan sikap kamu dalam menghadapi Efendi, Gilang. Aku pikir, kalian akan berantem tadi." "Nggak semua masalah bisa diselesaiin sama tonjok-tonjokan, Ayara. Lagian nggak ada matras juga, kasihan badan gue! Belum lagi kalau sampai babak belur, terus diinterogasi Mama sama Papa di rumah." "Hm, gitu ya? Bagus deh.." Ayara hanya manggut-manggut saja. Mencoba memahami alasan Gilang dalam mengendalikan emosinya tadi. "Apanya yang bagus!?" "B--bukan apa-apa kok.." Ayara menunduk dalam. Memangnya tidak boleh memuji keputusan Gilang yang sudah berhasil mengontrol emosinya itu? Ayara merasa serba salah jika sudah berhadapan dengan Gilang. "Yang bagus itu, kalau lo udah kelarin masalah lo di dunia ini." "Iya-iya! Mulai besok, aku bakalan cari alasan tentang 'kenapa arwahku masih ada di dunia ini?'" Sampai di depan motornya, pria itu mengulas senyum miringnya. Terbesit sebuah pertanyaan yang akan membuat Gilang nyaman mengendarai motornya saat pulang sore ini. "Lo mau ikut gue pulang naik motor, atau pakai kekuatan menghilang lo itu? Gue lebih seneng kalau lo pakai kekuatan lo sih.." Bukan pujian! Bukan! Gilang mengejek kemampuan Ayara sebagai arwah gentayangan! Dengan ekspresi cemberutnya, Ayara langsung menaiki motor Gilang sebelum pria itu menaikinya. "Aku mau pulang sama kamu, naik motor ini!" putus Ayara yang kemudian menepu-nepuk jok motor yang akan diduduki oleh Gilang. "Dasar hantu! Kapan sih lo tahu diri dikit?" "Ih, kamu sama Efendi ternyata sama aja!" kesal Ayara. "Sekali lagi nyama-nyamain gue sama dia, gue panggilin dukun--" "Gilang baik, Gilang ganteng, Gilang dermawan, Gilang penyayang, pokoknya yang baik-baik deh!" Tak mempedulikan serentetan pujian yang keluar dari bibir Ayara, Gilang pun langsung menaiki motornya dan memutar gasnya untuk melaju membelah jalan pulang mereka berdua sore ini. Selama berkendara, Gilang merasa..kehadiran Ayara ada baiknya juga. Gilang jadi tahu apa saja yang Efendi perbuat pada Shella, terutama perbuatan buruknya. Bukannya apa-apa, Gilang hanya tidak ingin Efendi merasakan sesal yang luar biasa. Pasalnya, Gilang-lah yang merasa paling tahu mengenai perasaan cinta Efendi pada Shella. Biasalah, pria memang suka dengan pujian gengsi! "Gilang, senjanya indah banget!" ungkap Ayara yang membuyarkan segala pikiran Gilang tentang kisah asmara rumit yang dialami oleh sahabatnya. "Hm." Entah terdengar atau tidak oleh hantu yang tengah diboncengnya itu, Gilang sama sekali tidak peduli. Meskipun caranya menyikapi Ayara mirip dengan cara Efendi menyikapi Shella, tapi kasus keduanya berbeda! Terutama sebuah kenyataan tentang, Shella manusia, sedangkan Ayara hanyalah arwah gentayangan! Hak asasi manusia tidak berlaku untuk Ayara. "Tapi, naik motor sama kamu di jalan raya sambil nikmatin senja, jauh lebih indah! Terima kasih, Gilang." Mendengar ucapan 'terima kasih' dari bibir sosok arwah gentayangan membuat Gilang tidak bisa berekspresi. Akan tetapi, hatinya tidak sejalan dengan ekspresi datarnya. Buktinya, hatinya menghangat seketika. Haruskah ia merasa senang? Atau justru ngeri? "Semua berasa ribet karena lo bukan manusia."  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD