Jam pertama berakhir. Ibu Pendidik yang kemudian kuketahui bernama Ibu Peny mengantarkanku ke kelas. Sebelum masuk ke kelas yang kami tuju, Bu Peny menjelaskan sedikit gambaran tentang sistem pengaturan kelas di ENC Schooll. Terdapat tiga tingkatan kelas untuk menengah atas, yang tiap kelas uniknya dibedakan dengan nama sebuah bebatuan. Kebetulan aku berada di kelas dua Obsidian.
Tak kusangka aku bisa beradaptasi dengan baik di kelas baruku. Tidak ada murid yang jahil seperti yang kukhawatirkan. Aku sulit percaya karena semua berjalan sesuai keinginanku. Aku dan Fiona duduk berdekatan dan kami selalu saling membantu terutama saat diskusi kelompok. Fiona mengatakan aku termasuk beruntung karena masuk ke kelas Obsidian. Walaupun kelas ini bukanlah kelas yang diunggulkan tetapi memiliki kerja sama serta toleransi yang tinggi.
Di saat istirahat, Fiona mengajakku ke kantin sekolah sambil melihat-lihat bagunan yang kami lewati. Satu kelas menyita perhatianku karena di dalamnya sangat berisik dan gaduh.
“Itu adalah kelas dua Basalt,” jelas Fiona tanpa kutanya. “Untunglah kamu tidak masuk ke sana, Hara. Mereka terkenal paling ribut. Tidak heran sih, itu pasti karena di kelas itu ada Dam dan teman satu gengnya.”
Aku menangkap perubahan wajah Fiona yang meredup setiap kali membicarakan Dam. Hati-hati, lalu aku bertanya. “Fio, maaf. Sepertinya kamu sangat membenci Dam.”
“Jelas.” Fiona memutar bola matanya lalu berbicara ke arahku. “Bagaimana tidak? Seperti yang kukatakan, dia berbahaya.”
“Tetapi Fio… apa yang membuat dia berbahaya? Kupikir dia tidak terlihat seperti monster atau binatang buas. Ummm… maksudku… ya, mungkin dia terkesan tidak taat aturan tetapi sepertinya dia tidak se-rebel itu.”
“Jangan terkecoh, Hara!” Fiona tiba-tiba berhenti berjalan dan memberiku tatapan tegas. “Dan dan kelompoknya bekerja untuk sesuatu yang keji.”
"Sesuatu yang keji? Maksudmu seperti apa?"
Fiona tampak berpikir sesaat sebelum kembali membalas pertanyaanku. "Maaf, Hara. Aku tidak bisa menjelaskan kepadamu detailnya sekarang, tetapi kupastikan Dam dan gengnya memiliki tujuan yang tidak baik."
Aku terdiam dan belum mengerti apa maksud Fiona. Hanya saja dari penjelasan Fiona, cukup lah aku tahu bahwa ada jurang perselisihan di antara mereka dan Fiona belum ingin memberitahuku. Akhirnya, terpaksa kutahan rasa penasaranku dan berusaha memperingatkan diriku sendiri. Jika aku masih ingin berteman dengan Fiona, lebih baik aku menjaga jarak dengan Dam. Lalu tentang pertemuanku dengan Dam di ruang kesehatan, sepertinya bukan ide bagus jika aku menceritakannya kepada Fiona.
“Hara, jauhi Dam demi kebaikanmu. Mengerti?”
“Ummm… ya, aku akan mencobanya.”
Fiona tiba-tiba mengalihkan pandangannya dariku lalu melambaikan tangannya ke arah lain. “Hai! Eizen!”
Aku memutar kepala dan mengikuti arah pandang Fiona ke kelas seberang tak jauh dari tempatku berdiri. Di sana, aku melihat Eizen keluar dari kelas dua Diorit. Seperti tadi pagi, wajah Eizen tampak ketus dan aku tidak habis pikir dia hanya membalas lambaian tangan Fiona yang antusias begitu dengan wajah datar. Ah, dasar lelaki itu.
“Hara, tunggu sebentar, ya!” pamit Fiona kepadaku sebelum berlari menuju Eizen. Mereka terlihat bercakap-cakap sebentar lalu Fiona kembali menemuiku. “Ah, tidak biasanya Eizen menolak ajakanku ke kantin,” keluh Fiona kepadaku.
Aku sedikit tercengang. “Jadi kalian biasa ke kantin bersama? Apa jangan-jangan kalian ini berpacaran?”
“Aku dan Eizen berpacaran?” Fiona menertawakan tebakanku. “Tidak. Kami tidak seperti yang kamu pikirkan, Hara. Kami berteman sejak kecil dan sudah seperti saudara.”
Aku mengangguk mengerti sekaligus heran kenapa orang sebaik Fiona bisa tahan berteman dengan lelaki batu seperti Eizen.
“Kenapa, Hara? Eizen tidak berbuat sesuatu yang buruk kepadamu ‘kan?”
“Bagaimana, ya?” Aku tersenyum tipis. Lalu sambil berjalan, kuputuskan untuk menceritakan hal mengganjalku tentang Eizen kepada Fiona. “Sebenarnya pertemuanku dengan Eizen tidak memiliki kesan bagus. Tadi pagi aku tergesa-gesa sampai akan tergelincir jatuh, lalu entah datang dari mana, Eizen tiba-tiba menolongku. Tetapi setelah itu dia mengataiku ‘dasar gadis kota’ dan hal-hal frontal seperti apakah aku sudah bosan mati. Bagiku itu keterlaluan.”
“Yah… aku bisa mengerti kenapa Eizen begitu,” respon Fiona. “Dengar, Hara. Bagi kami… maksudku bagi manusia tentu saja nyawa itu sangat berharga, bukan? Nah, Eizen termasuk orang yang membenci jika ada orang ceroboh pada nyawanya sendiri.”
“Ah, begitu ya. Tetapi tetap saja… sikapnya membuatku takut dan tidak nyaman. Mungkin semenjak kecerobohanku itu, Eizen juga sudah membenciku.”
“Percaya kepadaku, Eizen itu sebenarnya orang yang baik. Jika aku bisa berteman dengannya, mungkin kamu juga, Hara. Di luar ucapannya yang kadang frontal itu, sebenarnya dia bisa menjadi teman baik, kok.” Fiona mengusap pundakku.
Batinku menggerutu. Teman baik? Aku dan Eizen? Ah, aku tidak yakin dan sulit untuk membayangkannya. Justru kupikir kami berdua akan menjadi balok es yang saling berbenturan.
“Nah, sudah sampai kantin. Lebih baik kita makan sekarang!” ajak Fiona. Lalu pikiranku pun teralihkan kepada suasana kantin yang ramai.
***
Saat jam pulang sekolah, aku berkata jujur kepada Fiona. “Aku khawatir akan muntah lagi lalu merepotkan Pak Sopir.”
Fiona menepuk pundakku. “Hmmm kalau begitu sebentar. Aku memiliki solusi untukmu.”
Aku menahan Fiona yang terlihat akan pergi meninggalkanku. “Kamu mau ke mana, Fio?”
“Ke kantin. Aku berjanji hanya sebentar saja. Kamu tetap duduk di sini, oke?”
“Ja–jangan lama-lama.”
Fiona mengangguk sebelum tubuhnya yang kecil dan ramping berlalu meninggalkanku. Sesuai permintaannya aku tetap duduk di teras taman sendirian sambil menunggu dengan was-was. Dari pada memikirkan yang tidak-tidak, aku mulai membuka ponselku dan mengubungi Kina. Sejak tadi kami belum sempat video call, mungkin waktu sekarang bisa kugunakan untuk video call bersama Kina.
Aku menatap ponselku dengan kecewa. Rupanya sambungan wifi sekolah telah diputus begitu jam belajar berakhir. Kulesatkan ponselku ke dalam tas dengan kesal.
“Hara? Sedang menunggu apa?”
Aku terkaget dan menoleh ke arah kiriku. Dam mendatangiku. Dia bersama dua murid laki-laki yang pagi tadi kulihat di koridor membicarakan tentang DEMON. Aku baru tahu ternyata dua murid laku-laki itu adalah teman Dam.
Aku langsung memasang mode siaga. Pikiranku cemas, meski tidak begitu pasti apa penyebabnya, antara khawatir mungkin Dam akan berbuat jahat kepadaku di saat situasi sepi seperti yang selalu Fiona peringatkan, atau khawatir Fiona melihatku mengobrol bersama Dam lalu Fiona akan membenciku. Dua hal itu bercampur menjadi kecemasan di kepalaku.
“Da–dam? Un–untuk apa kamu di sini?”
“Aku akan ke parkiran mengambil motor,” jelas Dam. “Karena kamu di sini sendirian, makanya aku bertanya kamu sedang menunggu apa? Tidak ikut bus? Kulihat tadi anak-anak lain sudah naik ke bus.”
Mendengar hal itu, aku semakin panik. Aku celingkukan. Kenapa Fiona belum datang-datang? Bagaimana kalau sampai aku dan Fiona tertinggal bus?
Dam sepertinya membaca kekhawatiranku. Lalu ia berkata lagi. “Hei, tidak perlu cemas. Kalau kamu ketinggalan bus, mudah saja. Aku bisa mengantarkanmu pulang. Kupastikan kamu aman bersama kami, Hara.”
Kalau aku pulang diantar Dam naik motornya, mungkin aku tidak perlu merepotkan Pak Sopir lagi dengan muntahan mabuk perjalananku. Tetapi bagaimana aku harus menjelaskan kepada Fiona? Aku mulai tergiur tawaran Dam, dan debar jantungku mulai melambat menuju normal setelah otakku seperti menemukan sebuah alternatif.
“Dam!” sembur Fiona yang baru saja datang. “Jangan coba-coba memprovokasinya, ya!”
“Fiona Kane? Dia tidak terikat denganmu,” balas Dam kepada Fiona. “Jadi kenapa kamu begitu protektif kepadanya? Selama dia belum menentukan pilihan untuk terikat di kelompok mana pun, dia bebas menentukan pilihannya dan aku bebas berbicara apa pun dengannya.”
“Cukup omong kosongmu, Dam!” lontar Fiona, tajam. “Haruskah kita membahasnya di sini? Sekarang?”
“Sialan! Kau dan kelompokmu selalu merepotkan! Kalian seperti pecundang!”
Aku mematung berada di antara mereka berdua yang bersitatap tegang dan bisa kurasakan hawa-hawa panas menguar dari keributan antara Dam dan Fiona. Aku tidak mengira bahwa hanya karena permasalahan kecil seperti aku pulang naik bus atau motor, mereka menjadi ribut seperti ini. Mencoba menengahi, aku pun memaksa diri bersuara.
“Cukup!” seruku. “Kenapa hanya permasalahan kecil menjadi ribut seperti ini. Aku sudah menentukan pilihanku sendiri!”
Dam dan Fiona menatap ke arahku secara bersamaan. Wajah mereka serius seperti menunggu keputusan penting.
“Aku…” kataku, mantap, “akan tetap pulang naik bus!”
Fiona tampak mengembuskan napas lega. Tetapi tidak tahu apa yang ada di pikiran Dam dan dua temannya, mereka tersenyum miring lalu menggelengkan kepalanya seolah baru saja mendengar keputusan konyol dariku.
“Baiklah. Kalau begitu berhati-hatilah, Hara! Kuharap, lain kali kamu membuat pilihan yang lebih baik,” ucap Dam lalu bersama dua temannya berlalu menuju parkiran.
Aku beralih menatap Fiona. “Apa ada yang salah dengan ucapanku, Fio?”
“Tidak. Keputusanmu benar, Hara.” Fiona mengerjap. Ia lalu memberiku sebuah botol. “Ini minuman rempah. Minumlah agar kamu tidak mabuk perjalanan.”
“Terima kasih, Fio.” Aku mengambil botol itu dan meminumnya pelan-pelan. Rasanya hangat dan nyaman di tubuhku. “Dua murid yang tadi bersama Dam itu siapa, Fio?”
“Yang bertubuh tinggi itu namanya Vigor, dan yang gemuk namanya Gavin. Hara, lain kali jika Dam atau dua temannya itu mencoba mengajakmu bicara, lebih baik kamu abaikan saja, atau kalau bisa menghindar.”
Sebenarnya aku sedikit ragu mengiyakan saran Fiona. Hati kecilku sendiri jelas mengatakan bahwa aku tidak memiliki alasan untuk menghindari Dam. Dalam pandangan mataku Dam masih terlihat seperti pangeran musim dingin yang hangat dan dia tidak terlihat seperti orang dengan niat jahat. Tetapi demi membuat Fiona merasa tenang, aku pun hanya bisa menganggukinya.
***