Tak terasa sudah hampir seminggu aku tinggal di pulau Neilborn ini. Bisa dikatakan hari-hariku lebih banyak berjalan lancar dan aku bersyukur tentang hal itu. Gangguan kecil seperti sesekali aku terbangun di tengah malam karena mendapatkan mimpi buruk terkadang masih terjadi, tetapi itu tidak terlalu signifikan mempengaruhi hari-hariku jika dibandingkan dengan kejadian buruk yang belum bisa kulupakan tentang penampakan sosok prajurit demon. Meski begitu, aku lega karena sampai hari Sabtu ini tidak pernah ada prajurit demon yang memunculkan diri di hadapanku lagi.
Ketika aku bercerita kepada Kina tentang prajurit demon, dia menganggap kalau saat itu aku hanya sedang berhalusinasi. Aku ingin marah. Akan tetapi aku juga pernah di posisi Kina yang menjadi remaja rasional dengan tidak percaya hantu, hal takhayul, apalagi prajurit demon yang dari namanya saja terdengar aneh.
Maka aku menyerah bercerita tentang hal takhayul di pulau Neilborn ini kepada Kina, berhubung dia sendiri lebih tertarik ceritaku tentang para lelaki ENC School terutama kegilaannya kepada lelaki berkulit gelap yang eksotis alias tanned skin. Lalu sekarang, Kina–si gadis percaya diri itu–sudah berani menagihku agar mengenalkannya kepada salah satu murid ENC School yang berkulit gelap eksotis. Tentu saja aku tidak menganggap serius permintaan Kina itu. Selain kenalanku di ENC School belum banyak–khususnya laki-laki, hanya Eizen lelaki tanned skin yang sejauh ini pernah mengobrol di luar materi pelajaran denganku.
Hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya adalah akhirnya aku dan Eizen pergi bersama ke kantin walaupun kami tidak pernah benar-benar berdua, selalu ada Fiona di tengah-tengah kami. Eizen jarang mengajakku bicara dan aku pun tidak minat mengajaknya bicara kecuali itu mendesak. Kami benar-benar seperti dua kutub magnet yang sama dan akan saling menjauh satu sama lain jika didekatkan. Dia yang dingin dan masam, aku yang kaku dan tegang. Kami mungkin akan saling menjadi es batu yang diam jika hanya ditinggal berdua oleh Fiona.
Setelah mendengar ceritaku tentang bagaimana canggungnya hubunganku dengan Eizen, Kina lalu menyesalkan sikapku. Kenapa aku mengabaikan lelaki tanned skin yang pandai seperti Eizen, dan malah tertarik kepada Dam? Begitulah kira-kira yang Kina pikirkan. Namun, aku tahu itu hanya sebatas keluhannya saja. Yang sebenarnya, Kina tetaplah tipe gadis yang memahami bahwa selera dan ketertarikan setiap orang berbeda-beda. Kina mungkin menyukai lelaki tanned skin yang tampan, pandai, dan sedikit sentuhan dingin, tetapi aku berbeda. Seorang Hara lebih tertarik kepada lelaki yang hangat–seperti Dam.
Setiap perjumpaanku dengan Dam selalu meninggalkan kesan. Semakin aku mengenalnya, semakin aku bisa merasakan hatinya yang hangat. Kegugupanku perlahan-lahan gugur ketika di hadapannya. Fiona tidak salah bahwa Dam dan kelompoknya termasuk murid yang berbahaya di sekolah. Mereka terkenal biang ribut dan tidak taat aturan, karena itu Dam dan kelompoknya menjadi sekumpulan murid yang paling ditakuti dan dihindari di ENC School. Namun, tidak bagiku. Justru dalam pandanganku, ada sesuatu dalam dirinya yang menarik dan membuatku nyaman. Aku menertawakan diriku sendiri. Aneh sekali, bukan?
Tentang perasaanku terhadap Dam ini, hanya aku dan Kina saja yang tahu. Sementara, Fiona belum tahu. Ku akui nyaliku masih sangat kecil untuk memberitahunya. Aku khawatir dia mungkin akan menjauhiku jika aku jujur, sementara aku tidak ingin kehilangan Fiona sebagai teman. Sama seperti kepada Kina, aku pun sudah menyayangi Fiona.
Hari ini adalah hari Sabtu dan besok Minggu sekolah libur. Selagi Fiona pergi ke kantin membeli beberapa cemilan untuk dirinya dan juga sekalian mengambilkanku minuman rempah, aku duduk di teras dan iseng memeriksa handphone-ku. Betapa kagetnya ketika kulihat wifi sekolah masih menyala dan di saat bersamaan ada panggilan video dari Kina masuk. Aku berniat mengangkat panggilan itu, tetapi terlebih dulu pergi ke halaman belakang sekolah karena halaman depan masih ramai oleh beberapa murid.
Aku sampai di halaman belakang sekolah yang sepi. Tanah yang kupijak berkontur mirip perbukitan landai dengan banyak pepohonan pinus berjejer. Aku mendatangi salah satu pohon pinus dan berdiri di bawahnya agar pencahayaan dari matahari siang yang terik menjadi lebih teduh.
“Hai, Kina!” sapaku.
“Hara, aku kaget pada jam ini kamu bisa menjawab panggilan videoku. Tadinya aku hanya iseng saja. Kamu sedang berada di mana? Kamu masih di sekolah, ya?”
Aku mengangguk kepada wajah Kina yang tampak imut di layar handphone-ku. “Kebetulan wifi sekolah masih menyala jadi aku bisa menerima panggilanmu, Kina.”
“Senang sekali mendengarnya. Karena kamu masih ada di sekolah, coba dong sekali-kali perlihatkan kepadaku murid-murid lelaki tanned skin, Hara!” ucap Kina tersenyum genit.
“Oh, Kina! Apa kamu sudah gila? Kamu tahu aku tidak seberani itu, dan aku tidak akan pernah melakukannya… maksudku mengambil gambar lelaki hanya untuk memenuhi rasa penasaranmu.”
“Ah…” kata Kina kecewa, “ya sudah. Tapi paling tidak kamu memperlihatkan bagaimana Eizen kepadaku, bagaimana? Selama ini aku hanya mendengar cerita tentangnya saja darimu.”
“Hah? Lelaki itu? Tidak, Kina. Aku tidak akan menjatuhkan harga diriku hanya untuknya.”
“Hara? Hara? Suaramu mulai tidak jelas. Kamu bilang apa?”
Aku mencoba berpindah tempat. “Sekarang bagaimana? Halo, Kina?”
Tiba-tiba sambungan video terputus. Setelah aku cek, rupanya wifi sekolah sudah dimatikan. Aku melihat layar handphone-ku dengan wajah menyesal.
“Oh, iya. Fiona! Aku sampai lupa. Jangan-jangan dia sudah selesai dari kantin dan sedang mencariku sekarang?” gumamku gelisah.
Aku berjalan cepat meninggalkan bukit belakang sekolah, tetapi tiba-tiba ada sesuatu di depan kakiku yang membuat kakiku tersandung lalu aku jatuh begitu saja tersungkur ke atas permukaan rumput sampai tasku terlempar. Dengan posisi tengkurap, aku mencoba menegakkan tangan dan duduk.
“Sepertinya tadi aku yakin tidak ada akar atau batu di depanku, tetapi kenapa aku bisa tersandung?” Aku menengok ke belakang untuk memeriksa. “Astaga!”
Refleks aku memekik ketika melihat penampakan di belakangku. Secepatnya aku mengambil tas dan berdiri. Tangan dan kakiku terlalu gemetar untuk bergerak. Jemari tanganku hanya menangkup d**a yang di dalam dadaku sudah berdebar keras hingga terasa sesak. Udara dingin tiba-tiba berembus kencang ke arahku, membuat bulu kudukku meremang. Aku yakin sumbernya dari makhluk jadi-jadian yang tampak seperti ular raksasa itu. Kukatakan makhluk jadi-jadian karena bentuknya yang mirip ular tetapi kepalanya bercabang lima. Belasan tahun aku hidup, belum pernah mendengar ada ular sungguhan yang seperti itu, kecuali tentang sebuah cerita mitologi ular berkepala banyak.
Apakah makhluk di depanku sekarang ini termasuk prajurit demon? Jika iya, seperti kata Fio, Ayah, dan pesan suku Urbei, aku harus mengumpulkan keberanianku sehingga rasa takutku hilang. Hanya dengan cara itu aku bisa mengalahkan si prajurit demon.
Mataku lalu terpejam. Meski dengan bibir bergetar, aku yang berkeyakinan lalu merapalkan doa-doa apa aja yang membuat jiwaku kuat. Ketika aku yakin keberanianku telah berkobar, aku membuka mataku kembali, mengarahkan penglihatanku ke depan, tetapi makhluk itu masih ada bahkan kepalanya yang semula lima kini bertambah jumlahnya menjadi tujuh.
“Tidak! Apa yang harus aku lakukan?”
Walaupun aku lari, dengan langkah kaki kecil ini aku yakin makhluk itu dengan mudah menangkap bahkan melahapku. Aku melangkah mundur, tetapi baru saja satu langkah kubuat, mendadak ekor mahkluk itu yang sebesar batang kayu pohon pinus secara cepat menghantam tubuhku. Aku terlepar membentur pohon pinus lalu jatuh tersungkur dengan posisi terlentang di atas rumput. Rasanya tubuhku remuk dan sakit sekali.
Aku memegangi dadaku yang terasa sesak sambil mencoba mengambil napas dengan susah payah hingga terbatuk-batuk. Saat aku melihat ke arah makhluk itu lagi, pandanganku terhalangi oleh kabut keruh mirip kepulan asap yang tiba-tiba muncul entah dari arah mana. Kabut itu berkumpul seperti mengepung si makhluk jadi-jadian. Aku berjengit ketika di dalam kabut itu tampak kilatan cahaya biru yang sangat terang.
Setelah cahaya biru itu berkali-kali berkilat di dalam asap hitam, akhirnya di depan mataku, aku melihat tujuh kepala mahkluk ular itu menggelinding dan memencar di atas rumput dengan lidah menjulur yang sangat mengerikan. Hanya dalam beberapa detik kemudian, bangkai kepala itu musnah menjadi kepulan asap hijau. Aku membelalakkan mata. Kengerian menguasai diriku yang masih terlentang dan belum mampu bergerak ini.
Tatapanku refleks beralih kepada kabut hitam besar yang kini bergerak ke arahku. Detik demi detik berlalu tanpa aku bisa melakukan apa pun untuk mencegah agar jarak kabut hitam itu tidak semakin mendekat. Aku pun pasrah ketika akhirnya kabut hitam itu sampai di atasku dan menyelimutiku. Tubuhku seperti digenggam oleh kegelapan. Kemudian, kurasakan seperti ada sepasang tangan kokoh yang meraih tubuhku dan membawaku melayang.
Aku mendongak, tetapi tak bisa melihat wajah siapa pun selain siluet sosok lelaki bersayap yang tertutupi kabut hitam. Ya, aku yakin benda lebar yang di belakang punggung sosok itu adalah sayap. Aku bisa melihat jelas dari siluetnya. Sayap itu berwarna hitam dan berukuran lebar. Tidak, kupikir itu lebih dari lebar yaitu sangat lebar! Berkali-kali lebih lebar dari rentangan tanganku.
Seberapa keras aku menajamkan pandanganku, aku tetap tidak bisa melihat wajahnya. Aku pun menurunkan padanganku dan menemukan hal lain. Kulihat ada sebuah benda kecil seperti koin berwarna silver di tengah dadanya yang bidang. Setelah berusaha kuamati lebih jelas di tengah kepulan kabut hitam yang ada, rupanya benda itu adalah liontin kalung. Pada permukaan liontin yang berbentuk koin itu, terdapat gambar timbul yang tampak seperti sepasang sayap dengan sebuah bintang di bagian tengahnya. Batinku bertanya-tanya, simbol apa itu? Aku baru pertama kali melihatnya.
Memikirkan simbol pada liontin itu, aku baru sadar kalau sosok itu telah membawaku terbang semakin tinggi, hingga ketika kutengok ke bawah, aku bisa melihat puncak-puncak pepohonan pinus halaman belakang sekolah. Tubuhku dibawa terbang oleh makhluk asing bersayap dan aku masih belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkinkah aku akan berakhir tragis karena sosok bersayap ini akan menjadikanku mangsanya yang selanjutnya setelah si ular raksasa? Wajahku kembali menengadah, berusaha melihat ke arah wajah sosok itu walaupun tetap saja yang bisa kulihat hanyalah siluetnya. Aku mulai berontak.
“Si–siapa kamu? Dan apa yang akan kamu lakukan padaku?” tanyaku tanpa melepaskan pandangan dari siluet wajah sosok itu.
Namun, tak ada jawaban apa pun terdengar darinya. Yang ada justru kabut hitam menebal dan semakin menutupi pandanganku kepada sosok itu. Kemudian, tidak ada lagi yang bisa kulihat dan kupikirkan selain kegelapan.
***