09

1006 Words
Satria menyenandungkan lagu itu sambil bermain gitar diteras rumahnya. Malam ini ia begitu suntuk, ingin pergi pun tak ada kawan yang mau ia ajak Hangout, kadang baginya menjadi jomblo itu membosankan. Namun, jika memiliki pacar uang jajannya akan semakin menipis, meskipun kadang saat ia pacaran para perempuan itu yang mentraktirnya makanan. "Lagi kasmaran ya?" Tanya sebuah suara yang keluar dari dalam rumah, Satria menghentikan petikan gitarnya lalu menatap pemilik suara itu. "Ih Ibu ini, siapa juga yang kasmaran. Tria lagi main aja, lama ndak gitar biar ndak kaku." Ucap Satria tersenyum, sambil memberikan kursi pada ibunya. "Dulu gitar itu milik ayahmu, ayahmu pandai main gitar." Kata sang Ibu, sambil mengelus gitar yang sekarang diletakkan Satria diatas meja. "Orangnya memang kaku Seperti Masmu (Bambang), susah kalau di suruh romantis, tapi sekalinya romantis ndak ketulungan." Satria mengangguk-angguk mendengarkan cerita Ibunya yang sesekali tersenyum, mungkin teringat sang ayah. "Terus kenapa Tria nemuin gitar ini digudang, dan Ayah gak pernah nyinggung soal gitar?" Di Tanya begitu raut wajah sang ibu berubah, seperti memikirkan sesuatu. "Setelah menikah sama Ibu, Ayahmu jatuh dari motor nabrak pembatas jalan. Motor gedenya dijual, ayahmu masuk rumah sakit. Padahal saat itu Masmu masih bayi. Sejak saat itu setiap mau main gitar tangan Ayahmu sering kesemutan. Sering juga Ibu kasih s**u kedelai (Ada campuran Vitamin B6 dan Magnesium) tapi, kesemutan ndak berhenti." Cerita ibunya. "Terus," Desak Satria, ingin mendengarkan cerita yang selama ini tak pernah diceritakan, baik ayahnya ataupun Ibunya. "Ibu bawa kerumah sakit. Kata Dokter, syaraf jari-jari ayah rusak, dan kalau dipaksa main gitar bisa rusak permanen." Satria mengangguk-angguk paham. "Jadi itu alasan ayah naruh gitar di gudang, apa itu juga alasan tangan ayah sering gemetar?" Sang ibu mengangguk perlahan, sambil berusaha membentangkan senyum tipis, tak perlu bersedih karena semua sudah terjadi. "Serunya, ngobrolin apa sih?" Sebuah suara lain bergabung. Bambang ikut duduk dan mulai ikut pembicaraan antara adik dan ibunya. "Lagi bahasin ini." Ucap Satria. "Oh, itu bukan gitarmu kan, tapi kayak gitar ayah." Kata Bambang, Satria memicingkan matanya. Dan menggaris bawahi dua tiga kata kayak gitar ayah. "Mas'e tahu ini gitar ayah?" Tanya Satria menyelidik. "Tanyanya gak usah gitu ah, Tria. Iya Mas'e tahu, soalnya ayah yang naruh gudang. Itu pas Mas'e masih paud kayaknya. Iya, kan, Bu?" Sang Ibu kembali mengangguk. "Kok mas'e gak pernah cerita," Raut wajah Satria berubah, tapi kembali ia rubah saat teringat masih ada ibunya disini. "Sudah-sudah, itu ndak penting. Tadi Mas'e di chat Bu Fatma, kamu suruh balas chatnya." Satria mendengarkan ucapan Bambang, Setelah itu ia mengambil ponselnya yang awalnya berada diatas meja. Dibukanya aplikasi jejaring sosial, lalu membaca pesan Bu Fatma, salah satu dosen mata kuliah statistiknya di kampus. "Apa katanya?" Tanya sang Ibu ingin tahu isi pesan yang dikirim pada Satria. "Bu Fatma nyuruh Satria ngisi acara nyanyi di acara nikahannya Mas Andi." "Andi, anaknya Bu Harmini? Teman sekolah Bambang dulu, kan?" Selidik kembali sang Ibu. Bambang menelan salivanya, pasti sebentar lagi Ibunya akan mengoloknya. "Enggeh, Bu. Lulusan Kedokteran. Ganteng, kaya, pinter cari jodoh lagi." Timpal Satria, memanasi sang ibu. "Itu, Andi aja sudah mau nikah, kamu kapan?" Tanya kembali ibu nya. "Bu, Bambang masih dua puluh empat tahun, gak setua itu kok. Lagian laki-laki semakin tua kan semakin berkharisma." Kilah Bambang. "Jangan tua-tua Mas, Tria juga pengen nikah habis kuliah. Nanti kalau Tria langkahi marah, sakit hati." "Sudah, gak usah bahas nikah-nikah, kasihan Masmu Tria." Meskipun Ibu nya mengatakan itu, Bambang tetap tak merespon, wajahnya lempeng mirip kasibut, jika seng bergelombang. Sesaat setelah itu Bambang berdiri lalu berjalan masuk kedalam. "Mau kemana Mas?!" Teriak Satria melihat Bambang masuk kedalam. "Bikin Mie!" Teriak Bambang balik. "Ikut! Doble Telur ya!" Satria menyusul dan berlari kecil menuju Bambang. "Jangan kebanyakan makan mie!" Seru Sang Ibu ikut masuk kedalam, sambil membawa gitar Satria yang ditinggal tadi. *** Di malam yang sama, Zara tengah berbaring diatas pangkuan sang Mama di dalam kamarnya, mereka bercerita banyak tentang masalah perempuan yang begitu private. "Ma, cowok yang kemarin anterin Ara pulang ganteng gak?" Tanya Zara kemudian. Sang Mama mencoba mengingat lelaki yang dikatakan Zara. "Cowok yang pakai sepeda itu? Kalau menurut Mama dia ganteng, kayaknya juga baik." Jawab Mama nya. "Baik banget Ma, cowok itu yang pernah Ara ceritain, dia yang udah nolongin Ara pas mau ditabrak mobil." "Oh itu, pantas aja  Papamu responnya biasa aja, biasanya kalau kamu diantar pulang cowok kan marah." Zara mengangguk-angguk, pikirannya berputar pada waktu lebih dari beberapa puluh jam lalu sesaat setelah ia diantar pulang oleh Bambang. Perjalanan antara taman dan rumahnya begitu jauh, sekitar dua puluh menitan. Bambang mengayuh pedal sepedanya dengan santai dan tanpa sedikitpun terlihat lelah. Di jalan, Bambang yang biasanya cuek malah terlihat banyak bicara, sambil sesekali bersenandung yang entah lagu apa. Zara menimpali dengan lagu yang lebih modern. Keduanya sama-sama bernyanyi meski dengan suara sumbang. Kemudian suara itu berhenti saat Mereka sudah sampai dirumah Zara. Bambang mengantar Zara sampai kearea rumah, saat itulah mereka bertemu dengan Papa Zara. Sang Papa yang biasanya tak suka melihat Zara bersama seorang laki-laki, entah kenapa saat itu berbeda. "Ara mimisan lagi." Ucap sang Mama, membuyarkan lamunan Zara. Zara menutup hidungnya dengan telapak tangan, menunggu mamanya mengambil tisu. Setelah menarik beberapa tisu, Zara menaruhnya pada lubang hidung agar darah itu tak menetes lagi. "Kan sudah Mama bilang, kamu harus sering minum obat. Gimana kalau Papamu tahu kamu jarang nyentuh obat." sambung sang Mama. "Enggak mau, Ma. Obatnya pahit, lagian itu obatnya gede banget. Ara gak sanggup nelannya." rengek Zara menolak keinginan sang Mama untuk meminum obat. "Gak boleh nolak, itu juga buat kamu biar sembuh." Zara terdiam, sambil terus menyeka hidungnya dengan tisu. Karena hidung itu terus mengeluarkan darah segar. Kemudian ia teringat apa yang dikatakan Bambang saat ia mimisan kemarin. Zara tak pernah yakin sebenarnya sejak kapan penyakit itu datang padanya karena yang ia ingat ia sudah harus menelan banyak obat setiap harinya demi agar hidupnya terus menyambung dari hari kehari, itu yang dikatakan sang mama padanya.Zara tak mungkin bisa menolak hal itu karena selain desakan dari kedua orangtuanya itu juga yang membuatnya bertahan sampai saat ini, obat yang mengurangi rasa sakit dan nyeri pada hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD