01

1097 Words
“Pisang,” tawar Bambang pada seorang gadis yang berdiri di besi-besi palang yang membahu di atas jembatan. Sementara Bambang menyandarkan kedua tangannya di sisi bahu jembatan sambil mengunyah pisang jenis Cavendish. “Katanya pisang mengandung vitamin B6 dan asam folat yang baik untuk suasana hati, lebih tepatnya mood.” Gadis yang berdiri dengan cucuran air mata itu menoleh kearah Bambang. Saat itu dia hendak bunuh diri, sudah lebih dari setengah jam dia berada di sana. Awalnya dia sudah begitu berniat, tapi setelah berada di atas dan menatap lepas sungai yang penuh batu, nyalinya menciut. Bagaimana jika tidak mati dan malah masuk rumah sakit karena patah tulang, lalu lumpuh dan tak bisa jadi apa yang selama ini dia impikan? Saat pikiran gadis itu bertanya. Tapi, apa pedulinya. Setidaknya dia bisa sedikit terbebas dari paksaan kedua orangtuanya yang selalu memaksa untuk melakukan banyak hal dalam hidupnya. “Kamu ngapain disini? Pergi! Aku mau bunuh diri!” teriak gadis itu berusaha mengusir Bambang dari dekatnya. Sebenarnya Bambang semeter di bawahnya. “Aku tau, tapi setidaknya makanlah buah surga ini sebelum masuk neraka, karena di sana tidak ada pisang yaang ada bara api.” Mendengar itu, sang gadis yang hendak menaikkan kakinya lebih atas mengurungkan niatnya dan malah menurukan kaki. Kata-kata dari mulut Bambang seakan penuh mantera sihir yang bisa mempengaruhi saraf tepi otak. Ucapan Bambang menakutkan soal surga dan neraka, membuat gadis itu berpikir ulang dan terus mengulang. Lalu perlahan dia turun dari besi jembatan dan mendekat kearah Bambang. “Mana?” tanya gadis itu meminta pisang yang tadi di tawarkan padanya. Bambang merogoh sebelah kantung jaket kulit berwarna coklatnya, lalu mengeluarkan pisang s**u kecil. Di berikannya pisang itu pada sang gadis, yang menerima dengan picingan alis kiri. Cowok pelit. Pikir gadis itu. Karena Pisang yang di makan Bambang berbeda ukuran. “Lain kali kalau mau bunuh diri cepat bunuh diri, aku nunggu di sana lebih setengah jam,” ucap Bambang sambil menunjuk sebuah warung di sisi ujung jembatan. “Lagian kalau mau lompat, jangan di sini, cari tower yang tinggi atau gantung diri. Lebih seru kan.” Setelah mengucapkan itu, Bambang berlalu pergi menuju motor vespa hitam miliknya yang tak jauh dari tempat tadi. Sementara sang gadis hanya bisa mendengus, lalu tersenyum sambil mengelus pisang (dari) Bambang. Namanya Mas Bambang Prayudipta Agung Kusuma Cipto, Mahasiswa S2 jurusan Pendidikan Guru dan seorang guru muda di salah satu sekolah swasta. Siang itu dia pulang mengajar, dan jembatan menjadi satu-satunya tempat menuju rumahnya. Sebuah rumah asri yang terbuat dari kayu ulin berwarna coklat mengkilat, tak jauh dari rumah itu ada sebuah toko buah milik sang ayah. Tapi, setelah sang ayah meninggal, toko warisan itu menjadi milik ibu dan adik lelakinya, bernama Satria. Sebagian hasil buah dari kebun meraka sendiri. Dan soal gadis yang hendak bunuh diri tadi, itu sudah berulang kali dalam sebulan Bambang melihatnya, biasanya dia malas menegur mereka, tapi hari itu yang hendak bunuh diri adalah seorang gadis belia yang masih terlalu muda. Umur gadis itu mungkin 20 tahunan, yang seharusnya masih punya banyak mimpi untuk di raihnya. Mungkin begitu seharusnya pikir Bambang. Tapi, apa pedulinya, dia hanya ingin menawarkan pisang yang tak habis di makannya sendiri. Sayang jika buah senikmat itu harus berakhir di tempat sampah atau tanah, apalagi itu bekal dari sang ibu. Jika bekal itu tak habis, sang ibu akan bertanya dan mulai mengomel karena merasa tak dihargai. Setiap berangkat mengajar ataupun kuliah, sang ibu memberikannya beberapa potong buah untuk Bambang makan, karena sang ibu tahu Bambang adalah tipe lelaki yang tak begitu suka makan. Selain itu sang ibu juga memberi sebotol air estrak lemon, yang segar dan juga asam. Dengan berat hati Bambang membawanya, dan kadang membaginya dengan Mang Amin, seorang tukang bersih-bersih sekolah dan juga kaum (pengurus masjid). “Bu, Bambang pulang,” ucapnya sambil menaruh motor vespa miliknya di samping toko. “Bersih-bersih dulu Le (Panggilan anak laki-laki keturunan Jawa), terus makan,” kata sang ibu tanpa mengalihkan pekerjaannya dari membersihkan buah. “Tria mana, Bu? Masih kuliah?” tanya Bambang, padhal dia tahu bahwa motor Satria terparkir di dekat rumah. “Endak. Ada kok di kamarnya. Coba kamu lihat.” Setelah mendengar ucapan dari sang ibu, Bambang berjalan masuk kedalam rumahnya, dan menuju kamar Satria. Di ketuknya kamar Satria. Agak begitu lama, kemudian Satria muncul dengan menyungging senyum aneh, terlihat bergetar di bibirnya. “Mas’e nga-ngapain?” tanya Satria sambil menyenderkan tubuhnya di daun pintu. Bambang tak merespon, dia malah melihat tingkah aneh sang adik dengan tanya gugup. “Kamu ngapain? Kok ndak bantuin Ibu?” Bambang berjalan masuk kedalam kamar Satria, kemudian mengudarakan pandangannya keseluruh kamar Satria. Di lihatnya kamar enam kali enam meter, lengkap dengan tempat tidur, lemari dan meja belajar serta dengan laptop yang masih menyala. “Anu-itu tadi aku ngerjain laporan KKN,” jawab Satria masih dengan gugup. “Sambil merokok?” selidik Bambang. “Eh-apa? Satria gak ngerokok, Mas,” “Lalu Mas’e nyium asap apa ini? Obat nyamuk? Kamu kan alergi asap obat nyamuk. Tria, Mas’e kan sudah bilang-” “Iya, rokok itu gak baik buat kesehatan. Ayah juga meninggal gara-gara rokok,” potong Satria mendengar ucapan Bambang, sementara Bambang hanya bisa menggeleng perlahan. “Sampai kapan sih Mas’e selalu melarang Satria untuk melakukan hal yang Satria pengen,” “Tria, Mas ndak melarang kamu melakukan apapun yang kamu mau, selama itu positif. Ayah meninggal terkena stroke dan itu karena rokok,” “Enggak, Ayah meninggal karena keegoisan Mas. Mas’e itu egois!” kata Satria dengan sedikit mengencang, gugupnya tadi menghilang berganti kemarahan perlahan yang selalu muncul setiap pembicaraan dengan Bambang. Bambang diam, tak banyak bicara, sifat adiknya memang keras, jika dia lawan itu malah memperkeruh suasana, dan dia tak ingin ibunya mendengar pertengkaran mereka. Marahnya Satria karena satu hal, baginya penyebab kematian sang ayah adalah karena keegoisan Bambang yang tak ingin ayahnya sembuh. Padahal semua itu salah paham. “Sekarang Mas keluar dari kamarku. Aku mau ngerjain laporan,” usir Satria, Bambang hanya mengikuti perintah itu tanpa menolak. Bambang berjalan keluar dari kamar  Satria dengan langkah pelan, mengalah dengan adiknya adalah pilihan tepat, bukan karena dia tak mampu beradu mulut dengannya, tapi seperti yang sudah pernah terjadi dia tak ingin semua terulang lagi. Kini Bambang masuk kedalam kamarnya, kamarnya tak sebesar kamar Satria, di dalamnya juga tak banyak barang, selain lemari kecil dengan tumpukan buku perkuliahan, buku pembelajaran, buku filsafat, n****+ fantasi dari penulis luar, dan komik yang entah sudah berapa puluh buku. Di taruh tasnya di atas meja, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menutup matanya. Tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD