PART [2]
.
.
.
.
‘Memangnya ada masalah apa dengan pakaianku?! Ini kan bagus buat anak-anak juga, kenapa ibu selalu mengkritik apapun yang aku gunakan?!’ Mendumel dalam perjalanannya, menggunakan mobil yang berhasil Ia beli dengan hasil jerih payahnya sendiri. Tentu saja dengan cicilan beberapa kali, memang tidak begitu mewah, tapi setidaknya Nara mampu membeli barang sendiri.
Tanpa perlu bantuan ayahnya, walaupun sejak lama dia ingin pindah dari apartement itu dan hidup mandiri, tapi kedua orangtuanya selalu menolak.
‘Eeh kalau itu tidak jadi, ding. Kalau tinggal di tempat lain kan tiap pagi tidak bisa lihat perut kotak-kotak terus,’ Mengubah pemikirannya tadi.
Memukul setir mobilnya, gemas mengingat tingkah laku Ibu dan adik tirinya tadi.
“Sabar, Nara. Kamu cantik dan lebih baik dari mereka, sabar,” ujarnya tipis, mengelus d**a sekilas. Nara percaya diri kalau dia lebih baik daripada ibu dan adiknya yang selalu bergantung dengan koneksi kuat sang ayah sampai saat ini.
Enak, sih enak bekerja karena koneksi ayahnya. Saat Nadine mendapatkan ijin untuk bekerja di bagian management perusahaan ayahnya, Nara bahkan tidak bisa mendapatkan posisi apapun di sana. Dikarenakan alasan dia kurang berpengalaman.
Melupakan bahwa kuliah yang Ia ambil adalah kelas Management. Tentu saja dia kesal, “Untung saja aku suka dengan anak-anak dibandingkan kedua nenek lampir itu,” gerutunya kembali.
Nara tidak takut sama sekali mengejek ibu dan adiknya, kan' tidak ada yang mendengar.
Tapi sekali lagi, pandangannya tertuju ke arah baju yang Ia gunakan, “Tapi baju ini bagus kok!” Berdecak kesal. Dia masih belum terima selera bajunya dihina.
.
.
Pukul 7.30 pagi-
“Ibu Nara!!” Teriakan keras itu menyapa Nara begitu Ia turun dari mobilnya, menyampirkan tas gendong di pundak. Kekesalannya pagi ini langsung menghilang begitu saja. Melihat sosok-sosok mungil berlari ke arahnya dengan senyuman lebar mereka.
“Waduh, Ibu tiba-tiba diserang!” teriaknya kecil, terkekeh geli saat beberapa anak itu memeluk tubuhnya. Berpura-pura dirinya tengah diserang oleh mereka.
Di sinilah tempat dimana Nara bisa mendapatkan kenyamanannya, bertemu dengan anak-anak ini. Melihat wajah manis dan senyuman mereka. Rasa kesal dan lelahnya langsung hilang. Sebuah Matahari Day Care, tempat penitipan anak lengkap dengan konsep taman kanak-kanak dan kelas untuk mereka belajar layaknya TK.
Perbedaannya hanya di umur saja, jika TK hanya diperbolehkan anak-anak berumur 4 sampai 5 tahun saja, di sini tidak dibatasi umur. Karena bertujuan sebagai tempat penitipan anak bagi orangtua yang sibuk karena pekerjaan mereka.
Nara suka di sini, kedua tangan itu melebar dan memeluk semua anak-anak di dekatnya. “Ibu makan kalian semua, Ha!!”
“Kyahaha!! Ibu Nara seram! Lari!!” Berteriak dan tertawa, anak-anak itu berlari menuju taman bermain sekali lagi. Meninggalkan Nara sendirian.
Tempat Nara membuang topeng yang sempat digunakan tadi, di depan keluarganya. Sosok Nara yang penurut, dan tidak bisa berbicara banyak. Ia lepaskan di sini. Mungkin mereka menganggap bahwa pekerjaannya ini tidak menghasilkan apapun.
Setidaknya Nara bahagia.
Langkah kaki wanita itu hendak beranjak mengejar beberapa anak-anak tadi, sebelum kedatangan sebuah mobil yang cukup mewah menghentikan gerakannya.
Manik Amber itu teralih, memperhatikan mobil berwarna putih berhenti tepat di gerbang Penitipan mereka. Salah seorang laki-laki berbaju hitam keluar dan segera membukakan pintu khusus untuk Tuan muda-nya.
Nara mendesah panjang, “Kukira siapa, mereka ganti mobil lagi? Astaga,” terkesiap kaget, mengira artis yang datang ternyata salah satu anak didiknya. Sosok mungil yang turun dari mobil.
Menggaruk pipinya yang tak gatal, “Hampir setiap minggu mereka mengganti mobil anak itu,” Seberapa kaya orangtua dari anak itu? Sampai bisa mengganti mobil berkali-kali. Kemarin R*nge Rov*r, Fer*ri, Mini C**per, P*rsche, sekarang apa lagi?
Keluarganya saja tidak punya mobil sebanyak itu, Nara reflek geleng-geleng kepala. Memasang senyumannya cepat saat memperhatikan sosok mungil itu masuk ke dalam area penitipan.
“Kenan!” Nara berinisiatif memanggilnya, sosok mungil dengan rambut pendek berwarna hitamnya yang sedikit jabrik, manik Amber yang bulat dan pipi chubby. Nara akui di umurnya yang masih 5 tahun, Kenan sudah berhasil mengambil hatinya.
Ketampanan anak itu tidak main-main, bahkan warna manik mereka saja sama! Sangat tampan dan manis. Entah siapa ibu dan ayahnya sampai bisa membuat anak setampan Kenan.
Hanya satu saja yang kurang darinya, “Selamat pagi, Kenan,” sapa Nara lembut. Melihat pemuda mungil itu mendekat, Nara sudah memasang senyuman terbaiknya.
“Selamat pagi,” Kenan menjawab dengan suara tipis, hampir tak terdengar. Setelah itu berjalan melewatinya, tanpa menatap Nara sama sekali.
Anaknya super pemalu dan pendiam!
.
.
.
Sejak tadi pandangan Nara tidak pernah berhenti menatap sosok mungil itu. Kenan Naruna Ezra, sosok mungil yang baru saja lima bulan lalu ikut masuk ke dalam penitipan ini dari hari Senin sampai Sabtu.
Di usianya yang bisa masuk TK, tapi kedua orangtuanya lebih memilih untuk menitipkan mereka di sini. Yah, meskipun tempat ini bisa menjadi batu loncatan bagi anak-anak para petinggi agar tidak masuk TK.
Pelajaran yang lebih mudah dan interaksi social bersama lebih diutamakan di sini. “Kenan,” Memanggil pemuda kecil yang menyendiri dengan mainannya di pojok ruangan.
Sosok itu berjengit kaget, menengadahkan wajahnya malu. Nara hanya tersenyum, “Sini, main sama teman-teman juga,” ajaknya. Meminta anak itu untuk ikut masuk dalam permainan mereka.
Kenan menggeleng tak mau dan melanjutkan permainannya. ‘Kenapa dia bisa jadi pendiam seperti itu?’ batin Nara, sedikit bingung. Apa karena orangtuanya yang terlalu sibuk? Kenan tumbuh jadi anak pemalu? Mungkin itu bisa jadi penyebabnya.
“Kami beberapa kali ngajak Kenan main, Bu. Tapi dia tidak pernah mau ikut!” ujar seorang anak perempuan mengalihkan perhatiannya.
“Benarkah?”
Beberapa anak mengangguk setuju, “Kenan sukanya main sendiri, Padahal kami kan' ingin main sama-sama!” ungkap mereka semua dengan jujur
“Berapa kali Nea ajak bicara tapi Kenan malah cuek,”
Nara meneguk ludahnya tanpa sadar, seberapa parah sifat anak itu? Lebih parah dari seorang anak berandalan yang bisa sesuka hati mengungkapkan pikiran mereka. Dia justru lebih takut dengan sifat Kenan. Pemalu dan pendiam.
‘Kalau aku diamkan, bisa gawat,’ batin wanita itu sedikit gelisah. Tidak baik untuk masa depannya. Nara harus melakukan sesuatu. Mencoba memikirkan sesuatu. Mendapatkan ide dengan cepat.
Segera bangkit dari posisinya, “Ibu Nara mau kemana?” sergah beberapa anak-anak saat dirinya hendak pergi.
“Bagaimana kalau kita bercerita sedikit,” ujar Nara sembari tersenyum lebar, berjalan dan berdiri di depan anak-anak tadi. Menjadi pusat perhatian. “Semuanya! Bagaimana kalau sekarang Ibu Nara minta kalian menceritakan sedikit tentang Keluarga kalian?! Ibu, ayah, kakak, adik?”
Semua anak-anaknya mengangguk kompak, mereka berceloteh bersama teman-temannya. Sesuai dugaannya, semua anak-anak pasti antusias jika membicarakan tentang ibu atau ayah mereka.
“Oke, kalau begitu bagaimana kalau kita mulai dari belakang. Kenan!” sahutnya kembali, dengan sengaja memanggil anak itu, semua pandangan terarah kepada Kenan.
Mengira bahwa idenya cukup berhasil. Tapi ternyata, gagal total. “Ke-Kenan,” Saat melihat tubuh mungil itu beranjak dari posisinya, membuang mainan dan berlari keluar dari ruangan. Tanpa mengatakan apapun.
‘Astaga!! Aku salah!!’ Rencananya gagal!
.
.
.
Rencananya gagal total, melihat sosok Kenan keluar dari ruangan tanpa bicara sama sekali. Menepuk keningnya, merutuki ide yang bodoh tadi.
“Ibu Nara, kenapa Kenan keluar ruangan?!” Semua anak-anak mulai bertanya padanya. “A-ah, Ibu bicara dulu sama Kenan. Kalian semua boleh bermain di taman sekarang, oke? Ingat, hati-hati jangan sampai terjatuh!” tutur wanita itu, menyelesaikan kelasnya secepat mungkin.
“Asyikk!!” teriak anak-anak, mereka kompak berlari menuju taman bermain. Sementara Nara mempercepat langkahnya keluar mengejar Kenan. Dia salah apa?!
Alhasil berusaha mendekati Kenan, pemuda kecil itu selalu menghindarinya, tidak mau menatap atau bicara, Hanya berlari saja. Bahkan sampai sore, Nara masih tidak menyerah. Napasnya sempat setengah habis karena mengejar Kenan, dan saat tubuh mungil itu berhenti berlari.
“Kenan!” Nara menjerit panik melihat tubuh Kenan menunduk memegang dadanya yang sesak. Dia tahu sekali kalau Kenan mempunyai penyakit cukup serius di usianya yang masih kecil. Mungkin karena berlari tadi sesak napasnya jadi kambuh.
Menghampiri Kenan, tubuh itu terduduk di lantai. Memegang dadanya dengan napas sesak. Nara yang setia membawa tas kecilnya mengambil inhaler, satu benda yang Ia sengaja beli untuk Kenan dengan dosis yang khusus. Beberapa anak-anak yang Ia jaga mungkin mempunyai penyakit tertentu, jadi dia harus tetap siaga.
Memeluk tubuh Kenan, menggunakan Inhaler tersebut agar bisa dihirup oleh Kenan. Melihat wajah mungil itu sesak napas membuat Nara tidak tega, “Tahan napas sebentar,” bisik Nara pelan, saat napas pemuda kecil itu membaik.
Nara mendesah panjang, menaruh kembali Inhalernya, membenarkan posisi Kenan. Menatap kedua manik Ambernya. “Kenan, tidak apa-apa?” Bertanya dengan lembut.
Mengangguk singkat sosok itu berniat bangkit, tapi terhalang oleh tangan Nara. Kali ini dia tidak akan diam, melihat kondisi Kenan tadi. Kedua tangannya bergerak menggendong tubuh Kenan.
“I-Ibu Nara, mau apa?” Kenan berjengit shock, sedikit memberontak.
“Sekarang Ibu Nara mau nemenin Kenan istirahat,” jawab Nara singkat. Sebelum Kenan dijemput, setidaknya dia harus menenangkan anak ini. Masalah anak-anak lain sudah Nara serahkan pada temannya.
.
.
.
Mengajak Kenan ke ruang kesehatan, menempatkan tubuh mungil itu diatas kasur empuk. “Sekarang Kenan istirahat di sini,” tutur wanita itu lembut. Tepat saat dirinya berniat menjauh, siapa yang mengira tangan Kenan bergerak menggenggam tangannya.
“Ibu Nara, mau kemana?” bertanya dengan nada tipis.
‘Manisnya~’ Nara sampai tidak bisa menahan senyumannya. “Ibu hanya mau membuatkan Kenan s**u hangat saja, mau?” tanya sedikit terkekeh.
Kenan hanya mengangguk malu, melepaskan genggamannya. Membiarkan Nara bergerak menuju tempat khusus untuk membuat minuman. Melirik dengan ekor matanya, sosok mungil itu masih menunduk. Mengayunkan kedua kaki dan menggerakkan tubuhnya.
Sekilas bisa Ia lihat pandangan Kenan terarah menuju kaca jendela. Dimana teman-temannya tengah bermain di taman. “Kenan, suka s**u yang manis?” Bertanya lagi.
“Suka,” Dijawab cepat dan singkat. Bukannya kesal, Nara justru terkekeh. “Baiklah,” kekehnya geli.
Tidak butuh waktu yang lama, Nara membawa dua gelas minuman. Teh lemon untuknya dan satu gelas s**u hangat untuk Kenan, lengkap dengan kue-kue manis. Menaruh nampan itu diatas meja, memberikan segelas untuk Kenan.
“Ayo minum, hati-hati sedikit panas. Ditiup dulu,” ucapnya sembari memperingati Kenan.
“Terimakasih, Ibu Nara,” Bahkan anak ini tidak lupa mengucapkan terimakasih. Hha, sangat menggemaskan. Bagaimana bisa Nara kesal dengan tingkah lakunya?
Pandangan Kenan masih terarah keluar, “Hm, kalau Ibu boleh tahu, kenapa Kenan tiba-tiba lari tadi?” Kali ini mencoba bertanya dengan halus. Tubuh itu menegang, mengalihkan pandangannya menatap gelas s**u yang Ia pegang.
Nara menaruh gelas minumannya, mengelus rambut Kenan lembut. Tersenyum kecil, “Kalau memang Kenan tidak mau jawab tidak apa-apa, Ibu Nara tidak memaksa.” ucap wanita itu sekilas.
Kenan masih bungkam, enggan menyesap susunya. Membiarkan elusan lembut di kepalanya. “Ibu Nara, hanya ingin Kenan mau bermain dengan teman-teman. Tahu tidak kalau semuanya ingin sekali bermain dengan Kenan?” ungkap Nara, memperhatikan gerak-gerik pemuda kecil di hadapannya.
Satu kalimatnya sanggup membuat wajah itu terangkat, menatapnya. “Semuanya?” bertanya dengan polos.
Nara mengangguk kecil, “Tentu saja,” tegasnya cepat.
“Kukira mereka benci sama Kenan,” Nara setengah kaget saat Kenan tiba-tiba berbicara panjang lebar. Alis wanita itu terangkat heran.
“Benci? Kenapa?”
Kedua tangan mungil itu nampak menggosokkan jemarinya di gelas yang hangat, sedikit ragu untuk menjawab, “Karena Kenan diantar dengan mobil tiap pagi, di tempat Kenan yang dulu semua tidak suka itu,” ungkapnya.
Anak jaman sekarang? Pemikiran mereka sepertinya sudah hebat sekali. Nara menggeleng kecil.
“Semua teman tidak suka, semua nganggep kalo Kenan itu sombong, bahkan Ibu guru di sana juga sama. Semua perhatian tertuju sama Kenan, Kenan dibenci,” gumam Kenan tipis, sosok mungil itu merengut, menahan tangisannya.
‘Hh, pantas saja,’ Membatin sekilas, menjauhkan tangannya. Nara bergerak menggenggam jemari Kenan. Tersenyum lebar.
“Mulai sekarang Kenan tidak perlu berpikir seperti itu lagi, semua anak-anak di sini super baik hati. Ibu Nara akan selalu menjaga Kenan di sini. Jangan takut,” ucap Nara lembut. Tersenyum pada Kenan.
Manik Amber itu menatapnya ragu, “Benar?”
“Ibu Nara, sudah menganggap kalian semua, anak-anak Ibu. Kenan tidak perlu takut lagi, di sini berbeda dengan tempat Kenan dulu, kalau Kenan ada masalah atau takut. Kenan boleh bercerita sama teman, atau dengan Ibu Nara.”
Melihat tubuh Kenan gemetar, pemuda kecil itu mengangguk paham. Mencoba mempercayainya,
“Mau Kenan pakai mobil mewah, bahkan pakai sepeda gayung pun ke sini. Ibu Nara akan tetap sayang kalian semua,” tutur wanita itu. Kali ini dia berdiri dengan kedua tangan berkacak di pinggang, menampakkan wajah percaya diri. Membetulkan kacamata-nya.
Tersenyum memperlihatkan giginya, “Kalau ada yang berani mengganggu kalian semua, Ibu Nara akan datang menolong!” tegas Nara sekali lagi. Satu kalimat terakhirnya, ternyata mampu merobohkan pertahanan Kenan. Pemuda kecil itu tersenyum tipis, mengangguk paham.
Itu sudah cukup untuk Nara. Walaupun dia masih sedikit penasaran kenapa Kenan lari saat dia mencoba membahas masalah keluarga.
.
.
.
Di tempat lain-
Sosok tegap lengkap dengan setelan baju hitamnya, manik berwarna hitam legam itu terfokus menatap komputernya, beberapa berkas yang belum sempat Ia tandatangani masih menggunung di sebelahnya. Sesekali menarik napas dan memijat bagian tengah keningnya pelan.
Meninkmati sejenak ruangan dengan desain modern dan pemandangan di luar sana melalui kaca jendela besar.
Merasa sedikit pening karena sejak tadi selalu sibuk dengan rapat, diskusi ke sana kemari, berkas menggunung dan laporannya. Tidak pernah selesai.
Bahkan saat jam menunjukkan pukul 6 sore, dia masih tidak sadar.
“Dummy, aku masuk.” Sebuah ketukan singkat terdengar, tanpa menunggu respon sang pemilik ruangan. Pintu itu terbuka, menampilkan sosok wanita dengan balutan baju kerjanya yang modis. Baju merah berkerah dan rok pendek berwarna hitam.
“Hh, jangan seenaknya mengganti namaku sembarangan, Melly.” tukas laki-laki itu cepat. Masih dengan pandangan tertuju ke arah luar, membiarkan sosok wanita diambang pintu masuk dan mendekatinya.
“Kau lihat jam berapa sekarang, jangan bilang kau melupakan Kenan?” ujar Melly cepat.
Tersentak, reflek menatap ke arah jam. “Hh, aku tidak sadar,” Berdecak, memijat kepalanya. Seolah lupa bahwa bodyguardnya tidak bisa menjemput Kenan karena ada urusan penting
“Aku yang akan menjemputnya, kau fokus saja dengan tugasmu. Sebentar akan kuajak Kenan ke sini, lalu kita makan malam bersama, deal?” ujarnya memberikan solusi. Setelah menimbang selama beberapa saat.
“Baiklah, jangan mengajaknya kemana-mana lagi.” Mencoba fokus kembali dengan tugasnya, tidak sadar saat wanita itu bukannya keluar ruangan justru berjalan mendekatinya.
Rambut hitam yang lurus dan panjang, tertata sempurna, lekukan body, bibir sedikit tebal, senyuman anggun lengkap dengan make-up khusus tanpa menyembunyikan warna matanya yang kecoklatan. Mellyana Sandita Puja. Idola di perusahaan ini selama beberapa bulan lebih. Siapa yang tidak jatuh cinta jika melihatnya?
“Dummy, bagaimana kalau kita-”
Kecuali, sosok tampan bertubuh tegap nan dingin di depannya. “Kau belum berangkat?” Mengabaikan posenya yang super sempurna. Arkana Damian Ezra. Sosok bak patung berjalan yang seolah mengabaikan penampilannya sampai sekarang.
Oke, Melly belum menyerah. Justru melihat sifat dingin dan cuek laki-laki itu membuatnya b*******h-ehem-maksudnya senang.
“Astaga kau tidak berubah sama sekali, mau di Surabaya atau Jakarta selalu cuek dan sibuk,” sindir Melly dengan halus. Melihat seperti apa reaksi Arka.
Sosok tegap itu menatap tajam, “Melly, kau mau jemput Kenan atau tidak?” tegas sang empunya memberikan peringatan. Tapi wanita di depannya terkekeh pelan, memberikan kecupan jarak jauh.
“Hahaha, baiklah aku jemput dia sekarang. Ingat janjimu nanti malam, oke?” Meninggalkan ruangan dengan santai.
Kembali menghela napas panjang, merasakan lelah yang cukup signifikan. Hari ini seperti biasanya, dia bahkan tidak bisa pergi kemana-mana. Semua penuh dengan pekerjaan.
Bahkan sekedar menjemput putra sulungnya saja tidak bisa, menyenderkan tubuhnya. Salah satu tangan laki-laki itu terangkat menutup setengah wajahnya. Saat manik berwarna legam itu melirik kearah sebuah pigura kecil diatas meja, sengaja Ia tempatkan disana.
Sebagai penyemangatnya, sebuah senyuman tipis tersungging, ditambah mengingat kejadian tadi pagi yang cukup membuat semangat dan moodnya naik dengan cepat.
“Hh, aku bahkan belum sempat menyiapkan rencana yang matang,” bisiknya lirih.
Arkana Damian Ezra, mungkin banyak orang mengagumi kinerja dan ketampanannya. Menjadi seorang Chief Executive Office di usianya yang cukup matang, 35 tahun. Memiliki semuanya. Kekayaan yang berlimpah karena hasil kerja kerasnya sendiri, membangun perusahaan ayahnya yang sempat bangkrut enam tahun tahun lalu sampai sukses.
Memiliki banyak kolega-kolega baik Nasional atau Internasional, membuat namanya sering disebutkan dalam berita. Sosok tegap dengan potongan rambut pendek dengan sedikit bulu bulu tipis yang tumbuh di daerah dagunya. Terkesan dandy dan maskulin.
Sifatnya yang dingin justru menjadi sorotan publik, banyak wanita yang tergila-gila karena itu. Arka sendiri tidak begitu paham. Bukannya bergerak menjauh atau takut, mereka malah suka. Ditambah lagi dengan kenyataan dia sudah memiliki satu putra, tidak menyurutkan niat para wanita itu untuk memiliki atau bahkan mengklaim sebagai ibu dari putranya.
Termasuk sosok Melly tadi-
‘Maaf ayah tidak bisa menjemputmu,’ batinnya sekilas, kali ini setelah urusan komputer. Telepon kantor kembali berdering. Menyurutkan setengah semangatnya tadi.
“Lima menit lagi rapatnya akan dimulai, Tuan.” Suara dari seberang sana mengingatkannya.
“Sebentar lagi saya akan kesana,” jawab laki-laki itu singkat
“Baik,”
Sampai saat ini pun tidak ada yang mampu menarik hatinya, dia hanya punya dua tujuan yang harus dilakukan. Mengenai Kenan dan Ibunya-