[6] Bad Signal

2288 Words
PART [6] Membuang kembali teropong miliknya ke atas kasur, Nara tidak peduli lagi. Mungkin dia memang diminta untuk berhenti menjadi stalker m***m. Mengetahui bahwa laki-laki itu adalah ayah Kenan, sudah lebih buruk dari apapun. Kenapa selama ini dia tidak pernah melihat Kenan di sana? Apa karena jam kerjanya yang selalu pulang malam dan lampu ruangan yang tidak pernah dihidupkan tiap malam. “Ah, sial.” Mengepalkan kedua tangannya, jika memang benar itu ayah Kenan. Sudah pasti laki-laki itu memiliki kekasih-siapa namanya-Melly?  Nara sudah bisa menebak kalau wanita itu adalah Melly, lekukan tubuh sempurna yang menggugah hati para pria. Siapa yang bisa menolaknya? Berjalan menuju kaca rias miliknya, menatap penampilannya sekarang. Kaos oblong polos dan celana panjang kebesaran, rambut pendek terikat dan kacamata tebal. Sadar Nara! Mungkin memang benar perkataan ibunya tadi, sampai kapan pun dia tidak akan pernah punya kekasih. Tidak seorang pun laki-laki mau menyukainya. Bergerak menyingkap bajunya, memperlihatkan jaritan perut itu- Tidak sempurna, tubuh tidak semulus Nadine. Putih bersih, tanpa lecet, di sini dirinya penuh dengan luka jahitan di perut. Bahkan Nara sendiri tidak tahu kenapa dia bisa mendapatkannya! Dia hanya mendengar dari keluarga dan Bella saja. Apa yang bisa Nara banggakan? Kemampuannya menjaga anak-anak? Terkekeh, menertawakan dirinya. “Oh, ayolah. Di jaman seperti ini mana mungkin ada pria yang menyukai wanita kumel sepertiku,” Tangan Nara bergerak menyentuh bekas luka tersebut. Bukannya jijk, dia justru merasa ada sedikit kehangatan menjalarinya. Menghilangkan kegundahannya tadi. Wanita itu mendesah singkat, kali ini berjalan menuju jendela. Menatap ruangan di sana yang masih hidup. Menutup tirai jendela cepat, “Ini bukan akhir dunia untukku!” teriaknya menyemangati diri sendiri, Nara melepas pakaiannya cepat. Kali ini dia akan menggunakan sedikit kemampuan beriasnya- “Mana mungkin aku menangis gara-gara dia saja kan, hahaha, mana mungkin!” Tertawa dengan yakin. . . “Hueeee!! Bella, aku patah hati!! Hatiku hancur!!” “Astaga, Kei. Sadar!! Kau ini hanya minum jus apel saja bukan bir!” Oke, Nara tarik lagi ucapannya tadi. Jujur saja, dia memang super patah hati. Bahkan sampai mengubah jalur bertemu mereka. Dari sebuah restaurant menjadi sebuah club malam. Memaksa bahkan mengancam akan pergi sendiri kalau Bella tidak mau ikut! Bella sendiri hanya bisa geleng-geleng kepala, menunggu kedatangan Nara tadi di parkiran. Wanita itu langsung memeluk dan wajahnya super cemberut. Datang ke tempat ini dengan dandanan yang sedikit berlebihan. “Sejak kapan kau mulai mengoleksi pakaian seperti ini?” sindir Bella, dengan kurang ajar wanita itu memegang rok pendek yang digunakan Nara. Bahkan hampir menyingkapnya. “Terserah!! Aku tidak peduli!!” Nara mengabaikannya, berakting bak orang mabuk wanita itu mengetuk gelasnya di atas meja berkali-kali. “Tambah lagi!” teriaknya paksa. Meneguk jus apelnya sekali lagi. “Aku sengaja ke sini diam-diam, menggunakan pakaian yang sudah bertahun-tahun kusimpan di lemari! Haha, biarkan saja!”  Penampilannya berubah, menggunakan baju kaos berwarna hitam tanpa lengan, dan rok jeans diatas lutut, rambut hitamnya tergerai, menggunakan lensa kontak berwarna abu-abu. Nara benar-benar merubah penampilannya. Make up yang Ia gunakan pun tidak main-main, bulu mata, lipstick dan eyeshadow. Bella mau tak mau harus mengakui sahabatnya ini kalau mau berdandan dia memang cantik sekali. Eit, tapi bukan itu masalahnya sekarang!! “Duh, kita pulang saja, atau ke rumahku.” Menatap Nara tajam, wanita itu menggeleng tak mau. “Aku mau berdansa di sini! Sampai pagi!” tolak Nara enteng, tidak tahu-kah perkataan polos Nara sukses membuat Bella spot jantung. “Hah?! Kau gila?! Jangan sampai pagi juga! Jam sepuluh nanti kita pulang!”  Alis Nara bertaut, menatap Bella tak suka. “Kau ini kenapa?! Bukannya dulu juga kita suka berdansa di sini sampai pagi?” gerutunya kesal. “Pokoknya jangan!” Bella menampik semua perkataan Nara. Nara kembali menegak minumannya. “Ah, sudahlah! Aku hanya ingin bercerita denganmu!” desah wanita itu lantang, menatap bartender dan meminta minuman lagi. Manik Amber Nara menatap sahabatnya. Bibir itu kembali mengerucut, Tanpa aba-aba, “Kau tahu kan kalau sahabatmu ini m***m?” Bertanya dengan polos, bahkan hampir membuat bartender di dekat mereka menjatuhkan gelasnya. Bella melongo kaget. “Ha? m***m? Kau maksudnya?”  Nara mengangguk kecil, rambut hitamnya bergoyang-goyang, “Stalker m***m yang suka mengintip laki-laki tampan di seberang kamarnya,” Kali ini bartender itu hampir menabrak lemari di belakangnya, “Ehem, lebih baik kita menyewa satu ruangan khusus. Ayo,” Sebelum Nara mengungkap aibnya kemana-mana. Bella menarik tangan sahabatnya. “Eh-Jus Apelku!” Bertingkah bak anak kecil. “Nanti aku suruh dia mengantar ke ruangan kita!” . . . “Kau sedang apa?” Berjalan dengan menggunakan baju yang sempat dibelikan Arka tadi, sebuah gaun berwarna coklat simple. Setelah berhasil membersihkan tubuhnya dari tumpahan wine tadi, baju yang terkena noda sudah langsung dicuci oleh Bibi Minah. Wanita itu untung saja menginap di sini. Manik Hazelnya melihat sosok Arka tengah bersantai di ruang tamu, bermain dengan handphone, masih dengan pakaian berkerahnya. “Tidak penting,” jawab laki-laki itu singkat. Melly mendesah, berjalan mendekatinya. “Kenan sudah tidur?” Bertanya lagi, dan kali ini duduk di samping Arka. “Baru saja,” Mengabaikan sosok Melly di sebelahnya. Ada sesuatu yang mengganggunya sejak tadi. “Oh, iya terimakasih gaunnya. Aku suka, seleramu bagus juga.” Mencoba memecah keheningan, Melly bangkit kembali, kali ini berjalan menuju dapur tak jauh dari posisi mereka. Membuka lemari khusus wine yang sengaja disiapkan Arka. Dia hapal tempatnya. Mengambil satu botol, dan membukanya. “Kau mau?” tawar wanita itu dengan dua buah gelas di tangan. Melly kembali mendekati Arka, “Tidak usah,” “Ayolah, kita minum sebentar. Rileks-kan pikiranmu,” Menuangkan satu gelas wine dan menyerahkan pada laki-laki itu. Arka hanya mendesah, mengambil satu gelas itu, dengan sengaja menggoyangkan cairan di sana tanpa ada niat meminumnya. Sementara Melly sudah meneguk untuk yang kedua kalinya. “Kau sudah bisa pulang kan sekarang?”  Seperti yang Ia duga, Arka tidak bisa diajak basa-basi. Wanita itu hanya menghela napas panjang, menggelengkan kepalanya. “Nanti saja, kita masih bisa berbincang-bincang sebentar kan?” Bergerak dan kembali duduk di dekat Arka. “Kau mau membicarakan apa lagi?” Akhirnya meneguk sedikit wine tersebut, manik legam itu menatap Melly. Dengan pandangan dingin ciri khasnya. Pandangan yang sanggup membuat lawannya mati kutu dalam sesaat, tapi berbeda dengan Melly. Bertahun-tahun mengenal Arka, dia sudah terbiasa. Wanita itu justru mendengus, “Tatapan es-mu itu tidak pernah berubah, aku hanya mau membicarakan masalah Kenan.” balasnya santai. Alis Arka bertaut, sedikit mengetahui kemana alur pembicaraan mereka. Dia hanya diam, meneguk winenya kembali. “Bukannya sudah kukatakan,”  “Kenapa kau tidak memasukkan Kenan ke TK saja? Kau justru menitipkannya ke tempat yang tidak jelas itu.” Bertanya dengan halus, mengabaikan tatapan tajam sang empunya. “Jaga bahasamu, Melly. Ini keputusanku, mau memasukkan Kenan kemana pun kau tidak ada hak untuk ikut campur.” sergah laki-laki itu geram. Bagaikan terpental, semua ancaman Arka sama sekali tidak ada gunanya. Melly terkekeh kecil, menuangkan satu gelas wine lagi. “Tidak ada hak katamu? Sebagai tunangan, aku tentu saja memiliki hak untuk bertanya dan memberitahumu, Arka.”  Menyesap perlahan wine tersebut, mengecap rasa manisnya, “Kedua orangtuamu menjodohkanku kita karena mereka menganggap kau mampu melupakan masalah itu. Oke, mungkin Ibu-mu mau menerima Kenan, tapi Ayahmu?” sambung Melly sembari terkekeh pelan.  Arka bungkam, pandangan laki-laki itu teralih menatap televisi. “Ingat bagaimana keluarga wanita itu merendahkanmu? Kedua orangtuamu mengamuk begitu saja.” Kali ini menaruh gelas di atas meja, perlahan Melly bergerak meringsek. Mendekati tubuh Arka, salah satu tangannya bergerak menyentuh leher dan lengan kekar itu. “Sudah hampir bertahun-tahun. Kau pasti sangat membutuhkan sentuhan wanita-ah bukan,” Semakin mendekat dengan gerakan seduktif, menggigit bibir bawahnya. Mencium pipi Arka dengan lembut. Menggerakkan kedua tangannya pelan. Saat tidak ada penolakan dari Arka. Melly tersenyum senang- “Kau membutuhkanku, hanya aku, Damian.” bisiknya dengan suara menggoda, saat wajah itu menoleh menatapnya, jantung Melly berdetak kencang. Pandangan mata legam yang nampak tajam, rahang tegas dengan sedikit bulu tipis di dagunya. Bibir tipis itu sangat menggoda- Kali ini laki-laki itu akan menjadi miliknya. “Hanya aku yang mencintaimu sampai saat ini,”  . . . Hanya dengan beberapa gelas jus apel, Nara hampir tumbang. Bahkan hampir memuntahkan isi perutnya. Menyender pada sofa empuk, kedua tangannya memeluk bantal hitam berbentuk bintang. Memeluk erat, “Kenapa aku m***m sekali?!” teriaknya diikuti dengan rengekan manja. Membuang semua topeng pendiam yang selama ini Ia perlihatkan pada keluarganya. Bak anak kecil, menggerakkan kaki, bahkan menendang meja di depannya. Sementara Bella masih tidak mengerti, “Jadi maksudmu, kau mengaku m***m karena setiap hari mengintip pria tampan itu?” jelasnya sekali lagi. Nara mengangguk cepat, wajah Bella menengadah menatap langit-langit ruangan berwarna hitam. Dengan penerangan yang sengaja diatur seredup mungkin. Entah ruangan ini biasa digunakan untuk apa, tapi setidaknya Bella berhasil menghentikan tindakan sahabatnya itu. Memalukan tentu saja! Sedikit kaget saat melihat Nara tiba-tiba menepuk dadanya kuat, “Aku tidak salah kan?! Dia yang salah karena setiap hari selalu berjalan-jalan di ruangan itu!” Memeragakan gerakan laki-laki itu di sofanya. “Hanya memakai handuk! Perutnya yang kotak-kotak itu terlihat jelas dengan teropongku yang sekarang sudah rusak!” amuknya sambil menangis. Menarik ingus kuat-kuat, “Wajahnya setelah mandi, bulu-bulu halus di dagu, dan tubuh itu, lalu tonjolan besar di handuk bawah,” Membayangkan kembali. “Huaaa!! Mana aku tahu kalau dia sudah punya anak dan istri!” Menenggelamkan wajahnya di bantal, menangis lagi dan lagi. Kepala Bella mendadak pusing. “Ugh, perih,” Mendengar rintihan kecil Nara, wanita itu menunduk terlalu keras. Bella langsung saja bangkit dari posisinya. Mendekati Nara, “Ck, kan sudah kubilang jangan menundukkan tubuhmu terlalu keras!” bentak wanita itu memperingati sahabatnya. “Coba lihat!”  Nara menggeleng tak mau, masih menundukkan tubuhnya, dan menangis. Wanita itu benar-benar patah hati. “Biar saja!” rengeknya pasrah, Bella gemas minta ampun. “Vania Nara!! Kau berani bicara begitu dengan, Doktermu?” Menerangkan sekali lagi. Kali ini Bella serius. Tapi wanita di hadapannya masih keukeuh dengan pendiriannya, “Biar saja, toh tidak ada yang peduli denganku! Satu-satunya penenangku tiap pagi di rumah itu sekarang sudah hilang! Buat apa aku peduli?! Biar saja luka ini robek lagi!”   “Astaga,” Tidak menyangka bahwa Nara akan mengeluarkan tantrumnya sekarang, semua unek-unek itu dilampiaskan pada luka perutnya. “Kau tahu kan alasanku ke sini! Aku sampai pindah ke Jakarta hanya untuk merawatmu, Kei! Jangan seperti ini,” Mencoba membangunkan tubuh Nara kembali. Mendengar kalimat terakhir Bella, mau tak mau Nara mengalah. Masih dengan wajah cemberut, menegapkan kembali tubuhnya, duduk dan menatap Bella. “Maaf,” bisik Nara tipis, sedikit merasa bersalah. Sosok itu hanya mendengus sekilas, bergerak dengan lembut menyingkap baju Nara. Melihat bagaimana kondisi perut sahabatnya. Untunglah bekas jahitan itu masih aman, memang sudah hampir lima tahun lamanya. Tapi mengingat kejadian itu, Bella jadi tetap was-was. “Aku hanya perih saja kok, kan tidak mungkin jahitannya terbuka,” elak wanita itu setengah merengut, manik Nara melihat sendiri perutnya masih baik-baik saja. “Tetap saja, Kei. Aku harus tetap mengontrol jahitan ini,” Menyentuh dan mengecek lebih detil. Sementara Nara mengalihkan pandangannya, menatap dari dalam ruangan mereka. Lampu di lantai dansa nampak sangat menggoda, dia ingin menari di sana. Mungkin sebentar. “Aku boleh menari di sana kan sebentar?” Bertanya pada Bella. “Tidak,” dijawab cepat, bahkan dengan penolakan keras. “Ck, memangnya kenapa? Kau ini jadi overprotective sejak kita datang ke Jakarta. Seberapa besar pengaruh jahitan itu dengan gerakan dansaku?” Masih merengut, menatap Bella kembali. Wanita itu mengembalikan posisinya, “Tentu saja ada! Sangat besar bahkan mengajakmu ke sini pun sudah cukup membuat nyawaku hilang setengah. Kau tahu itu?!” bentak wanita itu, lagi-lagi perkataan Bella penuh dengan kalimat ambigu. Seolah menyebutkan bahwa ada alasan dibalik sikap sahabatnya saat ini. Sangat berubah, dibandingkan saat mereka tinggal di Surabaya dulu. Dulu bahkan Bella tidak akan berpikir dua kali saat Nara mengajaknya ke klub malam. Sekedar menari dan mencari hiburan. Nah sekarang?! Menutupi perutnya sekali lagi, “Ish, kau aneh!” Kali ini duduk menatap Bella. Menunjuk kearah wajahnya, “Kau lihat riasan ini? Aku rela ke sini dengan penampilan terbaikku, bahkan memakai rok yang kusimpan di bawah lemari.” “C’mon Kei,” Belum selesai Bella bicara, Nara langsung saja berdiri, tangannya bergerak cepat mengambil segelas minuman diatas meja. Menegaknya dengan sekali teguk. Tanpa mengindahkan perkataan sahabatnya. “Terserahmu saja,” ujar Nara dingin, tanpa senyuman berjalan keluar dari ruangan. Bahkan sebelum Nara sempat curhat lebih jelas tentang patah hatinya hari ini. Meninggalkan Bella di dalam ruangan sendiri. Wanita itu merutuk berkali-kali, memang sangat bodoh baginya mengajak Nara ke sini. ‘Ah, sial,’ Bergerak cepat mengambil handphone di tas kecilnya. Mencari nomor temannya. Menghubungi sesigap mungkin. ‘Jangan sampai laki-laki itu tahu,’ batinnya ngeri, berharap saja kalau sosok itu tidak akan tahu keberadaan Nara hari ini. . . . Suara musik itu memenuhi seluruh ruangan, lantai dansa berwarna granit hitam, mengkilap memantulkan cahaya lampu berwarna-warni. Nara melangkahkan kakinya keluar dari ruangan, menuju lantai dansa. Melihat banyaknya kerumunan anak-anak muda disana. Mereka tertawa, bernyanyi dan menari, melepaskan penat setelah seharian penuh menghadapi masalah. Kali ini lengkap sudah penderitaan Nara. Ya, anggap saja dia menderita. Kedua orangtua yang terus membandingkan dirinya dengan Nadine, wanita itu membawa kekasihnya yang tampan dan kaya raya, mengenalkan pada ibu dan ayahnya. Dibandingkan lagi dikutuk jomblo seumur hidup oleh ibunya sendiri hanya karena penampilan yang super culun. Sekarang, tahu bahwa laki-laki yang menjadi sarapan paginya ternyata sudah mempunyai anak dan istri?! Ditambah lagi itu ayah Kenan! Anak didiknya sendiri. Memikirkan itu saja sudah cukup membuat Nara makin stress, “Ugh, sakit,” Merasakan perih di perutnya sekali lagi. Gemas, wanita itu memukul perut sesekali. “Jangan sakit!” rutuknya kesal. ‘Eh-lho,” Merasa sedikit pusing saat mencoba berjalan lagi, manik wanita itu menyipit. Tubuhnya sedikit limbung, Nara tetap memaksakan diri berjalan menuju lantai dansa. Saat musik yang sangat Ia sukai berdengung di dalam ruangan, semangat Nara makin terpacu. Berjalan cepat, dengan senyuman di wajah. ‘It’s show time, baby!’ batinnya semangat, merenggangkan kedua tangan. Nara sendiri sudah yakin dengan keahliannya berdansa. Bukan hanya berdansa, tapi olah tubuh dan kemampuan bela dirinya pun tidak bisa diremehkan. Nara sama sekali tidak pernah melewatkan dirinya untuk berolahraga atau sekedar melakukan bela diri di ruangan khususnya. Entah pagi, atau malam. Dia memang tidak secantik Nadine, dan se-modis adiknya, tapi jika dalam urusan bela diri Nara tidak akan kalah!! Oh, apalagi urusan merawat anak! Sekarang dia ingin berdansa!! Siapa tahu ada pangeran tampan yang suka dengannya kan?! . . . Keringat dingin mengucur dari pelipis Bella, maniknya membulat tak percaya, dengan bibir yang melongo melihat  dua gelas minuman yang baru Ia pesan tadi, satu gelas sudah kosong tak bersisa. “Astaga,” bisiknya horror. Tiba-tiba ingat kelakuan Nara tadi, sahabatnya itu marah-marah dan mengambil minumannya. Meneguk sampai habis tanpa tahu kalau minuman itu bukan miliknya. Bukan satu gelas jus apel melainkan segelas tequila yang berisikan kadar alcohol cukup tinggi. Melirik ke luar, mencari sosok sahabatnya. Bella berdiri cepat, masih memegang handphonenya. Membayangkan sesuatu yang mengerikan. Kenapa dia bisa seceroboh ini?! “Mampus!” umpat wanita itu tanpa sadar. Kali ini dia benar-benar harus mengajak Nara pulang!! Menunggu kedatangan temannya ke sini tidak akan cukup! Bella takut informan laki-laki itu justru lebih cepat mengetahui posisi Nara sekarang!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD