Chapter 12

1776 Words
“Ayollaaahhhhh kumohon bantu akuuuu” “Tidak” “Kumohoonnnnn” “Tidak, Claire” “Aku akan marah lima menit, jika tidak dibujuk marahnya akan kuperpanjang jadi lima belas menit!!!” sebal ibu satu anak itu yang malah membuat seisi pengunjung yang mendengarnya terkekeh dan merematkan jemari mereka karena gemas –atau jijik-. Jam menunjukkan pukul sembilan malam di malam minggu, yang mana cafe mereka tutup satu jam lebih telat dari biasanya, yang artinya semua pekerja disana baru bisa pulang dua jam lagi. YANG MANA ARTINYA Airin harus mendengar ocehan dari mulut sahabatnya itu selama dua jam penuh. Oh Tuhan, tolong berikan ibu yang satu itu kekuatan. “Bisa diam tidak sih, kau ini memangnya tidak malu apa ya” desis Airin yang kini menarik Claire untuk masuk ke ruang istirahat para staff, menyuruhnya duduk dengan baik disana sedangkan ia harus kembali ke balik meja kasir, kalau kalau ada pengunjung baru yang datang membeli produk mereka. Ini weekend, tentu saja meskipun sudah malam, kafe mereka masih dipenuhi orang yang sekedar melepaskan penat di hari hari suntuk mereka. Kasihan sekali semuanya jika harus turut mendengar rengekan dari wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun itu. Barista yang sedari tadi menikmati adu argumen antara bos dan pegawai –yang sejujurnya malah terlihat dimenangi oleh pegawai yang lebih galak- itu masih terkekeh sembari mendekati Airin dan mencoleknya pelan. “mengapa kau tidak mengiyakan permohonannya saja, sih??” tanyanya penasaran. “kukira kau b***k uang, ternyata tidak begitu” “Hey, aku tidak b***k uang, ya!!” semprot Airina diam diam yang malah dibalas kerlingan mata tak setuju karena ia tahu jelas sifat wanita yang satu itu. “...bukan b***k uang. Mungkin bisa dibilang aku mencintai uang lebih dari aku mencintai manusia” bingungnya sendiri karena sejujurnya apa yang dikatakan oleh pria yang jauh lebih muda darinya itu adalah fakta. Siapapun bisa mengatakannya. “aku hanya tak suka bertemu dengan banyak orang” elaknya. “?????permisi nyonya, tapi dua pekerjaan mu adalah pekerjaan yang mengharuskanmu bertemu dengan banyak orang???” ya... ini juga benar, sih. Sebagai sales di supermarket besar, yang mana harus menawarkan produknya ke calon pelanggan, pun dengan pekerjaannya di kafe sebagai kasir yang tentu saja harus berinteraksi dengan banyak orang yang akan membeli sangat kontradiksi dengan apa yang dikatakannya barusan. Dengan menggaruk pipinya yang tiba tiba gatal, Airin menimang nimang jawaban yang tepat untuk menjawab pemuda penuh keingintahuan itu. “mmm jika disini, orang orang akan kepadaku jika mereka akan memesan saja dan membayar. Jika saat aku menjadi sales girl, aku hanya akan mendatangi mereka menawarkan produk, lalu mereka membeli atau tidak, dan pergi, meskipun ada beberapa diantara mereka yang jadi mengenaliku sih karena terlalu sering bolak balik membeli. Diluar pelanggan, staff dikafe ini tidak berganti sejak beberapa tahun yang lalu-“ ya, terima kasih pada Claire yang baik hati dengan gaji normal –karena sejujurnya beberapa kafe banyak yang memberikan gaji dibawah standar- “sedangkan orang orang dibalik supermarket adalah orang yang jarang interaksi denganku jika tidak terlalu butuh. Jadi aku bisa mengabaikannya. Namun untuk apa yang Claire minta nanti, mau tak mau aku harus banyak berinteraksi dengan semua orang. Meksipun hanya acara satu hari, aku harus bolak balik ke banyak tempat, bertanya banyak hal, bicara banyak hal dengan orang asing yang bahkan baru temui hari itu juga. Aku hanya... mencoba membatasi diriku di sisi nyaman ini saja. Aku enggan keluar dari zona nyaman ini hingga harus berinteraksi tak perlu dengan orang asing” Pemuda yang sedari tadi mendengarnya itu mengangguk angguk sebagai feedback bahwa ia memang mendengarkan meskipun tubuh dan pandangannya menghadap depan. “jadi intinya kau memang tidak ingin dari kegiatanmu yang sekarang, ya??” “ngg” mengangguk mengiyakan, Airin sempat terjeda dahulu ketika ada sepasang anak muda yang masuk dan sempat memilih pesanan mereka dalam beberapa menit. Pun sang barista harus kembali ke pekerjaannya membuat pesanan yang diminta tadi. Setelah dirasanya selesai, dengan rasa penasaran yang belum terselesaikan, ia kembali mencolek wanita yang lebih tua untuk melanjutkan pembicaraan mereka. “tapi, jika misalnya kau mendapat pekerjaan lain yang gajinya jauh lebih besar dibandingkan yang sekarang, apakah kau akan tetap diam di tempat yang sama atau beranjak pergi??” “Pergi, kurasa?? Aku memang tidak suka mengulang awal yang canggung, kau tahu seperti perkenalan awal ke rekan kerja, menguasai area lingkungan kerja lain lain, namun jika uangnya bisa dua kali lipat atau lebih, mengapa tidak. Aku suka uang” “Tuh kan...” ledek si pria. “kau itu memang b***k uang” ucapnya yang dibalas cuibitan iseng di pinggang oleh Airin. “oke oke, aku ini b***k uang. Tapi aku pilih pilih jenis uang untuk kujadikan tuan, tahu” candanya. “kau anak kecil, fokus belajar saja sana atau tugas akhirmu akan keteteran” “Berhenti mengingatkanku tentang itu!!” Namun, apa yang ia katakan saat itu, berbanding terbalik dengan keberadaan dirinya saat ini. Dirirnya kini yang memakai rok hitam selutut dengan kemeja putih bersih rapih dan rambut panjangnya tergelung lowbun mentap pantulan dirinya sendiri di cermin sembari memaki keputusannya lagi yang jatuh atas rengekan dari sahabatnya yang jauh lebih tua darinya, namun jika sudah merengek akan melebihi manjanya kedua anak mereka. Kalian ingat tidak, mengenai Claire yang memiliki resturant besar dimana biasanya kalangan borjuis yang datang kesana karena kualitas dan harganya yang bintang lima?? Seluruh staff restaurantnya disewa oleh salah satu bangsawan untuk bekerja di acara yang ia buat. Jadi, event ini tidak terjadi di restaurant Claire, melainkan di kediaman bangsawan tadi yang nyatanya amat sangat luas dan megah. Kapan ya, Airin bisa memiliki rumah sebagus ini. Mungkin dikehidupannya yang selanjutnya. Salah satu staff pelayan milik Claire kecelakaan beberapa hari sebelum acara dimulai. Karena itulah Claire merengek pada sahabatnya agar ia mau menggantikan si pelayan itu dengan iming iming gaji yang jauh lebih besar dari freelancer lainnya –tentu saja ini sogokan dari Claire langsung, bukan dari yang perusahaan. Claire tahu kok cara menjadi profesional-. Acara milik bangsawan ini nyatanya adalah peluncuran teknologi terbaru yang digadang gadang menarik minat dunia, makanya seremonial yang ia buat amat sangat besar. Kini, Airin masih berada di area masak, melihat seluruh koki sibuk dengan tugasnya masing masing. Ada yang membuat saus, membuat berbagai macam makanan, memotong bahan bahan hingga membawa sebilah –Airin tak tahu namanya, namun terlihat seperti pedang- besi untuk mengasah pisau pisau besar mereka. Tugas pelayan pun berbeda beda, ada yang ditugaskan untuk menjaga dan siap sedia di meja prasmanan kalau kalau ada yang membutuhkan bantuan mereka. Ada yang bertugas memberikan pesanan ke koki atas apa yang dipesan para orang kaya itu, ada pula yang bertugas khusus dengan dessert dan wine. Airin lah yang bertugas dengan hal terakhir itu. Ketika ia membawa troli berisikan banyak potong kue, sebelum masuk ke balai, ia ditahan oleh deretan penjaga dulu. Membuka penutup traynya sebentar memastikan ia bukan penyusup yang membawa barang berbahaya, pun sebagian dari mereka memeriksa Airin apakah tampilannya sudah sesuai prosedur sebelum akhirnya diperbolehkan untuk masuk ke area para tamu. Ia membuka penutupnya, sebelum sampai di meja prasmanan untuk menaruh dessert, seluruh kue yang ia bawa sudah habis diambil oleh banyak tamu lainnya yang baru saja datang. Tak masalah, Airin lebih suka bekerja keras agar ia tak merasakan waktu berjalan lambat, lalu tahu tahu sudah jam waktunya pulang. Toh para tamu memang dibebaskan untuk mengambil panganan apapun disana, baik melalui pelayan atau mengambilnya sendiri. Oleh karena itu, Airin kembali keluar menarik trolinya dan masuk kembali ke area masak untuk mengambil beberapa potong jenis kue lainnya untuk kembali dibawa masuk. Sembari menata kue kue tersebut, pandangannya berhenti pada pattisier yang sibuk dengan kue kue yang belum matang dan masih ada di dalam oven. Sebelum acara ini dimulai, beliau dan teamnya terlihat sudah membuat amat sangat banyak kue, namun karena tamu yang hampir mencapai tujuh ratus orang, tentu saja akan mudah habis dalam sekejap.  Namun, bukannya raut wajah kesal dan lelah, mereka terlihat amat sangat fokus dan menikmati pekerjaan mereka. Dilihat dari senyum simpulnya ketika tahu bahwa kue yang keluar dari oven sangatlah sempurna, atau ketika sebagian dari mereka menahan senyumnya ketika tahu bahwa kue yang mereka hias sebelum mereka potong terlihat amat sangat cantik. Jika mereka sedang tak sibuk, mungkin beberapa diantara mereka akan mendokumentasikannya dan di posting di laman sosial media resturant mereka sebagai salah satu bentuk promosi pula. Selesai memenuhi troli besar itu dengan berbagai macam kue, Airina kembali ke area tamu, yang mana tentu saja ia kembali di check lebih dahulu oleh penjaga penjaga yang ada disana. Memastikan tak ada setitik keringatpun yang terlihat di wajah atau pelipisnya yang akan membuat tamu kehilangan selera makannya. Kali ini, sepertinya acaranya mulai serius, karena semuanya menatap kearah sang pembicara tanpa menengok ke tempat lain. Airin bisa dengan tenang datang ke meja prasmanan khusus untuk makanan penutup dan meletakan buncahan kue itu disana sembari menatanya sedemikian rupa agar lebih enak dilihat. Staff yang bertugas menjaga meja memberikan gesture padanya bahwa ia harus segera mengambil wine dan berkeliling untuk menawarkannya kepada tamu tamu. Baik, disini lah perjuangannya, karena menahan beban banyak gelas di satu tangan tidaklah mudah. “Kepala koki” panggil Airin pelan pada pria paruh baya yang terlihat jelas bahwa ia orang yang paling handal disana. “aku dititah untuk memberikan wine. Apakah aku harus membawa satu botol penuh dan menawarkan mereka agar aku menuangkan wine untuk mereka, atau aku bawa saja gelas gelas yang sudah terisi?? Jadi mereka bisa langsung mengambilnya?” “gelas saja” jawabnya singkat karena memang ia sedang sibuk saat ini. Ugh, maafkan Airina. Dan maafkan bos mereka juga. Claire jelas tahu bahwa ia tidak berpengalaman di bidang ini, setelah menyeretnya paksa, bukannya ia diberikan brieffing, malah langsung turun begitu saja. Untuk Airina orang yang profesional. Mendengar jawaban yang sudah jelas, kini Airina terlihat tengah menuangkan satu jenis alkohol dulu untuk ia bawa. Agar ketika nanti orang bertanya, ia tahu ini jenis alkohol apa. “Tolong martininya, ya” pinta seorang wanita elegan yang amat sangat cantik hingga membuat Airina terpesona bahkan ingin menangis melihatnya. Dengan gagu dan hanya mengangguk, Airin menundukkan kepalanya permisi untuk keluar dari area tamu setelah alkoholnya habis diambil dalam beberapa detik oleh beberapa orang. YA TUHAN!! Cantik sekali. Tuhan ini memang pilih kasih atau bagaimana. Entahlah. Semoga di kehidupan Airin selanjutnya, ia bisa secantik, seanggun dan sekaya wanita tadi. Ketika perempuan yang satu itu lagi dan lagi memasuki area tamu setelah melewati prosedur yang ketat, kini dia berkeliling menawarkan martininya dengan sopan dan pelan. Siapa tahu orang orang di bangku depan yang amat sangat fokus tak tahu bahwa orang orang yang ada di belakang sibuk sendiri dengan camilan dan alkohol mereka. “...kau... ibunya Aiden, kan??” hingga akhirnya orang freak yang saat itu ia dan anaknya temui ditangkap oleh retinanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD