*** AUTHOR ***
"Kamu mau ke mana?" Seru Juan, saat melihat Dara ingin ke luar kamar dengan membawa pakaian ditangannya.
"Aku mandi di kamar Ibuku, karena aku tidak ingin terlambat tiba di kantor"
"Apa? Kamu akan ke kantor? Maksudmu setelah kita menikah, kamu tetap bekerja di kantorku? Tetap jadi sekretarisku?"
"Ya, itu benar."
"Kenapa, eh? Kamu bisa santai di rumah untuk apa ke kantor?"
"Aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhanku, karena aku tahu benar, suamiku lebih suka menghamburkan penghasilannya dengan hura-hura, dari pada menyerahkan uangnya kepada istrinya."
"Kau!" Juan mencengkeram lengan Dara dengan tatapan marah dimatanya.
"Mau marah? Marah saja, aku sudah mulai terbiasa menerima kemarahanmu, Tuan Juan Daniel" Dara mendongak menantang tatapan Juan.
Dara melepaskan cengkeraman Juan di tangannya, dan melangkah menjauhi Juan.
'Oke Dara, jika kamu suka mempermainkan amarahku, maka aku juga akan membalas dengan mempermainkan tubuhmu,' gumam juan dalam hatinya.
Juan mendekati Dara yang sudah membuaka pintu kamar, ia merebut pakaian di tangan Dara, dan melemparkannya ke lantai begitu saja.
Dinaikan tubuh Dara ke atas bahunya, lalu dihempaskan tubuh Dara di atas ranjang.
"Apa maumu Tuan Juan!?" Seru Dara sedikit panik, karena dengan satu tangan, Juan sudah merangkum kedua tangannya melewati kepala. Sedang tangan Juan yang lain meremas d**a Dara dengan kuat.
"Lepaskan aku, jangan mengintimidasi wanita dengan kekuatan fisikmu Juan, karena itu se ... hmmmmpppp ...." Dara tidak bisa meneruskan ucapannya, karena bibir Juan menjajah bibirnya dengan kasar. Kaki Dara berusaha melakukan perlawanan, tapi kaki Juan menjepit kakinya dengan kuat.
Juan melepaskan cengkeramannya di tangan Dara, tapi kini kedua tangannya memeluk tubuh Dara dengan kuat.
Dara memukuli punggung Juan dengan sekuat tenaga yang dipunyainya.
"Tuan Juan, Non Dar, sarapan sudah siap. Ooh maaf ... maaf ...." Bibik berdiri terpaku, di depan pintu kamar yang terbuka.
Kemudian cepat menutup pintu, dan berlalu dari sana.
Pelukan Juan terlepas seketika, Dara mendorong Juan dengan sepenuh kekuatannya.
"Dasar pria m***m! Dipikiranmu hanya ada kemesuman. Kamu pikir, kamu satu-satunya pria paling ganteng di dunia. Buka matamu lebar-lebar, Tuan Juan Daniel!" Dara memungut pakaiannya yang berhamburan di lantai.
"Kita lihat saja Nona perawan tua, kamu pasti akan takluk di bawah kehendak pria m***m ini. Kamu pasti akan ketagihan dengan ciumanku!"
"Biar waktu yang akan membuktikannya, Tuan Juan!" Dara segera ke luar dari kamar tidur mereka, dan turun ke lantai bawah, menuju kamar Ibunya.
"Ada apa Dara?" Tanya Ibunya, yang duduk di tepi ranjang dengan tatapan heran, melihat Dara masuk ke dalam kamar dengan membawa pakaiannya.
"Mau numpang mandi Bu."
"Numpang mandi?"
"Iya, Juan lama sekali mandi, jadi aku numpang mandi di kamar Ibu ya, biar tidak telat ke kantor"
"Ooh begitu ya." angguk Bu Tari.
"Iya Bu."
"Tapi kalian tidak sedang bertengkarkan?" Tanya Bu Tari dengan tatapan cemas.
Dara berlutut di depan Ibunya, digenggamnya jemari Bu Tari dengan lembut.
"Tentu saja tidak, Ibu."
"Ibu tahu Dara, tidak mudah bagimu menjalani pernikahan tanpa cinta seperti ini, jujur saja Ibu tidak tahu apa alasanmu mau menikah dengan Juan, tapi apapun alasanmu, Ibu tetap mendoakan yang terbaik untukmu." Bu Tari mengusap kepala Dara dengan penuh kasih, dan sayang.
Ada air mata yang menetes dari matanya.
'Dara ....
Meski tidak ada ikatan darah di antara kita berdua.
Tapi apa yang sudah kamu lakukan selama ini untuk Ibu, sudah cukup membuktikan, betapa ikatan cinta di antara kita, melebihi ikatan darah antara Ibu, dan Tedi, putra kandung Ibu sendiri.'
"Ibu jangan menangis lagi, aku tidak mau Ibu sedih. Seberat apapun hidup yang harus aku jalani, tujuanku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Ibu. Ibu satu-satunya harta paling berharga yang aku miliki, aku ingin Ibu bahagia." Dara menjatuhkan kepala di atas pangkuan Ibunya.
Air mata Dara membasahi rok Ibunya, dan air mata Bu Tari membasahi rambut Dara.
"Andaikan Tedi sepertimu ...."
"Ibu ...." Dara mengangkat kepalanya, di dongakan wajah untuk menatap wajah Ibunya.
"Maafkan Ibu, Dara, harusnya Ibu tidak mengeluh lagi ...."
"Bukan begitu, Bu, tapi aku tidak ingin Ibu merasa sedih, karena aku tahu Ibu selalu sedih saat membicarakan Mas Tedi."
"Maafkan Ibu."
"Bu, aku tahu Ibu merindukan Mas Tedi, merindukan cucu-cucu Ibu, tapi Ibu juga harus tahu, kalau mereka tidak menginginkan kita." Dara menghapus air mata di pipi Bu Tari.
"Iya Ibu tahu," Bu Tari menganggukkan kepalanya.
"Kita sudah berusaha mendekati mereka Bu, tapi mereka mengabaikan kita. Jika hanya aku yang mereka abaikan, aku bisa mengerti Bu, tapi mereka mengabaikan Ibu. Aku percaya Bu, suatu saat nanti mereka pasti akan merindukan Ibu, sabar ya, Bu."
"Ibu akan sabar menanti saat itu tiba, sekarang mandilah lalu kita sarapan sama-sama."
"Ya Bu, ku menyayangi Ibu." Dara mencium jemari Ibunya.
Bu Tari mengecup puncak kepala Dara.
"Ibu juga menyayangimu."
"Aku mandi dulu Bu."
"Ya."
Sementara Juan di dalam kamarnya, sedang menerima telpon dari Meta.
"Kenapa aku tidak boleh ke kantormu, Juan, itukan kantor milikmu sendiri."
"Tidak Meta, Ayahku tidak mengijinkan aku membawa wanitaku ke kantor."
"Kenapa kamu harus selalu menuruti perkataan Ayahmu, Juan?" gerutu Meta dari seberang sana.
"Karena Ayahku yang punya kuasa Meta."
"Kamu itu putra satu-satunya, tapi kenapa Ayahmu tidak suka melihatmu bahagia?"
"Sudahlah Meta, kita tetap bisa bertemu di tempat biasa kita makan siang, oke, bye." Juan menutup telponnya.
***
Juan pergi ke kantor dengan mobilnya sendiri, sedang Dara datang bersama Pak Juni, dan Pak Ramli yang ternyata ikut sarapan di rumah mereka.
Dara tahu, sejak Pak Juni menunjuknya menjadi sekretaris Juan, ia menjadi bahan gosip di kantornya.
Dara tahu, mereka menudingnya kalau punya affair dengan Pak Juni, Big Bossnya.
Apa lagi jika hari ini, mereka melihat ia datang ke kantor bersama Pak Juni, pasti gosip itu akan semakin menyebar luas.
Tapi Dara sudah bertekad, untuk tidak akan mengambil pusing pada penilaian orang lain terhadapnya.
Ia sudah bertekad, untuk membuat Pak Juni bahagia di sisa hidupnya.
Mobil Juan, dan mobil yang dinaiki Dara tiba bersamaan di kantor.
Mereka ke luar secara bersamaan.
Dara hanya tersenyum, menerima tatapan penuh kebencian dari mata Juan.
Tidak ada kata yang terucap dari mulut mereka berempat, saat menaiki lift menuju ruangan kantor Juan, dan Pak Juni.
Dara, dan Juan ke luar dari lift lebih dulu, karena ruangan kantor mereka dua lantai di bawah ruangan kantor Pak Juni.
Selama mereka berdua bekerja, dari pagi sampai waktunya makan siang, tidak ada percakapan yang bersifat pribadi. Mereka benar-benar fokus bekerja.
"Dara."
"Ya."
"Waktunya makan siang, aku akan makan siang bersama temanku."
"Ya silahkan saja, aku juga akan ke luar makan siang bersama Ayah," sahut Dara, sembari merapikan meja, dan meraih tasnya.
Suara pintu diketuk dari luar.
Dara segera bangkit dari duduknya, dan membuka pintu.
Daun pintu terbuka, Bu Fani berdiri di ambang pintu.
"Ya Bu ada apa?" Tanya Dara.
"Maaf Mbak Dara, ada teman Pak Juan sedang menunggu untuk bertemu."
"Siapa?" Tanya Juan yang sudah berdiri di belakang Dara.
"Mbak Meta," jawab Bu Fani.
"Ooh, ya Saya akan menemuinya." Juan segera mengikuti langkah Bu Fani ke luar dari ruangan kantornya.
"Meta," desis Dara.
'Apa Meta yang sama dengan Meta yang aku kenal?' batin Dara.
Rasa penasaran Dara, membuatnya cepat ikut ke luar dari ruangan kantor, untuk melihat seperti apa sosok yang bernama Meta.
Tanpa sungkan Meta memberikan kecupan di pipi Juan, Juan membalas dengan meraih pinggang, dan juga mengecup pipi Meta.
Dara terpaku di tempatnya saat melihat seperti apa Meta.
Mata Dara, dan mata Meta bertemu, ada riak yang tidak dimengerti Juan pada tatapan mata keduanya.
Juan masih melingkarkan lengannya di pinggang Meta.
"Kita pergi sekarang," ucap Juan tanpa memperkenalkan Meta pada Dara, bahkan ia pergi tanpa menatap, apalagi berpamitan pada Dara.
"Ya" angguk Meta.
Ditatapnya sekali lagi wajah Dara, ada senyum penuh cemooh di bibir Meta yang ditujukan pada Dara.
Dara menarik nafas panjang, dan hanya bisa menatap punggung Juan, dan Meta yang semakin jauh.
'Meta, tidak ada yang berubah dari dirimu' batin Dara sedih.
***
Di dalam mobil Juan.
"Kenapa perawan tua itu ada di kantormu, Juan?" Tanya Meta penasaran
"Dara maksudmu? Dia sekretaris yang dipilihkan Ayah untukku. Eeeh, tapi bagaimana kamu tahu dia perawan tua? Kamu mengenalnya Meta?"
"Aku pernah kenal dia, tapi kita lupakan saja. Aku malas membicarakannya."
"Oke, aku juga malas membicarakan dia," sahut Juan.
****
Dara menemui Pak Juni di ruangannya.
Ada seorang pria yang sedang berbincang dengan Pak Juni di dalam kantornya.
Dara memperkirakan usia pria tampan, dan gagah yang bersama Pak Juni sekitar 35 tahun.
"Selamat siang Pak," Dara memberi salam. Dara memutuskan tetap memanggil Pak Juni dengan 'Bapak' saat di depan orang lain.
"Siang Dara, masuklah, kenalkan ini Faiz Faturahman yang akan menangani pembuatan taman di proyek kita. Faiz kenalkan ini Dara. Dara yang nanti akan menemanimu melihat lokasi proyek baru kita." Pak Juni memperkenalkan mereka.
"Hallo Dara."
"Hallo Pak Faiz." Dara menyambut uluran tangan Faiz yang terasa hangat dirasakannya.
"Mas saja kalau boleh, jangan Bapak" pinta Faiz.
"Ooh ya," Dara mengangguk.
"Tolong kamu gantikan saya, temani Faiz ya Dara, karena siang ini juga Saya, dan Ramli harus terbang ke Manado untuk proyek baru di sana." kata Pak Juni.
"Ya Pak, tapi bagaimana dengan pekerjaan saya di kantor Pak Juan?"
"Di sana masih ada Fani yang bisa menggantikan, sementara kamu pergi."
"Baik Pak," sahut Dara.
Dara memang sudah pernah datang ke proyek baru itu bersama Pak Juni, dan Pak Ramli.
Pak Juni juga sudah memintanya untuk mempelajari masalah proyek ini, dengan alasan agar Dara juga mulai belajar mengelola perusahaannya.
Karena Pak Juni masih sangsi pada kemampuan Juan, yang menurut Beliau belum bisa diandalkan.
****
Juan, dan Meta sudah berada di sebuah restoran.
Mereka tengah menunggu pesanan datang, ketika dari arah pintu restoran Juan melihat Dara bersama seorang lelaki yang dikenalnya sebagai rekan bisnis Ayahnya.
'Faiz Faturahman, ada hubungan apa antara Dara, dan Faiz? Bisnis, atau pribadi?'
Pertanyaan itu membuat Juan tidak lagi fokus mendengarkan cericitan Meta, yang terus bicara dari tadi.
"Juan! Kamu tidak mendengarkan aku ya?" Meta mengikuti arah pandangan Juan.
"Oh .... perawan tua itu ternyata laku juga," ucap Meta sinis, membuat Juan mengalihkan pandangannya dari Dara kepada Meta.
"Apa kalian bermusuhan Meta, maksudku kamu, dan Dara?"
Meta mengangkat bahunya.
"Begitulah."
"Karena apa?"
"Aku malas membahasnya, Juan."
"Hhhh ... baiklah" Juan akhirnya hanya bisa menelan rasa penasarannya.
Mata Juan sesekali masih memandang ke arah Dara, dan Faiz yang tampak terlibat pembicaraan serius.
****
***JUAN***
Aku segera kembali ke kantor usai makan siang bersama Meta.
Karena aku tahu ada meeting rutin dengan staffku hari ini.
Saat aku melangkah ingin memasuki ruangan kantorku.
Panggilan Bu Fani menahan langkahku di ambang pintu ruanganku.
"Pak Juan."
"Ya."
"Tadi Mbak Dara menelpon, katanya ia tidak akan kembali ke kantor lagi setelah makan siang, karena harus menggantikan Pak Juni pergi ke proyek," ucap Bu Fani.
"Pergi ke proyek, dengan siapa?" Tanyaku cepat.
"Maaf, Pak, saya kurang tahu, tapi Mbak Dara minta saya mengingatkan Bapak, kalau ada meeting jam dua ini. Mbak Dara meminta saya yang menemani Bapak meeting, menggantikan Mbak Dara."
"Ya saya tahu kalau ada meeting hari ini, masih ada waktu 15 menit sebelum meeting dimulai. Saya mau ke ruangan saya dulu"
"Baik Pak."
Aku masuk ke dalam ruangan kantorku, yang tadinya sangat nyaman bagiku.
Ya nyaman, sebelum perawan tua itu menjajah kebebasanku di dalam ruangan kantorku sendiri.
Aku duduk di balik meja kerjaku, mataku menatap ke arah meja di sudut ruangan, di mana biasanya Si perawan tua itu duduk.
Sampai saat ini, aku tidak bisa habis mengerti, kenapa Ayah lebih mempercayai Dara ketimbang diriku.
Aku ini anak tunggalnya, lulusan Universitas dari luar negeri, harusnya Ayah bisa mempercayaiku.
Soal aku suka bersenang-senang, toh sejak Dara di sini aku tidak pernah lagi melakukannya saat jam kerja.
Tapi Ayah masih belum juga bisa mempercayaiku, ini pasti karena pengaruh menantu pilihannya itu.
Aku akan buktikan kepada Ayah, kalau aku bisa lebih baik dari si perawan tua itu.
Aku segera bangkit dari dudukku, dan melangkah ke luar dari ruanganku, untuk meeting dengan staffku.
***
***DARA***
Ku pandang jam di pergelangan tanganku.
Pukul 9 malam.
Hari ini sangat menyenangkan bagiku, setelah menemani Mas Faiz ke proyek sampai jam empat sore tadi, aku sempat pulang kerumah untuk mandi, dan berganti pakaian, juga sholat Ashar. kemudian aku pergi untuk bertemu tiga sahabatku Niar, Rena, dan Ambar.
Kami janjian bertemu di rumah Ambar, yang baru melahirkan anak ketiganya.
Ambar mengadakan acara akiqahan putra yang baru dilahirkannya.
Ketiga sahabatku sudah menikah, dan sudah memiliki anak.
Niar, dan Rena masing-masing memiliki dua orang anak, dan Ambar dikarunuai tiga orang anak.
Saat kami bertemu, pertanyaan yang sama tidak pernah bosan mereka tanyakan kepadaku.
Kapan Aku menikah?
Dan aku tidak pernah bosan dengan jawabanku yang selalu sama.
'Jika Allah sudah mengirimkan jodoh dari NYA untukku.'
Taksi yang membawaku pulang, kuminta berhenti di depan pagar rumah.
Setelah membayar ongkos taksi, aku segera turun, dan meminta Pak Satpam yang mengintip dari sela pagar agar membukakan aku pintu pagar.
Begitu masuk ke dalam rumah, setelah Bibik membukakan pintu.
"Ibuku sudah makan malam, Bik?"
"Sudah Non."
"Alhamdulillah, terimakasih ya Bik."
"Iya, sama-sama Non."
Aku menuju kamar Ibuku, dan kulihat Ibu sudah tidur dengan nyenyak.
Kudekati Beliau, dan kurapikan selimut yang menutupi tubuh Beliau.
Ku daratkan kecupan di kening Ibuku.
"Aku menyayangimu, Bu," bisikku pelan.
Aku sangat bahagia melihat Beliau bisa tidur senyenyak ini.
Buatku tidak ada yang lebih membahagiakan, selain melihat Ibu bahagia.
Ku hapus air mata yang menitik di pipiku, sebelum melangkah ke luar dari kamarku.
Aku naik ke atas, dan segera masuk ke dalam kamar tidurku.
Aku yakin, kalau di jam seperti ini, Juan pasti belum pulang.
Entah ada di mana dia sekarang, mungkin nenghabiskan malam bersama Meta.
Ku hempaskan tubuhku telentang di atas ranjang. Ku biarkan kakiku menjuntai di sisi ranjang.
Meta ....
Haruskah aku ceritakan pada Ibu, kalau aku bertemu dengannya.
Tapi aku takut itu akan membuat Ibu sedih nantinya.
Mungkin aku tidak harus bercerita pada Ibu soal pertemuanku dengan Meta.
Meta ....
Aku tidak tahu apa salahku, sehingga kamu membenciku.
Aku sendiri merasa tidak pernah melukai hatimu ataupun memusuhimu.
Aku merasa lelah, dan ingin memejamkan mataku sebentar saja, setelah itu baru mengganti bajuku dengan baju tidur.
Baru saja mataku terpejam sesaat.
"Dari mana jam segini baru pulang?" Suara berat bernada sinis itu, membuatku terlonjak bangkit dari rebahku, dan terduduk di tepi tempat tidur.
"Juan!"
"Tentu saja aku Juan, apa kamu mengharapkan Faiz yang ada di kamar ini, eh!?" Aku bisa merasakan amarah pada tatapan, dan suaranya.
"Kamu tidak pergi bersenang-senang?"
"Kenapa? Apa masalah bagimu jika aku tidak pergi?" Sahut Juan, dia sudah berdiri tepat di hadapanku, yang masih duduk di tepi ranjang.
"Tentu saja tidak masalah .Aku hanya berpikir, mungkin wanitamu sudah bosan denganmu, sehingga kamu rela menghabiskan malam tanpa ada mereka bersa ... hmmmppp ...." sungguh aku tidak menyangka, Juan menyergap bibirku dengan bibirnya.
Tubuhku sampai terjengkang ke belakang, dan tubuh besar Juan langsung menindih tubuhku.
Gerakannya sangat tidak terduga olehku. Aku merasakan bibirnya mengisap bibirku kuat.
Aku meronta sekuat tenaga.
Kutarik bagian punggung kaos yang dipakainya.
Tapi Juan justru menyusupkan lidahnya ke dalam mulutku, dan tanpa ragu kugigit lidahnya.
"Awww! Dasar perawan tua aneh!" serunya dengan suara penuh kemarahan.
Aku masih berusaha menolakan tubuh besarnya dari atas tubuhku.
"Menyingkirlah pria m***m!" geramku.
"Pria m***m ini suamimu Dara!"
"Kamu mengakui dirimu suamiku, hanya agar bisa menyentuhku, iya kan? Jangan bermimpi, Tuan Juan. Aku tidak sudi kamu sentuh, selagi kamu masih suka berkeliaran di ranjang wanita lain!" seruku nyaring.
Aku tahu berdosa bagi istri jika tidak bersedia melayani suaminya.
Tapi ini harus aku lakukan, agar Juan tidak bersikap semaunya.
Juan harus merubah sikapnya.
***BERSAMBUNG***