Italia kaya dengan sejarah dan nilai budaya sejak ribuan tahun lampau. Kehidupan s3k5 di Italia juga cenderung bebas.
Italia identik dengan industri s3k5 yang meriah dan glamor. Bahkan mereka mengadakan pesta s3k5 di beberapa moment.
Meghan terkesiap saat indera pendengarannya menangkap suara-suara yang mendekat.
Derap langkah sepasang pantofel? Apakah bos yang dimaksud oleh para bodyguard itu telah datang?
Jantung Meghan berdegup kencang. Keringat dingin bercuruan dari milyaran pori-pori.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Gadis itu berusaha menarik-narik kedua tangannya. Oh tidak. Ikatan ini terlalu erat. Pergelangan tangannya sampai memerah akibat tindakkan yang sia-sia itu.
Wangi maskulin parfum seorang pria menyeruak indera penciumannya. Tenggorokan Meghan terasa tercekat karena ketakutan. Pria itu sudah berdiri di hadapannya kini.
"Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau sudah tak sabar ingin bermain-main denganku?" Michele menaikan sudut bibirnya seraya memandangi gadis yang terikat di tengah ranjang.
Sepertinya kali ini Madam Rose mengirim gadis yang salah. Bahkan gadis itu sedang menatapnya begitu berani.
Dia bergegas maju satu langkah. Kedua tangannya masih berada di masing-masing saku celana kainnya yang licin.
"Kau tidak kelihatan berpengalaman. Padahal aku sudah membayar mahal. Aku mau S3k5 yang liar malam ini," desis Michele. Wajahnya terlihat seperti iblis yang buas dan kejam.
Meghan menelan ludah kasar. S3k5 yang liar? Tubuhnya gemetar ketakutan mendengar ucapan kotor pria asing itu.
"Dengar, Tuan Mafia! Kau salah orang. Aku bukan wanita yang kau pikirkan. Aku salah masuk bar lalu mereka membawaku ke sini. Lepaskan aku, aku harus pulang," ucap Meghan berusaha tenang meski dia nyaris pingsan ketakutan.
Michele tersenyum remeh mendengarnya. "Bukan j4l4ng? Itu yang kau maksud?"
Meghan menatap pria dengan stelan jas hitam di depannya dengan pupil yang membulat penuh. Sial! Sepertinya pria itu tidak percaya padanya. Ya Tuhan ... Bagaimana ini? Dia mulai cemas.
"Hm, Tuan Mafia! Aku benar-benar bukan wanita yang kau pesan. Aku cuma mahasiswi smester dua yang tersesat ke sini. Percayalah, tolong lepaskan aku," lirih Meghan. Kali ini ia memasang wajah memelas.
Michele memicingkan satu alisnya. Matanya menelanjangi Meghan dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Dilihat-lihat gadis ini lumayan juga, pikirnya. Persetan dia jalang atau bukan. Obatnya sudah terlanjur bereaksi.
Meghan sangat terkejut melihat Michele melepaskan jas hitamnya, kemudian dasi, rompi, juga kemejanya.
Seketika otot-otot yang kencang menyembul dari permukaan kulit yang kecokelatan. Kotak-kotak di perut Michele mengingatkan Meghan pada roti sobek yang biasa ia makan di pagi hari.
Apa yang mau pria itu lakukan? Jantung Meghan berdegup semakin kencang saat Michele mendekat padanya dengan mengenakan celana kainnya saja.
Tulisan-tulisan suci memenuhi bagian depan tubuh pria itu. Gila! Tubuhnya sangat bagus.
"Kenapa bengong? Kau suka melihat tubuhku?" bisik Michele ke wajah Meghan. Dia mengunci pandangan gadis itu dengan tatapan yang tajam yang menghipnotis.
Meghan kembali menelan ludah kasar. "A-aku sudah katakan jika aku bukan wanita yang kau pesan. Tolong jangan dekat-dekat," ucapnya tergugup.
Michele menunjukkan seringai tipisnya. "Masa bodoh kau j4l4ng atau bukan, layani aku sekarang."
"Apa?"
Meghan yang terkejut menatap dengan mulut yang sedikit terbuka. Dia sudah melakukan kesalahan yang fatal.
Michele yang sudah dalam pengaruh obat tak mau lagi ada penolakkan. Pria itu langsung menyambar rakus bibir Meghan dengan ciuman yang lapar dan panas.
"Ummh! Ummh!"
Meghan berusaha berontak dengan memalingkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Namun, bukan hal sulit bagi Pangeran Mafia Riciteli menangani seorang gadis.
"Kau membuatku gemas." Michele menangkap kedua tangan Meghan setelah melepaskan ikatanya. Matanya menatap buas saat gadis itu menatapnya dengan nafas yang terengah-engah.
"Seksi," bisiknya, lantas kembali menyambar rakus bibir Meghan tanpa ampun.
Sementara itu di bar. Carlo tampak sibuk bermain game sambil duduk pada sofa panjang di sudut ruangan.
Dua orang bodyguard berdiri di masing-masing sisi, mengawasi dan menjaga adik bos mereka dengan baik.
Paolo tersenyum tipis seraya mendaratkan bokongnya pada sofa kosong di samping Carlo. "Hei, kau akan tidur di tempat rehabilitasi jika terus sibuk dengan smartphone-mu," ucapnya sambil menepuk satu bahu remaja laki-laki itu.
Tanpa memalingkan pandangan dari layar ponselnya, Carlo menjawab, "Siapa yang berani membawaku ke tempat rehabilitasi? Michele pasti akan menembak kepala mereka," ucapnya dengan acuh.
Paolo tergelak tawa mendengar celoteh bocah itu."Oh iya? Bagaimana jika kakakmu itu sendiri yang akan membawamu ke sana?" desisnya kemudian. Seringai tipis terbit di bibirnya saat Carlo menatap.
"Paolo, aku melihat pria mencurigakan di lorong. Lekas periksa!"
Suara itu mengejutkan mereka berdua. Baik Paolo maupun Carlo, keduanya mengalihkan pandangan pada Sergio yang datang menghampiri dengan tergesa-gesa.
"Siapa pria itu? Apa dia sudah bosan hidup sampai berani masuk ke sini?" Paolo bergegas bangkit. Dia bertanya pada Sergio yang kini berdiri di hadapannya.
"Entahlah. Cepat periksa," jawab Sergio memerintah.
Paolo berdecak jengah lantas pergi. Tiga orang bodyguard menyusulnya. Carlo yang masih duduk di sofa hanya menaikan kedua bahunya tak peduli. Ia kembali sibuk dengan ponselnya.
"Tuan Muda, ini sudah larut. Saya akan mengantar Anda ke kamar," ucap Sergio pada Carlo.
Anak laki-laki 16 tahun dengan stelan jas hitam itu tampak kesal. "Huh, padahal ini baru pukul sebelas," ucapnya seraya bangkit dari sofa.
"Silakan lewat sini, Tuan Muda." Sergio tak peduli dengan wajah sebal Carlo padanya. Pria itu membuka satu tangannya mempersilakan Carlo berjalan lebih dulu.
Di lorong tampak sepi. Sambil berjalan di depan Sergio, Carlo sibuk dengan permainan game pada layar ponselnya.
Sesekali remaja itu tersenyum sendiri, kadang pula mengumpat kesal. Sergio hanya mengikuti dengan wajah datar-datar saja.
Mereka nyaris sampai di kamar Carlo. Namun tiba-tiba seseorang menyergap Sergio dari belakang. Pria itu tidak sempat berteriak karena mulutnya di sumpal oleh sapu tangan. Pria misterius menyeretnya setelah Sergio pingsan.
"Yess! Sudah kukatakan jika tak ada gamer yang lebih hebat dari pria Italia ini!" Carlo memekik senang karena menang dalam permainan game-nya.
"Hei, di mana si kaku itu?"
Dia baru menyadari jika Sergio tidak berada di belakangnya lagi. Carlo hanya menaikan kedua bahunya tidak peduli. Dia segera melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Pria berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul dari balik dinding. Tangannya mencengkeram kuat pistol dalam genggaman. Wajahnya tidak kelihatan jelas karena topi dan kain yang menutupi.
"Hello, Boy!"
Carlo menoleh ke arah suara itu. Dia terkejut melihat pria misterius sedang berdiri di hadapannya.
Baru saja dia mau menjerit, pria itu langsung menyergap dan membungkam mulutnya dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius.
Setelah Carlo pingsan, pria itu segera menyeretnya pergi.
"Tuan Muda Carlo hilang! Cepat cari!" Paolo memerintah para bodyguard untuk mencari Carlo setelah menemukan Sergio tak sadarkan diri di dalam lift.
"Bos sedang sibuk dengan wanitanya. Dia akan mengamuk jika kita datang menganggunya." Sergio bicara pada Paolo setelah sadar. Mereka berjalan cepat menuju kamar VVIP di mana Michele berada.
"Akan lebih buruk jika kita tidak memberitahunya," ucap Paolo tanpa menoleh pada Sergio.
Sergio tidak menimpali lagi. Sial! Paolo pikir dia jauh lebih tahu seperti apa Michele ketibang dirinya yang sudah lama melayani Klan Riciteli?
Harusnya dia yang menjadi kaki tangan Michele, bukan Paolo yang ceroboh dan banyak cing cong itu, pikir Sergio sebal.
Di dalam kamar. Michele sedang memaksa Meghan menuruti maunya. Gadis itu tak henti berontak dan berteriak, padahal dia belum melepas pakaian. Namun, penolakan itu membuat Michele semakin tertantang dan penasaran.
"Hentikan! Arrgh! B4j!ngan kau!" Meghan hanya bisa berteriak karena kedua tangannya dicengkeram kuat oleh Michele. Juga kedua kaki yang di tahan oleh kaki kekar pria itu.
"Diamlah, Sayang. Kau akan menyukainya." Michele sudah naik ke tubuh Meghan yang masih mengenakan mini dress-nya.
Nafasnya memburu dengan menggebu-gebu. Dia sibuk memberi kecupan nakal pada ceruk leher hingga Meghan. Wangi tubuh gadis itu membuatnya semakin menggila.
"Ah, tidak!" Meghan memekik kaget saat pria itu mendesak area pentingnya yang masih tertutup oleh pakaian.
"Sial, aku tak tahan lagi." Michele melepaskan tangan Meghan. Kemudian beralih pada kedua bongkahan besar gadis itu. Meghan mengerang saat dia meremasnya dengan agak kasar.
Mata Meghan terpejam tak menentu. Dia menggigit bibir bawahnya menikmati sensasi yang ditimbulkan.
Pacarnya saja belum pernah melakukanya. Ini perasaan yang asing baginya, tapi sensasinya sungguh luar biasa bagi Meghan.
Melihat lawan mainnya sudah kepayahan, Michele mulai melakukan foreplay dengan santai. Meghan mendesah saat kecupan itu bergerak turun ke pinggangnya.
"Bos, ada masalah! Tolong buka pintunya!"
Michele yang sedang menggebu-gebu dibuat kesal mendengar suara Paolo dari luar pintu.
"Sial! Apa mereka sudah bosan hidup?"