Hari Jum’at, bu Achdiyat mengajak Tari jalan berdua ke pasar Beringharjo, sedang para lelaki termasuk kedua boss kecil main di taman pintar dan akan langsung salat Jumat. Mereka janjian akan bertemu untuk makan siang.
Sejak menjadi sekretaris pak Achdiyat, Tari terbiasa pergi berdua dengan istri boss nya. Bu Achdiyat yang bernama asli Kusumastuti, atau yang biasa dipanggil bu Tuti menyayangi Tari sebagai pengganti bunda si kembar. Putri sulungnya yang meninggal tiga tahun lalu. Tepatnya empat bulan sebelum Tari bekerja di perusahaan suaminya. Rita putrinya meninggal bersama Rama suaminya sepulang mereka berlibur. Meninggalkan dua buah hatinya yang saat itu baru berusia 10 bulan.
Tari dan bu Tuti tak pernah sungkan untuk memberi masukan atas pilihan baju yang mereka taksir. “Sepertinya warnanya terlalu nge-jreng Bu, nanti malah Bapak enggak suka. Dia akan pakai baju ini tapi dengan hati yang enggak ikhlas. Pakai baju karena terpaksa kembaran dengan Ibu aja.” Demikian Tari memberi pendapat soal pilihan baju couple yang ditaksir oleh bu Tuti.
“Iya juga. Bapak ‘tu suka protes kalau warnanya agak terang. Beda ama Ichwan, dia berani pakai baju yang warnanya menyala,” bu Tuti membenarkan pendapat Tari.
“Mungkin karena Pak Ichwan masih muda Bu, jadi pede dengan warna menyolok. Pak Adi pasti merasa enggak percaya diri bila pakai baju berwarna terang,” kembali Tari memberi pendapat. Dia sendiri mencari gaun batik untuknya. Sengaja kemarin dia belum membawa baju kerja. Dia memang ingin selama lokakarya besok menggunakan batik saja.
“Iya, Ade emang pede pakai warna terang,” balas bu Tuti sambil minta warna lain dari baju pilihannya. ADE adalah panggilan Ichwan di rumah. Dia adalah bungsu dari dua bersaudara. Dulu Rita sang kakak dipanggil TETEH.
Banyak baju yang mereka beli, kadang Tari membayar sendiri, tapi lebih banyak dibayari oleh bu Tuti. Termasuk baju couple untuknya dengan Ichwan yang tadi bu Tuti bilang harus dipakai makan malam Minggu nanti.
‘Mengapa malam Minggu aku harus pakai baju couple dengan monster itu?’ beribu tanya dalam benak Tari, tapi dia tak berani membantah pada perempuan yang sejak dia bekerja dan hidup sendirian di Jakarta sudah menjadi ibu ke duanya.
Dulu saat mulai kuliah di Jakarta, dia di dampingi bibiknya, adik ayahnya. Sayang sang bibik harus kembali ke Cianjur ketika neneknya mulai sakit. Sejak itu Tari hidup hanya dengan pengasuhnya sejak kecil di rumah orang tuanya di Jakarta. Sekarang pengasuhnya sudah berganti dengan seorang gadis karena pengasuhnya sudah terlalu tua.
≈≈≈≈≈
Hari ini dihabiskan dengan mengikuti semua kemauan si kembar. Makan siang mereka minta junk food ayam goreng tepung di gerai ayam goreng berlogo badut, sesudah itu mereka minta berputar dengan delman dan becak.
Bu Tuti dan Tari hanya menunggu mereka di cafe di jalan Malioboro. Karena delman hanya muat untuk dua orang dewasa dan dua anak. Sedang becak hanya muat untuk satu dewasa dan satu anak. Tentu saja bu Tuti menugaskan suami dan anaknya menemani kemauan si kembar.
Sehabis makan malam, Ichwan mengajak kedua keponakannya menikmati sepeda berlampu warna warni di alun-alun kidul. Tari dan bu Tuti menunggu para lelaki berkeliling dengan sepeda. Dan mereka duduk di rerumputan yang dilapisi alas plastik dengan menikmati aneka kuliner di sana.
Selama itu sikap Ichwan sangat manis, tak ada sikap otoriter kecuali ketika Tari memanggilnya Pak. “Sudah berapa kali aku peringatkan, jangan panggil PAK!”
“Iya Ri, kita ‘kan keluarga, jangan panggil Pak kecuali di depan karyawan lain. Biar di kantor sekali pun, kalau kalian hanya berdua, kamu jangan panggil Ichwan dengan sebutan Pak,” pak Achdiyat malah membela anak bungsunya itu.
“Iya Pak,” Tari mengiyakan perintah mantan direktur utamanya itu dengan tergugu dan menunduk.
≈≈≈≈≈
Sebenarnya Tari malas makan malam kali ini, karena dia harus berangkat sendiri ke tempat makan itu, dan harus pakai dress batik yang dibelikan bu Tuti. Dia tak suka karena batik ini couple atau kalau di Jogja disebut batik sarimbit ( pasangan ). Dan malam ini dia akan berpasangan dengan sang monster.
Tari keluar kamarnya, dia tak perlu naik kendaraan apa pun, karena bu Achdiyat memesan tempat di hotel ini sebagai tempat makan malam kali ini. Bu Tuti atau bu Achdiyat mengatakan malam ini dinner khusus yang harus berkesan, karena besok sore dia dan cucu-cucu akan pulang lebih dulu ke Jakarta. Mereka tak mau menemani para lelaki lokakarya.
“Meja atas nama siapa Mbak?” tanya bagian reservasi.
“Ibu Kusumastuti,” jawab Tari sambil tersenyum manis.
“Oh, beliau mengambil ruang VIP, silakan ikuti saya,” petugas itu memandu Tari memasuki ruangan yang di pesan oleh ibu boss nya itu. Tari bingung, mengapa bu Tuti menyewa ruang yang gelap? Dia mendorong pintu dengan pelan.
‘Mungkin lampu akan menyala otomatis bila pintu dibuka,’ batin Laura, tanpa berpikir buruk.
“Selamat ulang tahuuuuuuuuun,” teriak bu Tuti, pak Achdiyat dan Ichwan bersamaan lampu ruangan menyala.
Tari tak menyangka ulang tahunnya akan dibuat seperti ini oleh keluarga bossnya. Dia terharu. Bu Tuti menghampiri gadis yang masih tak percaya akan apa yang terlihat dihadapannya. Di meja terletak black forrest cake, size kecil.
“Selamat ulang tahun ya cantik, sehat selalu dan semoga kamu selalu bahagia,” bu Tuti memeluk erat Tari, dia cium kedua pipi gadis yang sekarang dialiri air mata bahagia.
“Nuhun pisan Ibu,” Tari mengucapkan terima kasih dalam bahasa Sunda. Tadi malam Bubu, Yayah dan Eddy memberi kejutan dengan video call. Biasanya mereka berkumpul di Jakarta atau Bogor.
Pak Achdiyat pun berganti dengan istrinya, dia memeluk mantan sekretarisnya itu dengan dekap sayang seorang ayah. “Selamat ulang tahun RIRI,” ucapnya. Pak Achdiyat mempunyai panggilan sayang RIRI, dari Tari. Tanpa ragu dia mengecup kening gadis itu. Seperti istrinya, dia juga menganggap Tari adalah putrinya menggantikan Rita.
Sesudah kedua orang tua itu, giliran dua jagoan yang memeluk Tari dan memberikan kado. Cium dan peluk pun mereka dapat dari Tari. Tanpa disangka terdengar petikan gitar dari sudut belakang tempat tadi keluarga Achdiyat berkumpul. Di sana Ichwan dengan kemeja batik yang sama dengan dress Tari, duduk memangku gitar yang dia mainkan perlahan. Dia mengalunkan lagu endless love dari Lionnel Richie.
My love, there's only you in my life
The only thing that's right
My first love, you're every breath that I take
You're every step I make
Tari mendengar bait pertama lagu yang special dinyanyikan Ichwan. ‘Apa maksud monster itu dengan lagu yang dia nyanyikan?’ berjuta tanya melintas di benak Tari. Namun tak dipungkiri, di hati Tari ada yang mencair, tapi bukan gletser.
Mata Ichwan menatap Tari dengan lembut dan penuh cinta saat menyanyikan lagu itu, Tari makin tak menentu. Mau lari keluar tentu tak enak dengan bu Tuti dan pak Adi ( Achdiyat ).
And I
I want to share all my love with you
No one else will do, you know it