OWN 13 | Masa Gemilang Yang Hilang
Jessica terus mengunjungi toko demi toko dan membeli apapun yang diinginkannya. “Mode di tahun ini sungguh berbeda, tapi aku tidak merasa terusik.” Gadis itu membiarkan para pengawal yang seharusnya menjaganya, justru sebagai pembawa tas belanjaan. Beberapa belanjaan lainnya bahkan tidak bisa di angkut dan diminta untuk dikirim ke kediamannya.
Jessica diam mematung, menatap layar televisi dan melihat seorang wanita yang tengah di wawancarai. Wanita itu tampak tersenyum dengan cerah dan judul dalam tayangan yang ditampilkan sungguh berhasil memancing amarah.
Jessica kembali ke kediamannya dengan tergesah.
Wajahnya memerah terbakar amarah dan ia melewati para pelayan yang sudah langsung mengerti situasi begitu melihat wajah sang nyonya. Jessica juga kemudian berjalan ke sebuah ruangan yang ia tahu adalah ruang latihannya.
Jessica berdiri di depan cermin besar. Ia sedang bersiap-siap, mengenakan lamé (metallic jacket), pakaian anggaran dengan penuh determinasi. Rambut panjangnya diikat dengan rapi, dan ia mengenakan jaket anggar putih yang ketat dengan gerakan yang tegas. Matanya hazelnya penuh dengan kemarahan yang terpendam, bibirnya terkatup rapat saat ia menarik sarung tangan anggar ke tangannya.
Ia membuka lemari senjatanya dan tidak menemukan foil (pedang anggar) yang biasa digunakannya. Jessica kemudian mengambil foil lain untuk digunakannya.
Ruang latihan di kastil itu adalah tempat yang luas dan megah, dengan dinding-dinding tinggi dan lantai kayu yang terawat dengan baik. Foil-foil anggar tergantung rapi di dinding, sementara cermin-cermin besar menghiasi satu sisi ruangan, memungkinkan Jessica untuk memperhatikan gerakan dengan cermat. Lampu-lampu menggantung dari langit-langit, memancarkan cahaya yang terang namun hangat.
Setelah mengenakan masker pelindung, Jessica mengambil pedang anggar dari rak dan mengarah ke tengah ruangan. Ia berdiri di posisi siap, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tetapi amarahnya terlalu kuat untuk diredakan. Dengan cepat, ia mulai menyerang target latihan di depannya, gerakannya cepat dan penuh tenaga.
Setiap tebasan dan tusukan dilakukan dengan ketepatan dan kekuatan yang mengesankan. Ia melampiaskan amarahnya pada target, membayangkan semua frustasi dan kekecewaan yang telah ia rasakan akhir-akhir ini. Pedangnya bergerak seperti kilat, menciptakan suara tajam setiap kali mengenai sasaran.
Jessica berkonsentrasi penuh, otot-ototnya tegang dan matanya bersinar dengan intensitas yang membara. Setiap gerakan adalah pelampiasan dari emosi yang telah lama terpendam. Ia melompat dan berputar, menyerang dari berbagai sudut dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa.
Keringat mulai mengalir di dahinya, tetapi Jessica tidak memperlambat gerakannya. Ia terus menyerang, mencoba mengusir bayangan kekecewaan dan kemarahan yang menghantuinya. Setiap serangan adalah ungkapan dari perasaan yang tak terucapkan, setiap tebasan adalah teriakan bisu dari hatinya yang terluka.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang intens, Jessica berhenti, nafasnya tersengal-sengal. Ia menurunkan pedangnya dan membuka masker pelindungnya, membiarkan udara dingin menyentuh wajahnya yang memerah. Matanya masih memancarkan kemarahan, tetapi ada sedikit rasa lega yang mulai merasuk.
Jessica berdiri di tengah ruangan, melihat target latihan yang penuh dengan bekas serangan. Ia merasa sedikit lebih tenang, meskipun amarahnya belum sepenuhnya mereda. Melihat bayangannya di cermin, ia tahu bahwa ia telah melepaskan sebagian dari beban emosional yang menghimpitnya.
Dengan nafas yang mulai teratur, Jessica meletakkan pedangnya dan melepaskan sarung tangan serta jaket anggarnya. Ia menyeka keringat dari dahinya dan mengambil napas panjang, merasakan campuran kelelahan dan kepuasan. Ruang latihan yang sunyi menjadi saksi bisu dari perjuangannya, tempat di mana ia bisa lampiaskan segala amarah dan kekecewaannya.
“Aku tidak ingat bahwa aku mengizinkanmu masuk ke ruangan pribadiku.” Aiden tersentak, ini merupakan kali pertama ia melihat ibunya bermain anggar. Terutama dengan keahlian yang luar biasa. Ibu yang dikenalnya hanya melakukan olahraga yoga di sela-sela waktunya.
“Itu, karena semua pelayan heboh jadi aku kira ada sesuatu besar dan-” Aiden memperhatikan wajah ibunya, ia kelihatan penuh amarah namun sangat bersinar di saat bersamaan.
“Gerakanku jadi kaku dan sangat berantakan…” Keluh gadis itu pelan.
“Itu cukup luar biasa untuk seorang pasien yang dua bulan lalu masih terbaring tidak berdaya.” Aiden menoleh terkejut, melihat Ilias yang sepertinya baru tiba dan langsung menemui Jessica.
Jessica menerima uluran botol minum dari Ilias dan menenggaknya untuk menghilangkan dahaga. “Pemain anggar terbaik? Harta nasional? Kebanggan negara? Omong kosong macam apa ini?” Jessica mempertanyakan hal secara ambigu, namun Ilias bisa langsung mengerti dengan mudah.
“Kau tidak melanjutkan karirmu sejak usia delapan belas tahun jadi-”
“Itu omong kosong kan? Dia tidak lebih baik dan lebih hebat dariku? Dariku?” Jessica tertawa getir.
“Aku tidak mungkin membuang mimpi sebesar itu untuk sesuatu yang tidak begitu penting. Jika ada yang bisa menyandang gelar terbaik itu adalah diriku! Bagaimana bisa! Semua yang seharusnya menjadi milikku! Ilias, apa ini masuk akal? Untuk apa aku membuang kehidupanku yang begitu mulia demi seorang anak? Katakan! Tidak mungkin kan?” Aiden yang mendengarkan amarah ibunya mundur beberapa langkah. Nafasnya memburu dan ia menatap wajah penuh amarah Jessica kala itu.
“Itu keputusanmu sendiri Jessica…” Ilias melirik Aiden yang sudah mundur ketakutan.
“Itu mustahil, saat usiaku delapan belas tahun, harusnya menjadi tahun olimpiade paling bergengsi. Mustahil aku akan merelakan hal sebesar itu demi sesuatu sesederhana ini. Tidak masuk akal! Kenapa kau buat aku hamil saat itu!” Jessica melewati Ilias dengan ledakan amarah yang kembali memuncak.
Meninggalkan Aiden dan Ilias di ruang latihannya.
“Jangan menerobos masuk ke ruang latihan, ibumu sangat membenci tamu tanpa undangan di ruang pribadinya. Lalu-”
“Ibu…” Aiden menatap Ilias dan berdehem kecil.
“Ibu pasti sedang sedih aku akan mengerti.” Aiden buru-buru berbalik pergi, kembali ke kamarnya dan mengunci diri di dalam sana.
Ia membuka laptopnya dan mencari nama ibunya di internet. Setelah mengetahui nama lengkap ibunya, semuanya menjadi lebih mudah. Selama ini Aiden hanya tahu ibunya memiliki nama Jessy tidak lebih.
Saat itulah Aiden menemukan seorang anak berbakat yang selalu menjadi pusat perhatian sejak usia muda. Sosok yang begitu bersinar dan dicintai.
“Jessica adalah yang terbaik!!!”
“Putri Mahkota Dunia Anggar, menumpuk satu medali lagi!”
“Juara satu-satunya…”
“Bagaimana perasaan Anda dalam pertandingan ini? Kalian berteman, tidakkah yang tadi itu terlalu buruk?” Aiden melihat ibunya yang tengah diwawancarai, wajahnya begitu bersinar dan cerah dengan senyuman yang mengembang.
“Teman? Aku harus menyelesaikannya dengan cepat, karena aku punya janji makan malam. Karena kami cukup dekat, aku yakin Marrie akan mengerti.” Jessica menyudahi wawancara dengan berlari kecil menuju seorang pemuda yang sudah menunggunya di ujung ruangan. Pria itu menyambut tangan Jessica dan menggenggamnya dengan erat.
Ia meraih tangan pria itu dan tersenyum dengan begitu cerah sambil berlari menghindari wartawan.
“Pria itu…”
“Orang yang mereka bilang ayahku.”
“Tunggu, bagaimana dengan kabar pertunangan Anda? Jessica? Jessica?”