OWN 11 | Ibu Yang Terasa Asing

1144 Words
OWN 11 | Ibu Yang Terasa Asing Saat Ini… Sudah dua bulan sejak Jessica bangun dari tidur panjangnya. Proses rehabilitasi berlangsung cukup cepat karena Jessica memiliki kondisi fisik yang bagus sebelum kecelakaan, wajar saja karena dulu ia juga merupakan seorang atlet. Saat ini, sebagian besar penghuni kediamannya menanti kedatangan sang nyonya, tidak terkecuali Aiden yang wajahnya menegang saat sebuah mobil datang di depan kediamannya. Pintu dibuka, menampakan Jessica yang keluar dengan Ilias yang menggenggam tangannya. Jessica melihat wajah para pelayannya yang menatapnya seolah menelisik dengan begitu teliti. Abraham dan Larria yang berada di barisan depan menatap Jessica dengan mata berair seolah mereka merindukan sang nona yang kini sudah begitu dewasa. Jessica yang berjalan berhenti di hadapan mereka, menatap wajah yang terasa asing itu. Jessica menelisik wajah mereka dan menatap keduanya dengan aneh. “Kalian menua dengan sangat cepat.” Komentar Jessica sambil melempar tas di tangannya kepada Larria. “Aku mau mandi, siapkan air mandiku.” Larria menerima tas di tangannya dan tersenyum kecil. “Te-tentu Non, Nyonya…” Larria langsung menyul Jessica yang berjalan lebih dulu. Jessica yang berjalan menuju kamarnya bahkan tidak menyapa Aiden. Anak itu terus menatap ibunya yang pergi menjauh diikuti beberapa pelayan di belakangnya. “Tuan muda, sudah waktunya untuk kelas berkuda jadi-” Salah seorang pelayan mengingatkan jadwal Aiden dan membuat anak itu mengangguk dengan lesu. Jessica memasuki mansion besar yang memang menjadi kediamannya. Terdapat sedikit perubahan, namun sebagian besar interior sama persis dengan yang diingatnya. Jessica memasuki pintu besar yang terlihat begitu akrab di matanya. Ia membuka pintu itu dan menemukan kamarnya masih dalam kondisi yang sama, terjaga begitu rapih seolah selalu dipersiapkan untuk menyambutnya kembali. Jessica membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan mengambil nafas dalam-dalam. Ia merasa lelah padahal tidak melakukan banyak aktivitas. Sebelum datang ke mansion, Jessica menyempatkan diri untuk mampir ke makam kedua orang tuanya. Selama dua bulan terakhir, Jessica tidak hanya membiasakan diri dengan tubuh yang sempat masih terasa kaku karena cedera. Namun ia membiasakan hati dengan perubahan situasi. Jessica tidak tahu banyak hal di dunia ini, ia merasa seolah semuanya terasa begitu asing. Rasanya aneh dan asing paling besar adalah fakta dimana ibu dan ayahnya telah tiada. Ada kesedihan besar namun di saat bersamaan Jessica tidak bisa merasakan lukanya, karena bagi dirinya, bagi ingatannya kedua orang tuanya masih hidup. Seolah mereka hanya tengah pergi dalam perjalanan bisnis seperti yang sudah-sudah. “Semuanya terasa aneh…” Larria yang tengah membuka sepatu Jessica terhenti sejenak, ia melirik majikannya yang tengah berbicara sendirian. “No- Nyonya… Apa maksud Anda?” Jessica membuka matanya dan melirik Larria. “Kenapa wajahmu tegang begitu? Ah aku mau tidur sebentar, aku akan mandi setelahnya.” Secara tidak langsung Jessica meminta Larria untuk keluar. Gadis itu mengerti dan pamit dari hadapan Jessica. Begitu keluar, Larria bertemu dengan Ilias yang berada di depan kamar. “Nyonya tidur, tidak ada yang nyonya katakan.” Ilias mengangguk kecil. Ia kemudian berbalik pergi setelahnya. Hingga ketika waktu makan malam tiba, Ilias yang untuk pertama kalinya duduk di meja makan bersama Aiden seolah menanti kedatangan Jessica. “Nyonya baru bangun tidur.” Larria yang datang memberi informasi, rupanya sudah hampir tiga puluh menit keduanya menunggu Jessica. Jessica baru mendatangi meja makan malam satu jam kemudian, membuat makanan yang sudah dingin dihangatkan kembali begitu Larria memberikan informasi bahwa Jessica akan segera turun. Jessica datang dengan gaun tidur berwarna merah muda berenda, ia menatap kedua orang yang menantinya di meja makan dan menarik nafas dalam-dalam setelahnya. “Ini aneh, ibu dan ayahku tidak ada di meja makan dan sekarang digantikan oleh pria yang menjadi suamiku dan anak yang katanya anakku.” Jessica memandangi kursi utama yang diduduki oleh Ilias, kursi yang biasanya hanya bisa diduduki oleh ayahnya. Ia kemudian duduk di sisi kanan Ilias–berhadapan dengan Aiden. Aiden kemudian bangkit, ia berjalan ke arah Jessica dan memilih duduk di samping kiri Jessica. Jessica menatap keheranan, meski begitu ia tidak menolak tingkah anak itu. “Kau tidak minta disuapin kan?” Jessica menatap risih, membuat Aiden menggeleng dengan segera. “Aku mau berbelanja besok, lalu makam ayah dan ibuku, ganti bunganya dengan bunga aster, selain itu… Ah sepertinya tidak tepat membicarakannya saat makan malam.” Jessica membiarkan makanan demi makanan dihidangkan di atas meja. Ketiganya mulai menyantap makanan mereka, terasa canggung dengan cara khusus. Sampai, Aiden menaruh sepotong makanan di atas piring Jessica. Jessica mengernyit menatap anak yang berusaha tersenyum itu. Jessica mengangkat tangannya, membuat piring yang ada di hadapannya diangkat dan digantikan piring baru. “Tuan Muda, tolong jangan sentuh piring nyonya, nyonya tidak bisa makan pemberian orang lain.” Aiden menatap kebingungan. “Orang lain?” Ia membeo kebingungan. “Selain itu, kenapa Anda menaruh itu di piring nyonya?” Abraham seolah bertanya dengan sungguh, sungguh. Memperhatikan Jessica yang tampaknya sudah berhenti makan karena tindakan Aiden. “Ibu suka putih telur dan aku… Maksudku…” “Nyonya benci kuning telur, tolong jangan lakukan itu lagi.” Abraham membungkuk pada sang tuan muda. “Sudah selesai?” Ilias menatap Jessica yang bangkit dari posisinya. “Seleraku hilang, tapi apa aku harus makan bersama kalian?” Jessica bertanya seolah ia benar-benar ingin tahu jawabannya. “Iya.” Ilias menjawab apa adanya, membuat helaan kecil lolos dari bibir Jessica. “Ahhh… Merepotkan.” Jessica beranjak pergi dan meninggalkan Aiden dan Ilias berdua. “Ibumu kesulitan makan sejak dua bulan terakhir, nafsu makannya baru membaik beberapa hari terakhir. Apa ini caramu memprotes?” Ilias bertanya, menoleh pada Aiden yang menatap ayahnya kebingungan. “Ibu selalu memberikan kuning telur padaku, katanya ibu hanya makan putih telur jadi apa maksudnya ibu benci?” Ilias memiringkan kepalanya, menelisik situasi yang akhirnya mulai ia pahami. “Ah begitu…” Ilias menyeka bibirnya dan bangkit dari posisinya. “Ibumu benci putih telur, jangan lakukan itu lagi.” Ilias kemudian beranjak pergi. meninggalkan Aiden yang berada di ruang makan itu dengan beberapa pelayan. “Nyonya baru makan sedikit…” Abraham bergumam pelan. “Siapkan jus malam dan camilan nyonya, juga n****+ untuk dibacanya. Mungkin nyonya akan bisa makan jika suasana hatinya membaik.” Abraham kemudian beranjak pergi diikuti oleh pelayan yang lain. Meninggalkan Aiden dan Larria yang menanti Aiden untuk bangkit dari duduknya. “Apa…” “Apa ibu benar-benar benci itu?” Aiden menoleh, bertanya pada Larria yang berdiri di belakangnya. “Iya, nyonya benci putih telur.” Aiden menarik nafas dalam dan menunduk dengan tangan saling bertautan. “Tapi ibu selalu memakannya saat bersamaku…” “Maksudmu, aku bahkan tidak mengenal ibuku sendiri begitu?” Larria menarik nafas dan tersenyum kecil. “Anda pasti mirip dengan ibu Anda, karena itu Anda tidak suka putih telur dan hanya memakan bagian kuningnya.” Ini mungkin masalah yang terdengar sederhana, namun bagi Aiden ini seolah tamparan keras. Fakta bahwa dirinya sama sekali tidak mengenal sang ibu bahkan lebih dari pelayannya sendiri. “Ibu…” “Ibu tidak membenciku karena apa yang kulakukan barusan kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD