OWN 3 | Terusir Tanpa Bisa Kembali Pulang
Suara bising terdengar dari luar pintu besar, keributan terjadi dan Ilias yang tahu akan hal itu hanya duduk diam di ruangannya. Ia masih menatap salinan surat perceraian yang sudah dirinya dan Jessica tanda tangani.
Sampai kebisingan itu terdengar tepat di depan ruang kerjanya.
Ruang kerja Ilias masih sama megah dan mewahnya, sebuah tempat yang penuh dengan simbol kekayaan dan kekuasaan, tempat yang seharusnya menjadi ruangan Jessica.
Jessica, dengan mata hazelnya yang penuh dengan kemarahan dan kekecewaan, memasuki ruangan dengan langkah cepat dan penuh emosi. Ia yang tahu bahwa Ilias telah memerintahkan pengawalnya untuk mengantarnya ke bandara, menandakan bahwa dirinya terusir dan akan terus diawasi.
Bruk
Jessica berdiri di ambang pintu, tangannya menyeret foil, pedang anggar yang tajam dan berjalan ke arahnya.
Ilias duduk di kursi kerjanya, pandangannya terfokus pada beberapa dokumen di depannya. Ketika Jessica menerobos masuk, ia mengangkat kepalanya dengan tenang, seolah-olah sudah menduga hal ini akan terjadi.
Mata sembab itu jelas menunjukan bahwa dia habis menangis beberapa waktu lalu. Beberapa pengawal yang mengikutinya mencoba menahan pergerakannya. Ilias bisa melihat bagaimana lima orang pria dewasa, kewalahan saat menahan sang atlet bertalenta. Mereka jelas kesulitan saat Jessica yang penuh amarah meluapkan emosinya tanpa henti. Ilias bisa melihat tangan Jessica yang terus memberontak saat sudah berhasil dibekukan.
Sambil dipegangi oleh pengawal, ia menatap Ilias.
“Aku akan kembali…” Ilias bangkit, berjalan dengan tenang hingga ia berada di hadapan Jessica. Tangannya terulur dan menyentuh surai Jessica yang basah. Keningnya sedikit memerah lebam entah karena apa. Juga, ada jejak darah di hidungnya.
Entah mimisan atau apa, Ilias tidak bisa bertanya untuk mencari jawaban itu.
Mata biru terang Ilias menatap Jessica dengan dingin, tidak menunjukkan banyak emosi. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya tetap tenang dan terkendali, “sesukamu saja…”
“Kau yang mengambil semua milikku, tidak akan pernah bisa membunuhku. Kau tidak akan mendapatkan apapun dari itu.” Ilias masih membiarkan Jessica meluapkan amarahnya.
“Aku akan mengambil semuanya lagi…”
“Semua milikku…”
“Ini rumahku… Rumah tempatku pulang jadi, kau tidak akan bisa mengambilnya hanya karena kau berhasil mengusirku.” Jessica tampaknya sudah memahami kondisinya. Jessica kehilangan hak, saham yang diberikan oleh ibunya ditangguhkan dan saat ini hanya saham Ilias yang diberikan oleh ayah Jessica yang mendominasi.
Bahkan ia kehilangan tempat di rumahnya sendiri.
Ilias melirik gaun pemakaman Jessica yang sudah berantakan, kakinya yang penuh luka karena memakai heels juga menarik perhatiannya.
“Generasi ketiga yang lemah dan mudah dimangsa. Bahkan meski kau kembali, apa ada yang bisa kau ubah? Jessy?” Gadis itu menatap mata Ilias. Jessica menggertakkan giginya, tatapannya tidak pernah sesendu itu saat memandang Ilias sebelumnya. Ilias sempat tersentak, karena untuk kali pertama Jessica memandangnya dengan penuh rasa kecewa seperti itu. Jauh lebih dalam dari sebelumnya…
“Ilias…” Suaranya serak dan nafasnya terasa begitu panas. Ilias bisa dengan mudah mengetahui bahwa saat ini ia tengah mengalami demam.
“Aku harap, suatu hari nanti semesta akan mengambil segala milikmu. Tenggelamlah dalam kesengsaraan, sebagaimana kau menenggelamkanku.” Ilias diam sesaat, ia melirik pelayan Jessica yang sudah menatap majikannya dengan air mata yang menggenang.
“Aku sudah kehilangan segalanya sejak awal, apalagi yang bisa hilang?” Ilias berbalik. “Kuharap perjalananmu menyenangkan, Jessy.” Ia kembali ke mejanya, duduk di kursinya sambil memandangi Jessica yang ditahan oleh para pengawalnya. Tangannya terlipat di atas meja, dengan ekspresi yang begitu tenang, ia mendengarkan setiap ucapan Jessica
“Jangan pernah!”
“Jangan pernah kau panggil namaku lagi!” Teriaknya penuh kemurkaan.
“Selamat tinggal, Jessica D'Oriola Brijaya” Ilias kembali mengalihkan pandangannya pada berkas di atas meja. Membiarkan Jessica yang diseret oleh para pengawal suruhannya.
Hingga salah satu pengawal wanita berdiri di hadapannya untuk melaporkan kepergian mereka. “Dia akan memberontak, awasi dengan ketat.” Titah Ilias pada sang pengawal.
“Tentu Tuan…” Pengawal mendengarkan perintah dari majikannya dengan sangat baik. Pengawal itu kemudian pamit undur diri, karena dirinya harus segera berangkat bersama Jessica.
Ilias melirik layar komputernya saat melihat notifikasi email yang mengatakan bahwa akan diadakannya rapat pemegang saham. Matanya melirik sekilas sebelum helaan halus nafasnya lolos. Ilias kemudian bangkit, berjalan menuju jendela dan memperhatikan saat Jessica masih terus memberontak ketika dimasukan ke dalam mobil. Tubuhnya yang sudah kehilangan bobot lebih mudah ditaklukan, jika Jessica berada dalam kondisi prima, pasti akan lebih sulit menanganinya. Gadis itu akhirnya berhasil dipaksa memasuki mobil yang langsung melaju pergi.
Saat itu, adalah saat terakhir Ilias melihat mantan istrinya…
Hingga akhirnya Ilias menerima laporan mengenai kegiatan Jessica. Laporan yang sangat terperinci mengenai semua yang dilakukannya selama tiga minggu sejak ia menginjakkan kaki di New Zealand.
Ilias yang sudah selesai membaca semua laporan itu duduk dengan tenang di kursinya dan menenggak minuman.
Gejolak saham yang makin kacau membuat nilai perusahaannya semakin berada dalam krisis. Belum lagi tekanan dari para pemegang saham lainnya dan tekanan dari perusahaan luar yang mencoba mengambil alih dan melakukan akuisisi.
PT. Brijaya adalah perusahaan yang bergerak di dunia F&B. Perusahaan ini menjadi raja di dunia makanan dan selama ini tidak pernah mengalami krisis yang membuat harga saham bisa sampai seanjlok ini.
Jessica adalah konglomerat pewaris generasi ketiga perusahaan raksasa itu. Usianya bahkan belum genap memasuki delapan belas tahun saat ia terpaksa pasrah menikah. Ilias tidak pernah menduga bahwa akhirnya akan sekacau ini.
Kepalanya terasa sakit karena banyaknya masalah yang harus dibereskan.
“Tuan, saya mendengar kabar bahwa nona terlibat perselisihan. Nona tidak terluka tapi kami harus membayar biaya kompensasi mahal dan-” Hero menghentikan perkataannya, membuat Ilias menoleh pada pemuda yang merupakan sekretarisnya itu. “Nona berpesan bahwa dia ingin bicara dengan Anda. Akan lebih baik jika Anda menemuinya, tapi jika tidak bisa nona ingin melakukan panggilan dengan Anda.” Ilias kembali menenggak minumannya dan menarik nafas dalam.
“Nona bertanya mengenai mengapa Anda mengabaikan panggilan telepon dan pesannya, saya harus bilang apa atas pertanyaan itu?” Ilias seolah tengah berpikir. “Katakan bahwa ponselku habis daya.” Hero terlihat tersenyum kikuk. “Tuan, nona akan semakin marah jika saya mengatakan itu.” Ilias melirik lukisan besar yang terpajang di dinding dan kembali menenggak minumannya.
“Katakan sesuai kataku.” Ilias berpesan.
“Nona sedikit aneh akhir-akhir ini, katanya dia jadi lebih tenang sebelum akhirnya tidak sengaja terlibat perselisihan. Nona, benar-benar ingin bicara dengan Anda, bagaimana jika Anda menghubungi nona, tampaknya ini hal yang benar-benar penting.” Ilias menarik nafas dalam.
Pandangannya tertuju pada seorang wanita yang menyelinap di antara pintu dan memandangnya.
“Ilias…” Luna memanggil dengan suara pelan dan mata yang sayu seperti biasanya.
“Tidak perlu melaporkan terlalu banyak padaku soal itu. Lakukan sesuai kataku,” Hero akhirnya mengangguk pasrah, berjalan keluar ruangan dan membiarkan wanita bernama Luna memasuki ruang kerja Ilias. Ilias bangikit, berjalan menuju sofa, tempat dimana Luna duduk.
Wajahnya cerah, ia tampak nyaman selama tinggal di kediaman itu. Luna melirik pakaian Ilias yang sudah berantakan. “Jangan terlalu banyak bekerja, kau bisa sakit.” Luna memberi perhatian dengan senyuman manisnya. Wajahnya cerah dan mata coklat karamelnya entah mengapa mengingatkan Ilias pada sang pemilik manik terang yang terlihat seperti kucing.
“Ada apa?” Ilias bertanya, memperhatikan raut ragu Luna yang tampaknya tengah menimang apa yang ingin disampaikannya.
“Itu… Aku rasa Luci memiliki beberapa kebutuhan. Jadi-”
“Abraham akan menyediakannya.” Ilias memotong, membuat wajah Luna yang sempat ragu menjadi senang seketika. Ia berjalan mendekat, duduk disamping Ilias dan memeluk tangan kanan Ilias dengan erat.
“Terima kasih Ilias, sungguh aku benar-benar berterima kasih.” Ilias meliriknya, senyuman cerah dan raut kebahagiaan yang tidak lagi pernah dilihatnya di kediaman ini.
Malam itu, Hero mendapatkan beberapa panggilan lagi dari Jessica, sang nona masih menanyakan mengenai tuannya dan meminta untuk bicara. Ia yang sudah diperintahkan untuk tidak melaporkan segalanya, tidak melaporkan panggilan itu.
Meski nonanya terus bertanya dimana Ilias dan meminta agar pria itu menghubunginya.
Namun, kejadian itu berlalu begitu saja tanpa kesempatan bagi Jessica mendapatkan yang diinginkannya. Yaitu, sekedar berbicara dengan Ilias.
Ilias tidak mengetahuinya, ia baru mengetahui banyaknya panggilan Jessica pada Hero yang menanyakan mengenai dirinya beberapa hari setelahnya.
Sampai suasana menjadi tenang seketika.
Ilias tidak pernah mengetahui, bahwa saat dimana ia melihat punggung Jessica yang ia usir paksa, adalah saat terakhirnya melihat gadis itu.
Bagai sebuah legenda yang selalu dibacanya, Jessica menghilang setelahnya…