Laras membuka mata dan mendapati tubuhnya yang berselimut, pantas saja dia tak merasakan kedinginan dalam tidurnya yang lelap malam ini. Seolah dia telah terbiasa tidur di rumah sakit.
Dia pun melipat selimut yang semalam seharusnya menyelimuti tubuh calon suaminya itu. Setelahnya dia memastikan Leonita yang masih tertidur di ranjangnya, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Namun tak didapati Midas di sofa, sepertinya pria itu sudah bersiap untuk operasi paginya hari ini.
Setelah membasuh wajah dan membersihkan giginya, Laras pun menghampiri ranjang Leonita, gadis kecil itu mulai menggerakan kelopak matanya dan terbangun.
“Selamat pagi,” sapa Laras. Leonita langsung tersenyum menyambut wajah wanita yang diyakini merupakan ibunya itu.
“Pagi, Ma. Papa mana?” tanya Leonita, menoleh ke arah sofa dan tak mendapati sang ayah.
“Papa ada operasi pagi,” ucap Laras. Leonita hanya mengangguk, dan meminta turun dari ranjang, dia perlu membuang air kecil dan membasuh wajahnya. Dan selama dia melakukan itu, Laras terus membantunya. Kemudian menggantikan baju Leonita dengan sangat telaten. Wajah Leonita jauh lebih cerah sekarang, tak lupa Laras membaluri tubuhnya dengan minyak kayu putih agar hangat.
Leonita telah rapih ketika dokter Fariz dan perawat masuk ke dalam ruang rawatnya. Menyapa Laras dengan tersenyum sopan lalu menghampiri Leonita.
“Hari ini Leon sudah boleh pulang, jadi sekarang om lepas infusnya ya,” ucap Fariz, Leonita mengangguk sambil tersenyum lebar lalu Laras memeluk Leonita saat dokter Fariz memegang tangan gadis kecil itu untuk melepas selang infusnya. Perawat dengan sigap memberikan kapas dan juga perekat untuk menutup luka jarum infus di tangan Leonita.
“Sudah, Om?” tanya Leonita yang menelusupkan wajahnya di d**a Laras karena takut melihat jarum.
“Sudah dong,” ucap Fariz hingga Leonita melihat ke arah tangannya yang kini tak tertempel jarum infus.
“Terima kasih, Mas,” ucap Laras, Fariz melihat ke arahnya dan tersenyum, “sama-sama,” jawabnya.
“Om cukup terkejut lho, Leonita hebat bisa pulih dalam waktu cepat, tapi pulangnya nanti siang yaa, setelah pengecekan terakhir,” ucap Fariz.
“Iya, Om,” jawab Leonita dengan suara cadelnya yang khas. Laras membungkuk sopan ketika Fariz berpamitan kepada mereka.
Lalu tak lama pintunya diketuk oleh petugas pengantar makanan untuk Leonita, diikuti seorang office boy rumah sakit yang mengekor dibelakang dengan membawa kotak sarapan.
“Ini dari dokter Midas,” ucap Office boy itu menyerahkan ke Laras.
“Untuk saya?” tanya Laras.
“Iya untuk ibu Laras, apa ada yang dibutuhkan lagi, Bu?” tanya Office boy itu dengan hormat.
“Terima kasih ya, Mas. Sepertinya tidak perlu apa-apa lagi,” ucap Laras, office boy itu pun berpamitan kepada Laras, sementara petugas pengantar makanan telah keluar dari kamar Leonita setelah menyerahkan sarapan untuk gadis kecil itu.
Laras meletakkan kotak sarapannya di atas nakas, sementara dia membantu Leonita menyuapi makanannya, Leonita tampak lahap memakan makanannya, lepas itu dia juga meminum s**u cair yang dimilikinya. Sepertinya dia mulai mengantuk setelah Laras memberikannya obat.
Leonita pun berbaring dan kembali tertidur. Laras membawa kotak makanannya ke meja dan membukanya, rupanya kotak itu berisi nasi goreng dengan telur dadar. Laras menikmati sarapannya, jika dilihat dari kotak tersebut sepertinya makanan itu tak berasal dari rumah sakit, mungkin Midas meminta office boy tadi membelikannya di luar.
Sambil menikmati sarapannya, Laras pun membuka ponselnya, lagi-lagi didapati pesan yang tak disimpan nomornya, Fatmala, mengirim pesan dari nomor lain membuat Laras mendengus sebal.
Pesan tak penting yang membuat paginya menjadi muram, dia berkata bahwa Bimo tak pulang semalam tadi dan menanyakan apakah Bimo bersamanya? Sebenarnya bukan pertanyaan namun seolah memojokkan Laras agar mengakui bahwa Bimo sedang bersamanya.
Laras tahu memblokir nomor itu lagi tak akan menyelesaikan masalahnya, karena itu dia membalas pesan tersebut dan mengatakan bahwa dia sedang di rumah sakit, dan dia juga akan menikah minggu depan dengan Midas. Ya dia menyebutkan namanya agar Fatmala tak semakin meradang dan berpikir bahwa dia akan menikah dengan Bimo.
Laras meletakkan ponsel itu di meja, lalu sebuah panggilan video masuk ke ponselnya, Laras tahu itu dari Fatmala, dengan sebal diterima panggilan video tersebut. Tampak wajah Fatmala yang kusut di pagi yang seharusnya cerah ini.
“Yakin nggak ada mas Bimo disana?” tanya Fatmala setengah menyelidik, Laras pun menekan tombil kamera ponselnya agar kamera menyorot dengan kamera belakang dan mengedarkan ke seluruh rumah sakit.
“Siapa yang sakit?” tanya Fatmala.
“Calon anak aku, tapi hari ini sudah boleh pulang,” jawab Laras sambil memutar kamera ke arahnya lagi, dia pun keluar dari kamar rawat Leonita karena takut mengganggu tidur gadis kecil itu.
Laras duduk di depan kamar rawat Leonita, udara segar menyergap indera penciumannya.
“Kamu sudah tanya ke ibunya belum? Barangkali dia disana,” ucap Laras.
“Ini aku lagi dirumah ibu,” jawab Fatmala sambil mendengus, Laras menghela napas panjang ingin mematikan panggilan itu namun sepertinya Fatmala belum puas mencecarnya, hingga Midas dengan mengenakan snelli dokter menghampirinya, Laras memutar kameranya lagi ke arah Midas.
“Itu calon suami aku,” ucap Laras seolah membanggakan pria bernama Midas Erlangga itu, memang sih dia cukup bangga melihat calon suaminya yang pagi ini tampak cerah meski habis melakukan tindakan operasi, sepertinya operasinya cukup lancar sehingga dia telah selesai. Pria tinggi itu tersenyum ke arah Laras dan duduk di sampingnya.
“Calon suami kamu dokter?” tanya Fatmala. Laras pun mengganti lagi kamera ponselnya menghadap ke arahnya.
“Iya,” jawab Laras singkat.
“Siapa?” tanya Midas. Melihat ke arah ponsel Laras yang menampilkan wajah kusut Fatmala.
“Fatmala, istri dari Bimo,” jawab Laras agak tak enak menyebutkan nama Bimo, namun dia jauh lebih tak enak jika mengucap kata istri dari mantan suaminya. Tentu akan membuatnya canggung. Midas hanya mengucap kata Oh dan tangannya secara spontan membelai rambut Laras, sepertinya itu adalah hal tepat yang perlu dilakukannya. Setidaknya melihat ekpresi Laras, Midas tahu bahwa wanita itu cukup terganggu dengan panggilan yang masuk ke ponselnya saat ini, terlihat jelas dari sorot matanya.
“Aku lihat Leon dulu,” ucap Midas sambil berdiri dan mencoba tersenyum, melambaikan tangannya ke kamera Laras. Laras mengangguk kaku dan menoleh ke arah Fatmala yang sudah menganga, tampak terpesona dengan dokter tampan itu.
“Sudah lihat kan?” tanya Laras membuyarkan lamunan Fatmala.
“I-iya, jadi beneran kamu mau nikah?” tanya Fatmala.
“Ya tentu, untuk apa bohong? Perlu kamu tahu, aku sama sekali nggak ada hubungannya dengan Bimo sekarang ini,” ucap Laras lalu dia berpamitan dan menutup panggilan itu. Menyandarkan kepalanya ke dinding di belakangnya.
Hamparan rumput yang luas di hadapannya seharusnya bisa menepiskan sesaknya, namun Laras masih merasa sakit. Entah mengapa dia sangat sakit hati hanya dengan melihat wajah Fatmala? Terlebih wanita itu sepertinya tak henti menyalahkannya, apapun yang terjadi dengan Bimo selalu saja membuatnya seolah menjadi yang tersalah.
***
Laras masih berada di depan ruang rawat Leonita, saat kedua orang tua Midas datang menghampirinya.
Dengan sopan, Laras mencium punggung tangan kedua orang tua Midas.
“Midas di dalam?” tanya ibu Midas.
“Iya, Bu,” jawab Laras. Ibu Midas tersenyum sembari memegang tangan Laras.
“Panggil kami seperti Midas memanggil kami. Mama dan Papa, sebentar lagi kan kamu jadi menantu kami,” ucap ibu Midas ramah.
“Apa tidak apa-apa?” tanya Laras tak enak.
“Tentu, kami akan lebih senang jika kamu memanggil kami dengan sebutan Papa dan Mama,” ucap ayah Midas, Laras awalnya takut melihat wajahnya yang sangat berwibawa, seolah mereka terpisah dengan ruang yang sangat jauh, orang tua Midas menampilkan sosok seperti petinggi kelas atas, namun Laras tahu dirinya salah, karena orang tua Midas justru tampak menghormati sekaligus menyayangi dan menerima dirinya dengan tangan terbuka.
Kedua orang tua Midas mempersilakan Laras duduk, berjejer dengan mereka, mengapit ibu Midas di tengah.
“Orang tua kamu sudah tahu tentang rencana pernikahan ini kan?” tanya ayah Midas.
“Sudah, kemarin sore juga Mas Midas sudah meminta tolong petugas untuk menyiapkan berkas yang dibutuhkan untuk pernikahan, Pak, ehm Pah,” ucap Laras canggung membuat ibu Midas tersenyum dan memegang tangannya dengan lembut.
“Tetap saja, besok malam kami akan kerumah keluarga kamu ya, untuk perkenalan secara lebih resmi,” tutur ayah Midas.
“Baik Pa, nanti aku bilang ke ibu dan ayah di rumah,” ucap Laras.
“Bilang sama mereka jangan menyiapkan apa-apa ya, kami takut merepotkan, karena hanya keluarga inti saja yang datang,” ucap ibu Midas ramah.
“Iya, Ma,” balas Laras.
“Kamu beneran nggak mau resepsi, Nak?” tanya ibu Midas yang ditolak oleh Laras, dia sudah pernah melakukan resepsi, dirasanya tak perlu dan terlalu membuang uang saja.
Ibu dan ayah Midas pun masuk ke kamar rawat Leonita, diekori Laras setelah mereka berbincang santai di depan tadi, tampak Leonita sudah terbangun dan duduk di pangkuan sang ayah.
“Tuh bilang mama, tadi mimpi apa?” ucap Midas, Laras menghampiri Leonita dan mengambil kursi untuk duduk di dekat mereka, karena sofa sudah terisi penuh oleh ibunya dan ayah Midas.
“Mimpi apa putri cantik?” tanya Laras.
“Aku mimpi main salju, sama mama dan papa,” ucap Leonita.
“Ice skating?” tanya Laras. Leonita menggeleng.
“Bukan, tapi salju beneran mama, kita bikin boneka salju,” ucap Leonita, kedua orang tua Midas saling tatap dan tersenyum.
“Di Swiss sudah memasuki musim salju, disana sangat indah. Nanti kalian honeymoon disana saja ajak Leonita,” saran sang ayah yang memang beberapa kali melakukan kunjungan ke negara itu. Membuat wajah Laras bersemu. Bahkan dia tak memikirkan tentang bulan madu sama sekali.
“Asik, ayo pa, ma kita ke Swissss!!” teriak Leonita antusias.
“Leon harus benar-benar sembuh dulu kalau mau ke Swiss,” ucap Midas sambil mengecup kepala sang putri di pangkuannya.
“Iya, iya asikkk,” kelakar Leon membuat semuanya tertawa.
“Nanti papa yang tanggung semua biayanya sebagai hadiah pernikahan kalian,” ucap ayah Midas sembari tersenyum lebar. Midas mengacungkan jari jempolnya kepada sang ayah.
“Terbaik,” ucap Midas sambil tertawa membuat kedua orang tuanya ikut tersenyum lebar. Laras yang justru tampak bingung karena sebuah pikiran mengganjalnya.
“Kenapa?” tanya Midas yang menyadari Laras hanya terdiam, dia menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya.
“Aku nggak punya passpor dan visa,” ucapnya.
“Nggak apa-apa, nanti mama temani bikin passpor, Leonita juga belum ada,” ucap ibu Midas menenangkan, Laras tersenyum lega dan mengangguk, untuk pertama kalinya dia akan liburan ke luar negeri seperti hal yang pernah diimpikannya, namun harus dikubur rapat-rapat dahulu karena keuangannya selalu habis untuk pengobatan kesuburannya.
Kali ini dia tak perlu lagi memikirkan hal itu, dia hanya ingin menjalani harinya dengan penuh kesenangan dan tanpa mimpi buruk yang menghampirinya. Laras yakin masuk ke dalam keluarga Midas Erlangga adalah hadiah yang Tuhan berikan atas kesabarannya selama ini.
***