Suara ketuk palu masih terdengar di telinga Laras, wanita bernama Larasati itu masih kerapkali dihantui suara ketukan palu dari hakim yang memutuskan perceraian dirinya dengan suaminya setahun lalu.
Semua nampak terjadi baru kemarin, Laras masih dibayangi kisah pernikahannya yang telah berjalan selama sepuluh tahun namun kandas karena dirinya yang tidak bisa mempunyai anak.
Selama pernikahan itu, dia seringkali melakukan pengobatan, dari pengobatan tradisional, terapi, sampai ke dokter - dokter yang konon katanya sangat ampuh membuat seseorang mempunyai keturunan.
Hingga di sembilan tahun pernikahannya, alat canggih ditemukan di bidang kedokteran, melakukan check up menyeluruh yang memberikan hasil bahwa dirinya tak bisa mempunyai keturunan karena masalah di rahimnya.
Laras dan Bimo suaminya, mencoba menerima itu, namun tidak dengan orang tua Bimo, Bimo anak tunggal, mereka sangat mendambakan momongan dari Bimo, Laras tak kuat melawan keinginan dari mertuanya. Selama ini dia selalu di rongrong oleh ibu mertuanya itu, Laras selalu sabar, di dua tahun pernikahan pertamanya itu pun dia sampai menangis, memohon pada Bimo agar mengontrakkan rumahnya saja, dan mencari tempat tinggal lain karena rumah sebelumnya berada dekat dengan rumah ibunya.
Dia lelah, lidahnya hampir mati rasa, berbagai obat di cecoki oleh ibu mertuanya itu.
Laras pikir, setelah tinggal cukup jauh, mereka tak akan diganggu lagi, namun pikirannya salah. Karena setiap bulan Mertuanya selalu rutin membawakan berbagai obat untuknya.
Bahkan mertuanya terang-terangan menyuruh Bimo berpoligami, hati wanita mana yang tidak sakit? Laras tentu sangat sakit, dia sangat mencintai Bimo begitu pun dengan Bimo, cintanya tak pudar meski Laras tak bisa memberikan keturunan kepadanya.
Meskipun begitu, Laras berkeras agar Bimo tidak menjadi anak yang durhaka, karena surganya masih di kaki ibunya.
Biar Laras yang mengalah, melayangkan gugatan cerai di sepuluh tahun pernikahannya, di usianya yang genap tiga puluh satu tahun. Dia menyandang predikat janda kembang.
Tak sampai sebulan setelah bercerai, Bimo menikah, dengan wanita pilihan ibunya, dan nasib baik menghampiri pasangan itu, Bimo segera di karuniai anak, selang sebulan setelah pernikahan, istrinya positif hamil.
Laras tentu sangat sedih, namun dia tak bisa berbuat apa-apa, dia yang menginginkan perceraian ini, dia tak mau Bimo terkungkung, merasa serba salah antara memilih dirinya atau ibunya terus-terusan. Karenanya biarlah Laras mengalah.
***
“Selamat datang,” ucap Laras, pada seorang pelanggan yang masuk ke dalam toko kue kecil miliknya. Beberapa bulan setelah perceraian, Laras membuka toko kue, tak jauh dari rumah orang tuanya, terletak di pinggir jalan yang sangat strategis, selama menikah dia memang seringkali membuat kue, banyak ikut kursus menghias kue ulang tahun yang ternyata bisa dimanfaatkannya saat bercerai. Berbekal uang iddah yang diberikan Bimo, dia menyewa sebuah ruko kecil tempatnya memulai kehidupan baru.
Ruko tersebut luasnya memanjang lima kali sepuluh meter, dua puluh meter depan untuk bagian etalase kue-kue, sementara tiga puluh meter kebelakang merupakan pantry dan tempat istirahat karyawan toko.
Pria yang tampak baru pulang kerja itu melihat beberapa kue ulang tahun yang terpajang di etalase toko. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, harusnya toko ini sudah tutup karena satu-satu nya karyawan Laras pun sudah pulang, namun Laras terlalu larut akan lamunan dan bayangan mantan suami yang masih dicintainya itu, hingga lupa bahwa seharusnya toko sudah tutup.
Laras memperhatikan penampilan pria itu, wajahnya terlihat bersih, tubuhnya tinggi menjulang dan d**a bidangnya yang tampaknya sangat nyaman di peluk. Laras menggigit bibir bawahnya, setahun menjadi janda apakah membuatnya jadi sering berfantasi?
Laras menggeleng, tidak. Mungkin karena pria ini yang paling tampan dibanding pelanggan lain yang datang ke tokonya yang seringkali datang bersama istrinya. Berbeda dengan pria berkemeja biru muda ini, datang sendiri dan tampak kesulitan mencari kue.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Laras, Pria itu mendongak dan tersenyum pada laras, senyumnya tampak indah di mata Laras, dia jadi sedikit menyesal harusnya dia sedikit berdandan seperti anjuran Monic sahabatnya, namun Laras terlalu malas merias diri, ingatkan padanya mulai besok dia harus memakai sedikit make up di wajahnya yang polos.
“Kue ulang tahunnya bisa custom Mbak?” tanya lelaki itu, suara beratnya terdengar seksi apalagi jakunnya yang turun naik saat berbicara dengannya.
“Bisa Mas, buat kapan?” tanya Laras, mendongak kepada pria yang tubuhnya jauh melebihi tingginya.
“Masih seminggu lagi sih, gambar tikus bisa?” Laras mengernyit, Tikus? Apa dia tak salah dengar?
“Tikus?” Laras hampir bergidik, membayangkan gambar tikus di kuenya, tidak. Dia tak suka tikus.
“Iya tikus cewek yang suka pakai pita di tokoh kartun,” pria itu menggaruk keningnya, mungkin dia lupa nama tikus di tokoh kartun itu. Laras mencoba memutar otaknya.
“Apa yang dimaksud Minnie mouse?”
“Nah itu!” ujar pria itu dengan suara yang keras membuat Laras hampir terlonjak kaget. Namun sejurus kemudian senyumnya timbul, lelaki memang terkadang jarang memperhatikan hal kecil. Bagaimana bisa tokoh kartun terkenal Minnie Mouse dibilang tikus. Hampir saja Laras menolak rejeki karena berpikir disuruh membuat cake bergambar tikus got. Hih!
Laras mengeluarkan album foto dari bawah etalase dan memperlihatkan beberapa contoh kue ulang tahun bergambar Minnie Mouse.
“Silakan dipilih Mas, untuk anak?”
“Iya, usianya masih tiga tahun sih, hmm ini aja kayaknya bagus,” pria itu menunjuk sebuah foto dari kue berukuran besar dengan gambar Minnie Mouse, creamnya dibuat dari pondan, ya cream yang bisa dibentuk hampir seperti adonan lilin namun rasanya sangat manis dan aman untuk dimakan tentunya.
“Yang ini harganya tiga ratus ribu rupiah,” Laras mengambil nota dan menulis ukuran kue serta kode dari kue tersebut. Pria itu mengeluarkan dompet dari saku celananya dan mengeluarkan kartu ATM.
“Maaf saya tidak sempat ambil uang cash, debit bisa kan?” tanyanya sopan. Laras memandang mesin EDC untuk menggesek kartu itu dengan pandangan sedih.
“Mesinnya sedang rusak, atau nanti saja saat kuenya sudah jadi bayarnya tidak apa-apa,” ucap Laras bersikap ramah pada pelanggannya. Pria itu mengeluarkan ponselnya membuka aplikasi mobile banking.
“Saya transfer saja ya,” ucapnya, Laras mengangguk menyetujui ide itu, dia pun menyebutkan nomor rekeningnya.
“Atas nama Larasati?” tanyanya, Laras mengiyakan.
Pria itu menunjukkan bukti transfer pada Laras, Laras pun kembali mencatat di nota dan memberikan stempel lunas.
“Ucapannya apa?”
“Selamat ulang tahun Leonita, begitu saja,” jawab pria itu.
“Baik, jadi saya tulis di nota nama Masnya siapa kah?” ucap Laras, pandangannya masih mengarah pada kertas dan pulpen di tangannya.
“Midas emm, Midas Erlangga,” Laras menulis nama Midas Erlangga dan memberikan lembar putih nota tersebut ke pria bernama Midas itu.
“Biasanya jika anak ulang tahun, ibunya yang membeli kue?” Laras mencoba menyapa ramah pelanggannya, namun Midas hanya tersenyum menanggapi, melipat nota itu dan memasukannya ke dalam dompet, lalu memasukkan dompet itu kembali ke saku celananya.
“Ibunya meninggal saat melahirkan.”
“Maaf Mas, saya nggak bermaksud-” Laras menutup mulutnya dan memandang sedih pada Midas. Sementara Midas hanya tertawa menanggapinya.
“Tidak apa-apa, sudah berlalu juga.”
“Oiya nanti saat mengambil kuenya bisa chat di nomor yang ada di nota ya, atau misalkan ingin diantar bisa dikabarkan di nomor itu juga,” ucap Laras.
“Nanti saja saya yang ambil, terima kasih ya,” ucap Midas, Laras mengangguk dan membiarkan pelanggannya pergi. Menarik napas panjang dan mulai mematikan lampu toko, mengambil tas tangannya, juga mengunci pintu toko itu.
Sialnya ralling door toko itu terkadang macet, dia sudah meminta pemilik ruko untuk membetulkannya namun belum juga di betulkan. Laras berjingkat dan menarik dengan keras, namun ralling door besi itu tak juga mau turun. Hingga sebuah tangan kekar membantunya, berdiri tepat di belakangnya dan menarik turun pintu itu. Laras merasa degup jantungnya berpacu dengan cepat, menoleh dan mendapati Midas tepat di belakang tubuhnya, bahkan dia dapat menghirup aroma parfum pria itu.
Laras membeku, membiarkan Midas seolah mengukung tubuhnya dari belakang seperti itu. Ketika pintu sudah sampai setengah tubuh mereka, Midas melepaskan pegangan padanya dan membiarkan Laras menyelesaikan mengunci pintu itu.
“Seharusnya pakai pintu geser saja, ini terlalu tinggi,” ucap Midas, sesaat setelah Laras mengunci gemboknya.
“Iya ... hmm nanti saya minta renovasi pada pemilik rukonya, terima kasih ya mas, saya permisi,” ucap Laras, Midas mengangguk membiarkan Laras pergi dari hadapannya, lalu dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobil menuju rumahnya. Tak ada sesuatu yang berbeda yang Midas rasakan. Karena baginya hatinya telah mati terbawa oleh sang istri yang pergi dan tak kembali.
***