Terkekang Pikiranku
"Wong tuwo gawe wiwitan, wong anom darma lakoni."
Mengandung arti:
"Orang tua mengawali, yang muda merasakan akibatnya."
(Peribahasa Jawa Kuno)
o-oOo-o
"Bertarung itu seni berpikir."
(Danuarta)
o-oOo-o
Kalpataru:
Kalpataru, pohon kehidupan, pohon pembuka jalan antar-dimensi. Begitulah para satria menjelajahi berbagai dimensi di alam semesta.
Pohon ini bisa berupa pohon apa saja. Tidak sembarang orang bisa membukanya, dan hanya orang tertentu yang mampu membuka gerbang antar-dimensi tersebut.
Aturannya cuma satu. Jika kau ingin menggunakan gerbang antar-dimensi itu untuk dirimu sendiri, maka itu akan lebih mudah. Bertolak belakang jika kau menggunakannya untuk ribuan nyawa. Kau pasti akan kerepotan.
Dalam cerita ini kita akan dituntun untuk mengetahui siapa sebenarnya yang jahat.
Jahat? Tidak semua menganggap perbuatannya jahat. Jahat atau baik itu tergantung sudut pandang orang yang menilai.
o-oOo-o
Syahdan;
Pawana berkata:
Bagaimana caramu memulai cerita?
Aku akan menceritakannya dengan caraku.
Namaku tertera di atas sana. Penulis ini begitu kaku ketika membuka sebuah kisah.
Menjengkelkan, bukan?
Jadi, semua tidak selamanya bermula. Kadang kita menceritakan bagian tengahnya. Sebabnya? Aku lupa banyak hal.
Yang kuingat:
Duniaku dipenuhi darah dan air mata. Sikap dan rasa ingin diakui. Aku berjuang seorang diri. Dibenci, dikhianati.
Apa benar seperti itu?
Tak jarang aku mempertanyakan, apakah aku di pihak yang benar? Atau setidaknya, jika aku di pihak yang salah, apa tujuanku? Layang Jamus Kalimusada?
Benda bersejarah, seharusnya. Namun, dalam eksistensinya, benda itu senantiasa diiringi kisah berdarah.
"Hei! Kau tahu?!" teriak seorang perempuan di gerbang, batas antara Mayapada dan Marcapada. Aku berhenti melangkah, mencermati ucapannya.
"Tentang?!" balasku, sebelum kulanjutkan langkah.
"Kau akan menemui banyak rintangan di dunia manusia." Dia tersenyum lebar, mengisyaratkan keraguan. "Kau tidak akan sanggup mendapatkan yang kau inginkan."
"Setidaknya, akan kucoba."
Dan, siapa bilang aku sendiri?
Kau pasti turut serta. Andai aku bisa mengingatmu, kelak.
Untuk menuju puncak kejayaan, kita harus mencapainya langkah demi langkah, bukan? Akan kurebut apa yang memang seharusnya jadi milik rakyat Agrasoka.
Agrasoka? Apa tempat itu layak aku lindungi dengan darahku?
Akan kucari tahu seiring berjalannya waktu.
o-oOo-o
Mobilisasi dunia manusia sangatlah berbeda. Kehidupan mereka bergerak cepat. Mengimbanginya butuh waktu bertahun-tahun.
Walaupun sesungguhnya, peradaban Mayapada lebih maju. Tetapi, dinamika politik di tempat bernama "bumi" ini jauh lebih rumit.
Aku tidak bermaksud menyombongkan diri. Itulah adanya.
Kaum Sakra. Mengalir sebagian darah kaum tertindas ini.
Beberapa dari kami bersembunyi di antara sekumpulan manusia yang bagiku berbau busuk. Menyembunyikan kekuatan sebenarnya. Itu perlu.
Kau tahu, manusia itu tipe makhluk yang mudah melakukan chaos.
Jika mengetahui siapa sebenarnya diri kami, niscaya penolakan besar-besaran akan terjadi terhadap keberadaan bangsa Nisnas. Salah satunya Kaum Sakra.
Selama ini kami dan orang-orang yang sejenis tidak pernah menunjukkan keistimewaan bangsa kami. Itu terlalu riskan. Manusia punya banyak cara untuk mengintimidasi kaumku.
Banyak dari bangsa Nisnas yang melarikan diri dari dimensi Suralaya. Dimensi dimana Mayapada berada.
Aku mau jujur.
Negeriku dilanda keterpurukan.
Aku dan beberapa dari mereka (bangsa Nisnas) dianugerahi kemampuan yang tak sama dengan manusia. Kami adimanusia.
Bukan bermaksud melebih-lebihkan. Kau tahu? Begitulah kenyataannya.
Sebelumnya, gerbang-gerbang terbuka lebar untuk bangsa Nisnas yang mencari suaka masuk ke dimensi manusia. Akan tetapi, setelah orang-orang naif dari golongan serakah (saudaraku sendiri) mengetahui tindakan rakyatku, semua menjadi sulit.
Banyak dari bangsaku yang gugur, bahkan sebelum mampu menginjakkan kaki di Marcapada.
o-oOo-o
Kitab-kitab kuno bangsa manusia mengatakan tentang keberadaan kami, tetapi mereka tidak benar-benar tahu di mana keberadaan rasku.
Tugasku sederhana, mengembalikan utopia Suralaya. Khususnya Agrasoka. Satu-satunya yang bisa membuat semua itu menjadi nyata adalah Layang Jamus Kalimusada yang seluruh kekuatannya diserap saudara sepupuku.
o-oOo-o
Ketika kau memasuki dunia manusia, kesadaran akan hilang setengahnya.
Maksudku, kau tetap pada tujuanmu. Namun, beberapa detail tak penting hilang.
Entah untuk sementara, atau untuk selamanya.
Bukankah selalu ada konsekuensi untuk setiap tindakan?
Beberapa dari kami yang memiliki anugerah kesaktian bahkan lupa detail hidup mereka.
Aku sendiri lupa siapa itu Nusapati. Memori di otakku mengatakan, dia kakek buyutku. Aku akan tahu siapa dia, cepat atau lambat, tentu saja.
Kuingat sebuah kata-kata tak berarti yang pernah Sekarwengi tulis.
"Lihatlah seribu Narapati,
tertipu bayangan mereka sendiri.
Dirimu yang tak berarti,
Melanglang buana di ruang sunyi.
Tetapi, tetaplah tegar dalam kobaran api."
Sekarwengi. Ya, aku mengingat gadis itu. Muda, berbahaya. Usianya di bawahku. Pemilik kemampuan adiluhung, sedikit arogan. Pemilik tanah dan bebatuan. Penguasa bumi dan pepohonan. Itu yang tertambat dalam sukmanya. Namun, kesulitan menguasai diri dan kemampuannya sendiri.
Tetapi, bukankah setiap hal memiliki celah?
Aku tak perlu takut padanya.
Aku memang satria yang menanggalkan zirah. Asal kau tahu, aku tak peduli. Asalkan pedangku tidak tumpul, aku berani melakukan perlawanan.
_______________________________________
Kau mengerti sekarang, apa yang kuceritakan? Itu terjadi di saat aku mulai mengingat sesuatu.
Akan kuceritakan bagian tersulitnya.
______________________________________
Marcapada, Hari Ini.
Beberapa tahun setelah eksodus gagal kaum Sakra. Aku terjebak dalam kebingungan akan tujuan di dunia manusia.
Masih abu-abu dalam pikiran alasan kami, kaum Sakra meninggalkan Suralaya.
Kelak akan kutemukan orang yang bertanggung jawab atas kesengsaraan kaumku.
Sebagian kaum Sakra berhasil mencapai Marcapada. Terpisah-pisah. Berusaha hidup dengan cara mereka sendiri.
Ada begitu banyak yang kukhianati. Mulai dari masa lalu, hari ini dan bisa saja hari esok.
Gedung-gedung pencakar langit, katanya? Itu kebanggaan makhluk bodoh, penghuni Marcapada.
Aku masih ingat menara Tirtayasa dan Agrasoka. Malah lebih tinggi dari yang manusia ciptakan. Aku hanya tersenyum membayangkan kesombongan bangsa manusia.
Aku tinggal di sebuah tempat, manusia menamainya 'Rusun', atau disebut juga rumah susun. Terdiri dari ratusan kamar yang mesti kuhapal satu persatu. Aku bisa tersesat jika lupa nomor kamarku. Salah-salah, aku masuk ke bilik milk orang lain.
Tempat seperti ini, mirip kandang, ketimbang rumah. Kau memiliki banyak tetangga, tetapi tak saling mengenal satu sama lain.
Bunyi suara benda yang manusia sebut sebagai 'smartphone', sangat menggangu. Setiap saat aku mendengar musik yang aneh. Dering panggilan yang berisik. Ini lebih buruk dari riuh mulut anggota parlemen yang beradu argument.
Aku mengutuk diri sendiri. Semua yang kurencanakan tak berjalan sesuai kehendak.
Yang kuingat hanyalah pusaka bernama Layang Jamus Kalimusada, tentang seseorang bernama Surapati yang mengganti namanya menjadi Danuarta, dan tentang dia itu kakak sepupuku.
Harus lebih keras lagi aku berpikir untuk mengembalikan ingatan sialan itu.
Aku benci Marcapada.
Aku jarang sekali berada di kediamanku. Semakin lama tinggal dalam kamar, maka kemungkinan untukku menjadi gila terbuka lebar.
Aku terlunta-lunta mencari sesuatu yang sukar ditemukan.
Sejak kedatanganku di Marcapada, ada makhluk tak kasat mata, dia sering membisikkan hal-hal yang sangat menyesatkan. Gilanya, aku selalu menuruti kemauan si Pembisik k*****t ini.
o-oOo-o
Penguntit di persimpangan jalan sepi. Kurasa, aku mengenal dia? Tetapi entah di mana dan siapa dia, aku belum mendapat gambaran.
Dia bertubuh tambun. Mengenakan sweater Hoodie hitam, bertudung.
Sesekali aku berhenti untuk memastikan bahwa dia tak mengikuti.
Aku pastikan, dia memang menguntit.
Hei! Dia tidak tahu sedang berurusan dengan siapa.
Sengaja aku berbelok ke sebuah gang kecil. Dia tetap membuntuti. Ini kesempatanku untuk memberinya pelajaran.
Di ujung gang, yang ternyata buntu, sengaja aku menghentikan langkah. Dia berhenti di samping sebuah penampungan sampah.
Gang ini lumayan sempit. Jadi, kesempatan untukku melumpuhkan si penguntit ini sangat kecil.
Seberapa hebat kemampuannya dalam bertarung? Itu belum terprediksi. Setidaknya, pergerakannya pasti lambat.
Dia memasukkan kedua tangannya kedalam kantong sweater. Bergaya seperti orang yang tenang. Aku tahu, dia pun merasakan ketegangan ini.
Entah apa yang akan dia keluarkan dari kantong sweater-nya. Dia berjalan perlahan. Kondisinya sangat gelap. Cahaya lampu jalan hanya mampu mencapai akses keluar dari gang buntu ini.
Aku meraih batang besi yang tergeletak di bawah bank sampah.
Kuda-kudaku mantap. Ini kesempatanku mengetahui, apa kepandaianku masih tajam, setajam ujung batang besi ini.
Beberapa blok dari tempat ini merupakan markas polisi. Sangat beresiko jika makhluk k*****t ini kuhabisi di sini.
Dia mendekat, berjalan di dalam gelap.
"Kau pasti Pawa ..."
Ya, aku hapal suara itu. Dia si Kerbau kecil. Sahabat karib saudara sepupuku. Dia pasti diutus untuk melenyapkanku.
Belum selesai dia bicara, aku melompat beberapa jengkal di udara.
Cukup lama aku bergumul dengan k*****t gemuk ini.
Kubayangkan, hari inilah aku bakal mati.
Tetapi tidak. Sang maha tunggal menginginkan agar aku tetap hidup.
Pada suatu kesempatan.
Kuhujamkan ujung tajam batang besi pada kepala si Kerbau kecil.
Detik itu juga, dia langsung tak bersuara.
Aku merasa bangga telah menghabisi salah satu antek-antek Raspati.
Iblis kecil di otakku tertawa.
"Bagus, Pawana!"
Begitulah dia memuji.
Raspati? Kenapa aku membencinya?
Seorang pria paruh baya memuji pencapaianku yang tak seberapa.
Kutinggalkan dia dalam kebingungan tak berujung.
Memangnya, siapa dia mau ikut campur urusanku?
Persetan dengan dia!
o-oOo-o
Kuharap kau tak kebingungan. Sungguh, ini belumlah gamblang. Sebagian, rasanya pernah kualami. Sebagiannya lagi, entah apa yang kubicarakan.
Tanpa alasan yang jelas, aku harus menemukan seseorang. Kelak, jalinan peristiwa itu akan terbentuk. Saat itu terjadi, tujuan yang kucari pasti akan kutemukan.
_______________________________________________
Hari selanjutnya:
Ya, mungkin butuh seabad lagi aku harus hadapi? Lingkar janji keluarga sejak era Raspati, itu beban. Aku tidak ingin tahu tentang masa lalu keluargaku.
Mengingatnya saja membuat kepalaku sakit.
Menjemukan.
Raspati ... Siapa dia?
Sudahlah. Lupakan.
Segelas kopi kuseruput dengan perasaan tak karuan. Antara benci dan ingin menguliti. Buruan kuletakkan di atas meja kayu. Mataku berkeringat, pedih. Aku ingin segera memotong-motong daging si Kerbau kecil. Dia masih meronta-ronta. Nyawa di ujung lidahnya. Tenggorokannya hampir putus.
Kuselami kedalaman matanya. Dia ingin bersuara, tetapi, gelegak darah yang dapat terdengar.
"Kau binatang jalang," cibirku. Kedua mata si Kerbau kecil berkaca-kaca. Rasa tak tega sebenarnya.
Dalam hatiku berkata, Kau layak mendapatkannya.
Sebilah parang teronggok di atas meja, beserta secarik kertas berlumuran darah di samping si Kerbau kecil.
Secuil pun aku tak merasa iba. Biar Raspati di alam baka sana melihat kejamnya pembalasanku.
Setiap kali melihat genangan darah, entah mengapa adrenalin-ku terpacu. Aku genggam tangan si Kerbau kecil, ya agar dia merasakan sensasi panas di hati menjelang kematiannya.
Aku pemenangnya. Kerongkongan si Kerbau kecil menggelontorkan darah segar. Dengan ujung jari, aku sentuh permukaan meja tergenangi darah. Lantas, aku menjilat tetesan darah itu. Rasanya manis.
Kesan indah ini menyenangkan. Kedua mata si Kerbau kecil terbelalak. Nanar memandang pada masa yang entah kapan. Penyesalan jelas terlihat.
"Matipun kau belum tentu bisa tenang," bisikku.
Kedua mata kami saling bertatapan. Ingin rasanya aku cungkil mata penuh dendam itu.
Jantungku berdegup kencang. Belum pernah aku merasakan kenikmatan seperti ini. Suara detik jam pada dinding menegaskan kesunyian. Seakan berada di surga banjir darah diriku saat ini.
Seandainya dapat bicara, si Kerbau kecil mungkin sedang mengutukku saat ini.
Kedua mata si Kerbau kecil perlahan menjadi abu-abu. Aku hapal betul, ini detik-detik kematiannya.
Ini tak jauh berbeda dari apa yang kulihat sebelumnya. Menjelang ajal, binatang cenderung memperlihatkan sesal dan sesak mendalam. Setelah itu, si binatang akan menggelepar seperti ayam disembelih. Ini bagian favorit.
Hanya perlu menunggu waktu, binatang bernama si Kerbau kecil ini akan mati.
Secarik kertas berlumuran darah. Aku meraihnya dan membacanya lagi.
Jika kau mampu melenyapkan satu dari seorang keturunan Raspati terkuat, niscaya, kau akan bisa menyerap energi mereka.
Tulisannya miring--bersambung, tegak, miring lagi. Aku sampai pusing mengartikan huruf demi hurufnya. Siapapun dia yang menulis memo ini, dia pasti bolos saat pelajaran menulis huruf bersambung. Di bagian akhir tulisannya, si penulis menyatakan bahwa dia kakek buyutku. Memalukan.
Kerbau kecil telah mampus. Aku harap dia bertemu Raspati, dan mengabarkan bahwa, keturunan Nusapati masih ada.
Aku melirik jam. Sudah hampir jam 12 malam. Jam dinding usang yang sepatutnya dibuang saja ke laut.
Dan juga, terlalu lama bocah tambun di hadapanku ini sekarat. Dia sulit sekali mati. Energiku terkuras habis untuk sekadar melihat si Kerbau kecil meregang nyawa.
Terlalu lama dia hanya untuk sekedar mati.
Meski urat lehernya sudah terputus, dia masih mampu menggelinjang.
Si Kerbau kecil yang tambun. Malang nasibmu, b*****t!
____________________________________
Sudah selesai. Potongan tubuh si Kerbau kecil kumasukkan ke dalam polibag. Dalam box berisi es batu si Kerbau kecil kini berada. Aku sedikit bersyukur, box persegi panjang itu muat dalam bagasi Corolla Altis Facelift. Jadi, aku hanya perlu menghindari razia polisi. Mengelabuhi aparat itu perkara gampang.
"Kau seharusnya mencurigai setiap orang, Kerbau kecil," cibirku. Aku menoleh sebentar ke belakang, berharap si Kerbau kecil mendengar suaraku dari belakang sana. "Kau sudah mampus."
Menyenangkan menghisap rokok di kala senja, sambil mengendarai mobil. Perjalanan menuju selatan terasa dipenuhi aura mistis. Aku tahu ini sejenis penjaga keturunan Raspati. Kalau mereka muncul, aku siap menghadapi siapa atau apapun itu.
Hal tersulit mengurus jasad si Kerbau kecil, yakni memotong tulang belakangnya. Yang penting, dia sudah ringkas dalam bagasiku.
Aku merasa lucu.
Untuk menghilangkan suntuk, aku memutar MP3. Lagu Madonna - Frozen jadi pilihanku. Menenangkan meresapi arti mendalam yang tersirat dari syairnya.
Aku tahu, lagu ini tentangku.
______________________________________
_____________________________________
Cahaya lampu kelap-kelip, spektrum warna merah-biru, aku tahu itu bakal jadi masalah buatku. 100 hingga 120 meter jauhnya, beberapa mobil petugas kepolisian terparkir di pinggir jalan.
Ada banyak alasan yang kupersiapkan. Aku hanya perlu membuat para polisi itu tidak mencurigaiku.
Mobil yang tadinya cepat kupacu, sekarang bergerak lamban.
Sejumlah pengendara terjaring razia.
Ketar-ketir ketika kian dekat aku dengan razia.
Raspati seperti sengaja menggiringku ke tempat ini, dia mempersulit perjalananku.
Anjing kurap!
Salah seorang petugas kepolisian melambai-lambaikan tangan, mengarahkan kendaraanku ke pinggir jalan. Kuremas kemudi, berupaya untuk bersikap setenang mungkin.
"b*****h!" gumamku.
Rupanya, ada kecelakaan sehingga para aparat kepolisian ini memblokade jalan.
Jalur ini biasanya sepi. Sekarang begitu ramai, mirip pasar malam.
Corolla Altis Facelift kuparkirkan di tepian jalan berumput.
Ini hampir jam 10 malam. Hujan turun dengan derasnya. Padahal sore tadi cerah-cerah saja? Sangat menyebalkan.
Hampir 24 jam aku meluangkan waktu hanya untuk menyaksikan tersiksanya si Kerbau kecil.
Terlarut dalam lamunan, betapa terkejutnya aku menyadari seorang polisi muncul di luar jendela, dan mengetuk kaca mobilku. Perlahan saja dia mengetuk, tetapi, seakan sebuah bom diledakkan di atas kepalaku.
"Bisa tunjukkan kelengkapan berkendara Anda, Pak?" ujar polisi mengenakan jas hujan tersebut. Badan tegapnya menggigil, meskipun dia melapisi tubuhnya dengan pakaian dari plastik sekalipun. Bentuk wajahnya yang bulat mengingatkanku pada si Kerbau kecil. Hanya saja, si polisi berkumis tipis.
Sigap, kubuka laci dasbor. Kusodorkan surat-surat kelengkapan berkendara pada si polisi yang tampak tak sabaran.
Aku paham dan maklum sikapnya itu. Di tengah guyuran hujan, siapapun akan merasa tertekan, bahkan John Rambo sekalipun.
Dia, si polisi memeriksa kelengkapan surat kendaraanku. Tak lupa, dia memintaku menunjukkan SIM. Aku hapal betul prosedur yang satu ini.
"Habis berburu, Pak?!" tanya seorang polisi dari belakang dengan suara lantang.
Aku tak menduga yang satu itu. Si polisi mengusap celah bagasi dengan ujung jarinya. Jelas sekali, di ujung jari si polisi terdapat bercak darah. Walau kondisi gelap, dia menyinari tangannya dengan cahaya lampu senter.
Mampus! Ini menyebalkan. b******n tengik!
Keringat dingin bercucuran dari dahiku.
Kepalaku ini sering sakit. Berbulan-bulan lalu aku merasakan kesembuhan. Jika berhadapan dengan situasi pelik sakit itu muncul kembali.
Dampak kekuatan gerbang itu begitu besar pengaruhnya terhadapku. Memoriku buyar, sampai menggunakan kekuatan saja aku sampai keluar keringat dingin.
_____________________________________________