HAMIL?! : Part 4

2012 Words
"Ini foto b***l waktu itu, Wir. Kamu masih inget kan? Yang Dina masuk rumah sakit!" Aisha memperlihatkan foto nyengir Ardan dalam balutan jas Wira yang kebesaran untuk menutupi tubuhnya waktu itu. Wira langsung cekikikan. Kini lelaki itu mengerti apa yang diceritakan Dina di rumah sakit siang tadi. "Tengilnya sampai sekarang," Wira menggumam lalu segera berdeham saat yang menjadi objek pembicaraan muncul. Aisha terkikik. Ia segera menyimpan ponselnya. Tak mau Ardan curiga. Tapi terlambat. Bocah tengil itu sudah tahu apa yang membuat mamanya mati-matian menahan tawa. "Ardan males ikut nih kalo diketawain mulu!" Bocah itu mulai ngambek lagi. Ia mencebik. Hal yang malah terlihat lucu dimata Aisha. Aisha segera menyenggol lengan Wira. Lelaki itu langsung merangkul anak lelakinya menuju garasi. Sementara Dina berjalan tergopoh-gopoh sambil menjinjing heels-nya. "Untung bugilnya waktu kecil ya, Ma. Kalo pas gede kan bahaya!" Dina mulai lagi. Gadis itu cekikikan saat Ardan berbalik sambil memelototinya dengan tajam. Aisha semakin tak kuasa menahan tawanya. Wira yang menyadari emosi Ardan semakin menjadi-jadi, langsung mendorong lelaki itu ke bangku di sebelahnya. Sementara Aisha dan Dina duduk di belakang. Keduanya masih cekikikan sementara Ardan membuang muka ke jalan. Wira mati-matian menahan tawa dengan deheman-deheman yang beberapa kali disambut kekehan geli. "Itu...si Tatal tahu gak tentang itu?" Aisha mulai kepo. Sementara telinga Ardan makin panas. "Ooooooh itu," Dina sok mendramatisir. "Nanti dia bakal tahu kok, Ma!" Lanjutnya yang membuat tawa Aisha makin menjadi. Wira yang tak kuasa lagi menahan tawa sampai terbatuk-batuk. "Coba aja kalo berani!" Ardan mengecam. Aisha dan Dina saling bertatapan setelahnya keduanya terbahak ria. Mengabaikan wajah merah Ardan yang tak terlihat karena suasana mobil yang gelap. @@@ "Gilaaaa kangen banget gue sama lo! Sumpah deh, Raa!" Tiara memutar bola matanya dengan jengah sambil memasukan bola bakso ke dalam mulutnya. "Haaalah baru juga kemarin lo ke butik gue!" Cercanya yang mengundang tawa Arini. "Gak asyik lo!" Serunya. "Tapi omong-omong Shanaz mana? Janjinya mau kesini juga. Sekalian nongkrong disini. Kapan lagi kita ngumpul begini?" Ucapnya. Matanya menatap langit-langit kantin dan suasana keramaian ini amat sangat ia rindukan. "Sekalian ngeceng? Iya gak? Kapan lagi bisa dapet brondong!" "Gue mah gak doyan berondong!" "Iye lah. Lo kan demen ama yang tua-tua!" Bola bakso di mulut Tiara muncrat. Arini terbahak melihatnya. Gadis itu meneguk minumannya dengan cepat. "Enak aja! Cuma....." Balasnya. Tak mau kalah. "Cuma apanya?" "Cuma sedikit tua," ralatnya yang membuat Airin terbahak lagi. Namun tawanya hilang saat matanya tak sengaja menangkap sesuatu. "Ra! Ra! Ra! Lihat deeeh!" Airini menggebu. Sendok yang baru saja terarah ke mulutnya berhenti mendadak. "Arah jam tiga. Ada cowok cakep!" Airini berbisik. "Kayaknya lo cocok deh sama dia. Kan lumayan. Dari pada lo berharap sama yang gak pasti. Iya gak?" Tiara memasukan dulu baksonya ke dalam mulut baru kemudian menoleh ke arah yang ditunjuk Arini dengan matanya. Bola bakso yang sedang ia kunyah, keluar lagi dari mulutnya. Muncraaat! Sementara Arini terbahak. "Amit-amit! Amit-amit!" Ia menggerutu lalu meneguk minumannya secepat kilat. Pasalnya Arini hanya mengerjainya. Gadis itu menunjuk laki-laki gendut yang sedang makan bakso sendirian. Tangan kanannya memegang sendok sementara tangan kirinya memegang hidung eeh memegang upil. "Udah gue chubby gini kalo sama dia, bisa jadi ini niiih!" Ia menunjuk bola bakso yang ditusuknya dengan garpu. "Bisa bulat nanti anak gue kayak ini!" Lanjutnya yang membuat Arini cekikikan. "Nah sekarang coba lo lihat arah jam lima. Yang ini mendingan lah dari yang tadi!" Tiara mendengus. Walau matanya kunjung melirik juga. Arini terkekeh melihat sikap sok gengsi milik Tiara itu. Sahabatnya itu memang rada-rada. Sebelas dua belas lah sama dia. "Apaan kriting gitu! Ogah!" Gerutunya. Airini terkikik geli. "Lo mah yang bener kek nyarinya!" Ia mendumel. "Rambutnya aja kriting gitu apalagi hidupnya! Gak lurus!" Keduanya cekikikan. Arini menggumam 'parah....parah....' sambil geleng-geleng kepala. "Yeee...tadi situ sok-sokan gak mau ditawari brondong!" "Ya kan buat curi-curi pandang aja!" Airini mendesis jengkel. Namun beberapa detik kemudian, ia kembali menangkap sesuatu. "Naah kalo yang ini pasti loh demen!" "Mana? Mana?" "Arah jam empat!" Titahnya lalu terkikik kecil. Tiara menoleh lalu menyemburkan tawanya. "Parah lo! Baru dua puluhan aja udah botakan gitu apalagi empat puluhan?" Ia mendumel. "Ampe kering tuh kepala. Bisa gersang masa depan gue!" Arini cekikikan lagi. "Lo kan suka sama tampang-tampang profesor gitu!" "Gak gitu juga kali! Rambutnya ampe abis begitu!" Nyinyirnya terbahak. Matanya melirik lelaki yang setengah rambutnya sudah ludes, berjalan di melewati mereka. "Itu tuh pasti salah satu korban asap di Riau kalo gak di Kalimantan!" Lanjutnya lagi yang makin membuat Arini terbahak. Tiara sibuk dengan tawanya hingga ponselnya berdering--mengalihkan perhatian. Arini yang lelah tertawa memilih beranjak dari bangku dan memesan minuman. "Yes, mom!" Tuturnya lalu menutup telepon. Arini yang sadar akan gelagat Tiara yang ingin pergi langsung memasang wajah protes. Tapi tak kuasa saat Tiara memberi wajah memelas dan ponsel gadis itu berdering lagi. "Oke. Hati-hati lo." Tiara mengangguk. Gadis itu mengangkat telepon tanpa melihat nama si pemanggil. "Salam buat Shanaz ya, Rin!" Pesannya sebelum menghilang dari pandangan Arini. Tak lama gadis itu cekikikan saat menyadari siapa yang meneleponnya. Farras! Dan ocehan gadis itu menemani perjalanannya menuju ke rumah. @@@ "Jangan dekat-dekat!" Fadlan yang hendak mendekat--tak jadi. Farrel langsung mengangkat kepalanya. Menyadari kehadiran Bundanya yang berwajah masam. Ia memasang wajah tak mengerti. Sementara Ferril yang baru selesai mandi, menuruni tangga dengan keheranan saat melihat Bundanya naik tangga dengan langkah kesal. Ia segera menoleh pada Papanya yang langsung tersudut karena Farrel juga menoleh padanya. Lelaki itu menghela nafas lalu mengendikan bahu. "Papa ada salah kali sama Bunda," Ferril mencoba menyadarkannya dan ucapan itu membuat Fadlan senewen. Bocah tengil itu terkekeh. "Lagi PMS kali Bundamu," Fadlan menyahut asal lalu memilih memindahkan channel televisi sebelum mood-nya hilang jika teringat wajah masam istrinya dan penolakan mentah-mentah. Apalagi wanita itu tidak menyalaminya seperti biasanya. "Bunda kalo masam begitu pasti ada sebabnya, Pa!" Ferril yang tahu sekali tipikal Bundanya memberi nasehat. Fadlan mendengus sementara Farrel hanya menyimak namun dalam hati mengiyakan apa kata saudara kembarnya. "Papa gak bikin salah kok hari ini." Jawaban itu membuat Ferril terkikik. Sementara bibir Farrel berkedut-kedut. Lelaki itu tak tega menertawai jawaban polos Papanya. "Papa gak flirting ke cewek lain kan?" "Papa ini tipe setia!" Jawabnya dengan nada sombong sambil menepuk-nepuk dadanya. Farrel terkekeh kecil. Sementara Ferril sudah terbahak. "Atau Bunda udah bosen kali sama Papa!" Ferril menyeru asal. Ucapan itu sanggup membuat Fadlan segera memelototinya. Ferril segera mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk 'v' sebagai pertanda damai. "Gak mungkin...," ekspresi lelaki itu berubah songong. "Bundamu itu cinta mati sama Papa." Lanjutnya dengan nada yang semakin songong. Farrel yang jarang terkikik, langsung terkikik geli akan tingkah konyol Papanya yang akan berubah menjadi lelaki kekanakan jika menyangkut Bundanya. "Ujung-ujungnya nikah sama siapa coba? Sama Pa--" "Dek!" Icha berteriak dari ambang pintu kamar. Memotong ucapan Fadlan sekaligus membuat ketiga laki-laki itu menoleh bersamaan. "Tidur sama Bunda yuk!" Ajaknya yang membuat Ferril dan Farrel terkikik sementara Fadlan langsung memasang wajah protes. Tapi tak dihiraukan Icha. Wanita itu malah menutup pintu dengan cara membantingnya. "Apa kata Ferril! Papa pasti bikin salah sama Bunda!" Seru lelaki itu kemudian cekikikan melihat wajah gusar Papanya yang langsung berlari menuju kamar. Menyusul istrinya. @@@ "Kak Icha kenapa?" Akib yang sangat memerhatikan bagaimana ekspresi kakak iparnya saat keluar dari rumah mereka sejam yang lalu, mulai bertanya pada Airin yang kini sibuk memakaikan selimut pada Adelina. Bayi itu sudah jatuh tertidur di pangkuannya lima menit yang lalu. Tapi mengangkatnya saat ini hanya akan membuat bayi itu bangun. Jadi, Airin memilih itu memegangnya. "Dia mau bawa Adel lagi?" "Enggak, Bi. Aku juga gak tahu kenapa." Ia mengendikan bahu. Akib mengangguk-angguk lalu air mukanya berubah nakal. Airin yang sama sekali tak menyadari sibuk menepuk-nepuk paha Adelina yang berisi. "Ai," panggilnya sementara Airin hanya balas mendeham. "Kamu suka angka tujuh kan?" Wanita itu mengangguk. Kepalanya terangkat dan kini menatap Akib yang mulai mendekat. "Kenapa emangnya, Bi?" "Anak kita kan baru enam," tuturnya semakin mendekat. "Jadi....aaaw!" Perutnya dicubit keras oleh Airin. Lelaki itu mendesis. "Tobat napa, Bi?!" Wanita itu mendesis kesal walau tak urung ingin tertawa juga. Sementara Akib mengelus perutnya yang dicubit sampai merah itu. Wanita itu terkikik saat Akib menyingkap kaosnya dan mendapati warna merah dibagian yang ia cubit. "Maaf deh maaf," tuturnya lalu mengelus perut lelaki itu. Akib tersenyum genit. Namun senyumnya hilang saat Airin berhenti mengelus perutnya. "Cuma perut nih yang dielus? Yang lain enggak?" "Abiiiii!" Seru wanita itu lalu mencubit bagian tubuhnya yang lain dengan kesal. Akib terbahak sambil berusahan menghindar membuat Adelina terbangun dan menangis kencang di pangkuan Airin. @@@ Tiara yang baru tahu kabar hamil tantenya dari mulut Farras langsung berlari keluar dari mobil. Sementara Feri sudah berkacak pinggang di dekat pintu. Lelaki itu baru saja akan membuka mulutnya tapi sayangnya ia selalu kalah dalam kecepatan bicara jika yang dihadapinya adalah gadis ini. Tiara berlari terbirit-b***t lalu berhenti sesaat di dekat Feri sambil menutup mulut daddy-nya--seperti biasa. Hal yang selalu berhasil membuat Feri jengkel setengah mati. "Daad, kalo mau marah besok-besok aja. Atau gak usah marah sekalian malah lebih bagus. Biar gak cepat tua dan mommy makin cinta sama daddy. Oke.... daad? Soaaaalnya, sekarang Tiara punya keperluan penting dan urgen sama mommy. Marahnya di pause kalo perlu di cancel ya, daaaaaad!" Ucapnya lalu berlari masuk ke dalam rumah sambil cekikikan. Feri hanya mampu menghela nafasnya. Tak bisa marah. Akhirnya lelaki itu ikut masuk ke dalam rumah. Sementara Tiara sudah heboh memanggil Sara dan menghampiri wanita itu di dapur. "Moom! Moom! Tau gak?" Ia heboh. Anne yang mencium suatu berita heboh langsung ikut berlari ke dapur. Sementara Ando langsung melompat mengambil remote tivi yang sedari tadi dipenjara oleh Anne kini ditinggal pemiliknya. Ia langsung mengganti channel film norak itu dengan kabar berita yang menurutnya lebih terpelajar untuk seorang pelajar. Lagi pula ia memang sangat tertarik dengan dunia ekonomi dan politik saat ini. Ditambah jika sudah ada daddy-nya yang menemani. Pembicaraan mengenai dunia itu akan lebih terasa panjang dan penuh antusiasme. "Ada apa, Ya? Kamu kok datang-datang langsung teriak sih? Salam dulu napa?" Wanita itu mendumel sambil membawa piring ke tempat cucian piring. Tiara hanya membalasnya dengan cengiran lalu mengatur nafas sebelum berbicara. "Tiara bawa kabar ter-hooot nih, moom!" "Kabar apa?" Sara tak terlalu tertarik. Suaranya teredam oleh suara air dari kran. "Tante Caca hamil!" Pekiknya yang membuat Sara menganga sementara Anne berteriak. "HAMIL??! Tante Caca hamil, kaaaak?" Ando dan Feri yang tak sengaja mendengar langsung berhamburan ke dapur. Sementara Tiara cekikikan. Sukses menjadi pusat perhatian. "Serius kamu? Tau dari mana?" Tiara sok mendramatisir. Gadis itu duduk anggun di kursi. Menikmati wajah-wajah penasaran di dekatnya sebelum memulai cerita. "Tadi pagi kan Tiara ke rumah Om Fadli, mau nganter jas tapi gak ada siapa pun disana. Ya udah, Tiara langsung ke kampus sampe tadi kan Tiara magriban disana, mom." Sara mengangguk. Kini wanita itu telah mematikan air krannya. Perhatiannya sempurna tumpah pada Tiara. "Terus pas tadi aku lagi makan sama Arini kan mommy nelpon nyuruh pulang. Nah gak lama dari itu, Farras nelpon. Tiara jadi tahu deh kalo Tante Caca hamil lagi. Soalnya pagi tadi, tante dibawa om ke rumah sakit. Makanya waktu pagi tadu Tiara kesana, gak ada siapapun di rumah om." Jelasnya yang membuat Ando senewen mendengarnya. Lelaki itu lelaki yang simpel dan tidak suka dengan cara bicara kakaknya yang menurutnya bertele-tele. Intinya adalah kakaknya tahu kabar hamil itu dari kakak sepupunya. Titik. Ngomong gitu aja ribet! Ando mendumel dalam hati lalu memutuskan untuk berpindah ke ruang keluarga lagi. Ia ingin menyelamatkan channel televisi favoritnya sebelum dirampas Ann lagi. Sementara Feri terkikik lalu langsung mengambil ponsel. Sekarang, gantian ia yang menghina Fadli. Sebab dulu lelaki itu sering meledek status dudanya. Lagi pula kapan lagi menginjak-injak Fadli seperti ini? Ahh.... "Tante Caca pasti ngamuk tuh, mom." Ann mengompor. Kini gadis itu sudah duduk di meja makan. Tiara mengangguk-angguk sambil cekikikan. Namun tawanya hilang saat mendengar ucapan mommy-nya. "Emangnya kalian gak mau punya adek lagi?" Wanita itu menggoda membuat dua gadis berteriak 'tidak!'. Menolak mentah-mentah hingga Sara terbahak hebat melihat keduanya kesal. Lagi pula......tiga anak ini pun cukup lah. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD