bc

Dinikahi Bocah Prik

book_age18+
1.0K
FOLLOW
10.6K
READ
possessive
love after marriage
age gap
badboy
goodgirl
drama
comedy
school
affair
wife
like
intro-logo
Blurb

Dinda hampir gagal menikah ketika tiba-tiba calon suami yang dijodohkan oleh mendiang orang tuanya, kabur di hari pernikahan mereka. Namun, Rangga yang sejak lama menyukai Dinda tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pengantin pengganti.

Awalnya Dinda menolak, begitupun Candra adik kandung Dinda sekaligus sahabat Rangga. Namun, Rangga berjanji akan menjadi suami yang baik untuk Dinda.

Apakah benar Rangga memenuhi janjinya?

Atau meninggalkan Dinda setelah memberi harapan manis?

chap-preview
Free preview
'Bu'
Dinda keluar dari mobil, lalu disusul Candra dan Andi yang langsung membawa barang-barang milik kakak sulung mereka. Dinda menatap ke arah rumah split itu dengan sendu. Ia memang berencana berkumpul bersama keluarganya, tetapi bukan berarti dengan cara kehilangan orang tuanya. Padahal kedua orang tuanyalah yang menjadi alasannya ingin berkumpul. Suasana di luar saja sudah sehangat itu, apalagi jika orang tuanya masih ada, ia pasti bisa merasakan kehangatan akan keberadaan orang tuanya. Matanya berkaca-kaca, mengabaikan panggilan adiknya yang sudah di dalam rumah. Panggilan itu diabaikannya, hingga ia sendiri ia mengajak langkahnya untuk masuk ke dalam gerbang. Dinda masih diam di tempat, menyusuri setiap sudut rumah dengan mata hitam bulatnya, lalu berjalan perlahan menyentuh gerbang rumah. Berjalan lagi menyentuh tembok rumah, pintu utama dan masuk ke dalam rumah. Di rumah itulah Dinda kembali mengenang, saat ia liburan sekolah atau liburan kuliah, ia selalu berkunjung ke Jakarta untuk tinggal seminggu atau bahkan sebulan. Memang benar Dinda ingin bersama keluarganya, tapi saat itu nenek dan kakeknya lebih membutuhkannya. "Aku mau beli makanan dulu di depan ya Mba. Mending Mba istirahat aja dulu, takutnya capek." Dinda mengangguk kecil, ia berjalan menuju kamar yang letaknya tak jauh dari dapur sebelah kanan, itu kamar mendiang ayah ibunya. Sementara di kamar sisi kiri, itu adalah kamar yang selalu ia gunakan ketika berlibur, sementara Candra dan Andi menempati kamar di lantai atas. Melihat Dinda, Andi menghampiri kakaknya yang masuk ke kamar kedua orang tua mereka. Ia tau Dinda sedang menangis, ditandai dengan kedua pundaknya yang bergetar kecil. Meskipun Andi cuek, meskipun ia jarang mengekspreskan diri, ia tetap sedih dan hancur atas perginya kedua orang tua mereka. Perlahan Andi memanggil Dinda dengan sebutan 'Mba', seperti yang diajarkan kedua orang tuanya dari kecil, bukan 'Kakak' seperti orang jakarta kebanyakan. Dinda segera menghapus air matanya, lalu berbalik dan tersenyum tipis. Ia bertanya apakah Andi sudah lapar, Andi menggeleng. Wajahnya cemberut seperti anak kecil yang ingin menangis. "Mba gak akan pergi, kan?" tanya Andi. "Enggaklah An, Mba akan selalu bareng kalian. Makanya kita saling mendoakan, agar Allah kasih kita kebaikan dalam setiap saat kehidupan ini." Dinda mendekati Andi lalu menyentuh pundaknya, kemudian mengukur tinggi badannya yang sejajar dengan kepalanya. "Mba baru sadar kalau kamu tumbuh makin tinggi, tapi Mba yang gak pernah tumbuh tinggi lagi." Andi terkekeh, air mata yang hampir luruh seolah kembali masuk. Kakakanya memang seperti ibunya, hangat, humoris dan penyayang. Setiap kali melihat sosoknya, akan ada gambaran sang ibu yang menyelimutinya. "Gak papa, Andi bakal jadi pelindungnya Mba." Kini giliran Dinda yang terkekeh, "Cie ... udah gede yah Adik aku." Andi tertawa begitupun Dinda yang lega kalau adiknya baik-baik saja dan tumbuh dengan baik. Ia tak pernah membayangkan akan sampai titik ini, titik dimana ia akan menjadi sosok yang harus lebih kuat dari kedua adiknya. ••• Setelah makan siang bersama, Dinda merapihkan barang-barangnya. Lalu ia jalan-jalan di sekitar komplek ditemani Andi dan Candra. Melihat suasana komplek perumahan yang sepi, Dinda merasa kalau ia sedang berada di kuburan. Sontak hal itu membuat kedua adiknya tertawa, Dinda memang memiliki karakter yang blakcblakan jika bersama orang yang dekat dengannya. "Beginilah perumahan elit, sepi senyap. Beda banget pas kita masih tinggal di gang, pasti ada aktivitas tiap harinya," balas Candra. "Bener, jadi gak berasa punya tetangga," tambah Andi. "Poin plusnya, gak banyak yang ikut campur, kek di Desa," ujar Candra terkekeh. Dinda dan Andi juga terkekeh mendegarnya, kerasan sekali Dinda ketika mengitari tempat itu, sepi sekali. Di tengah perjalanan, Candra mengatakan kalau teman-temannya akan main ke rumah. Hal itu membuat Dinda bingung, apakah ada acara atau hanya main biasa. Sebab, ia tak tau keseharian adiknya saat di rumah dengan teman-temannya. Memang tempat berkumpul Candra dan teman-temannya adalah di rumah mereka, jadi mereka akan selalu main ke rumah Candra dan melakukan banyak hal di sana. Mendengar penjelasan Candra, Dinda memiliki ide untuk berbelanja banyak kebutuhan rumah. Tadi ia sempat memeriksa kulkas dan tidak menemukan bahan makanan yang ia suka, juga ada beberapa bahan yang tak bisa dimakan lagi. Mungkin akrena terlalu lama tidak dimasak, sehingga membusuk dan kadaluarsa. Namun, Candra menolaknya karena biasanya mereka akan pesan dari rumah makan alih-alih dimasakan oleh pembantu atau ibunya. Lagipula porsi anak laki-laki memang besar, jadi harus masak banyak untuk bisa memenuhi perut Candra dan teman-temannya. Awalnya Dinda mempertanyakannya tetapi ia segera paham karena sudah kebiasaan, tapi Dinda tetap akan memasak banyak karena ia sedang ingin memasak banyak. Candra mengangguk setuju. Lagipula masakan kakaknya tak beda jauh dengan masakan ibu mereka, jadi ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Bisa merasakan cita rasa yang mereka kira hilang bersma jasad sang ibu. ••• Di rumah mewah nan besar itu, Ragga merasa sepi. Percuma semuanya terlihat megah kalau pada akhirnya ia tak bisa menikmatinya. Tentu saja Rangga sudah biasa menjalani kehidupan keluarga yang flat seperti itu, ayah yang super sibuk dan ibu yang sok sibuk dengan kelompok sosialitanya. Rangga juga tak mengerti, mengapa ibunya menambah kegiatan dengan membuka yayasan sosial yang perduli pada masyarakat, tetapi tidak memperlakukan anaknya dengan baik. Bahkan sejak baru lahir ia diasuh oleh baby sitter, dibesarkan dari tangan-tangan pembantu. Lalu orang tuanya hanya memberiny fasilitas, makan, minum dan status sosial. Apa bedanya dengan peternak ayam pada para ayam-ayamnya, memberinya kandang untuk tinggal, memberinya makan, memberinya kenyamanan berupa lampu dan mencarinya ketika tak kunjung pulang ke kandang. Namun, ia bukanlah ayam, ia manusia yang tak hanya butuh asupan fisik tapi juga non fisik. Ia butuh kasih sayang keluarga dan cinta yang melimpah. Mungkin di luaran sana banyak yang menganggap hidupnya sempurna, memiliki orang tua yang terkenal kaya dan dermawan, memiliki fisik bak super model, memiliki segala hal yang didambakan oleh semua remaja di dunia ini. Namun mereka salah, mereka menganggap hidup bergelimang harta adalah hidup yang sempurna karena mereka belum merasakan memilikinya. Orang miskin akan menganggap orang kaya bahagia karena dia belum pernah merasakan di posisi itu, di posisi dimana seluruh harta dan kekayaan yang dipunyai tidak memiliki rasa apapun kecuali kehampaan. Memang tidak semua orang kayaseperti itu, tetapi secara umum begitulah adanya. Hidup untuk materi, mati pun menggunakan materi. Boro-boro memikirkan ibadah, dunia ini tak butuh itu untuk berjalan. Konsep rizki hanya terbatas pada usaha dan taktik bisnis. Pada akhirnya, di dunia yang serba mahal itu, orang-orang seperti Rangga adalah role model yang tepat untuk menggambarkan kebahagiaan. Tak berguna juga memikirkan hidupnya yang flat itu. Ia hanya harus memikirkan bagaimana caranya menghilangkan kebosanan. Lalu, pemuda tampan berusia 17 tahun itu, kemudian pergi mandi untuk berkumpul di tempat sahabatnya nanti bersama genk mereka. Setelah selesai mandi, seorang pembantu mengetuk pintu kamarnya. "Aden permisi, ada telpon dari Mas Candra." "Bilang aja, sebentar lagi siap-siap ke sana!" jawab Rangga. "Iya siap, Den!" Setelah selesai bersiap-siap, Rangga langsung menuju ke rumah Candra seperti yang sudah disepakati. Butuh waktu 20 menit untuk sampai ke rumah Candra. Ia langsung memarkirkan motornya di samping motor teman-temannya. Namun, ketika ia membuka helm, tak sengaja ia melihat perempun berkerudung dan bergamis, lengkap dengan kaos kakinya keluar dari dalam rumah sambil menenteng kantong hitam berisi sampah. "Assalamuallaikum, Bu. Selamat siang!" sapanya ramah. Perempuan itu terkejut dengan sapaan Rangga, namun ia tetap mengangguk dengan senyum manisnya. Rangga sedikit terkejut dengan senyum itu, terlihat jiwa muda dan berwibawa. "Waallaikumsalam, temannya Candra?" tanya perempuan itu. "Iya, Bu. Saya izin masuk dulu ya ...." "Iya, silahkan." Rangga langsung berlalu begitu saja. Sementara perempuan itu yang tak lain adalah Dinda sedikit dongkol karena dipanggil 'Ibu'. Memang sudah biasa, tapi rasanya masih sama tidak menyenangkan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
99.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook