"Lo nonton a star is born deh, Ra. Aseli keren. Pecah sih aktingnya Lady Gaga."
"Jangan spoiler!" Omelku.
Aga tertawa. Partner kurang ajar memang manusia satu ini. Dia sengaja menggodaku saat siaran berlangsung. Lihat saja, pulang nanti aku akan nonton Bohemian Rhapsody dan spoiler-in dia abis - abisan di grup.
"Nah teman milenials, yang udah nonton adu aktingnya Mother Monster dan Bradley Cooper, share dong buat kakak Haura, kenapa dia harus banget nonton film itu?" Aga memancing pendengar.
Aku menatapnya sengit.
"Gue prefer nonton Freddy Mercury dulu sih," aku enggak mau kalah.
"Balas dendam dia. Oke Guys, sambil gue kasih spoiler ke Haura di sini, sambil menemani makan siang kalian hari ini gue puterin lagu Rise dari Jonas Blue and the Jack Jack. Stay tune!"
Lagu berputar, Aga terbahak. Aku gemas memukulinya.
"k*****t ah Aga."
"Hahaha, pulang langsung nonton nih."
"Bohemian Rhapsody ya."
"Haha awas lo spoiler!"
"Sengaja!"
"Hahaha."
Di balik kaca, Anita memanggil - manggil kami. Aku melepas headset dan menghampirinya.
"Habis siaran jangan langsung cabut. Ada re-schedule." Anita menginformasikan.
Lima belas menit lagi siaran kami selesai. Aku berharap tidak akan dipasangkan lagi dengan Aga, kunyuk satu itu. Dengan Irza atau Joy lebih baik.
Selepas siaran, aku membuka ponsel dan mendapati pesan Eda. Dengan semangat kutelepon dia, ingin mengajaknya nonton.
"Abang lagi ada kelas?" Tanyaku begitu dia menjawab teleponnya.
"Nanti malam ada janji sama mahasiswa."
Aku mendesah kecewa. "Kalau jam empat gitu, bisa curi waktu dulu enggak? Nonton Bohemian Rhapsody yukk." Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul setengah empat.
Aku tahu dia tidak akan menolak. Di antara semua musisi yang kutahu, Eda tidak menyukai semuanya kecuali sebuah Band legend dari Inggris, Queen. Pertama kali aku tahu, saat main ke rumahnya, mama Mayang bercerita Eda hanya punya kaset satu artis yaitu Queen. Lengkap. Tapi jangan pernah berpikir bahwa dia akan menyanyikan sepotong atau dua potong liriknya saat mendengar lagu kesukaan dia diputar.
Di setiap acara musik yang kuhadiri, Eda sering kali absen ikut. Kalaupun ikut, tidak ada yang bisa dibahas dengannya.
"Enggak bisa, Ra."
Jawaban Eda mengaburkan semua semangatku.
"Bisa kapan?"
Masa aku nonton sendiri?
"Abang sudah nonton."
"Kapan?"
"Semalam."
Jadi, semalam dia bilang akan pergi dengan teman - temannya itu untuk nonton.
"Enggak ajak aku?" Suaraku terdengar sengit.
"Kamu kan kerja."
Jawabnya polos.
"Abang pikir kamu akan bosan nonton itu."
"Hah?"
Aku penyiar dan bosan nonton film musikal biografi seorang legend musik Dunia?
Tapi ini Eda. Yang pikirannya pasti penuh hal - hal positif. Tidak ada yang perlu dicurigai darinya.
"Oke. Yaudah, Bang. Mas Romi panggil aku. Dah ya." Aku menutup teleponnya.
Semua tindakan Eda terasa benar dan masuk akal, sehingga aku merasa tidak berhak marah. Di setiap kali aku mulai kesal, wajah polosnya pasti akan memenuhi kepalaku. Aku menggelengkan kepala, mengusir semua hal yang mengganggu dan menghampiri mas Romi di ruangannya.
"Haura!" Mas Romi menyapa dengan semangat saat melihatku masuk. Di sana duduk seseorang yang kutahu sebagai orang baru di radio kami. "Kenalin, ini Kelvin. Partner lo yang baru."
Kelvin mengulurkan tangan, kusambut dengan jabatan hangat.
"Haura."
"Kita tunggu Anita, dia udah buatin schedule buat lo. Midnight. Tapi weekend libur." Mas Romi meneruskan kalimat terakhir saat aku hendak protes.
Midnight?
"Sabtu Minggu, libuuurrr." Ulang mas Romi, aku menatap malas.
Anita datang membawa dua lembar kertas yang diberikan padaku. Jadwal baru atas namaku. Aku mendesah pasrah saat melihat hari dan jam siaran yang baru.
Pagi jam 10 sampai jam 12 sendiri, lalu jam 5 di hari Senin dan Rabu menjadi Newsreader selama lima sampai lima belas menit. Okelah, yang penting weekend libur. Aku melebarkan senyum ke arah mas Romi.
Aku menandatangani di kolom yang tertera namaku.
"Gitu dong, Ra." Mas Romi menepuk bahuku, "Bohemian Rhapsody yuk jam 7. Ikut gak?"
Daripada nonton sendiri ya kan?
"Ikut."
"Oke. Gue pesen tiket dari sekarang. Lo ngobrol dulu berdua. Biar dapat chemistry-nya."
Kelvin mengajakku ngobrol di Coffee Bean yang berada di samping kantor. Dia memesan kopi dan menanyaiku.
"Latte," jawabku.
Kelvin menunjuk kursi di samping kaca, aku duduk lebih dulu.
"Udah berapa lama jadi announcer?" Pertanyaan pembuka yang sangat biasa.
"Tiga tahun," aku mengedikkan alis.
"Keren. Sebelum di Stay Tune, udah pernah di mana aja?"
"Langsung kesini, diajak Bianca."
Kelvin ber-ooh ria.
"Elo, kenapa pindah? Udah enak di Hear It. Bukannya udah pegang Produksi ya?"
"Ada something lah. Lagian udah lama ditawarin Romi kesini."
Aku mengerucutkan bibir sambil manggut - manggut.
Kami bertukar cerita. Lebih banyak dia sih, berbagi pengalaman gitu. Awal perjalanan Kelvin bermula saat dia menjadi penyiar radio lokal di daerahnya. Terus melebarkan koneksi hingga ke Hear It. Senior banget.
Aku sedikit tahu dia saat berhasil mewawancarai The Script dan Coldplay, tapi enggak tahu banyak.
***
"Gue gak kebayang ya kalau bisa nge-MC Live Aid. Penontonnya se-Dunia. Gokil banget Freddy emang, bisa 'pegang' semua penonton, ckckck." Mas Romi terus berkomentar saat kami baru keluar dari teater selesai menonton perjalanan sang legenda musik Dunia. Freddy Mercury.
"Jenius banget gak sih, lo kebayang enggak menafsirkan Bohemian Rhapsody? Gue gagal paham, apalagi ada istilah - istilah spiritual gitu." Kelvin menambahkan.
"Relijius kali maksud lo!" Sambung Kenny.
"Relijius? Enggak juga ah. Karena ada Bismillah pasti maksud lo? Freddy kan Persia. Arab atau urdu juga jadi bahasanya,mirip - miriplah. Bismillah di sana gak merepresentasikan agama tertentu sih menurut gue." Kelvin menjabarkan.
"Yang gue gak habis pikir, gimana bisa dia bikin musik longlast gitu. Yang kita dengerin sekarang pun enggak berasa tua." Aku ikutan.
"Jenius." Komentar Bianca.
"Super Genius." Tambah Kenny.
"Spoiler di grup dong, gue mau balas dendam sama Aga." Aku mengompori yang lain.
Semua menertawakanku.
"Masih dendam gara - gara a star is born ya?" Tanya mas Romi, aku mengangguk. "Yaudah lanjut, masih ada yang midnight tuh."
Aku mencibir.
"Capek. Pengen tiduran. Kangen kasur."
Kami berpisah di lantai ground. Mas Romi jemput istrinya, Kenny dan Bianca lanjut ke kantor karena mereka masih ada jadwal siaran jam sebelas. Kelvin bertanya bagaimana aku pulang.
"Ojek." Jawabku singkat.
Kehidupan di Kota Metropolitan dewasa ini sangat bergantung pada aplikasi ojek online. Yang sangat all in one. Begitu juga aku.
"Gue anter. Di mana rumah lo?"
Aku menatapnya dengan mata berbinar, kegirangan.
"Udah tahu siapa yang dikirim buat nonton Bruno Mars di Singapore?"
Kelvin bertanya saat mobilnya sudah meninggalkan parkiran mall.
"Gue harap sih ya gue hehehe." Jawabku, Kelvin terbahak.
"Capek tahu ngeliput konser gitu."
"Tapi kan fun. Do what you love is fun."
"Lo suka ngeliput acara atau event - event gitu?"
"Konser musik aja. Gue berdoa biar dikirim ke Coachella. Hehehe."
"Hahaha. Gue juga mau kalau itu sih."
"Freddy manis banget gak sih, nulis lagu Love of my life buat Mary Austin. Meskipun dia 'begitu' gue yakin aja cintanya tulus buat Mary." Aku masih ingin mendiskusikan film yang tadi kami tonton.
"That's why Mary never go anywhere. Gue rasa Mary memang tahu dan mereka jadi bestfriend sampai akhir hayat Freddy."
"Itu baru namanya putus baik - baik. Putus karena sesuatu yang enggak bisa dipaksakan."
Kelvin menatap bingung sejenak lalu terbahak lagi. "Itu nightmare sih, ketika lo jatuh cinta sama orang lain dan ternyata dia malah penyuka sesama jenis. Bad."
"So bad. But better than cheating." Aku mengedikkan alis ke arahnya, Kelvin menggeleng.
"Berarti lo pilih pacar lo homo daripada selingkuh sama cewek lain?"
Aku mengangkat kedua bahu. Dua - duanya sama buruk, tapi homo jadi alasan paling pantas untuk move on.
***