Jeda Ketujuh

1281 Words
Kami makan siang bersama di tempat makan tidak jauh dari tempat Eda mengajar. Dia kembali ke mode pendiam dan kaku seperti biasa. Seolah - olah, apa yang kami lakukan di kost tadi tidak ada. Aku mencibir dalam hati melihat tingkahnya. "Mau kemana setelah ini?" Eda membuka percakapan. Aku berpikir sebentar. Siang - siang begini mau kemana lagi. Tapi kalau aku ajak ke kost lagi, dia pasti nolak. Dan aku masih mau berlama - lama dengannya. "Nonton, mau?" Eda mengangguk menyetujui. Tidak antusias, tapi juga tidak terpaksa. Seperti biasa. "Kak Linda tujuh bulanan nanti hari Minggu." Aku memberitahunya, perihal acara yang akan digelar kakak iparku. Eda mengangguk - angguk saja. Aku tidak menyerah dan mulai menceritakan tentang kehamilan Kak Linda. Eda merespon dengan pandangan profesionalnya. "Aku jadi mau hamil." Gurauku, membuat Eda tersedak dan buru - buru meraih gelas minumnya. "Biasa aja kali, namanya juga perempuan. Semuanya pasti mau jadi ibu." Aku menepuk - nepuk punggung Eda membantunya bernapas dengan benar. "Yuk pergi. Jangan sampai kesorean. Kamu pasti mau istirahat sebelum siaran." Ajaknya, yang mana tumben dengan kalimat panjang. Aku tersenyum dalam hati. Eda pasti salah tingkah saat aku menyebut tentang kehamilan. Dia gemesin gak sih? Unchhh. Sepanjang film diputar, tanganku tidak bisa diam. Sesekali mengelus lengannya yang kupeluk, sesekali mengusap kepalanya sambil tersenyum. Sampai pada tingkatan yang lebih ekstrim, aku mengelus pahanya. Tentu saja Eda menegurku. "Ra!" Aku tersenyum dan bersembunyi di balik lengannya yang kurangkul. Sampai di perjalanan kembali ke kost pun, aku sengaja menggoda Eda. Memeluknya sambil membelai lembut perutnya yang datar. "Kita bisa kecelakaan, Ra." Omelnya pelan. Aku terkikik senang dan memilih diam akhirnya. Begitu turun dari motor, Eda masih bergeming di atas motornya. "Abang langsung pulang." "Kenapa? Takut khilaf lagi?" Tanyaku menggoda. "Nanti Abang antar kalau sudah mau jalan siaran." Dia mengabaikan pertanyaanku. Membuatku cemberut dan memandangnya kesal. "Istirahat sana." Usirnya, membuatku menghentakkan kaki memasuki pagar indekost.  "Abang cemburu enggak kalau aku dekat sama cowok lain?" Adalah pertanyaan terbodoh yang pernah aku lontarkan pada Eda. Jawabannya adalah lirikan sekilas dan sama sekali tidak dijawab olehnya. Aku berdecak kesal, tapi tidak bisa marah. Inilah Eda. Ciuman kami tidak berarti apa - apa baginya. Dia tidak berubah, tetap menjadi Eda yang biasa. Kami sedang makan malam, sebelum aku mulai siaran dan Eda pulang. Aku mengaduk - aduk isi gelasku, sembari menunggu menu yang kupesan datang. Tepukan di bahu membuatku menoleh dan Eda mengangkat kepalanya. "Hei Ra, makan di sini juga?" Pertanyaan retoris itu datang dari bibir Kelvin yang sekarang berdiri di sampingku. "Hei." Jawabku spontan, "sendirian lo?" Aku tidak melihat dia bersama orang lain. "Yep. Sedih ya, jomblo gini nih." Candanya. Kelvin mengangguk saat menyapa Eda, aku berdiri dan memperkenalkannya. "Ini Eda, cowok gue. Ini Kelvin, Bang. Partner siaran aku." Eda berdiri dan berjabat tangan dengan Kelvin sambil menyebutkan nama. "Pernah lihat kayaknya, sering anter jemput lo kan?" Aku mengangguk, Eda kembali duduk dan mengajak Kelvin bergabung dengan kami. Kelvin ikut memesan makanan dan menanyai pendapatku tentang issue pemilu yang akan kami bahas di segmen tiga nanti. Produser menyarankan kami untuk mengingatkan kaum milenials agar tetap ikut dalam pesta demokrasi dan menyuarakan pendapat mereka. Alih - alih terbawa arus negatif perang politik. Tanpa bermaksud mengabaikan Eda, tapi sulit menyeretnya ikut dalam pembicaraan saat dengan siapapun, kecuali dengan ayahku. Jika mereka berdua ngobrol, malah aku yang terabaikan. Eda memilih membaca berita bola, sepertinya, di ponsel dan sesekali mencoba mendengarkan pendapat Kelvin. Mungkin, agar terlihat lebih sopan. Selesai makan, Kelvin bertanya apakah aku akan ikut dengannya atau tetap diantar Eda sampai kantor. Dan tanpa bermaksud menolak kebaikannya, aku memilih tetap diantar Eda. Kami berpisah karena Kelvin lebih dulu pergi dengan mobilnya. Langit mendung memayungi kami, aku mendesah lirih saat suara geluduk menyertai deruman motor kami yang meninggalkan tempat makan tadi. "Aku harus mulai lihat - lihat brosur mobil nih. Enggak bisa motoran terus, lagi musim hujan begini." Eda bergeming, tidak menghiraukan keluhanku. "Enak kali ya pacaran dalam mobil, bisa pegangan tangan sepanjang jalan." Aku mengeratkan pelukan di perut Eda. Di lampu merah, tangan kiri Eda mengelus tanganku di perutnya. Membuatku memanjangkan leher demi melihat wajahnya yang datar menatap traffic light berganti warna. Kaca helmnya dibuka sedikit, dia melirikku akhirnya. Tidak membalas senyum bodohku untuknya. "Duduk yang benar!" Omelnya, saat lampu berganti ke kuning. Aku kembali duduk dengan tenang dan menempelkan kepala di punggungnya saat lampu berubah hijau dan motor Eda kembali melaju. Helm - helm ini mengurangi kemesraan, tapi kalau aku lepas, omelan Eda bisa menambah berkurangnya kemesraan di antara kami. Eda mengomel seperti seorang ayah ke anaknya. Dalam hal ini, seperti seorang polisi lalu lintas pada pengendara yang kena tilang. *** Komentar Kelvin tentang Eda sama seperti komentar kebanyakan temanku saat kukenalkan pada Eda. "Cowok lo, pendiem gitu memang ya? Enggak lagi berantem kan kalian?" Aku memastikan Kelvin tentang Eda yang memang pembawaannya seperti itu. Susah terdistraksi dengan obrolan orang lain. Dia tidak suka ikut campur pembicaraanku dengan teman - temanku. Bertanya dan menjawab seperlunya. Tapi bukan berarti dia tidak peduli, dia hanya memang seperti itu saja karakternya. Pernah dulu, salah satu teman kuliahku bertanya tentang pengobatan ibunya yang sakit batu empedu. Eda menjawab sebatas profesinya yang saat itu sebagai dokter magang. Tidak kurang, tidak lebih. "Lo pernah lihat dia interaksi sama teman - temannya?" Pertanyaan Kelvin semalam mengganggu pikiranku sekarang. Jika dipikir - pikir, hampir tidak pernah Eda membawaku ke tengah - tengah lingkungan pertemanannya. Dulu aku pikir, mungkin Eda memang sulit bergaul sehingga tidak punya teman dekat atau sahabat di kampusnya maupun tempat kerja. Tapi, saat kami pergi ke pernikahan teman kuliahnya. Aku bisa melihat bahwa cukup banyak teman Eda yang menyapanya akrab. Maksudku, mereka terlihat seperti memang akrab dengan Eda. Kupikir selama ini, Eda hanya dekat denganku seorang. Dan hanya acara pernikahan - pernikahan lah di mana Eda akan mengajakku bertemu teman - temannya. Tidak di acara lain. Sampai ketika Eda mengatakan bahwa dia cukup sering pergi nonton dengan beberapa teman, barulah aku menyadari bahwa selama ini aku tidak pernah dikenalkan ke teman - temannya selain di acara nikahan saat dia mengajakku pergi. Itu juga tidak memperkenalkanku sebagai pacar, hanya memberitahukan namaku saja. Meski beberapa temannya tetap dengan sopan menebak bahwa kami bukan lah kakak adik atau sekedar teman. *** Hari ini, aku ingin belanja bulanan untuk keperluan di kost. Eda ada rapat, aku bersikeras janjian di mall tempatku akan berbelanja. Yang akhirnya disetujui Eda. Akan makan waktu menunggu Eda menjemputku. Sembari menunggu Eda datang, kuputuskan melihat - lihat outlet baju. Mataku tertuju pada mini dress dengan motif floral. Sepasang tali spagetinya membuatku urung melihat harga baju tersebut. Jenis dress seperti ini mana bisa kupakai jalan - jalan. Yang ada dapat omelan Eda. Terlalu cantik untuk dipakai di kamar saja. Aku menelusuri kaos - kaos santai sampai telingaku menangkap suara kaget seorang perempuan muda. Aku menoleh dan melihat Aiko tampak terkesiap menatapku. Tangan kirinya tengah bergelendot manja pada seorang pria yang kutebak lebih tua beberapa tahun dari adik perempuan satu - satunya Eda itu. "Mbak Aura! Sama abang?" Tanya Aiko setelah menetralkan wajahnya dan melepas tangan cowok itu. "Lagi nunggu abang. Kamu sama pacar?" Aku melirik terang - terangan laki - laki yang sekarang tersenyum menyapa padaku. "Iya, Mbak." Aiko berbisik padaku, "tapi jangan kasih tahu bang Eda ya. Nanti dia marah." Aku menatapnya sinis. "Marah kenapa? Emang kamu enggak boleh pacaran?" Tanyaku tanpa menurunkan suara, Aiko menarik lenganku menjauh dari cowoknya. "Ih Mbak! Ya gitu, abang maunya aku fokus kuliah." Aku berdecih. Ponselku berbunyi, panggilan masuk dari Eda. Aku memperlihatkan layar ponsel ke Aiko, sepasang mata Jepangnya melotot kaget. "Aku pergi ya, Mbak. Dagh!" Katanya buru - buru seraya mengajak pergi cowoknya dari hadapanku. Aku tertawa iblis, senang melihat kartu AS Aiko berada di tanganku. Awas aja dia kalau nyusahin Eda, aku ancam pake kartunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD