"Pi..." tegur Uri, cowok yang sudah setahun belakangan kutaksir.
Baru terhitung hari kami naik ke kelas XII. Dan seperti biasa, setelah semua siswa dan siswi yang naik ke kelas XII ini diacak, aku terdampar di kelas XII IPS 1, sementara Uri menjadi siswa di kelas XII IPA 3.
"Hai Ri..." sapaku hangat.
"Ngobrol sebentar yuk?"
"Oh, dimana?"
"Mmm, sambil muterin taman belakang aja gimana? Sekalian ke kantin."
"Oke." ujarku seraya menyampirkan tasku di bahu kiri.
Kami jalan beriringan, tak memperdulikan tatapan dengan tanda tanya dari beberapa teman-teman kami. Menuruni anak tangga dari lantai dua menuju lantai dasar seraya menjawab candaan demi candaan yang mereka lontarkan.
"Kenapa Ri?" tanyaku setelah jalan yang kami lewati memberikan cukup privasi.
Uri menyerahkan secarik kertas padaku. Aku terdiam menatap kertas berwarna kuning gading yang terlipat menjadi segitiga di telapak tanganku. Kertas itu berisi suara hatiku yang kuceritakan pada Cassia sahabatku yang kini berada di kelas yang sama dengan Uri.
Aku memasukkan kertas yang terlipat itu ke dalam saku kemejaku. Lalu mengangguk pada Uri, tersenyum canggung.
"Itu benar, Pi?" lirih Uri.
Aku diam saja. Tak berani menjawab pertanyaannya.
"Pia?"
"Maaf..." lirihku. Malu.
"Kok maaf?"
"Pokoknya maaf."
"Bohong? Yang Pia tulis itu bohong?"
Aku terdiam. Apa iya aku harus mengatakan bahwa aku menyukainya? Ya ampun, aku tak pernah bercita-cita menyatakan perasaan cinta terlebih dahulu daripada cowok yang kutaksir.
"Pia?"
"Apa itu penting Ri?"
"Kok Pia ngomong gitu?"
"Ya, aku ga ngerti aja kenapa Uri harus nanyain isi surat yang ga tertuju untuk Uri."
Uri mengerutkan keningnya.
"Kamu nulis nama aku di situ Pia."
"Terus kenapa? Lupain aja! Kan aku nulis surat itu untuk Cassia. Itu cuma curhat-curhatan aja kok."
"Jadi betul?"
Aku mendengus. Mungkin kini Uri bisa melihat jelas wajahku yang merah seperti tomat.
"Aku duluan ya Ri... Aku harus sampai tempat les jam tiga." ujarku datar, memilih berbalik melangkahkan kaki menjauhinya.
"Uri juga suka sama Pia." ujarnya saat aku baru saja menyelesaikan langkah pertamaku. Terdiam, kakiku terasa kebas, tak mampu melanjutkan langkah.
"Pia mau jadi pacar Uri?" tanyanya lagi. Kini ia sudah berpindah posisi, berdiri tepat menghadapku.
Kelu.
"Pia?"
Aku menunduk, tak sanggup menantang tatapannya.
"Pia..." tegurnya lagi.
"Iya."
"Apa?"
"Iya."
"Iya apa?"
"Uri!"
Uri terkekeh.
"Lihat Uri dong Pia. Masa yang dilihat sepatu Uri?"
Aku pun turut terkekeh, lalu mengangkat kepalaku, tersenyum menatapnya.
"Iya apa?" ulangnya lagi.
"Iya, Pia mau."
"Mau apa?" kekeh Uri lagi.
Aku mencubit lengan kirinya, membuatnya semakin tertawa renyah.
"Pia..."
"Iya, Pia mau jadi pacar Uri."
Dan baru kali ini, aku melihat senyum Uri yang begitu manis di hadapanku. Senyum beserta tatapan yang membuat wajahku menghangat dan jantungku berdetak riang.
***
"Pia!" seru Uri kala melihatku yang berdiri bersandar di tepi tangga. Menunggu kelasnya usai.
"Hai!"
"Yuk?"
Aku mengangguk, mengikuti langkah kaki Uri menuju gerbang sekolah.
"Tunggu ya..."
"Ya?"
"Tunggu anak-anak." ujar Uri lagi.
Anak-anak yang dimaksud Uri adalah The Mystic - nama kelompok pertemanan yang dijalin oleh sepuluh orang termasuk Uri di dalamnya. Aku? Bukan, aku tak masuk ke kelompok pertemanan manapun.
Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya kesepuluh orang The Mystic lengkap. Ditambah tiga orang - termasuk aku - yang merupakan kekasih dari tiga orang cowok di dalam kelompok itu. Dan rasanya... Entahlah, mungkin karena tak ada satupun yang kukenal dekat diantara kesepuluhnya kecuali Uri, canggung langsung menyerang relung rasaku. Uri bersikap santai, tak terlalu menempel denganku, tetapi tak jua lebih mendekat pada sahabat-sahabatnya. Aku, hanya memahat senyum yang baru kuusaikan begitu aku naik ke dalam angkutan kota menuju tempatku tinggal yang berlawanan arah dengan rumah Uri.
Nyaris setiap hari begitulah yang aku jalani. Jika istirahat sekolah, aku dan Uri tak seperti pasangan lain yang biasanya tetap bersama. Uri tak pernah duduk bersamaku kala jam istirahat, kalaupun ia mendekatiku - itu hanya sekedar menegur sapa, sementara ia akan menghabiskan waktu dengan sahabat-sahabatnya. Dan aku, rasanya terus saja canggung jika memaksakan diri bergabung dengan mereka.
"Lo ga gabung sama mereka?" tanya Cassia yang sibuk menyendok potongan buah di dalam sop buah yang tadi dipesannya.
Aku hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalaku.
"Ya, lo tau kan resikonya? Mereka tuh eksklusif banget."
Kali ini aku terkekeh.
"Tapi kalau pulang selalu bareng kan?"
"Iya, bareng kok Cas."
"Lo jarang cerita sih sama gue."
"Ya apa yang mau diceritain Cas? Biasa aja kok. Weekend juga gue jarang jalan sama dia. Tiga bulan ini baru sekali deh jalan."
"Yang sama gue juga itu?"
Aku mengangguk.
"Wah sumpah lo, Pi?"
Gue mengangguk lagi.
"Terus?"
"Ya ga ada terus-terusan." ujarku lesu.
"Lo kuat jadian sama dia?"
Aku menaik turunkan bahuku. Bingung bagaiman harus menjawab pertanyaan Cassia.
"Gue kangen Abang..." lirihku akhirnya.
"Kalau ada Abang, weekend gue jalan terus biarpun sekedar muter-muter ga jelas atau lari pagi-sore bareng."
Cassia meletakkan gelasnya di atas meja lalu mengulurkan kedua tangannya dari samping, memelukku hangat.
"Bang Borne jarang nelpon?"
"Nelpon mulu sih. Minimal seminggu sekali. Kadang pakai telponnya Bang Dirga, tau-tau ada backsound Bang Dirga gedor-gedor kamarnya Abang gara-gara Abang hobi banget ngabisin pulsanya Bang Dirga." tuturku seraya terkekeh geli mengingat kelakuan Abangku satu-satunya.
Cassia mengangkat kepalanya yang dia sandarkan di bahuku. Memberi senyuman hangat seraya menepuk-nepuk punggungku lembut.
Seusai sekolah aku tak langsung beranjak meninggalkan sekolahku, memilih menyelesaikan urusan administrasi ektrakurikuler PMR yang selama ini kuikuti. Aku baru saja duduk di salah satu kursi panjang di pinggir lapangan basket usai memeriksa laporan-laporan kegiatan yang dilakukan selama kepengurusanku, sementara Uri dan beberapa cowok lainnya asik berlarian beradu kepiawaian mengejar, men-dribble, dan memasukkan bola orange ke dalam keranjang di atas sana.
"Hai!" sapa seorang cowok yang tiba-tiba duduk di sampingku.
Aku mengangguk, bersopan santun. Tak diduga, ia justru mengulurkan tangannya padaku. Sungkan, aku terpaksa menerima uluran tangannya.
"Evan."
"Pia."
"Gue abangnya Uri. Lo kenal Uri?" ujarnya lagi.
Aku menatapnya lekat. Sekilas tak ada kemiripan antara keduanya. Uri bilang ia sangat mirip dengan Ayahnya. Mungkin Evan mirip dengan sang Ibu, pasti begitu.
"Ngapain lo?" ketus Uri yang tiba-tiba saja mendekati kami.
Aku terdiam, tak lagi berkeinginan menjawab pertanyaan Evan.
"Ngobrol sama Pia." ujar Evan santai.
"Ada apaan?"
"Ga ada. Tadi gue abis nganterin temen gue. Dia sakit di kampus. Sekalian aja lewat sini, kata Mama lo belum pulang."
Uri berdecak.
"Mau gue tungguin ga?" tanya Evan.
"Ya udah deh, gue ganti baju dulu."
"Udah kelar lo main?"
"Udahlah, lo udah dateng. Ilang mood gue!" ketus Uri lagi.
Aku baru tahu sisi sinis seorang Uri saat ini. Tak pernah menyangkanya sama sekali.
Dan Evan hanya diam saja diperlakukan seperti itu.
"Yuk, Pi!" ujar Uri seraya menarik pergelangan tangan kiriku.
"Jangan kasar gitu lo sama cewek!" tegas Evan yang kini mencengkram pergelangan tangan Uri yang menggenggamku.
"Lo ganti aja sana. Pia biar di sini. Atau kemana aja semau dia." ujar Evan lagi.
"Apa urusan lo?" ketus Uri lagi.
"Ga ada, Ri. Pia cewek lo?"
Uri terdiam.
Akupun kelu.
"Pia cewek lo makanya lo ga suka Pia ngobrol sama gue?" tanya Evan lagi.
Uri melepaskan genggamannya di pergelangan tanganku, disusul Evan yang juga melepas cengkramannya di pergelangan tangan Uri.
"Tunggu di sini!" ketus Uri lagi lalu melangkah meninggalkan kami berdua.
Ada nyeri yang hadir di satu sudut hatiku saat Uri enggan menjawab siapa diriku di hadapan Abangnya sendiri.
Apa benar Uri menyayangiku seperti yang selalu ia katakan?
"Pia?"
"Ya?"
"Maaf."
"Kenapa?"
"Ya, maaf aja. Maaf atas sikap gue dan Uri. Gue dan Uri emang kurang akur."
"Oh, iya, ga apa-apa."
Evan diam, kedua netranya lekat menatapku.
"Lo ceweknya Uri?" tanyanya lagi.
Kini aku yang terdiam. Jika Uri saja tak mau menjawab pertanyaan itu, kenapa harus aku?
Aku hanya menaik turunkan bahuku. Lalu tersenyum pada Evan.
"Pia duluan ya, Van."
"Eh, mau kemana?"
"Pulang."
"Bareng aja Pi..."
"Ga usah, Van. Rumah kita arahnya berlawanan."
"Ya ga apa-apa. Gue bawa mobil kok."
"Ga usah. Makasih. Yuk, Van." tutupku seraya melangkah begitu saja meninggalkan Evan yang terdiam menatap punggungku yang menjauh.
***
Hari ini ujian sekolah hari terakhir. Selanjutnya adalah masa-masa dimana kami menunggu pengumuman kelulusan, menyelesaikan urusan administrasi sebelum melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dan sejak kedatangan Evan berbulan yang lalu, hubunganku dengan Uri rasanya semakin tak jelas. Kami masih pulang bersama, masih ngobrol berdua sesekali. Tetapi rasanya tak sama lagi seperti di awal. Uri pun mulai jarang menelponku, ketika aku menghubunginya pun seringkali tak diangkatnya. Weekend pun sudah tiga bulan terakhir Uri tak pernah menjakku pergi bersama, bahkan ketika aku yang mengajaknya ia akan menolak dengan berbagai alasan.
Aku baru saja menutup panggilan dari Abangku yang kini menjalani pendidikannya di London. Perbedaan waktu antara Jakarta dan London membuatnya seringkali menghubungiku di siang hari seperti ini. Usai meletakkan ponselku di saku rok abu-abuku, aku berjalan santai menapaki taman belakang sekolah, membuka kenangan lama kala Uri mengajakku menjadi kekasihnya.
"Hhhh!"
Aku terdiam. Sontak membeku tepat di sebuah ruangan dengan papan bertuliskan Laboratorium Biologi.
"Hmmmph!"
Detak jantungku semakin menggila kala mendengar suara yang sama dengan suara-suara yang juga menjadi penghancur keluargaku.
Tanganku bergetar saat meraih kenop pintu, perlahan menariknya agar membuka. Aku melangkah perlahan sementara keringat dingin mulai bercucuran di balik tengkukku.
Hingga di salah satu kursi di balik lemari yang menyimpan beberapa alat peraga, isakku tak mampu lagi kutahan. Aku mengangkat kedua tanganku, menutup mulutku yang melihat perbuatan tak pantas antara dua orang yang begitu kukenal baik. Uri... Dan Cassia.
Kedua kakiku melangkah mundur, lebih baik aku pergi sebelum mereka tahu keberadaanku.
'BUGH!'
Suara yang timbul tak sengaja karena aku menjatuhkan tas milik Uri - yang tadinya ia letakkan di pinggir salah satu meja - membuat keduanya berhenti dari perbuatan b***t mereka. Uri dan Cassia sama-sama menolehkan kepalanya, menatapku yang berdiri membeku dengan wajah yang dialiri air mata.
"Pia?" tegur Uri. Panik.
Aku tak perduli, segera kupaksa kedua kakiku melangkah, berlari tanpa henti menjauh dari ruangan itu dan kedua manusia laknat di dalamnya. Aku tak memperdulikan tatapan beberapa temanku yang masih bersenda gurau di sekolah. Bahkan akupun tak perduli kala pekikan Uri menyapa pendengaranku, memanggilku berkali-kali.
'BUGH!'
"Maaf! Maaf, permisi!" ujarku panik saat tak sengaja aku menabrak seseorang yang entah kapan berada di depanku.
"Hey, Pia!"
"Minggir!" isakku.
"Pia!" tegur cowok itu lagi.
'Cowok?'
Aku mendongak, menatap cowok yang sejak lama tak lagi kulihat.
"Evan?"
"Pia kenapa?"
"Minggir!" isakku lagi seraya mendorongnya.
Evan bergeming, menahan lembut kedua tanganku yang terulur.
"Hey, Pia..."
"Minggir! Please..."
"PIA!"
Aku terkesiap mendengar pekikan Uri, bersegera aku pindah ke balik tubuh Evan, mencengkram erat kemeja di balik punggungnya.
"Pia..." lirih Uri lagi.
"Ada apaan ini? Lo kenapa kacau begitu?" tanya Evan pada Uri.
Uri tak menjawabnya. Ia berusaha meraihku agar keluar dari balik punggung Evan. Tak kusangka, Evan justru menghalanginya.
"Lo pulang sendiri! Gue antar Pia!"
"Anj*ng! Minggir!" ketus Uri pada Evan.
"Terus aja Ri, terus aja lo anj*ng-anj*ngin gue! Tapi gue ga akan minggir!" tegas Evan.
"Aku antar pulang ya Pi?" ujar Evan lagi. Kali ini pertanyaannya tertuju padaku.
Aku mengangguk lemah yang masih disertai isakan dari balik punggungnya yang kujadikan tempatku menyandarkan kepala.
Evan berbalik, menuntunku lembut.
"Pia!" panggil Uri lagi.
Aku tak lagi mampu memandangnya. Sungguh, ia benar-benar menorehkan luka yang teramat dalam bagiku.
***
Sepanjang jalan aku terus saja menangis. Bahkan aku tak mengatakan pada Evan dimana aku tinggal. Aku terlalu kalut, tak mampu berfikir sama sekali. Dan aku sama sekali tak tahu kemana Evan membawaku. Hingga kurasakan mobil yang kutumpangi berhenti bergerak. Aku menyapukan pandanganku, mencoba mengenali tempatku berada.
"Kita dimana?" tanyaku lirih.
"Rest area."
"Mau kemana?"
"Ga tau Pi. Aku ga tau harus bawa kamu kemana. Dari tadi kamu nangis."
Aku terdiam. Hanya isakan yang masih saja terus keluar tanpa bisa kukendalikan.
"Aku tunggu sampai kamu tenang ya? Orang rumah pasti kalut Pia lihat kamu kaya begini." ujar Evan lagi.
Aku mengangguk.
"Aku keluar sebentar, nyari minuman. Kamu kunci aja pintunya dari dalam. Ok?"
Aku mengangguk lagi.
Begitu Evan pergi meninggalkanku, aku mengeluarkan semua tangisku, menghabiskannya hingga bahkan bernafaspun rasanya begitu sulit. Aku harus mengusaikan ini. Selepas malam ini, aku tak boleh lagi menangisinya. Aku tak boleh lagi menyesali hubunganku dengan Uri yang usai dengan cara sekeji ini. Aku tak boleh lagi meratapi kandasnya persahabatanku dengan Cassia. Dan aku tak boleh bertanya apapun tentang keduanya, atau apapun yang menjadi penyebab permainan mereka di belakangku. Usai. Usai semua tanpa celah untuk kembali sedikitpun!
'tok-tok!'
Aku memalingkan wajahku yang sudah kusapu dengan tissue basah tadi, menatap pria di balik kaca jendela di sampingku yang tersenyum seraya memamerkan segelas minuman hangat.
"Mau?" ujarnya tanpa suara.
Aku mengangguk. Menerbitkan senyumku untuknya lalu menekan tombol yang menurunkan kaca penghalang kami. Setelah cup hangat itu pindah ke gengamanku, Evan beranjak, melangkah masuk ke balik kemudi.
"Makasih, Van."
Evan mengangguk.
Ia tak menggangguku menyesap coklat hangat manis ini hingga tandas. Tak sekalipun menginterupsi. Hanya bersenandung mengikuti irama lagu yang tersiar dari radio di dalam mobil ini.
"Evan..."
"Ya?"
"Makasih ya..." ujarku tulus.
Evan tersenyum. Lalu tangan kirinya terulur, mengusap lembut puncak kepalaku.
"Jangan sedih lagi ya?"
Aku terkekeh. Setetes air mata masih berkhianat, tetap turun walaupun sekeras apapun aku mencegahnya.
"Telpon Evan kalau mau cerita. Oke?"
Aku menggeleng.
"Kenapa? Karena Uri?"
"Karena Pia ga punya nomor Evan. Dan iya, karena Uri juga."
Evan mengambil ponsel di genggamanku, memintaku membuka kuncinya. Aku menurut begitu saja. Begitu ponselku terbuka, Evan memasukkan nomornya ke dalam sana, menyimpannya lalu menekan tombol panggil agar ia pun menyimpan nomorku.
"Masalah pertama selesai!" ujarnya lembut.
"Masalah kedua, tanpa Pia pun, Uri ga akan pernah suka sama Evan. Evan pernah bilang kan? Kami ga akur."
"Evan..."
"Kami saudara tiri." lirihnya lagi.
Aku terkesiap. Bingung bagaimana harus menanggapinya. Pantas saja tak ada kemiripan sama sekali di wajah mereka.
"Iya. Itu alasan kenapa kami ga ada mirip-miripnya." ucap Evan lagi, seolah membaca pikiranku.
"Evan..."
"Let's make friend, Pia... Do you mind?" tanya lagi. Lembut.
Aku menatap kedua netranya lekat. Tatapan lembutnya membuat hatiku menghangat.
"Oke."
Evan tersenyum. Kedua netranya kini menyipit laksana bulan sabit terlentang. Bahkan matanya pun tersenyum kala bibir penuhnya tersenyum.
"Makasih, Pia."
"Untuk apa?"
"Untuk percaya Evan."
Aku terdiam. Apapun maksud perkataannya, aku tau ada rasa getir di sana.
"Walaupun karena terpaksa. Makasih udah mau berkendara bareng Evan. Memilih Evan daripada Uri."
"Evan..."
"Makasih Pia... Makasih..." tuturnya lagi dengan kedua netra yang tergenang.
Aku memang belum tahu apapun tentangnya, tetapi detik ini ada satu bahasa kalbuku yang mengatakan bahwa aku tak akan salah mendekatkan diriku padanya, sekalipun kedekatan ini terjadi karena keterpaksaan semata.
------------------
Ryan
3 Februari 2022