ALENA
Baru seminggu yang lalu, aku akhirnya menolak pinangan implisit seorang pria yang kuanggap sahabat baikku sejak di bangku SMA. Aku tahu dia mendekatiku, dalam arti mendekatiku dengan tujuan untuk meminangku kelak, dan saat itu aku tak menolaknya sama sekali. Hingga suatu hari dia mengatakan padaku jika Ibunya begitu senang mendengar kami 'berteman dekat'. Dia juga berkali-kali menceritakan impiannya. Juga mengungkapkan jika begitu ingin berumah tangga. Aku sangat tau, semua ucapannya tertuju padaku.
Apakah keputusanku salah? Entahlah, sejak aku mengatakan padanya aku tak memiliki perasaan khusus padanya, dia tak lagi menghubungiku. Mungkin ia memberi jeda, menunggu apakah aku akan mengubah keputusanku.
Apa aku menyukainya? Jujur, aku tidak tahu. Aku hanya merasa tak menyukai caranya menarik hatiku. Aku tahu dia sudah mapan di usia kami yang bahkan baru menginjak 24 tahun. Sebagai lulusan Universitas Teknik terbaik di negeri ini, tak sulit untuknya mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar. Well, jika gajinya saat first graduate saja mencapai sepuluh juta per bulan, apalagi setelah tiga tahun kemudian, kurasa gaji di atas nominal itu adalah nilai yang cukup besar. Dia juga orang yang mengenal Tuhan. Mungkin belum mencapai tipe yang mengikuti kajian kemana-mana, tetapi selama bersahabat dengannya, belum pernah kulihat ia lalai dengan ibadah lima waktunya. Wajahnya juga cukup tampan. Dan sikapnya dewasa, ramah, juga membuat orang-orang di sekitarnya senang bersamanya.
Lantas apa yang tidak aku sukai?
Sejak awal, dia memang jujur ingin mendekatiku. Aku tak mempermasalahkan itu. Tetapi begitu pendekatan kami berjalan, entah kenapa ia selalu saja menceritakan sosok perempuan-perempuan yang pernah mengisi hatinya.
Tentang si Mawar yang ternyata satu kampus denganku, yang menurutnya adalah perempuan tercantik yang pernah ia kenal, sekaligus perempuan yang paling tak menghargainya. Katanya, seperti apapun ia berusaha mendekati si Mawar, pada akhirnya ia hanya akan merasa diremehkan.
Lalu, tentang si Melati, seorang teman kantor kawan baiknya. Si Melati tidak secantik Mawar, tetapi sikapnya lebih lembut dibandingkan Mawar. Sayangnya, si Melati belum ingin menikah karena ingin mengejar karir terlebih dahulu.
Lalu si Anggrek, temannya satu kampus, mojang Bandung nan geulis. Entah sudah berapa lama ia melakukan pendekatan dengan perempuan itu. Hasilnya? Ia berhenti dari upayanya karena merasa ego mereka sejajar, dan sebagai laki-laki ia merasa tak sanggup jika harus beristerikan perempuan dengan karakter seperti Anggrek.
Lalu, ada lagi beberapa perempuan lainnya yang akhirnya membuatnya urung mendekati mereka lebih jauh.
Tahu apa yang kurasakan ketika dia menceritakan kisahnya dengan semua perempuan itu padaku?
'b******n! Lo masih ga bisa move on dari mereka tapi lo deketin gue? Emang ga punya cara lain untuk dekatin gue selain ngebahas cewe-cewe yang gagal lo ikat itu? Mentang-mentang gue sahabat lo, lo ngerasa bebas aja nyeritain cinta masa lalu lo?'
Dan setiap kali ia memulainya lagi, gelarnya selalu terpatri di benakku.
'b******n!'
'b******n!'
'b******n!'
Ah, sudahlah! Aku tidak akan mengubah keputusanku. Biarlah jika pada akhirnya persahabatanku dengannya pun akan hancur. Toh itu memang konsekuensi yang harus kutanggung.
Suara pemberitahuan yang menginformasikan halte pemberhentian selanjutnya menyadarkan aku dari lamunan. Aku berjalan mendekati pintu keluar bus Trans Jakarta, bersiap turun di halte Setiabudi. Sore ini, aku memiliki janji, memenuhi permohonan kencan buta yang diatur oleh salah seorang teman kuliahku.
Aku terus melangkah menuju salah satu bioskop yang menjadi andalan para pekerja di sekitar wilayah perkantoran ini. Begitu memasuki lobby bioskop, kedua netraku langsung bersirobok dengan netra seorang pria. Pria itu mengenakan kemeja kotak-kotak body fit dengan mens wool vest sebagai outer-nya. Ia mendekatiku, berusaha terlihat ramah walaupun baru senyum simpul yang terbit di wajah tampannya.
"Hai." sapanya lembut.
Aku memilih diam.
"Alena bukan?" tanyanya.
"Iya." jawabku singkat.
Ia mengulurkan tangannya, aku menyambutnya. Canggung.
"Lyon." ucapnya memperkenalkan diri. Ia lalu melepaskan genggamannya.
"Nunggu lama?" tanyaku.
"Oh ngga kok. Mau pesan tiket sekarang?"
"Iya boleh."
Kami berjalan ke penjualan tiket, mengantri bersama seraya mengobrol ringan seputar pekerjaan atau tanya jawab asal muasal dan pendidikan kami. Ya, hanya seputar hal-hal standar yang biasa menjadi bahan pembahasan saat berkenalan dengan orang baru. Setelah kami berhadapan langsung dengan kasir di bagian penjualan tiket itu, aku baru memperhatikan film-film yang akan tayang malam itu. Karena tak ada film yang menarik perhatianku, aku pasrah saja saat akhirnya Lyon memilih film horor barat yang akan tayang sekitar setengah jam ke depan.
Aku menyapu pandanganku ke seluruh sisi bioskop. Ini kali pertamaku menjejakkan kaki di sini. Kantor pusat tempatku berkarir selama delapan belas bulan terakhir berada di kawasan Kuningan Barat, tetapi berhubung rumahku di Bekasi, otomatis begitu jam kerja berakhir aku akan langsung bergerak pulang.
"Alena..."
"Ya?"
"Melamun?"
"Oh ngga. Aku baru aja ke sini."
"Masa?"
Lyon menyodorkan iced mochaccino padaku.
"Makasih. Iya, baru ini aku ke sini."
"Pulang kerja langsung pulang terus ya?"
Aku mengangguk.
"Rumahku di Bekasi. Langsung pulang aja sampai rumah bisa jam sembilan malam."
Lyon mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Yuk Alena..." ajaknya agar kami melangkah menuju theater tempat film pilihan kami akan diputar.
"Kamu ga takut film horor kan?" tanya Lyon.
"Kok baru nanya sekarang sih?"
"Yah, takut ya?" tanyanya khawatir.
Aku tertawa.
"Abis tadi kamu ditanya mau nonton apa malah bilang terserah." ucapnya lagi.
"Kalau takut nanti aku merem aja."
"Serius Alena..."
"Iya, ga apa-apa Lyon. Kalau ngeri banget ya nanti aku minta keluar."
"Oke. Bilang ya kalau takut banget."
"Iya. Selama bukan horor Jepang so far aku belum pernah ketakutan."
Kini Lyon yang tertawa.
"Aku juga ga berani kalau horor Jepang, Alena."
'Lucu banget sih manggil nama gue lengkap gitu.'
Sepanjang film diputar kami hanya fokus ke layar di hadapan kami, sepertinya sih begitu karena setiap kali aku memalingkan wajah mengeceknya, Lyon terlihat terpaku memandang lurus ke depan. Setelah dua jam berlalu, kami pun mengikuti penonton lainnya, beranjak meninggalkan theater.
"Alena mau langsung pulang?"
"Iya."
"Naik apa?"
"Taksi." ucapku pelan. Sebenarnya aku takut naik taksi sendirian semalam ini.
"Aku bawa motor. Ada helm dan jaket lebih. Aku antar ya?"
"Rumahku jauh banget dari sini, Lyon."
"Justru itu. Aku antar ya? Atau naik taksi aja sama-sama yuk."
"Eh ga usah. Lagian motor kamu masa ditinggal."
"Aku naruh motor di kantor dulu. Baru kita naik taksi."
"Ga usah, Lyon."
"Kalau gitu aku antar naik motor ya?"
Aku menatap kedua netranya, aku tau pria di hadapanku ini bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Aku mengangguk, mengiyakan permintaannya.
Selama di perjalanan Lyon diam saja. Ya apa juga yang mau dibicarakan dalam posisi seperti ini? Sekitar setengah perjalan ke rumahku, tiba-tiba saja Lyon meminggirkan motornya, tepat di samping tenda bertuliskan Pecal Lele dan Soto Lamongan.
"Alena..."
"Ya?"
"Kita makan dulu ya?"
"Oh iya."
Aku turun dari motornya, melepaskan helm dengan ditatap lekat olehnya.
"Ga apa-apa kan makan di sini?" tanya Lyon lagi.
Aku mengangguk seraya tersenyum.
"Maaf ya Lyon... Aku ga mikirin kalau kamu belum makan malam." ujarku tulus saat menunggu pesanan kami dibuatkan.
Lyon terkekeh.
"Iya sih, aku lapar. Tapi kamu kan juga belum makan Alena. Rumah kamu juga sejauh ini, sampai rumah pasti kamu kepingin langsung istirahat kan?"
Aku mengangguk.
"Jauh banget kan. Makanya tadi kan kubilang aku naik taksi aja." balasku.
"Syukur alhamdulillah aku bersikeras ngantar kamu. Gila aja cewe naik taksi sendirian segini jauhnya. Udah malam pula."
"Makasih ya Lyon."
Lyon menyodorkan ponselnya padaku seraya tersenyum.
"Minta nomor kamu, Alena."
Tidak mungkin kan aku menolak memberikannya? Apalagi dia sudah sebaik ini. Atau aku yang tertarik padanya sampai tak berani menolak permintaannya?
Aku memasukkan nomor ponselku di sana, lalu mengembalikan benda itu pada Lyon. Begitu Lyon menerimanya, ia langsung men-dial nomorku.
"Itu nomor aku, Alena."
Hingga kami mengusaikan makan malam bersama kami, lalu kembali melaju memecah malam hingga ke kediamanku, tak banyak yang kami bicarakan. Berhubung Ayahku saat itu sedang dinas ke luar kota, Lyon langsung pamit pulang begitu aku turun dari motornya.
Esok paginya, seperti biasa aku harus bergegas menyiapkan diri untuk bekerja sedari sebelum subuh menyapa. Karena jarak tempuh yang cukup jauh ditambah banyaknya titik kemacetan yang harus kulewati, aku selalu berangkat kerja selepas menunaikan ibadah subuhku.
Setelah duduk nyaman di salah satu kursi penumpang di dalam bis yang kutumpangi, aku mengeluarkan ponselku. Pandanganku terpaku pada pesan dari satu nomor baru yang baru saja kusimpan semalam.
[Lyon]: Hai Alena. Cuma mau kasih tau, aku baru sampai rumah.
Aku tersenyum. Jariku menekan foto profilnya, menatap foto seorang pria yang terlihat sedang menikmati menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Aku menutup foto itu, kembali ke kolom pesan.
[Alena]: Hai Lyon. Maaf, semalam aku sudah tidur.
Tak lama balasan pun masuk ke ponselku.
[Lyon]: Pagi Alena.
[Alena]: Hai. Pagi juga.
[Lyon]: Lagi siap-siap?
[Alena]: Sudah di bis.
[Lyon]: What?
[Lyon]: Ini baru jam 5 lewat Alena.
[Alena]: Setiap hari aku berangkat habis shalat subuh. Telat sedikit bisa kejebak macet dan telat sampai kantor.
[Lyon]: Kenapa ga kost saja?
[Alena]: Ga apa-apa. Lebih nyaman di rumah sendiri.
[Alena]: Lyon, aku masih ngantuk. Aku tidur dulu ya.
[Lyon]: Oke Alena. Hati-hati ya.
[Alena]: Oke.
Bukannya memanfaatkan waktu tempuh untuk memenuhi jam tidurku, aku justru penasaran mengecek sesuatu. Aku membuka akun salah satu media sosialku, mengetik nama teman kuliahku yang mengenalkan aku pada Lyon. Di beberapa fotonya aku mencari jejak Lyon, dan ketemu. Aku menekan foto profilnya, meluncur ke halaman pribadinya.
Kedua sudut bibirku terangkat naik kala menatap foto terbaru yang diunggahnya ke halaman media sosial itu. Foto tiket menonton kami berdua semalam dengan caption yang hanya satu kata yaitu 'n o n t o n'. Entah mengapa begitu gegabahnya jempolku ini, refleks aku menekan lambang hati yang berada di bawah foto itu. Setelahnya aku membuka kolom komentar, membaca beberapa kalimat yang disematkan teman-temannya.
[Beni]: ngapa kagak bilang lo nonton?
[Adnan]: sejak kapan lo nonton horor?
[Echi]: like this.
[Adnan]: Hai @Echi.
[Echi]: APA LO @Adnan?
[Adnan]: Buset! Galak bener! CAPSLOCK-nya matiin dulu neng @Echi.
[Beni]: wkwkwkwkwk. Mampus lo @Adnan!
[Lyon]: Bubar lo pada! Berisik!
[Nuri]: Kamu nonton sama siapa? Have fun sayang.
Aku terdiam. Kedua netraku terpaku pada komentar yang dituliskan seorang perempuan bernama Nuri.
'Lyon udah punya pacar?'
Ingin rasanya kubuka halaman profil pemilik nama itu. Tetapi di satu sisi, suara logikaku mengatakan tak perlu mencari tahu lebih lanjut.
'Mungkin dia cuma ga enak aja sama Sammy, makanya dia iyain ketemuan sama lo Alena.'
'Ya kalau dia udah punya cewe kan tinggal cuek aja. Ga usah baper sih Alena.'
'Bisa aja dia kenalan sama lo cuma pengen temenan aja kan? Ga apa-apa kan? Ga selamanya dicomblangin itu berhasil. Lagian emang apa yang lo harapin Alena? Belum juga dua puluh empat jam lo kenal dia masa udah jealous?'
Berbagai kalimat penguat bergantian berkelebat di pikiranku, mencegahku bermain hati. Ya, bukankah baru seminggu yang lalu aku memutuskan untuk menolak Vino sahabatku? Tiga bulan sebelumnya bahkan aku baru saja putus dengan anak kuliahan yang sudah menjadi kekasihku selama dua tahun terakhir. So, memang seharusnya aku tarik nafas dulu kan? Memberi jeda pada hatiku agar beristirahat dari emosi cinta untuk beberapa saat.
Aku keluar dari aplikasi media sosial itu, lalu mematikan layar ponselku, memilih memejamkan mata seraya mendengarkan playlist lagu favoritku.
***
LYON
Entah sudah berapa kali aku menatap layar ponselku. Pesanku pada Alena sejak tiga hari lalu tak kunjung dibalasnya. Aku ingin sekali menelponnya, tetapi urung kulakukan karena hati kecilku mengatakan ada yang tak beres.
Aku membuka lagi halaman media sosialku. Tiga hari lalu, Alena masih meninggalkan jejak di foto yang kuunggah di malam aku bertemu dengannya. Entah apa yang terjadi, setelahnya Alena tak kunjung meresponku. Aku sudah mengirimkan chat padanya, dia tak membalas. Halaman media sosialnya berstatus private, aku sudah menekan tombol follow, tetapi hingga kini permintaanku tak juga disetujuinya.
"Alena..." lirihku pelan.
Aku menatap jam di pojok kanan laptopku, waktu menunjukkan pukul 11:50 AM, sepuluh menit lagi sudah masuk waktu istirahat siang.
"Ben!" aku memanggil tetangga kubikelku.
"Apaan?"
"Gue cabut dulu ya. Kalau gue balik telat, lo kasih alesan apa kek ke Pak Bos."
"Mau kemana lo?"
"Ada urusan."
"Temen nonton?"
"Kok lo tau?"
"Kenapa?"
Aku mendengus.
"Dicuekin gue, udah tiga hari."
"Kok bisa?"
Aku menaik turunkan bahuku.
"Terakhir dia ngasih love di foto tiket."
Beni mengerutkan keningnya.
"Jealous kali."
"Jealous?"
Beni mengangguk.
"Lo ga baca komennya Nuri?"
Aku terdiam sesaat, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celanaku, mengecek kembali foto yang kuunggah malam itu. Setelah mengusir teman-temanku dari kolom komentar, aku tak lagi membuka media sosialku itu.
Aku menutup kedua netraku begitu menyadari kalimat yang dituliskan Nuri di bawah fotoku. Walaupun aku ragu Alena tak mau meresponku karena itu, tetapi aku benar-benar tak bisa memikirkan kemungkinan lain penyebabnya menjauh seperti ini.
"Ya udah, pokoknya lo bikin alesan apa kek ya kalau gue telat."
"Oke." jawab Beni singkat.
Dua puluh menit kemudian aku sudah sampai di parkiran gedung tempat kantor Alena berada. Aku berlari kecil menuju lobby, terdiam di depan lift gedung itu, lalu dengan menguatkan hati kutekan tombol telpon pada nama Alena di phone book ponselku.
'tuuut!'
'tuuut!'
'tuuut!'
Alena tak mengangkatnya.
'tuuut!'
'tuuut!'
'ting!'
Begitu pintu lift di hadapanku terbuka, seperti sihir, Alena berdiri di sana, melangkah dengan tetap menundukkan pandangannya yang terpaku pada layar ponsel yang sedang bergetar karena sedari tadi aku memanggilnya.
Aku mematikan panggilanku. Dan saat itu pula Alena mengangkat wajahnya, membuat kedua netra kami bersirobok.
"Lyon..." lirihnya.
"Hai Alena..." sapaku ramah. Aku berusaha menahan emosi yang begitu tak nyaman di dadaku.
"Hai..." balasnya seraya memaksakan senyumnya.
"Sudah makan siang?"
"Belum. Lyon?"
"Belum. Ke sini mau ngajak kamu makan siang bareng."
"Oh. Dimana?"
"Ga tau. Alena aja yang nentuin."
"Oh..."
"Alena?"
"Di cafe mau ga? Kalau di kantin ramai, takutnya Lyon ga nyaman."
"Iya."
Kami berjalan beriringan, masuk ke sebuah cafe yang berjarak beberapa meter dari gedung kantor Alena. Aku tak mau duduk di hadapan Alena, aku memilih duduk di sampingnya. Aku tau mungkin aku akan bertindak gila siang ini, tetapi tak dipedulikan olehnya seperti ini benar-benar merusak mood-ku.
"Alena..."
"Ya?"
"Kamu marah sama aku?"
Alena menatapku lekat, lalu menggeleng pelan.
"Kamu lagi punya masalah?"
Kali ini Alena diam saja.
"Apa aku bisa bantu?"
Ia menggeleng lagi.
"Alena..."
"Lyon maaf. Hatiku lagi kacau, aku takut memperparah keadaanku." ujarnya tiba-tiba.
"Maksud kamu?"
"Maaf karena Sammy iseng ngenalin kita dan aku mengiyakan."
"Hah?"
"Maaf kalau tanpa sengaja aku mengganggu hubungan kamu dengan pacar kamu."
Aku menutup kedua netraku, menarik nafas panjang, menahan udara di paru-paruku sesaat, baru kemudian menghembuskannya perlahan.
"Alena..."
"Makan dulu, Lyon. Sudah siang, nanti kamu terlambat kembali ke kantor."
"Alena, dengar! Aku yang minta Sammy ngenalin kita. Dan kamu ga mengganggu hubunganku dengan perempuan yang kamu duga pacarku."
Alena memalingkan wajahnya, enggan menatapku. Ia mulai menyuap pasta yang dipesannya, terlihat malas menanggapiku.
"Alena... Dia bukan pacarku."
Alena masih memilih sibuk dengan makanannya.
"Kami teman sekantor. Bisa dibilang satu geng. Aku lama sendiri Alena, dia pun begitu. Teman-temanku selalu menjodohkan kami, hingga di satu titik aku lelah berkelit dan diam saja. Sayangnya dia mengira aku jatuh hati pada dia. Bodohnya lagi aku ga kunjung tega mengatakan aku ga punya perasaan apapun pada dia."
"Kamu bisa bilang begitu karena dia jauh Lyon." lirih Alena.
"Ngga Alena. Aku dan teman-temanku termasuk dia masuk di perusahaan melalui Management Program. Setelah lulus, kami training di Yokohama selama enam bulan. Di sana, aku mencoba membuka hatiku, walaupun akhirnya gagal. Setelah training usai aku kembali ke kantor Jakarta, sementara dia tetap di sana karena langsung meng-handle proyek baru."
"Kamu ga perlu nyeritain itu sama aku, Lyon."
"Tapi kamu menjauhi aku, Alena."
"Lyon..."
"Aku tau ini terlalu cepat, tapi aku suka kamu Alena. Aku minta Sammy ngenalin kita karena aku suka kamu."
"Kamu bahkan baru sekali ketemu aku tapi udah bilang suka?" tanya Alena, aku bisa tau ia tak menyukai ide aku menyukainya dari tatapannya padaku.
Aku enggan berdebat. Aku meneguk habis es teh manis di hadapanku, lalu beranjak dari tempatku duduk, tak menyentuh makanan yang kupesan sama sekali.
"Nanti aku jemput." ujarku lembut seraya melangkah menuju kasir lalu meninggalkannya yang masih terdiam menatapku yang kian menjauh.
---
Sudah tiga bulan kami berteman. Lebih tepatnya, aku memaksakan diri terus mendekati Alena. Biarlah ia hanya menganggapku temannya, tak kunjung menanggapi pernyataanku di cafe kala itu. Ya, aku tak pernah lagi mengungkit perihat kalimat cintaku padanya, memilih mendekatinya perlahan.
Mengenai Nuri, aku sudah menyelesaikan masalahku dengannya. Akhirnya aku mengungkapkan segalanya agar tak ada lagi kesalahpahaman. Apakah berakhir begitu saja? Tentu saja tidak! Nuri bahkan sampai berkali-kali menelpon ke rumahku, bicara pada Nenekku bahwa dia tak ingin berpisah denganku. Berpisah bagaimana sih? Jadian saja tak pernah! Aku memang tinggal dengan Nenekku di kota ini, dan semua teman dekatku mengenal beliau, termasuk Nuri. Setelah berkali-kali menjelaskan pada Nenek, akhirnya Nenek mengerti dan turut membantuku menjelaskan duduk perkara perasaanku pada Nuri. Dan kini, hubunganku dengan Nuri merenggang. Nuri bahkan mem-block-ku dari semua akun media sosial miliknya. Kekanakan sekali bukan? Ya sudahlah, aku juga tak perduli.
"Alena..." sapaku riang. Aku menelponnya, hendak mengajaknya kencan hari ini. Walaupun aku tau dia mungkin tak menganggapnya kencan.
'uhuk-uhuk!'
"Alena?"
"Lyon..." lirihnya, lalu batuk kembali.
"Kamu sakit?"
"Lyon, anterin Alena ke dokter bisa?"
"Oke. Aku berangkat sekarang!"
Dua jam kemudian aku baru sampai di rumahnya. Selain karena aku memilih membawa mobil, kemacetan di hari Sabtu juga membuang waktuku di jalan lebih banyak.
"Maaf lama ya nunggu? Aku bawa mobil, Alena."
"Ga apa-apa. Lyon mau minum apa?"
"Ga usah, ayo ke Rumah Sakit sekarang."
Alena mengangguk. Aku membantunya mengenakan sweater, lalu merangkulnya lembut seraya berjalan bersamanya menuju mobil yang kuparkir tepat di depan rumahnya. Hari itu, Ayahnya masih di luar kota, hanya kedua adiknya yang berada di rumah, sementara Ibu Alena sudah wafat sejak lima tahun lalu.
"Lyon..."
"Ya?"
"Lyon ga tanya aku sakit apa?"
Aku terkekeh.
"Aku panik, Alena. Pikirku yang penting aku datang dulu. Lagipula kan kita belum ketemu Dokter, jadi memang kita belum tau kan kamu sakit apa?"
"Iya."
"Apa yang sakit Alena?"
"Agak sesak aja."
"Kamu punya asma?"
"Bukan. Bronchitis, kalau flu suka begini."
"Oh. Kecapean pasti. Jarak kamu ke kantor jauh banget, Alena. Bayangin aja kamu berangkat dari rumah subuh - jam lima kurang, sampai rumah lagi malam - jam sembilan lewat."
"Mungkin."
"Kost aja ya? Aku bantu cari kost cewe yang nyaman."
"Ga bisa, Lyon."
"Kenapa?"
"Aku ga bisa ninggalin adik-adikku. Mereka masih sekolah. Lyon lihat sendiri, masih terlalu kecil untuk kutinggal."
Aku mendengus. Ya, aku tau itu benar. Sebagai anak perempuan pertama, Alena harus menggantikan peran Ibunya yang sudah wafat. Belakangan aku tahu, bahkan Alena selalu bangun dini hari untuk menyiapkan bekal bagi adik-adiknya sebelum bersiap diri untuk bekerja.
Hari itu aku lalui untuk merawatnya. Begitu selesai menyuapinya makan malam dan memastikan Alena meminum obatnya, aku hendak pamit pulang - tak enak jika tetangga berujar yang tidak-tidak karena aku yang masih bertamu di malam hari seperti ini.
"Istirahat ya..."
"Iya, makasih ya Lyon." lirihnya pelan.
Aku mengusap puncak kepalanya, menyingkirkan rambut-rambut yang menutupi wajah cantiknya.
"Alena..."
"Hmm..."
"Begitu kamu sembuh, ikut aku ketemu Nenek ya?"
Alena terdiam. Lekat menatapku.
"Habis ketemu Nenek, kita atur waktu ke rumah Ibu Bapak."
Alena masih diam.
"Setelahnya, kita atur waktu lagi untuk aku menemui Ayah kamu."
"Lyon..."
"Aku ingin menikahimu Alena."
"Kamu kasian sama aku?"
"Aku mencintaimu Alena."
"Tapi..."
"Kamu ga cinta aku?"
"Bukan itu Lyon..."
"Kamu cinta aku?"
Alena mengangguk pelan.
Aku mengikis jarakku dengannya, melabuhkan kecupan hangat di keningnya, lalu berlabuh sesaat di bibirnya.
"Ayo kita menikah, Alena."
"Lyon..."
"Apa?"
"Aku belum bisa meninggalkan adik-adikku."
"Mereka juga adik-adikku. Kita bisa tinggal dekat-dekat sini. Kalau kamu masih mau ngantor, kita bisa berangkat dan pulang sama-sama setiap hari. Tapi kalau kamu cape, kita bisa buka usaha supaya kamu tetap produktif walaupun di rumah."
Alena tersenyum.
"Kamu udah mikirin ini matang-matang ya?"
Aku mengangguk.
"Jadi? Mau kan menikah denganku, Alena?"
"Kalau aku ga mau gimana?"
"Aku ulangi lagi besok. Setiap hari. Sampai kamu bilang iya."
Alena tertawa, lalu terbatuk.
"Alena..."
"Iya, Lyon... Ayo... Kita menikah."
--------------------------
Ryan, 28 Desember 2021