Kiano masih terdiam di samping pusara dengan tanah yang masih basah. Pusara milik seorang perempuan yang berbagi kasih dengannya selama lima tahun terakhir. Kia tahu jika hari penuh duka ini akan datang padanya. Bahkan pria itu tahu sejak hari dimana ia menyatakan cintanya pada Anya.
"Aku sakit, Kia... Aku bisa kapan aja mati." ucap Anya saat itu.
"Sakit?"
Anya mengangguk.
"Sakit apa?" tanya Kia, parau.
"Aku ada jantung bawaan. Kelainan dari lahir. Emangnya kamu ga aneh dengan wajah aku yang pucat ini?"
Kiano hanya diam.
"Dua puluh dua tahun itu umur yang panjang banget buat aku Kia... Bahkan kata Mama dan Papa, Dokter dulu bilang kalau aku mungkin ga bisa melewati lima tahun pertamaku."
Kiano membeku, kemampuan bicaranya hilang seketika.
"Jadi, aku ga bisa nerima cinta kamu. Kamu ga punya cita-cita ditinggal mati pacar sendiri kan?" ucap Anya seraya terkekeh pelan.
"Anya..."
"Pikirin lagi ya Kia... Kita temenan kaya gini aja, Anya udah bahagia banget. Makasih buat cintanya Kia ke Anya."
Kiano semakin terdiam, kedua netranya masih terpaku menatap wajah pucat di sampingnya. Sungguh, perempuan ini benar-benar membuatnya jatuh cinta.
"Ya sudah, Anya pulang dulu ya. Jangan lupa, besok kita kumpul bahas makalah untuk tugasnya Mr. Albert." ujar Anya seraya menyampirkan tas ke pundaknya, hendak beranjak pergi.
"Tunggu, Nya..."
"Ada apa lagi Kia?"
"Anya... Yang Anya bilang barusan, ga serta merta ngebuat aku hilang rasa sama Anya. In fact, I don't care. Maksud aku, I do care about your ilness, tapi itu ga membuat aku membatalkan niatku untuk meminta kamu menjadi kekasihku."
"Kia... Pacaran sama Anya cuma akan bikin Kia -"
"Bahagia!" potong Kiano cepat.
"Cuma akan bikin aku bahagia, Anya." ulang Kiano.
"Tapi Kia -"
"Kita pacaran ya? Anya juga suka kan sama aku?"
Anya tersenyum. Cantik sekali.
"Kia bisa janji sama Anya?"
"Janji apa?"
"Jika Anya pergi lebih dulu, Kia hanya boleh sedih tiga hari, setelahnya Kia harus berusaha lupain Anya dan berhenti nangisin Anya."
Kiano terdiam. Ia tahu itu adalah permintaan yang terlalu sulit untuk dilakukannya kelak. Jika memang terjadi.
"Anya ga bisa jadi pacar Kia kalau Kia ga mau janjiin itu sama Anya."
"Anya..."
"Ya udah ya, Anya pulang dulu."
"Oke. Oke, Anya. Oke, aku janji."
Anya terdiam, kedua netranya masih lekat menatap Kiano.
"Satu lagi Kia..."
"Apa?"
"Anya ga bisa menikah. Anya harus bilang ini sedari awal."
"Maksud kamu?"
"Anya ga bisa menikah karena Anya ga kepingin bikin seseorang yang Anya cintai jadi duda. Lagi pula Anya ga bisa hamil, jantung Anya terlalu lemah untuk menopang dua kehidupan."
Kiano memalingkan wajahnya, berusaha mati-matian agar tak meneteskan air matanya. Sungguh bukan seperti ini situasi yang ia bayangkan kala mengungkapkan rasa cintanya. Setelah bisa menguasai emosinya, Kiano kembali menatap Anya lekat.
"Iya, Anya..."
"Kita pacaran kan?" tanya Kiano lagi.
"Iya." lirih Anya.
Tepat lima tahun bersama, usai merayakan hari jadi mereka di kediaman Anya semalam, tadi pagi orang tua Anya mengabarinya, jika Anya wafat dalam tidurnya, tak lagi terbangun di pagi hari seperti hari-hari sebelumnya.
"Kamu udah ga sakit lagi sayang... Tenang dan bahagia di sana ya..." lirih Kiano parau.
***
Tiga tahun kemudian
"Lah, jadi?" tanya Andien - kakak Kiano - yang baru saja selesai mengganti gaun pengantinnya hari itu.
"Jadilah, Kak."
"Kenan ikut juga?"
"Ikut. Masih siap-siap tuh." jawab Kia seraya tetap fokus menata gaiter, trekking pole, dan survival kit ke dalam carrier-nya.
"Gaiter gue, Ki?" tanya Kenan - kembaran Kiano - yang baru saja keluar dari ruang ganti keluarga mempelai. Kiano melemparkan benda - yang berfungsi untuk menghindari debu dan kerikil yang masuk ke sela-sela sepatu saat mendaki gunung - itu pada Kenan.
"Jadinya kemana? Tetap Rinjani?" tanya Andien lagi.
Keduanya mengangguk bersamaan.
"Balik kapan?"
"Sabtu udah di sini. Lo baru balik Minggu kan Kak?" tanya Kia.
Andien mengangguk.
"Ya udah, hati-hati lo berdua."
"Enjoy your honeymoon, Kak." ucap Kenan tulus.
"Hmm... Lo berdua pulang bawa calonlah." ujar Andien.
"Buru-buru amat! Mau ngapain emangnya nyuruh kita buru-buru bawa calon?" ketus Kiano.
"Umur lo berdua udah tiga puluh tahun. Apanya yang buru-buru?"
"Pake diingetin lagi!" gumam Kenan. Andien malah terkekeh.
"Udah ah. Kalau udah beres, jangan lupa pamit dulu sebelum berangkat, Ki, Ken."
"Oke." ujar Kenan.
"Iya, Kak." jawab Kiano.
---
Kiano dan Kenan tiba di Lombok International Airport sekitar pukul 20:00 WITA. Di bandara tersebut mereka akhirnya bertemu dengan kelima orang lainnya yang berada dalam group pendakian yang sama. Setelah menunggu sekitar lima belas menit - guna menyelesaikan ritual ke kamar mandi dan yang lainnya - Kiano, Kenan dan kelima orang lainnya naik ke dalam mobil yang sudah mereka charter, menuju sebuah hotel di kaki gunung Rinjani sebelum meneruskan perjalanan mereka esok hari. Baru saja mobil yang mereka tumpangi melaju, Kiano memalingkan wajahnya menembus kaca di sampingnya. Kedua netranya membola kala mendapatkan sosok seorang gadis yang sangat ia kenal, sangat ia rindukan.
"Anya..." lirih Kiano.
"Ki? Kenapa lo?" tanya Kenan, heran dengan lirihan Kiano yang tiba-tiba menyapa pendengarannya.
"Pak, berhenti sebentar Pak! Tolong berhenti sebentar, Pak!" pekik Kiano, keenam orang lainnya di dalam mobil itu sontak terheran-heran.
Begitu sang supir memberhentikan mobilnya, Kiano keluar begitu saja, berlari ke tempat dimana ia menangkap sosok Anya tadi.
Nihil. Anya tak lagi berdiri di sana.
'Ya Allah, yang aku lihat tadi siapa?'
Kiano berlari lagi di sekitar tempat itu, menyisir semua sudut yang ia temui, dan memang sosok Anya tak nampak kembali.
Kiano berjalan lesu ke kendaraan mereka kembali, disambut tatapan penuh tanda tanya dari ketujuh orang di dalam mobil itu begitu ia hendak masuk ke dalamnya.
"Sorry... Maaf semuanya. Gue kayanya salah lihat." ujar Kiano sendu.
Kenan yang duduk di sampingnya menepuk-nepuk lutut Kiano, memberikan dukungan atau apapun itu yang dibutuhkan saudara kembarnya yang tiba-tiba terlihat murung.
"Ada apa Ki?" tanya Kenan begitu mereka memasuki kamar hotel mereka.
"Ga apa-apa."
"Ki?"
Kiano mendengus.
"Kalaupun gue bilang, lo ga akan percaya Ken."
"Try me!"
"Gue lihat Anya..." lirih Kiano.
"Pardon?"
"Gue lihat Anya, Ken."
Kenan terdiam.
"Kan, lo ga percaya kan?" lirih Kia lagi.
"Doppelganger mungkin, Ki..."
"Mungkin."
"Terus?"
"Tadi pas gue samperin, dia udah ga di situ."
"Oh. Kalau jodoh pasti ketemu lagi. Udahlah, yuk istirahat, ngisi tenaga buat besok."
"Lo percaya sama gue?"
"Kalau itu Anya, gue ga percaya. Tapi kalau doppelganger, gue percaya. Atau kali aja Anya itu anak kembar yang diculik waktu baru lahir. Nah yang lo liat itu kembarannya."
"Ah ngaco lo!"
Kenan terkekeh.
"Udahlah. Meding lo sholat, kirim Al Fatihah buat Anya." tandas Kenan.
---
Sekitar pukul tujuh WITA Kia dan Ken sudah tiba di Desa Sembalun, titik awal pendakian. Sambil menunggu waktu pendakian pagi itu, keduanya memeriksa kembali carrier mereka, memastikan tak ada yang tertinggal. Saat sedang sibuk dengan bawaan mereka masing-masing, seorang perempuan duduk di depan mereka, menelisik panik isi carrier-nya, bahkan beberapa bawang bawaannya sampai ia keluarkan dan berserakan di depan Kiano dan Kenan.
Kiano dan Kenan mengangkat wajah mereka. Keduanya terbelalak menatap gadis panik di depan mereka.
"Duuuh, mana sih?" gumam gadis itu.
Kenan mencubit pipinya sendiri, memastikan ia tidak sedang bermimpi.
"Adaow!" lirih Kenan.
'Njir, kagak ngimpi gue!'
"Nyari apa?" tanya Kenan seraya mencubit lengan Kiano agar tak larut dalam keterkejutannya.
"Gaiter." lirih gadis itu.
"Lupa bawa gaiter?" tanya Kenan lagi.
Gadis itu menganggukkan kepalanya lesu.
"Nih..." ujar Kia seraya mengulurkan tangan yang menggenggam benda yang dimaksud gadis itu.
"Eh ga usah. Gue yang teledor, pasti ga kebawa dan baru sadar sekarang."
"Aku bawa dua pasang kok. Yang satu udah kupakai. Nih, pake aja." ujar Kiano lembut.
"Ga apa-apa?"
"Iya, ga apa-apa. Nih pakai, keburu jalan."
Gadis itu mengangguk. Kiano mendekatinya, membereskan beberapa barang gadis itu yang tercecer, meletakkannya di samping carriernya.
"Maaf. Jadi ikutan repot."
"It's ok."
Kenan yang memperhatikan keduanya memilih sedikit menjauh. Memberi ruang pribadi bagi Kiano.
"Kalian kembar ya?" tanya gadis itu seraya memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam carrier.
Kiano mengangguk.
"Gue Rena."
Kiano menatap gadis yang bernama Rena itu lekat, sungguh wajahnya teramat mirip dengan wajah Anya.
"Nama lo?"
"Aku Kiano. Panggil aja Kia."
"Lo dari mana?"
"Jakarta. Kamu?"
"Sama. Jakarta juga."
"Sendiri?" tanya Kia.
"Iya."
"Wah, salut."
"Abisnya penasaran banget naik gunung ini. Lo udah berapa kali ke sini?"
"Sama kok, baru ini."
"I see."
Rena tiba-tiba merasa begitu canggung, bagaimana tidak, ia berusaha mengakrabkan diri dengan menyapa menggunakan bahasa informal, tetapi justru Kia bersikap teramat lembut padanya.
'Kenapa pake aku kamu sih, berasa pacaran kan gue.'
Pendakian dimulai pukul delapan WITA, dimulai dengan menghabiskan jalur yang dikelilingi padang rumput yang kala itu menguning kecoklatan. Panas terik matahari saat itu tak mampu membuat Kiano memalingkan tatapannya dari memperhatikan setiap gerak-gerik Rena. Kiano tahu, gadis itu bukan kekasihnya - Anya, tetapi menatapnya membuat Kia bisa sedikit saja menebus kerinduannya.
"Ki..." tegur Kenan.
"Apaan?"
"Jangan sampe dia ga nyaman lo liatin terus begitu."
Kia hanya tersenyum menanggapi Kenan, yang di saat bersamaan Rena sedang berpaling menatapnya, ketika kedua pasang netra mereka bersirobok, Rena turut tersenyum padanya.
Setelah sekitar lima jam berjalan rombongan tiba di pos 3 pendakian. Kiano dan Kenan seperti biasa duduk berdampingan seraya menikmati makan siang yang sudah mereka siapkan sebelumnya.
"Kia... Ken..."
"Hey Ren..." balas Kia, sementara Kenan hanya menaik turunkan alisnya seraya tersenyum.
"Aku bawa rendang kering. Mau?" tanya Rena lembut.
"Boleh. Duduk sini Ren, bareng-bareng makannya." jawab Kiano.
Rena duduk di samping Kiano, lalu menyiapkan menu makan siang yang ia tempatkan di dalam lunch box stainles steel dengan list berwarna hijau.
"Kalian bawa lauk juga?" tanya Rena saat melihat lunch box kecil berisi potongan dendeng kering.
Kiano mengambil beberapa potong dendeng kering dan meletakkannya di lunch box Rena, membuat kedua sudut bibir Rena naik sempurna.
"Cobain Ren, bikinan Ummah. Enak."
Rena pun melakukan hal yang sama. Ia meletakkan sepotong rendang di atas nasi Kiano dan menyodorkan sisanya lebih dekat pada Kenan agar Kenan pun bisa ikut mencobanya.
Sejak makan siang itu, Kiano dan Kenan berjalan beriringan dengan Rena. Kiano yang berusaha mendekatkan diri dengan Rena, dan Kenan yang terlihat fokus menikmati keindahan alam sepanjang perjalanan mereka seraya bersenda gurau dengan beberapa pendaki lainnya.
Sekitar empat jam mendaki, akhirnya mereka tiba di Camp Area Plawangan Sembalun. Mereka tiba di titik itu tepat ketika matahari akan terbenam. Semburat jingga sudah hadir di atas langit Rinjani, menaungi Segara Anakan yang sudah mulai terlihat di pandangan mata. Semua pendaki mendirikan tendanya di sini, sebelum beranjak kembali menjelang dini hari nanti menuju puncak gunung Rinjani.
Usai beribadah dan menandaskan makan malam mereka, masing-masing pendaki mencari spot ternyamannya masing-masing. Menikmati hamparan gugusan ribuan bintang Bima Sakti di atas langit Rinjani. Kiano melangkah perlahan, mendekati Rena yang sedari tadi menatapnya seraya tersenyum.
"Sini, Kia..."
Kiano mendudukkan dirinya tepat di samping Rena, membalas senyum seraya menatap lekat kedua manik mata Rena.
"Kia kenapa ngeliat Rena kaya gitu?"
"Kaya apa?"
"Kaya apa ya... Mmm, beda aja."
Kiano terkekeh tetapi tak menjawab keingintahuan Rena.
"Kamu kenapa hiking sendiri?" tanya Kia.
"Jujur atau boong?"
Kia terkekeh kembali.
"Jujur dong, Ren..."
Rena terdiam sesaat, mendongakkan kepalanya menatap langit yang begitu cerah malam itu.
"Rena baru putus."
Kia memalingkan wajahnya, menatap sisi samping wajah Rena.
"Kamu ga apa-apa?"
Kini Rena yang terkekeh.
"Iya, ga apa-apa. Ga pentinglah disedihin. Masih bagus after tujuh tahun pacaran putus, coba kalau pas nikah cerai, makin kacau kan?"
"Time will heal, Ren..." lirih Kia.
"Yeah, I know."
Mereka terdiam kembali.
"Kalau Kia kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kayanya ada yang dipikirin. Duh, Rena kepo banget ya?"
Kiano justru tertawa renyah.
'Udah ga lo gue lagi. Syukur deh.'
"Kamu mirip sama seseorang yang pernah aku kenal baik." lirih Kia.
"Oh..."
Kia menatap Rena, tersenyum tulus.
"Mantan kamu?"
Kia mengangguk.
"Putus kenapa?"
"Udah ga ada di sini."
"I'm sorry Kia..." lirih Rena penuh penyesalan.
"It's ok. It's been three years."
"Aku ngingetin kamu ke dia ya?"
"Sejujurnya iya. Aku sempet shock waktu lihat kamu di airport. Tapi begitu kita ketemu lagi di Desa Sembalun, aku sadar kalian orang yang berbeda."
"Oh ya?"
Kia mengangguk.
"Satu, dia ga mungkin naik gunung. Jantungnya lemah, dia ga bisa terlalu letih. Kedua, dia ga suka daging sapi. Ketiga, you have dimples."
"Dia ga punya?"
"Ngga. Dia ga punya."
"Manisan senyum Rena dong." canda Rena, membuat Kiano tergelak seraya menganggukkan kepalanya.
---
Menjelang dini hari para pendaki yang ingin mengejar sunrise mulai beranjak meninggalkan camp area, termasuk Kiano, Kenan dan Rena. Jalur pendakian yang tersaji terus saja menanjak dengan kondisi jalan yang berkerikil. Tak ada sedikitpun jalur landai. Pandangan mata Kiano tak lepas dari memperhatikan Rena yang mulai kelelahan menghadapi kondisi trek, baru satu langkah mendaki, sudah merosot kembali beberapa langkah.
"Kia..." lirih Rena, manja.
Kiano terkekeh.
"Cape ya?"
Rena mengangguk lesu.
"Cape nahan badan. Jalannya licin. Siput aja maju tiga langkah mundur selangkah. Ini Rena malah kebalikannya."
Semua yang mendengar keluhan Rena terkekeh geli. Tak ada yang salah dari apa yang diucapkannya, tetapi mendengar nada manja di tengah kerasnya pendakian seperti tiba-tiba mendapatkan hiburan tak terduga.
"Ayo Ren, udah mau sampai tuh. Kapan lagi lihat sunrise di sini." ujar Kiano menyemangati.
Rena kembali melangkahkan kakinya, memaksa langkahnya agar tak kalah dengan kerikil-kerikil yang seperti sengaja menyulitkannya. Begitupun pendaki lainnya, satu per satu mereka saling menyemangati.
Mereka tiba tepat ketika semburat jingga kembali hadir di ufuk Timur. Sang surya sedang bersiap diri untuk menyapa setiap raga yang begitu letih mengejarnya. Tak ada satupun yang bersuara kala sang raja menaiki singgasananya di atas langit, memberi kehangatan pada semua insan yang terharu menatap keindahan fajar.
Kiano memalingkan wajahnya, menatap Rena yang tersenyum memandang keindahan alam dengan netra yang berkaca-kaca.
"Cantik..." lirih Kiano.
Rena memalingkan wajahnya, menatap lekat wajah Kia dengan cahaya mentari laksana latar di belakangnya.
"Kia..."
"Rena..."
"Hmm?"
"Kalau nanti kita ketemu lagi, apa bisa kita lebih saling mengenal?"
Rena tersenyum tulus, lalu mengangguk, mengiyakan permintaan Kiano.
***
Sembilan bulan kemudian.
"Pagi, Bos!" sapa Kiano hangat pada Borne.
"Bas bos bas bos aja lo!"
Kiano terkekeh geli.
"Biasa aja manggil gue. Kalau ada karyawan lain baru panggil Bos."
"Siap Bos!"
"Udah ngerti kan tugas lo?"
"Udah, Bang."
"Ya udah, sarapan dulu, Ki. Nanti kalau Rena datang, lo cek dulu draft yang dia kasih. Sekalian bilangin dia sebelum makan siang maket udah rapih di ruang meeting."
"Siapa Bang?"
"Rena. Drafter."
"Oh, iya Bang."
Kia terus saja terganggu dengan nama yang disebut Borne tadi. Membuyarkan konsentrasinya pagi itu.
Baru saja Kia meneguk kopi paginya seraya menatap dokumen kerjanya di layar pc, suara perempuan yang begitu dirindukannya menyapa hangat.
"Permisi Pak."
Kia memutar tubuhnya, menaikkan pandangannya, menatap lekat pemilik suara. Benar, gadis itu adalah Rena-nya yang begitu ingin ia temui lagi.
"Kia?"
"Rena!"
------------------------
Ryan, 3 Januari 2022