Win Win Solution

2113 Words
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk serakah yang tak mungkin bisa berpuas hati dengan apa yang telah mereka dapatkan. Mereka selalu menginginkan lagi dan lagi, rasa tamak itu sudah menjadi sifat dasar manusia. Pada akhirnya, semua orang saling memanfaatkan dan mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Semua orang di dunia ini sama egoisnya. Setelah menghabiskan makanan dan membiarkan Amanda meminum obatnya. Rai segera melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Hanya keheningan yang ada di antara mereka sepanjang perjalanan pulang. Amanda mulai terbiasa dengan Rai yang tak menyukai kebisingan ataupun pembicaraan santai. Sunyi seakan teman setia pria itu. Kini, Amanda mampu menemukan persamaan lain di antara mereka. Tak hanya hampa, namun berteman dengan sepi. Waktu berlalu, keduanya tiba di rumah Rai. Pria itu merangkul Amanda yang masih lemah untuk berjalan sendiri. Meski wanita itu menolak, namun Rai tetap memaksa. “Sudah kubilang kalau aku nggak mau terjadi hal buruk padamu di dalam pengawasanku, jadi jangan menolak lagi,” ucap pria itu seraya melingkarkan tangannya pada pinggang Amanda dan meletakkan tangan wanita itu pada pundaknya. Mereka berjalan pelan dengan beriringan. “Untuk malam ini, tidur saja di kamar tamu yang ada di lantai bawah. Pasti sulit untukmu naik ke lantai atas,” ucap Rai begitu mereka masuk ke dalam rumah. Pria itu segera menuntun Amanda untuk masuk ke dalam kamar yang dimaksudkan oleh pria itu, “Kamar ini baru dibersihkan seminggu lalu, jadi masih layak untuk ditempati. Kamu harus banyak istirahat kata dokter,” lanjut pria itu seraya membantu Amanda untuk berbaring di tempat tidur. Amanda mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kamar yang ditempatinya sekarang tak seperti kamar yang disiapkan pria itu untuknya. Di sana hanya ada tempat tidur dan lemari, tak ada perlatan ataupun meja rias di sana. Terlihat jelas jika kamar yang diberikan padanya, memang pernah ditempati seseorang atau memang sengaja pria itu siapkan untuk ditempati seseorang. Ingin rasanya Amanda mencari tahu banyak tentang pria itu, namun ia harus tahu benar akan posisinya yang tak memungkinkan semua rasa penasarannya terjawab. Walau ia ingin mencari tahu, tetapi dirinya tak memiliki keberanian. Apa yang ada di antara mereka hanyalah kebohongan semata, tak ada yang nyata dan tak perlu berusaha menjadi nyata. “Makasih banyak atas semuanya,” ucap Amanda lirih, sedang pria itu tak menunjukkan ekspresi apa pun pada Amanda, membuat Amanda tersenyum kikuk. Wanita itu sungguh tak mengerti bagaimana dirinya harus bersikap saat berada bersama dengan Rai yang kaku. “Besok aku akan mengambil cuti, kalau kamu sudah sembuh, kita akan berbelanja agar kamu nggak lagi kelaparan dan menyusahkanku,” kata-kata yang terdengar dari mulut pria itu tak pernah terdengar indah, selalu tak berperasaan dan membuat orang yang mendengarnya merasa sakit hati, namun Amanda harus membiasakan diri dengan cara pria itu berbicara. Apa yang ia harapkan dari seorang asing yang membutuhkan status dan juga tubuhnya. Tak perlu mengharapkan perasaan karena hal seperti itu tak ‘kan pernah ada di antara mereka. “Aku nggak akan lagi menyusahkanmu,” ucap Amanda sembari mengukit janji itu di hatinya sendiri. Ia tak ‘kan menjadi beban agar tak membuat orang lain jengah dan hendak menyingkirkannya. Selama ini, itulah yang Amanda lakukan. Berusaha menyenangkan ayah yang bengis dan juga ibu yang rela mengorbankannya hanya untuk menyenangkan hati Sang ayah. Perlahan, Amanda telah kehilangan semua hal yang ia butuhkan sebagai seorang anak. “Sebaiknya kamu benar-benar melakukan ucapanmu itu. Sekarang, beristirahatlah dan sampai ketemu besok,” tak ada senyum yang pria itu berikan untuk Amanda. Ia langsung pergi meninggalkan Amanda yang mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sepeninggalan Rai. Amanda mencoba memejamkan matanya, namun gagal. Sesungguhnya pilihan yang salah ini membuatnya tak nyaman. Hanya saja, ia tak mampu berbuat apa pun. Ia tak ada pilihan lain. Lebih baik seperti itu daripada melacurkan diri di luar sana, bukan? Mampukah dirinya menemukan kebahagiaan? Mimpi Amanda sangat sederhana, sebelum dirinya dipanggil yang kuasa, ia ingin merasakana kebahagiaan yang tak pernah ia dapatkan. Amanda berharap masih ada sedikit belas kasih untuk hidupnya yang malang. Mentari pagi menyambut seluruh penghuni bumi, memberikan sebuah harapan baru bagi setiap orang yang masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan Sang fajar. Sayangnya, hal seperti itu tak berlaku untuk Amanda. Pagi tak pernah memiliki makna apa pun bagi jiwanya yang rapuh. Tak ada semangat ataupun keinginan. Seperti pagi ini, dirinya hanya duduk termenung di tepi tempat tidur. Berpikir alasan Tuhan membiarkannya tetap hidup di bumi ini. Suara pintu yang diketuk membuyarkan lamunan Amanda. Wanita itu tak tahu harus bersikap seperti apa. Ia berdiri, lalu duduk, dan akhirnya memutuskan kembali duduk di tepi tempat tidur. Dirinya mempersilahkan Si pengetuk pintu untuk masuk ke dalam. “Sudah lebih enakan?” tanya pria itu seraya berjalan mendekat. Seperti biasa, pria itu tak menunjukkan emosi apa pun, membuat Amanda tak bisa menerka ketulusan dari pertanyaannya. Amanda tersenyum dan mengangguk pelan. “Sudah enakan. Terima kasih.” Pria itu duduk di samping Amanda, lalu mengulurkan dua buah kartu pada Amanda. “Ambillah ini. Ada dua kartu. Yang warna hitam bisa kamu pakai untuk segala keperluanmu dan rumah ini, sedangkan yang warna emas adalah kartu debit atas namaku. Setiap bulannya, aku akan mentransfer gajimu ke sana dan kamu bisa menghabiskannya sesukamu,” pria itu menjelaskan. Amanda mengamati kedua kartu yang kini sudah berpindah ke tangannya. Kata gaji yang pria itu ucapkan seakan menegaskan jika wanita itu hanya bekerja untuknya. “Ternyata, banyak hal yang memang harus kita bicarakan untuk memulai pernikahan bohongan ini. Maaf karena aku nggak sempat membicarakannya dan membiarkanmu kelaparan, hingga jatuh sakit,” pria itu melanjutkan perkataannya. Kata maaf yang ia ucapkan terasa tak tulus saat diucapkan dengan wajah datar khas pria itu, namun Amanda tak peduli selama dirinya bisa memanfaatkan dunia itu demi mendapatkan kebebasan yang diimpikannya. “Kamu nggak salah, Pak. Aku yang bersalah,” ucap Amanda lirih. Pria itu menggeleng-geleng. “Jangan panggil, Pak. Nggak ada seorang istri yang akan memanggil suaminya sendiri dengan sebutan ‘Pak’, bukan?” Amanda mengangguk, menyetujui perkataan pria itu barusan. “Maaf, kalau begitu, aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?” Pria itu mengendikkan kedua bahu. “Mas, mungkin? Aku dengar, semua orang memanggil suami mereka seperti itu. Ada yang memanggil Sayang dan sebagainya, namun Mas lebih baik untuk kita berdua,” ucap pria itu memberikan solusi. Amanda mengangguk menyetujui. Ya, kata ‘Sayang’ tak pantas ada di antara dua orang asing yang saling memanfaatkan seperti mereka. Hanya ada status di antara keduanya, tanpa perasaan. “Kamu memiliki surat-surat seperti KK atau KTP untuk mengurus pernikahan kita di catatan sipil?” lanjut pria itu sembari menatap Amanda dengan tatapan meneliti. Rai lupa, jika pernikahan bukanlah hal yang mudah dilakukan begitu saja, apalagi dengan seorang asing seperti Amanda yang tampak tak memiliki tujuan dan kehidupan. Rai yakin, wanita itu tak memiliki tempat pulang, apalagi surat-surat penting untuk urusan pernikahan bohongan mereka. Rai harus mencari seseorang untuk mengurus semuanya. Amanda mengangguk. “KTP ada di dompetku dan aku punya KK di tas ransel yang kubawa,” ucap Amanda sembari menatap Rai dengan takut-takut. Pria itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Apa yang ia pikir tak dimiliki oleh Amanda ternyata ada pada dirinya. Bukankah aneh, orang membawa ke sana-ke mari kartu keluarganya sendiri, seakan benar-benar tak memiliki rumah untuk menyimpan dokumen tersebut. Rai tak mampu memikirkan cara wanita itu menjalani hidup. Walau tinggal di kota yang sama, mereka menjalani hidup yang sangat berbeda. “Aku sengaja membawa kartu keluarga kemana-mana karena aku takut memerlukannya jika aku harus pergi dari rumah. Toh, orang tuaku nggak mementingkan hal seperti berkas kenegaraan seperti itu,” Amanda menjelaskan saat tak menerima respon apa pun dari Rai. Sejujurnya, Rai ingin bertanya banyak, namun ia tahu jika tak perlu ada hubungan seperti itu di antara mereka. Keduanya harus tetap menjaga batas yang tak boleh dilanggar agar bisa hidup berdampingan dengan damai. Biarlah keadaan tetap seperti sekarang. “Kalau begitu berikan padaku nanti. Untuk surat lainnya, aku akan meminta orangku yang mengaturnya,” Amanda mengangguk mendengarkan arahan dari pria itu, “Aku nggak memiliki siapapun selain nenek, jadi nggak mungkin ada resepsi selain pernikahan secara hukum di catatan sipil. Oh ya, lebih baik kamu melakukan KB juga. Aku nggak ingin ada anak di antar kita. Kebohongan di antara kita, nggak semestinya mengorbankan hati seorang anak.” Amanda kembali mengangguk. Tentu saja ia paham akan hal itu. Tak perlu mengorbankan hati seorang anak kecil yang tak berdosa untuk ikut menanggung kesalahan yang mereka lakukan. Lagipula, Amanda adalah barang, tak seharusnya menghasilkan sesuatu yang hanya akan menambah beban bagi hidup pria itu. Setelah semuanya berakhir, maka Amanda akan kembali ke kehidupannya sendiri dan anak bukanlah hal yang bisa dibawanya pergi. “Tentu saja aku mengerti. Aku akan melakukan semua yang kamu inginkan karena hanya kamu yang berhak atas tubuhku. Buatlah apa pun yang kamu inginkan pada tubuh yang telah kamu beli,” ucap Amanda seraya berdiri, “Aku mandi dulu dan akan kubuatkan sarapan,” lanjut Amanda seraya meninggalkan pria itu. Sesungguhnya, Amanda tak marah, tak juga merasa kecewa, dan ia tak merasakan apa pun. Hanya saja, dirinya tak tahu sampai kapan akan terjebak dalam kegilaan yang kini memerangkap. Semua hal tentang surat-surat dan juga anak membuatnya mulai gundah. “Nggak perlu masak untuk hari ini. Aku sudah pesan makanan tadi,” ucap pria itu menghentikan langkah Amanda yang hendak keluar dari kamar, Amanda membalikkan tubuh ke arah pria itu dan tersenyum sembari mengucapkan terima kasih. Beberapa menit kemudian Amanda sudah siap dan menuju meja makan di mana Rai menunggunya dengan beberapa Styrofoam yang Amanda yakini berisikan makanan. Pria itu tak mau bersusah payah mengarahkan pandangan ke arahnya meski mendengar langkah kakinya yang kian menjauh. Pria itu sibuk memainkan ponsel sembari menyantap makanan dari Styrofoam yang berada di hadapannya. Rasanya aneh harus duduk berdua setelah pembicaraan mereka tentang pernikahan dan anak yang dibicarakan dengan datar, seakan dua hal tersebut bukanlah hal penting yang harus dijaga maupun diagung-agungkan. “Makanlah buburmu. Aku membeli beberapa macam bubur dan kamu bisa menghabiskannya,” ujar pria itu tanpa melihat ke arah Amanda, “Apa kamu sudah kuat berjalan? Aku mau mengajakmu pergi ke pusat perbelanjaan. Kamu butuh ponsel. Kita juga butuh mengisi kulkas dan menjadikan rumah ini seperti fungsi sebenarnya.” Perkataan pria itu membuat Amanda sadar, jika selama ini rumah dua lantai yang pria itu tinggali telah kehilangan fungsinya. Mungkin, yang pria itu lakukan di sana hanyalah berganti pakaian dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Semuanya terlihat, tak ada kehidupan di sana. Semuanya tampak sekosong pandangan mata pria bermata coklat muda itu. “Aku udah enakkan, kita bisa pergi ke manapun yang kamu mau,” Amanda meraih Styrofoam yang tadi pria itu perintahkan untuk dimakan olehnya, “Terima kasih.” Setelah pembicaraan singkat itu, tak ada lagi percakapan yang keluar dari mulut keduanya. Keheningan menjebak keduanya. Tak ada rasa janggal dengan kesunyian yang menenggelamkan itu seakan hal itu adalah wajar untuk ada di antara keduanya. Setelah menghabiskan makanan, keduanya meninggalkan rumah dan menuju pusat perbelanjaan. Pria itu membelikan sebuah ponsel pintar untuk Amanda yang tentunya saja tak diberikan secara gratis karena pria itu bukanlah tipe yang suka membuang-buang uang begitu saja. Padahal, pria itu bukanlah seorang pria yang tak memiliki uang seperti dirinya, namun ia bukanlah suka menyia-nyiakan segala sesuatu yang dimilikinya. Ponsel yang dibelikan pria itu untuk Amanda adalah sebagai bayaran karena pria itu meminta Amanda untuk kembali melayaninya nanti malam. Pria itu tak lagi memikirkan perasaan ataupun kondisi tubuhnya, merasa tak perlu memanusiakan manusia seperti dirinya yang tak memiliki harga diri ataupun kehormatan yang harus dijaga. Pria itu tak lagi mau menyia-nyiakan uang tanpa bisa menggunakan barang yang ia sudah bayar. Tentu saja Amanda tak bisa menolak karena memang seperti itulah fungsi dirinya untuk pria itu. “Apa lagi yang ingin kamu beli untuk mengisi kulkas?” tanya pria itu begitu mereka berada di tempat daging. Amanda mengamati troli belanjaan mereka dan merasa tak aada satupun barang yang tertinggal. Beras dan berbagai bahan masakan sudah ada di sana. “Semuanya sudah ada dan aku rasa, nggak ada lagi yang harus kita beli.” Pria itu mengangguk, lalu mendorong troli mereka ke arah kasir dan membayar semua barang belanjaan mereka. Mungkin di mata orang awam, hubungan keduanya tampak normal dan mesra. Namun sayang, apa yang ada di antara mereka hanyalah sebuah hubungan yang saling menguntungkan tanpa perasaan yang terlibat di dalamnya. Sejujurnya, Amanda sendiri tak begitu percaya diri berdiri di sisi Rai seperti sekarang. Dari cara mereka berpakaian ataupun wajah menyedihkan Amanda, bisa membuat orang lain mampu mengenali perbedaan di antara keduanya. Ah … tak perlu memikirkan pemikiran orang lain karena yang terpenting adalah kebersamaan mereka saling menguntungkan untuk Amanda. Tampaknya, Amanda lah yang lebih banyak diuntungkan dengan keadaan di antara mereka. Tak hanya mendapatkan tempat tinggal, namun uang juga. Akan sangat serakah dan tak tahu diri Amanda bila mengharapkan hal lebih dari semua yang ada di antara mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD