Enam bulan tidak bisa melihat dunia luar, sudah membuat Sarka merasa sangat tersiksa. Dan sekarang ini, matanya sudah berfungsi dengan normal. Betapa bersyukurnya Sarka karena Tuhan masih memberikan kesempatan pada dirinya untuk menikmati alam ciptaan-Nya yang sungguh mempesona.
"Nah, sekarang kita sudah sampai di rumah," ujar Maria seraya tersenyum lebar menatap Sarka. "Gimana? Sarka seneng, kan?" tanyanya.
Sarka mengangguk antusias. Tidak ada yang berbeda dengan rumahnya seperti enam bulan yang lalu. Semuanya nyaris sama seperti terakhir kali Sarka melihatnya. Yang membedakannya sedikit adalah kini ada beberapa pot bunga yang berada di teras rumah. Selebihnya, sama saja seperti dulu.
"Sarka seneng Bu," ucap Sarka jujur. "Sarka seneng banget bisa kembali melihat."
"Ya udah, yuk sekarang masuk?"
Tanpa pikir panjang lagi, Sarka mengangguk mantap. Keduanya lantas melangkah ke rumah. Maria mengambil kunci rumah dari dalam tasnya, kemudian membuka pintu. Setelah bunyi klik terdengar dua kali, barulah Sarka mendorong pintu. Ibu dan anak itu pun akhirnya melangkah memasuki rumah.
"Sarka ke kamar dulu ya Bu?" ijin Sarka kepada ibunya, ditangannya terdapat tas berukuran cukup besar untuk menampung beberapa baju karena sudah seminggu ia berada di rumah sakit untuk menjalani operasi matanya.
Maria mengangguk, mengiyakan pertanyaan putra bungsunya. "Iya, masuk gih ke kamar. Mau ibu bantu bawa barang-barangnya?"
Menggeleng pelan, Sarka angkat bicara seraya memamerkan senyum tipis. "Nggak usah Bu, Sarka mampu kok."
"Ya udah, ibu juga mau pergi ke kamar dulu ya?"
"Iya Bu."
Begitu Maria membalikkan tubuhnya dan melangkah menjauh dari posisi Sarka berdiri, cowok itu pun lantas mulai berjalan menuju kamarnya. Ketika Sarka sudah sampai di dalam kamarnya yang ukurannya cukup luas, cowok itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sebelum akhirnya ia mendudukkan dirinya di kasur. Kamarnya tidak ada yang berubah, semuanya nampak sama. Sarka tersenyum kecil, itu artinya Maria mengingat pesannya agar tidak mengubah keadaan kamarnya.
Rasa lelah yang menggelayuti membuat Sarka lantas merebahkan tubuhnya di kasur. Kaki cowok itu masih menjuntai ke bawah. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamarnya. Seperkian detik berikutnya, Sarka mengingat kejadian kemarin di rumah sakit, beberapa saat setelah dirinya bisa melihat.
Sarka mendesah panjang. "Gue nggak mungkin salah lihat, semuanya jelas banget," gumamnya pelan. Bayangan tentang anak kecil perempuan dengan baju berdarah yang bercampur dengan tanah membuat pikiran Sarka semakin runyam.
Sarka memejamkan matanya, apalagi ketika anak kecil itu tiba-tiba saja terbang di atasnya, tersenyum lebar seraya mengeluarkan cekikikan yang membuat Sarka mati kutu di tempat. Sarka ingat betul, apalagi sewaktu bocah itu menyeringai, menampakkan giginya yang hitam, kedua bola matanya benar-benar seperti bisa ditembus. Dan warna kulitnya, Sarka ingat betul soal yang satu ini. Kulit bocah itu benar-benar tidak manusiawi, terlalu pucat menurut Sarka. Nyaris berwarna putih.
"Ibu salah, gue nggak mungkin berhalusinasi. Gue ingat betul, gue nggak bohong. Bocah itu ... " Sarka menggelengkan kepalanya pelan, memilih tidak meneruskan ucapannya.
Bukan itu saja, kemarin saat Sarka dan ibunya hendak makan di kantin rumah sakit. Sarka juga melihat sesuatu yang janggal dan menyeramkan. Dan Sarka tahu jika makhluk itu tak kasat mata. Bagaimana tidak, Sarka tidak mungkin tidak tahu tentang makhluk itu. Wajahnya gosong, benar-benar hitam seperti habis dibakar. Tubuhnya dibungkus oleh kain putih dan tubuhnya diikat, sosoknya menyerupai bantal guling. Itu pocong, jelas. Sarka baru pertama kali melihatnya, sebelumnya ia hanya mendengar sosok hantu satu ini dari cerita masyarakat, juga beberapa cerita di situs internet. Sarka tidak tahu bahwa melihatnya langsung, jauh-jauh lebih menyeramkan.
Sosok itu berdiri di dekat penjual makanan. Bulu kuduk Sarka bahkan langsung berdiri. Kantin rumah sakit memang dalam keadaan ramai. Tapi sepertinya, semua orang tidak sadar dengan kehadiran sosok tersebut. Sarka langsung ketakutan setengah mati ketika pocong berwajah gosong itu memutar tubuhnya, lantas menghadapkan tubuhnya ke arah Sarka. Wajahnya rata, tapi Sarka yakin jika makhluk satu ini sedang menatapnya. Sarka pura-pura tidak melihat, ia langsung mengalihkan pandangannya. Padahal saja, setetes peluh baru satu turun membasahi tengkuknya.
Dan setelah itu, Sarka meminta ibunya untuk kembali ke kamar inapnya, tidak jadi untuk makan di kantin rumah sakit. Perasaan takut benar-benar membuat nyali Sarka menciut.
"Gue nggak boleh inget-inget itu lagi! Gue harus bisa lupain, gue harus bisa." Sarka menarik napas dalam-dalam, lalu ia mengubah posisinya menjadi duduk lagi. Napasnya ia keluarkan lewat mulut.
Sarka mengedarkan pandangannya lagi menuju sekeliling kamarnya. Di sini aman, ia tidak melihat ada yang aneh. Menyadari itu Sarka tersenyum. Ia bisa tidur dengan tenang. Lantas, cowok itu memalingkan wajahnya ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Sarka, kamu ada di dalam, kan?" Suara ibunya dibalik pintu terdengar cukup keras. Disusul oleh ketukan pelan sehabis itu.
Sarka menganggukkan kepalanya, meskipun ibu tidak bisa melihatnya. "Iya Bu, Sarka di sini." Cowok itu lantas mulai berdiri dari duduknya, kemudian berjalan ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar.
Sekarang, ibu berdiri tepat dihadapan Sarka. Ibu tersenyum lebar, begitupun Sarka.
"Kenapa Bu? Ada yang perlu diomongin?" tanya Sarka, meminta jawaban kenapa ibunya memanggil dirinya. Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan. Sarka menatap Maria, menunggu wanita kuat yang telah melahirkan dirinya ke dunia itu mengucapkan sesuatu.
Maria menghela napas pendek, lalu mengangguk pelan. "Kamu kan tadi siang belum makan, yuk makan dulu. Pasti kamu lapar, kan?"
Sarka tidak langsung menjawab, tapi akhirnya ia mengangguk juga. Sarka menyengir kecil, menunjukkan deretan giginya yang tersusun rapi. "Lumayan sih Bu."
"Nah, kalau gitu ayo makan dulu."
Sarka langsung menyetujuinya. Ia dan ibu pergi ke dapur. Sarka duduk di salah satu kursi, sementara ibu duduk di hadapan Sarka.
"Ibu belum belanja, di kulkas cuma ada telur. Kamu kan suka tuh telur orak-arik pakai kecap. Ibu pikir nggak ada salahnya kalau kamu makan ini dulu."
"Nggak salah banget Bu, Sarka malah suka banget. Ini lauk kesukaan Sarka dari dulu." Sarka memamerkan senyuman lebarnya, membuat Maria lega sekaligus senang.
"Kalau gitu, makan gih buruan. Sebelum telurnya dingin, nggak enak nanti. Ibu temenin kamu makan di sini," ujar Maria lembut.
"Ibu nggak makan?"
"Ibu mah gampang, nanti aja. Yang penting perut kamu terisi dulu. Dihabisin ya, nanti kalau kurang ibu masakin lagi. Telur masih banyak tuh di kulkas."
"Ini aja udah cukup kok Bu." Sarka menjawab sopan, setelah itu ia mulai menyuapkan mulutnya dengan makanan masakan ibunya.
"Oh ya, ibu mau nanya sesuatu sama kamu."
"Apaan Bu?" tanya Sarka, penasaran. Sambil mengunyah, tatapan Sarka terpatri ke arah ibunya lagi. Menunggu ibu mengajukan pertanyaan.
Beberapa detik ibu masih saja membungkamkan mulutnya. Kening Sarka sudah terlipat, bingung. Kemudian, ibu menggeleng pelan, disusul oleh senyuman tipis yang menghiasi wajahnya.
"Nggak deh, nggak jadi."
"Padahal Sarka udah nungguin lo Bu," ujar Sarka kecewa.
"Bukan sesuatu yang penting, kamu habisin aja makanannya."
"Oh ya Bu, kalau gitu Sarka yang tanya boleh?"
"Sarka pengin tanya apa?"
Sarka tidak langsung menjawab, ia berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya bertanya ragu-ragu. "Kalau Sarka boleh tahu, siapa yang donorin mata buat Sarka?"
Maria menegang di tempat dengan napas yang tertahan ditenggorokan ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir putra bungsunya. Dan Maria, tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Terlalu sulit.