BREAKING NEWS!
Kabar terkini datang dari SMA Kencana, sekolah swasta paling favorit di Jakarta. Pagi tadi, sekitar pukul jam sepuluh, telah ditemukan mayat seorang siswi di gudang sekolah dengan tambang yang melilit lehernya. Diduga siswi tersebut melakukan nekat aksi gantung diri, yang sampai detik ini belum ditemukan alasannya. Belum ada motif yang bisa dijelaskan.
Pihak kepolisian langsung bertindak cepat dan menangani kasus tersebut. Dan menurut ahli dokter yang terjun langsung ke lapangan, siswi tersebut diperkirakan melakukan aksinya kemarin sore, kira-kira pukul empat Waktu Indonesia bagian Barat.
Kepala Sekolah SMA Kencana juga langsung bertindak cepat, beliau menghimbau agar semua siswa-siswi untuk sementara waktu belajar di rumah.
Sarka langsung mematikan televisi yang menayangkan berita kejadian tadi pagi di sekolahnya. Berita itu sudah gempar dan menjadi trending topik yang sedang hangat-hangatnya.
Lewat grup kelasnya, wali kelas Sarka mengumumkan bahwa semua siswa-siswi diharuskan belajar di rumah selama tiga hari ke depan.
"Wah ... Kok bisa gitu, ya?"
Alan, yang sedang duduk di samping Sarka langsung menyeletuk dan menggelengkan kepalanya ketika barusan sama-sama menyaksikan berita di televisi.
Sarka menjawab pendek. "Ya mau gimana lagi bang?"
"Terus gimana tuh?" Alan bertanya kepada Sarka sembari mengubah posisi duduknya, lebih mengarah ke adiknya tersebut. "Lo lihat kejadian itu Ka?"
Sarka mendesah pelan, kepalanya pun kemudian mengangguk. "Iya bang, gue ada di tempat kejadian waktu itu. Gue lihat sendiri."
"Ngeri juga, ya? Lo kenal anak yang gantung diri itu?" tanya abangnya lagi.
"Kenal bang, kebetulan. Gue pernah ketemu sama dia," jawab Sarka lagi. "Gue juga libur untuk tiga hari ke depan gara-gara kejadian ini."
Alan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia paham. "Tiga hari ya, lumayan juga tuh."
"Iya bang, gue besok kayaknya juga mau mulai baca komik yang bang Alan rekomendasiin ke gue waktu itu, ketimbang bingung mau ngapain lagi, kan?" Sarka tersenyum kepada abangnya itu. Alan mengangguk seraya menepuk pundak Sarka.
"Nah bener tuh, harus segara dibaca. Bentar lagi season duanya bakal dirilis. Abang udah nggak sabar lagi nunggunya." Alan terlihat sangat antusias. Sarka pun ikut senang melihatnya.
"Serius bang?"
"Beneran deh."
"Wah ... parah nih, harus cepat-cepat baca kayaknya kalau nggak mau ketinggalan." Sarka terkekeh pelan.
Ponsel Alan yang diletakkan di atas meja kemudian berdering, lelaki itu langsung mengambil benda canggih itu dan melihat layar yang sudah menyala, ada panggilan masuk.
Alan menghadap ke arah Sarka, lalu berujar seraya berdiri dari duduknya. "Ada telpon dari kantor, Abang tinggal ke kamar dulu ya Ka?" pamitnya kepada adiknya itu.
Sarka mengangguk pelan, "gue juga mau ke kamar bang," sahut Sarka. Alan pun mengangguk dan lekas bergerak cepat menuju kamarnya sesaat setelah mengangkat panggilan tersebut.
Saat di kamar, Sarka memilih rebahan di kasur dan menatap langit-langit kamarnya. Sekarang malam sudah beranjak naik, jam beker miliknya yang terletak di atas nakas sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih empat belas menit. Tapi Sarka belum bisa tidur, rasa kantuk belum membunuhnya. Matanya masih terasa segar. Ingatan tentang kejadian di sekolahnya beberapa jam yang lalu kembali hadir di dalam otaknya. Sarka membayangkannya lagi. Bagaimana mayat Metta ditemukan, serta bau busuk yang begitu menyengat masih terekam sangat jelas di dalam kepala Sarka.
"Kalau bau itu datang dari tubuh Metta yang sudah membusuk, pasti nggak sampai sebau itu rasanya." Sarka bergumam pelan, tatapannya tidak beralih dari atas, Sarka menelan ludahnya kembali. "tapi bau apa ya kira-kira? Kenapa cuma gue doang yang bisa nyium dan ngerasain? Kenapa orang-orang disamping gue nggak bisa bau? Padahal baunya sebusuk itu." Sarka bertanya-tanya sendiri. Bahkan, bau sungguh menyengat itu masih dapat Sarka ingat begitu jelas.
Kedua mata Sarka memejam rapat. Ingatan Sarka pun kini berpindah pada kejadian dimana dirinya bertemu dengan Metta, kira-kira tujuh atau delapan bulan yang lalu, sebelum mata Sarka tidak bisa melihat karena kecelakaan motor.
Lupa mengerjakan tugas matematika yang diberikan mengharuskan Sarka dihukum membersihkan perpustakaan. Sesuatu yang sangat menyebalkan. Selama perjalanan menuju tempat dimana buku-buku itu terkumpul menjadi satu diruangan tersebut, Sarka tidak bisa berhenti ngedumel tidak jelas. Ia merutuk dirinya yang bodooh dan begitu ceroboh karena tidak mengingat ada tugas yang memang harus dikumpulkan hari ini. Lebih menjengkelkannya lagi, Edo sama sekali tidak mengingatkan Sarka bahwa ada tugas. Benar-benar hari yang sangat siaal dan menyebalkan.
Sampai akhirnya, Sarka pasrah saja dihukum membersihkan perpustakaan. Sebenarnya Sarka merasa sangat malas melakukan pekerjaan itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Dirinya memang salah karena tidak mengerjakan tugas. Dan itulah yang Sarka dapatkan. Sarka pun berpikir positif dan menganggap hukuman yang ia dapatkan adalah sebuah metode agar dirinya bertambah sehat. Bukannya begitu, kan? Membersihkan ruangan perpustakaan yang lebar itu tentu saya membutuhkan banyak tenaga. Anggap saja ia sedang berolahraga.
Dengan langkah gontai dan tanpa minat, Sarka pun akhirnya sampai juga ditujuan. Sarka menghela napas panjang dan berjalan mendekat ke arah penjaga perpustakaan.
"Assalamualaikum Bu." Sarka berucap sopan dengan suara lirih.
Penjaga perpustakaan yang sebelumnya sedang mencatat sesuatu dibuku, seketika saja mengangkat wajahnya dan menatap wajah Sarka. Sarka tersenyum tipis ketika tatapannya bertubrukan dengan penjaga perpustakaan tersebut.
"Waalaikumsalam," jawab penjaga perpustakaan.
Sarka merapatkan bibir sebentar, lalu ia pun memberanikan diri berkata. "Saya ditugaskan untuk membersihkan ruangan ini bu, apakah saya diperbolehkan?"
"Kamu dihukum?"
Sarka menganggukkan kepalanya. Memang itulah yang terjadi pada dirinya saat ini. "Iya, hukumannya disuruh bersih-bersih perpustakaan. Gimana Bu? Boleh, kan?"
"Ya boleh, boleh banget malahan. Ayo bersihkan. Kamu ambil sapu dan kemoceng di sudut ruangan sana." Penjaga perpustakaan berkerudung warna putih itu menunjuk ke arah dimana alat-alat kebersihan berada.
Mengangguk pelan serta mengikuti arah pandangan wanita cukup tua dihadapannya, Sarka pun berkata pelan, "oke Bu, makasih. Saya kerjakan sekarang."
"Lain kali kalau nggak mau dihukum, kamu jangan buat masalah, ya?"
Siapa juga yang mau buat masalah dan dihukum? Sarka bergumam dalam hati. Ia tidak mungkin mengucapkan kalimat seperti itu kepada penjaga perpustakaan yang sebenernya juga guru disekolahnya juga. Bisa-bisa Sarka malah mendapatkan hukuman tiga kali lipat! Tidak, Sarka tidak mau hal itu sampai beneran terjadi. Bisa matii kelelahan nanti.
Sarka memilih tidak membalas lagi, ia hanya mengusung senyuman, lalu mulai berjalan dan mengambil alat kebersihan. Sarka mengambil kemoceng dan mulai membersihkan debu-debu yang menempel disela-sela rak buku. Saat sedang melakukan tugas itu, tidak sengaja Sarka membuat kesalahan. Terdengar seseorang yang sedang batuk dan bersin diseberang rak. Sarka yang merasa bahwa itu karena ulahnya langsung memutari rak dan menemukan seorang gadis yang tengah mengibaskan tangannya disekitar wajahnya, sedangkan tangan yang satunya membekap mulut dan hidungnya. Sarka belum pernah bertemu dengan gadis tersebut. Tebakannya pun meluncur bebas dari tempurung kepalanya. Bisa jadi gadis itu adalah adik kelasnya atau mungkin siswa baru di sini.
Melangkah mendekat, Sarka pun langsung menyuarakan rasa bersalahnya. "Duh ... Maafin gue, ya? Pasti lo bersin sama batuk karena ulah gue yang lagi bersih-bersih debu di rak."
Gadis itu mendongakkan wajahnya ketika merasa ada seseorang yang sedang mengajaknya berbicara. Ia pun mengerjap pelan ketika melihat Sarka. Gadis itu tersenyum tipis.
"Lo nggak pa-pa?" Sarka bertanya pelan.
Kepala gadis itu menggeleng pelan. "Nggak kak, aku nggak pa-pa kok. Aku cuma nggak biasa dengan debu. Aku gampang sakit dan batuk."
"Sori, itu tadi kesalahan gue." Sarka merasa bersalah, apalagi ketika gadis tersebut terbatuk lagi, wajahnya juga memerah. Sarka menghela napas panjang. Ini kesalahan dirinya.
"Nggak pa-pa kak, bentar lagi juga berhenti kok batuknya. Lagipula ini bukan kesalahan kakak, kakak nggak tau."
"Maafin gue sekali lagi, ya? Duh ... Jadi ngerasa bersalah banget gue." Sarka meringis pelan, ia masih merasa tidak enak.
"Santai aja kak."
"Oh ya, nama lo siapa?" tanya Sarka, kemudian ia menjulurkan tangannya. Meminta untuk berjabatan tangan. "Gue Sarka, kelas sebelas. Lo sendiri?"
"Namaku Metta kak, masih kelas sepuluh di sini," sahut gadis cantik dan pendek dihadapan Sarka. Metta menerima uluran tangan Sarka.
"Tadi gue nggak sengaja, maafin gue sekali lagi, ya? Gue lagi bersih-bersih karena dihukum."
"Udah kak, jangan dibahas lagi. Lihat sekarang? Aku udah nggak batuk lagi, kan?" Metta tersenyum lebar, gadis yang rambutnya dikepang itu menatap Sarka lekat-lekat.
Walaupun Metta sudah memaafkan kesalahannya, tetap saja Sarka belum lega sepenuhnya. Seperti masih ada yang mengganjal dihatinya. Sarka berpikir sesaat, lalu ia bertanya. "Lo lagi ngapain di sini kalau gue boleh tau?"
"Lagi ngerjain tugas matematika kak, ini lagi nyari buku paket."
Merasa jika dirinya cukup pandai dalam pelajaran matematika, Sarka serta merta tersenyum lebar. "Bisa nggak? Mau dibantu?"
Metta terlihat kaget, matanya yang bulat mengerjap beberapa kali. "Ada yang masih kurang paham sih kak sebenarnya, kak Sarka bisa memangnya?"
"Walaupun nggak pintar-pintar amat, tapi kayaknya sih gue bisa. Nanti gue bantuin gimana? Kerjain bareng-bareng. Anggap aja deh ini sebagai permintaan maaf gue buat lo."
Metta tidak langsung menjawab, gadis bertubuh pendek itu menundukkan kepalanya seraya berpikir. Kemudian ia pun mendongak lagi. "Kayaknya nggak ada ruginya juga, oke deh aku terima tawaran kakak."
"Oke, deal ya?"
"Deal kak, kalau gitu aku pergi ke meja yang ada di sana dulu, ya?"
"Iya, entar gue samperin. Gue mau bersih-bersih sebentar. Nggak pa-pa, kan?"
"Aman kak!"
Itulah sepenggal ingatan Sarka tentang Metta. Sarka menatap langit-langit kamarnya lebih dalam lagi. Cowok itu masih belum menyangka apabila Metta sudah tidak ada. Sarka mendesah panjang. Ia ingat, Metta berkata bahwa nilai tugasnya mendapatkan angka seratus, yang berarti tidak ada yang salah. Metta terlihat antusias dan sangat bahagia saat itu.
"Metta ...." Sarka bergumam pelan, hingga akhirnya ia memejamkan matanya ketika rasa kantuk sudah menjemputnya.
Detik berikutnya, Sarka sudah berenang ke dalam mimpinya.