8:JOMBLO YANG DIKASIH LAMPU HIJAU

2416 Words
Jangan pernah ragu ugal-ugalan ngejar calon ayang! -Jomblo yang dikasih lampu hijau- Setelah rangkaian akad nikah selesai — termasuk brunch bersama — ballroom mulai dikosongkan. Keluarga dan kerabat dipersilakan kembali ke unit masing-masing, atau beristirahat sejenak di sebuah meeting room yang telah diubah menjadi ruang keluarga. Sementara itu, Bumi tetap tinggal di ballroom, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Ia mengawasi tim EO yang sibuk melakukan sentuhan akhir pada dekorasi, menyesuaikannya dengan tema resepsi yang tak lama lagi akan dimulai. “Aa!” Bumi menunduk, mendapati Jihan yang menarik-narik celananya. Jihan ini adiknya Bumi, si bontot, bedanya 20-tahun sama Bumi. Mana dibanding dengan Bintang dan Samudera, Jihan nempelnya sama Bumi. Jadilah kalau pergi berdua, Bumi lebih sering dikira ayahnya Jihan. Kedua tangan Bumi terulur ke bawah, mengajak Jihan pindah ke gendongannya. Tentu saja Jihan tak menolak. “Jihan ngantuk?” tanya Bumi. “Capek, Aa," jawab sang adik, manja. “Bunda mana?” “Makeup.” Iya sih, pada ganti seragam, soalnya rangkaian akad nikah ke resepsi hanya terjeda sekitar 90-menit saja. “Jihan kok ngga ganti baju?” “Ini aja.” “Eta dress-na kotor, Jihan. Kena apa coba ini?” ujar Bumi seraya menunjuk beberapa noda di gaun Jihan. “Es krim.” “Dapat es krim dari mana?” “Beli sama Mas Gala.” “Kok Aa ngga dibagi?” “Aa sibuk.” “Henteu.” “Jihan hilap deh.” (hilap = lupa) Lupa beliin Bumi es krim maksudnya. “Sedih da Aa.” “Jangan atuh. Nanti kita beli lagi ya?” “Siapa yang beliin?” “Aa atuh.” “Kan Jihan yang ngga beliin Aa es krim tadi?” Jihan nampak berpikir. “Minta uang heula sama Ayah yuk, A?” (heula = dulu) Gemas kan? Bukannya merespon pertanyaan polos itu dengan jawaban, ciuman Bumi justru mendarat di pipi Jihan. “Geus cocok banget maneh jadi abah, Bum,” ujar Jasver yang baru datang bersama Timber Tunes gang. Iya, mereka yang mengisi pojok musik di resepsinya Andara dan Ezra. (geus = sudah) “He euh, calon emaknya anak-anak urang ini yang belum mau,” tanggap Bumi. “Masih aja maneh harapin eta arah angin?” Brox ancang-ancang mau nyolot. “Henteu atuh.” “Yang bener maneh!” Gantian Kalil yang ragu. “He euh, bener da,” sahut Bumi lagi. “Terus? Ada calon baru?” tanya Dareen. “Jihan, sama Aa Dareen yuk?” ajaknya kemudian. Jihan otomatis menggeleng. Jihan mah susah sama orang lain. Bahkan dengan keluarga pun, kalau jarang bertemu, dicolek saja ia bisa marah. Dareen cemberut, disahuti tawa lucunya Jihan. “Nih, Aa punya permen, tapi nanti malam pas mau bobo sikat gigi dulu ya?” Tangan mungil Jihan menerima pemberian itu. Sebuah tas transparan kecil berisi cukup banyak honey lollypop beraneka rasa. “Hatur nuhun, Aa Dareen.” “Sami-sami geulis,” (geulis = cantik) “Bagi bestie-bestie oke?” ujar Bumi. “Oke,” sahut Jihan. Bumi kemudian menyeru, memanggil Samudera yang tengah mengarahkan tim pelaminan untuk menambah beberapa ornamen. Setelah beres, Sam mendekati Bumi, membawa adik mereka ke ruang keluarga. Sementara Bumi membantu teman-temannya melakukan check sound. Aslinya sih, Bumi ngga pake dasi. Hanya setelan yang terdiri dari kemeja, celana dan blazer. Tapi, gara-gara melihat Brox yang dasian meski lilitannya longgar, Bumi jadi pengen juga. Dan sebuah ide usil terbit di pikirannya. Dalam waktu sekitar satu jam, ruangan yang tadinya serba putih saat akad, kini berubah menjadi bernuansa blush pink. Bumi berputar sekali lagi, memastikan jika setiap pos sudah siap. Setelahnya, barulah Bumi keluar dari ballroom, melangkah cepat menuju lift. Sampai di unit orangtuanya, Bumi menekan bel, menunggu beberapa saat hingga Edo membukakan pintu. Sang ayah nampak sibuk merapikan bajunya. "Aa mau pinjam dasi, Yah," ujar Bumi, seyara melangkah masuk. “Ayah aja mau ngga pakai dasi,” balas Edo. “Tapi Ayah aya dasi teu?” (aya = ada) “Aya. Boleh pinjam sama Papa Ga.” Bunda yang lagi ngerapihin jilbabnya malah ngekek. “Parah banget kalian ini, sampai dasi aja ngga punya.” “Aa ngga bisa makainya, Bund. Jadi, buat apa atuh punya?” “Ayah apalagi! Dasi yang bagus kayak gimana aja Ayah ngga tau.” “Ayah pakai teu eta dasina?” Edo menggeleng. Makin ngekek kan Hana. “Kamu tuh da, aneh banget. Ngapain coba pinjam ke Bang Dirga kalau ujung-ujungnya ngga dipake?” “Kan aku kira semua omnya Andara dan Ezra wajib pakai dasi, Na. Taunya Bang Irgi aja ngga pake,” tanggap Edo. “Fix, dasinya Aa yang pakai, ya Yah?” “Hmm,” gumam Edo seraya mengangguk. “Sini, Bunda pakein, A?” tawar Hana kemudian. “Ngga usah, Bund,” tolak Bumi. “Katanya tadi ngga bisa pakai dasi?” “Muhun, Bund. Aa minta tolong yang lain aja.” (muhun = iya) Hana spontan senyam-senyum. Kebaca banget emang modus dibalik pakai dasi ala Bumi. “Bunda pura-pura ngga bisa masang dasi ya? Oke?” ujar Bumi lagi, nyari teman. “Kok Bunda disuruh bohong?” tanya Edo. “Strategi, Yah. Ayah nih, kayak ngga pernah muda aja.” Sudah, begitu saja. Bumi pun pamit dan meninggalkan unit itu setelah mengatakan pada orangtuanya agar jangan terlambat turun karena masih ada prosesi mangarak pangantin sebagai pembuka resepsi pernikahan Andara dan Ezra yang menggunakan adat Mandailing. Tiba kembali di lantai dasar, Bumi tak lupa melongok sebentar ke ballroom. Bawaan biasa jadi team leader memang begitu, khawatir ada yang luput dari perhatiannya. Namun, yang Bumi dapati justru seorang gadis kecil di depan chocolate fountain. “Qia ngapain?” Qia ini anak keduanya Bisma dan Nina. “Mau strawberry.” “Itu stroberinya asam lho.” “Qia Mau, Mamang Bumi mau?” “Buat Qia aja ya? Satu dulu ya? Kalau tidak asam, baru ambil lagi. Oke?” “Oke.” Bumi membuka plastic wrap yang menutupi wadah penuh sate stroberi. Ia mengambil setusuk, lalu saat Bumi akan mencelupkan di kolam coklat, Qia menyeru, “no!” “Ngga mau pakai coklat?” “Dua aja.” “Stroberinya dua aja yang mandi coklat? Yang satu jangan?” “Iya.” "Kenapa?" "Mau pakai sugar." Entah siapa yang ngajarin Qia makan stroberi pakai gula. Satu tusuk sate terdiri dari tiga stroberi. Jadi, Bumi mencelup panganan tersebut hingga batas buah kedua. Setelahnya, ia bersimpuh di depan Qia. “Begini?” tanya Bumi seraya menyodorkan sate stroberi tersebut. Qia mengangguk-angguk. “Thank you, Mamang Bumi.” “Sama-sama, Qia geulis. Ini tisunya ya? Kalau tangannya kotor, jangan dilap ke dress. Oke?” “Oke!” Namanya bocil, pasti selalu menggemaskan. Bahkan Qia yang asik mengunyah stroberi coklatnya sambil melangkah ke pintu keluar tetap mengalihkan perhatian Bumi. Beres menutup wadah stroberi kembali, sekali lagi Bumi memerhatikan venue. “Perfect!” gumamnya sebelum menyusul langkah Qia menuju ruang keluarga yang diberi nama Andung’s Room. Tiba di ruangan tersebut, Bisma tengah menjadi tumbal. Bisma terpaksa membuka mulut, membiarkan Qia menyuapinya, sepertinya stroberi yang tidak dilumuri coklat. Qia ngga nemu gula kali. Dan sekejap saja, wajah Bisma mengernyit keasaman. Putri kecilnya otomatis terbahak. “Asyem ya?” tanya Qia. “Asam ya Mas?” Bumi mengajukan pertanyaan yang sama sembari menyampirkan dasi di lehernya. “Banget. Ini mau dikasih ke tamu?” tanggap Bisma. “Buat chocolate fountain, Mas. Kalau pakai stroberi Jepang, abdi bisa jadi buron seumur hidup, dicariin Papa Gi.” “Ngapain sih, Bum?” tanya Arga – abangnya Andara. Kedua matanya mendelik ke dasi Bumi. Siapa sih yang ngga tau kalau Bumi dan cowok-cowok The Wisesa’s lainnya paling ogah pakai dasi? Bumi ngedip-ngedip, ngasih isyarat ke Arga kalau dia lagi nyari perhatian doang. Persis kayak orang kelilipan. Arga mengatupkan bibir, pengen nempeleng Bumi tapi ngga tega, soalnya Bumi lagi usaha biar ngga terus-terusan lajang dari lahir. “Pasangin, Bang?” pinta Bumi kemudian. “Ngga bisa gue,” tolak Arga, terpaksa bikin dosa a.k.a bohong demi kesuksesan Bumi. “A?” Bumi berpindah ke Rain yang baru balik dari ronda pagi sama Zia. Ngga sempat kali semalam, atau belum nambah. Bumi lagi-lagi pakai kode ngedip-ngedip. Rain mah tampangnya datar aja, meski pengen banget ngejitak Bumi. “Pakai dasi kupu-kupu aja udah. Dipenitiin. Ngga bisa gue.” “Atuh da, ngga ada yang bisa?” Cie urang, pura-pura nelangsa! Bumi ngelirik Yuna dulu. Diam aja tuh dari tadi. Nengok ke Bumi aja ngga berani. Takut dikedipin tau-tau ngaku sayang, mungkin. Tak membuang-buang waktu, Bumi beringsut, tanpa aba-aba bersimpuh di depan Yuna. Kasih senyum jangan lupa, biar cepat naksir. “Ngapain?” ketus Yuna. Makin jutek makin gemesin sih, Neng. Harusnya Aa bawa cincin nyak? Pose udah bener banget ini. “Desainer kan ngga mungkin ngga bisa makein dasi,” ujar Bumi. Cosplay dimulai! “Yang lain banyak. Ayah Edo bisa kali,” tanggap Yuna, sambil ngelengosin muka. Bener ini mah, minta balesan kecup! Sabar atuh, Neng. Mojok dulu apa kita? “Sejak kapan Ayah bisa pakai dasi?” balas Bumi. “Bunda?” Yuna masih jual mahal. “Atuh da, tinggal pakein, Neng,” timpal Bumi, melas banget. Yuna akhirnya menyerah dengan decakan kecil. Meski masih tampak kesal, tangannya bergerak juga, dengan cekatan mengikat dasi Bumi hingga terpasang rapi di lehernya. Sementara itu, Bumi hanya tersenyum, menatap Yuna dengan tatapan yang penuh arti. “Adik gue cantik ya, Bum?” tanya Bisma. Itu nyindir, bukan ngasih restu. Tempo hari aja, Bumi boleh ngejemput Yuna setelah nyogok Bisma dengan sepaket batagor dan sekeranjang pisang goreng kremes. Pisangnya harus pisang kepok dibentuk kipas yang ujung-ujungnya Bumi bikin dan goreng sendiri. Apa sih yang ngga demi Yuna? Tapi, Bumi ngga nyambung dengan nada sinisnya Bisma. Namanya juga lagi mandangin kesayangan yang indahnya bak bidadari, kesinisan malah terdengar seperti dukungan. “Iyalah, Mas. Kalau ganteng mah ngeri,” sahut Bumi. “Tapi dari pagi abdi dicuekin aja da,” lanjutnya. Curhat dikit boleh dong. “Hueeek!” Yuna emosi, jadi kesal karena Bumi malah seperti mengumumkan status mereka yang belum jelas. Ia mengencangkan ikatan di leher Bumi. Begitu Bumi tercekik, baru ia longgarkan lagi dengan wajah tanpa dosa. “Ngga sengaja.” “Atuh Aa mati perjaka nanti, Neng. Kejam ih,” balas Bumi, pura-pura ngambek. “Tingting ya Bum?” timpal Mas Rio. “Weish! Pastilah itu,” sahut Bumi dengan tatapan yang tetap lekat ke Yuna. “Sudah nih.” Tangan Yuna kini pindah ke pangkuannya sendiri. “Sudah?” “Hmm,” gumamnya singkat. “Kok cepat amat?” Padahal Bumi udah effort banget lho biar diperhatiin. “Ya ngapain lama-lama?” balas Yuna, masih ketus. “Atuh da si Neng teu pengertian.” Kali ini sambatan itu tak sekedar melirih, namun memang sengaja Bumi umumkan. Membuat yang mendengar tergelak, dan Yuna yang berdecak lalu cemberut. Bumi kemudian beringsut, memaksa duduk di samping Yuna. Sofa itu kan hanya untuk dua orang, tapi sudah diisi tiga orang; Yuna, Arga dan istrinya – Ayra. Tambah lagi Bumi nyempil di pinggir, jadilah keempatnya empet-empetan. “Iiih! Sempit tau, A!” Yuna ngomel lagi. Bumi menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa hingga titik pandang menghadap langit-langit. “Aa capek, istirahat sebentar.” Yuna yang menoleh jadi terpesona dengan side profile Bumi. Gila sih nih cowok, cakepnya dari segala sisi. Coba dah moved on, gue tanggapin deh sikap manisnya. “Lagian sih jadi orang perfectionist banget,” ujar Yuna kemudian, biar ngga ketauan jantungnya jumpalitan gara-gara dempetan sama Bumi. “Soal ibadah, kerja, sama cinta tuh harus perfect, Neng,” tanggap Bumi. “Makanya Aa dibegoin diam aja ya?” balas Yuna lagi. Yuna juga heran, kenapa sih senang banget ngebahas masa lalunya Bumi. Ih berasa ngga adil da. Manalah gue ngga punya mantan, ngga bisa bikin A Bumi jealous. Menang banyak dia mah kalau gue ladenin. “Ngga diam, Neng,” sanggah Bumi. Akhirnya kepancing juga. “Terus?” “Ya ngga apa-apa. Cara nunjukin sayangnya beda aja.” Maksud Bumi, caranya dia dan Utara. “Teu cocok kalau kata dia mah.” Yuna menghela napas. “Emang cocok tuh apa sih, A? Cocok itu kayak apa?” Yuna emosi, ngga ngerti dengan konsep cocok yang Bumi maksud. Kenapa sih ngga jelek-jelekin aja tuh cewek. Kenyataannya emang jelek kok. Tampang doang manis, ayu, kalem. Hobinya mainin nasib orang. “Sudah atuh ih, ngapain sih ngungkit yang sudah lalu? Eta mah kamu yang gagal mup-on,” ujar Bumi lagi. “Lah?” Kok jadi gue? “Sebelnya teu selesai-selesai. Atuh mah bersyukur rezeki dia bukan Aa,” jelas Bumi. “Jadi bisa jadi rezeki Yuna nyak?” sambar Rain yang auto bikin Yuna pengen menelan iparnya itu hidup-hidup. “Tah eta, si Aa aja paham,” seru Bumi, makin melambung tinggi karena dibela. Naik pitamlah Yuna, tangannya mendarat di paha Bumi, mencubit kencang. Bumi merintih sembari terkekeh, dan tak lupa sambil merebahkan kepala di bahu Yuna juga. Mana bahunya yang bagian ‘off shoulder.’ Beuh, ngga pengen bangun lagi si Bumi. “Yun?” tegur Rain, sementara Yuna mengulurkan tangannya, meraup dan mendorong wajah Bumi. “Apa A?” tanggap Yuna. “Mau tau ngga prinsip hidupnya Bumi?” tanya Rain kemudian. “Bagus?” “Agak t0lol sih.” Yang lain otomatis tergelak kembali, sedangkan Yuna berdecak kesal. “Canda, Yun. Bagus kok,” ralat Rain kemudian. Takut Yuna berubah jadi singa. “Apaan?” sahut Yuna kemudian, ngegas. Makin kesal soalnya. Bumi malah sengaja nyandarin kepala ke bahu Yuna lagi. Pakai ngecup dikit pulak. Mumpung Yuna ngga lihat. A Bumi iiih! Minta disabet ini cowok! “Don't close the book when you read a sad chapter. Instead, keep reading, because the next chapter might bring a happy story that can make up for all the sadness before. Itu tulisan, gede-gede ditulis di dinding kamar dia. Sampai hafal gue,” jawab Rain. Dan tiba-tiba, suasana hening begitu saja. “Kalau prinsip gue … gue pasti punya akhir yang bahagia. Jadi, kalau belum bahagia, artinya belum end!” lanjut Rain. “Kalau Neng?” tanya Bumi. “Apa?” “Prinsip hidup?” Awalnya, Yuna hanya menatap Bumi. Namun, sesaat kemudian satu tangannya terulur, menangkup pipi kanan Bumi. Lalu mencubitnya kencang sekuat tenaga! Rasakan kamu! “I am worthy, and I fight for myself. I will pursue what adds value to my life, and I will give my love only to someone who cherishes, respects, and falls head over heels in love with me,” ujar Yuna tanpa mengendurkan cubitannya. Bumi akhirnya merem melek juga, tapi bukan karena kisseu, melainkan nahan nyeri. Beuh! Siap Neng Yuna! Jangankan head over heels, sky over galaxy pun Aa sanggup!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD