"Cibil."
"Nama yang bagus," gumam Hansel.
"Maaf Yang Mulia, apkakah Yang Mulia tahu Cibil ke mana?" tanya Dieter.
Hansel menunjuk ke tembok tinggi. "Dia melompati tembok itu. Cepat kejar dia, Dieter, dan bawa ke hadapanku!"
Dieter mengangguk, lantas ke pintu di antara tembok dan keluar menuju hutan.
"Bukankah tidak ada yang boleh memasuki hutan itu?" tanya Viona ketika Dieter telah ditelan kegelapan hutan.
"Ada dua orang yang pernah selamat setelah memasuki hutan itu. Yang pertama adalah ayah, dan yang kedua adalah Dieter. Ayah tidak pernah lagi masuk ke sana karena terakhir kali dia masuk, nyawanya hampir melayang, tapi Dieter berbeda. Dieter bisa keluar-masuk hutan itu secara bebas."
Viona tertegun mendengar penjelasan Hansel. "Apa kau tidak penasaran dengan yang ada di hutan?"
"Sangat penasaran. Tapi perintah ayah adalah mutlak. Aku tidak mau melawan perintah ayah."
"Kau anak yang baik, Hans."
"Cih! Kau baru tahu?"
Viona diam, masih menatap tembok setinggi dua meter itu. "Hei, Hans, kata Ibu, yang punya mata merah adalah iblis."
◊ ◊ ◊
Sudah berjam-jam lamanya Dieter menyusuri jalan dengan jejeran pohon di kanan-kiri. "Cibil! Kau harus ikut denganku!" teriaknya.
Tidak ada suara di tempat yang minim cahaya itu, meski hanya kicau burung atau berisik serangga. Bahkan sinar bulan seolah terhalangi rimbun pepohonan. Tidak seperti malam biasanya.
"Ci─"
Baru hendak memanggil nama gadis kecil berjubah, Dieter sudah melihat kehadirannya. Sepasang suami-istri usia empat puluhan tahun berdiri memegang lentera di depan Cibil.
"Tiga pekan lagi, akan datang seorang anak yang meminta air. Jadikan dia sebagai putramu, maka dia akan mengubah gubukmu menjadi istana," kata Cibil.
Si wanita dengan bekas luka bakar di pergelangan itu berlutut dengan linangan air mata. "Terima kasih, Nona Peramal. Terima kasih banyak."
Pria kurus juga berlutut, tapi dia bungkam.
"Ingat, jangan beri tahu siapa pun tentangku, atau kalian akan menanggung akibatnya."
Mereka mengangguk bersamaan, kemudian meninggalkan Cibil.
"Apa kau sering melakukan derma begitu?" tanya Dieter, yang sudah dalam posisi bersedekap dan bersandar ke batang pohon.
Cibil berbalik saat mendengar suara yang familiar. Wajahnya masih saja datar. "Beberapa manusia diberi petunjuk oleh Dewa untuk menemuiku. Maka, sudah menjadi tugasku untuk memberi saran kepada mereka yang terpilih."
Dieter berkacak pinggang. "Saran? Dewa? Kau percaya Dewa?" Remaja tinggi itu berdecak-decak. "Terserah kau sajalah. Ayo, Cibil, ikut aku menemui Yang Mulia Putra Mahkota. Dia menginginkanmu."
"Aku hanya melayani orang yang dipilih Dewa, Dieter." Cibil menghela napas.
"Seorang gadis kecil yang tinggal di hutan tidak mungkin mengenal Dewa. Kau saja baru tahu makanan saat aku memanggangkan ikan dua tahun lalu, mana mungkin kau tahu Dewa dengan sendirinya." Dieter langsung menarik pergelangan Cibil.
Masih berwajah datar, Cibil berkata, "Aku tidak mau melayani orang itu."
"Apa kau akan bilang hanya mau melayani orang yang ada dalam penglihatanmu?"
Cibil mengangguk setelah berhenti berjalan dan menyentak tangannya dari cengkeraman Dieter. "Itu benar."
"Jadi, jika ada orang yang menemuimu tapi tidak ada dalam penglihatanmu, orang itu akan kau bunuh?"
Cibil kembali mengangguk. "Benar."
"Kau menghisap energi kehidupan mereka, karena itu tidak pernah ada yang selamat setelah memasuki hutan, kan?"
Cibil mengangguk. "Benar."
"Bagaimana denganku? Kenapa kau tidak membunuhku dua tahun lalu?"
"Karena kau menolong rusa yang terluka."
Dieter memutar bola matanya. "Sudahlah, jangan bercanda. Alasan konyol macam apa itu?"
Cibil mengembuskan napas pelan. "Bukankah sudah kukatakan tentang ramalanmu hari ini?"
Dieter terbelalak, mengingat kembali ucapan gadis peramal beberapa jam lalu.
"Kau akan menyesal kalau terus mengikutiku."
"Aku tidak percaya ramalan!" bantah Dieter. "Yang Mulia Putra Mahkota menginginkanmu untuk kemajuan kerajaan, maka aku akan mematuhi perintahnya. Kerajaan Asyira dan Alhanan memang masih mengikat perjanjian damai dengan kerajaan kita, tapi tidak ada jaminan kalau mereka tidak akan berkhianat suatu hari nanti. Kalau ramalanmu bisa menyelamatkan kerajaan Alderich, aku harus membawamu ke hadapan Yang Mulia Putra Mahkota."
Cibil maju selangkah, dilepasnya tudung jubah, membuat sekitar yang gelap menjadi terang oleh cahaya keemasan dari rambutnya. "Kau mengkhianatiku, Dieter."
Dieter meneguk kasar salivanya. "Aku tidak pernah berkhianat. Yang Mulia Putra Mahkota sendiri yang menemukanmu berkeliaran di istana sepagi ini. Aku tidak pernah menceritakan tentangmu sama sekali. Kau sendiri kenapa tiba-tiba memasuki istana? Kau bahkan memperlihatkan dirimu di hadapan pangeran Hans."
Gadis itu tersenyum samar, sinar keperakan di keningnya semakin terang. "Kau akan menanggung akibatnya, Dieter."
Duar!
Suara ledakan terdengar. Dieter terkejut saat mengetahui asal suara adalah dari istana Alderich. Dia segera berlari ke luar hutan, namun semua sudah terlambat. Bangunan megah dengan tembok setinggi dua meter itu telah runtuh dan terbakar hebat. Sepanjang jalan menuju ke istana telah bergelimpangan banyak mayat penduduk dan beberapa prajurit kerajaan yang dikenal Dieter. Selain itu, Dieter melihat beberapa kuda dan gerobak dengan lambang dua ekor singa yang saling berhadapan memegang perisai bertuliskan 'Alhanan'. Tidak salah lagi, itu memang lambang kerajaan Alhanan.
Dieter segera masuk kembali ke dalam hutan saat merasakan kehadiran beberapa orang. Salah satu di antaranya berkata, "Aku mendengar legenda tentang hutan kabut kerajaan Alderich. Aku rasa hutan inilah yang mereka maksud."
"Hutan Kabut?" tanya prajurit kerajaan Alhanan yang lainnya.
"Ya, hutan yang akan menyesatkanmu. Aku dengar tidak pernah ada orang yang selamat setelah memasuki hutan ini. Kita sebaiknya segera ke perbatasan saja untuk melapor kepada komandan bahwa Alderich telah runtuh."
Mata Dieter terbelalak, bukan karena perbincangan terakhir dua prajurit barusan, tetapi karena melihat kereta kuda kerajaan Alhanan. Kereta kuda itu menarik Hansel yang tangannya terikat. Lebih parahnya, wajah Hansel penuh darah dan terlihat sangat lelah, tapi dia tetap dipaksa berjalan.
"Pangeran..."
Dieter meringis kala melihat Hansel terjatuh dengan tangannya yang masih terikat. Pangeran manja tersebut pun terseret di jalanan. Dieter tidak bisa membayangkan betapa menderitanya Hansel saat ini.
Tangan Dieter mengepal kuat, giginya bergemeretak menahan amarah yang membara. Pangerannya yang biasa dipenuhi keceriaan kini nasibnya tiga ratus enam puluh derajat terbalik.
"Beraninya manusia hina itu memperlakukan pangeran seperti tahanan perang!" geram Dieter.
Dieter mengambil langkah pertamanya menuju Hansel, tapi dia kembali terdiam saat melihat banyaknya prajurit yang mengawal. Di antara para prajurit itu ada satu wajah yang tak akan pernah Dieter lupakan, yakni Lincoln Langford. Pria licik dengan luka sayatan pedang di wajah kirinya. Dialah anjing setia Alhanan. Menghadapi Lincoln yang setara dengan kemampuan Ghasan, sama dengan bunuh diri.
"Ah, ayah bagaimana?" racau Dieter.