Valentina mengetuk daun pintu ruangan yang sebetulnya dalam keadaan setengah terbuka itu. Lantas dengan sabar dia menanti sahutan dari sang penghuni ruangan kerja, tetap berdiri di depan pintu tersebut.
“Masuk!” semenit kemudian, terdengar sebuah suara bariton dari dalam ruangan.
Valentina menahan napas, bak seorang mahasiswiyang akan mengehadap dosen pembimbingnya.
Tangan kanan Valentina segera menguak pintu ruangan tersebut, setelah ketukannya berbalas suruhan agar dia masuk.
Ia segera mengangguk santun.
Tatap mata Valentina tertaut dengan tatapan Richard Permana Wiyono, sang pemilik ruangan yang duduk dengan sikap berwibawa di ‘singgasana’nya. Dengan kedikan dagunya yang terkesan agak pongah, sang pemilik ruangan memberikan isyarat kepada Valentina supaya menutup pintu tersebut. Valentina mengangguk lagi.
Untung saja Valentina masih berdiri di dekat pintu. Karenanya, didorongnya dengan lembut daun pintu tersebut sampai tertutup. Pikirnya, pasti Richard akan membicarakan sesuatu hal yang penting, pribadidan rahasia.
“Ya, Pak Richard? Bapak panggil saya?” tanya Valentina, penting tak penting. Sdah jelas toh, Richard menghubungi extension-nya, ya tentu saja memanggilnya. Karena itu pulalah, dirinya ada di dalam ruangan kerja Richard sekarang ini, kan?
Adapun Richard merupakan bos Valentina yang baru, brand manager untuk merk kemeja ‘Jordan’. Ini adalah merk yang dipilih oleh Valentina melalui prosespertimbangan mendalam, dari dua alternatif yang disodorkan kepada dirinya tempo hari, yakni brand Jordan dan brand Tiffany.
Bukan rahasia lagi, nominal angka penjualan ‘Jordan’, merk kemeja formal pria tersebut memang bersaing ketat dengan capaian penjualan untuk merk blus ‘Tiffany’. Sesuatu yang layak untuk diacungi dua jempol sekaligus. Tahu kenapa, kan? Kalau main statistik kasaran saja, jumlah pekerja wanita, ditambah dengan kegemaran mereka untuk bergonta-ganti gaya busana di berbagai kesempatan termasuk dalam dunia kerja sekalipun, tentu saja menjadi faktor berat bagi merk kemeja pria untuk bersaing sehingga dapat menjadi ‘sepadan’.
Nah, disodori untuk mencari ide baru dan menggodoknya sesuai dengan selera pasar, di antara dua pilihan yang demikian menarik, pastinya menghadapkan Valentina pada sebuah dilema yang besar. Terlebih, gadis itu hanya diberi waktu satu hari untuk memutuskan dan mengabari ke bagian human resources department di perusahaan tempatnya berkarya.
Satu hari. Sungguh waktu yang tak cukup bagi dirinya untuk berdiskusi serta meminta pendapat Meisya, yang diketahuinya pasti tengah sibuk mempersiapkan sejumlah program untuk tugasnya yang baru, di pos-nya yang baru pula. Valentina tahu, jika dia sampai salah memilih, akibatnya akan sangat fatal. Ini menyangkut kelangsungan karirnya di perusahaan yang terus berkembang ini.
Apabila dia memilih Tiffany, bisa dikatakan akan relatif lebih aman. Merk blus wanita yang satu itu, sudah jelas lebih unggul dari Jordan, baik pangsa pasar maupun omzet penjualannya dari segi nominal. Dia yakin pasti dapat berkontribusi dengan baik untuk mempertahankan angka penjualan yang sudah bagus, bahkan meningkatkannya. Logikanya, sudah pasti Valentina bisa lebih berkreasi, memadu padankan corak, model, warna, bahan baku hingga aksesoris yang sesuai dengan anggaran per model blus. Valentina memperkirakan, ide-ide di kepalanya pasti bisa lancar mengalir.
Sedangkan merk Jordan, walau secara harga lebih mahal, bisa jadi bakal agak menyusahkan dirinya di dalam berkreasi kelak. Ya, model kemeja formal untuk pria kan, biasanya begitu-begitu saja, toh? Mau bermain-main dengan warna ngejreng serta aksen yang lebih kontras dengan warna dasar, juga belum tentu disetujui oleh sang band manager. Bisa-bisa dianggap merubah image yang semula ‘berkelas’, menjadi ‘norak dan pasaran’.
‘Harus mengulik dari mana lagi, coba? Paling-paling bisanya ya mengakali materialnya, atau mengusahakan penyegaran yang tidak terlalu menyolok,’ pikir Valentina saat mempertimbangkan baik-baik keputusan yang akan diambilnya.
Tetapi toh, tidak semudah itu juga dia menjadi mantap untuk memilih Jordan. Entah mengapa, dia masih agak bimbang. Bimbang yang aneh dan sulit diterjemahkannya, membuat Valentina resah saja.
Setelah menyesap tiga cangkir kopi espresso secara marathon di kafe yang persis ada di sebelah kantornya, membuat daftar tantangan dan peluang untuk kedua merk yang menyokong sebagian besar arus kas masuk di perusahaan tempatnya berkarir itu, akhirnya Valentina menempuh cara kuno, yakni melibatkan peran kancing bajunya untuk memutuskan.
Sambil memejamkan matanya, Valentina memindahkan sentuhan jarinya dari satu kancing baju ke kancing baju selanjutnya, sambil mengucap bergantian, Jordan, Tiffany, Jordan, Tiffany, dan seterusnya, ia membujuk hatinya sendiri. Wah, untung saja ketika dia melakukan hal itu, kafe sedang dalam keadaan sepi. Jadinya, tidak ada yang memergoki tindakan isengnya yang mirip peserta tes, sewaktu menjawab soal pilihan ganda itu.
Begitulah. Valentina mengabaikan sisa rasa bimbangnya.
Ya, akhirnya dia memantapkan pilihan hatinya. Dia mengambil resiko, memilih merk Jordan saja. Terlepas dari ‘peran’ kancing bajunya, salah satu yang pertimbangannya adalah, bahwa Jordan berencana meluncurkan pula model kemeja semi formal.
Wuah! Baru membayangkannya saja, semangat Valentina langsung melesat bak roket, tanpa terkendali. Umpama mobil, gaspol, gigi empat terus.
Ia merasakan bahwa gagasan yang bertumpuk di kepalanya sudah mendesak-desak minta dituangkan ke dalam kertas kerjanya. Wajar jika dia berkhayal, hasil rancangannya akan disambut luar biasa oleh pasar, dan dia berpeluang menjadi designer favorit di seantero Charming & Comfort Apparel. co. Sementara untuk Tiffany, dia belum mendengar akan adanya rencana baru. Sepanjang pengetahuan Valentina, Vanya Andaru, sang brand manager Tiffany, kurang terbuka dengan ide baru. Akan sulit untuk membuat terobosan, tentunya.
‘Nggak heran kalau designer-nya pada kabur melulu, nggak ada yang bertahan lama. Kerja kreatif, jadi alangkah menjenuhkan kalau tantangannya begitu-begitu saja. Aku ogah menjadi korban berikutnya, pikir Valentina saat mengenang bagaimana dia mengambil keputusan.
Meskipun, sisi hatinya yang lain juga mengakui, dalam keadaan bergonta-ganti designer saja, sang brand manager tetap terlihat tenang, dan angka penjualan merk yang ditanganinya tidak tidak tergoyahkan.
‘Dia pasti benar-benar Cewek yang powerfull. Patut buat dijadikan ‘role model’ Tapi nggak berarti gue harus pasang badan untuk jadi anggota timnya dan kemudian mental, kan? Uh, gue masih mau bekerja di sini, betapapun gue masih mempunyai pos penghasilan yang lainnya, dari online shop yang dijalankan sepupu gue,’ pikir Valentina sebelum mengabarkan keputusannya kepada kepala human resources manager di kantornya.
“Duduk, Val,” suruh Richard, menunjuk kursi ergonomic putar yang berada di seberang meja kerjanya. Suaranya terdengar tegas. Ah iya, Valentina sudah tahu, bos yang satu ini dikenal agak irit, bicara dengan timnya. Irit berbasa-basi, maksudnya.
Hasil mendengar dari kanan kiri serta ditambahkan dengan pengamatannya sendiri, Valentina tahu, Richard yang usianya hanya dua atau tiga tahun di atasnya ini, cenderung straight to the point. Seolah, Richard ini ketakutan pesona fisiknya bakal membuat anggota timnya tergila-gila dan sulit berkonsentrasi dalam bekerja. Iyalah, dengan tinggi badan 182 cm, berat seimbang, kulit kuning kecoklatan, paras yang menawan bak cowok-cowok metroseksual, kurang apa, dia?
Kalau meminjam pendapat para pengamat fashion, from head to toe, Richard itu masuk ke dalam kategori perfect. Rambutnya dipangkas rapi dengan model yang selalu sama. Nah, model sama saja nggak ngebosenin untuk dilihat dan tetap memesona, kok! Bagaimana kalau ganti-ganti, coba? Salah-salah, terancam bisa juling, mata para pengagumnya nanti! Atau bisa juga, ada kemungkinan para cewek di kantor ini tak sadar sudah melenge jalannya sampai jidat meeka membentur dinding, lantaran terhipnotis pesona seoran Richard. Lalu, sepasang alisnya yang tebal, seolah memayungi kedua mata kelamnya, yang berlindung di balik kaca mata standard (aneh, kan, sementara orang lain ingin menonjolkan kelebihannya, Richard justru ingin tampil sebiasa mungkin!). Struktur tulang wajahnya sungguh sempurna, dengan bentuk rahang yang tegas dan hidung yang lumayan mancung.
Mendapat kesempatan berbicara sedekat ini dengan Richard yang tampilan fisiknya menyegarkan mata itu, tak urung membuat hati Valentina berdebar kencang. Maklum, kabarnya Richard ini masih ada darah Jerman, dari pihak ibunya.
Dan wow, ternyata semakin dekat semakin cakep si Bos barunya ini.
Sampai-sampai, Valentina ingin memberikan apresiasi tersendiri kepada dirinya, yang dianggapnya sudah paling cerdas dan paling cermat, memilih Richard sebagai Pak Bos nya.
‘Alamak! Visualnya Pak Bos muda ini, sungguh perpaduan antara Ari Wibowo dan Arifin Putra, dalam versi yang lebih muda dan lebih kekinian. Soal sikapnya yang agak berjarak dengan rekan kantor, ya, nggak apa deh, nggak mengurangi juga nilai plusnya dia. Orang ganteng mah, bebas, mau sombong juga. Lagi pula, itu pasti karena pesan sponsor dari tunangannya yang konon cemburuan itu, batin Valentina sambil berusaha meredakan debar di hatinya.
‘Eeeeh... tapi sebentar, deh..., agak berjarak? Iya sih. Tapi setahuku enggak, kepada satu orang, yang nota bene merupakan rivalnya di kantor ini. Siapa lagi kalau bukan Vanya Andaru yang berparas manis dan bermata sayu itu? batin Valentina lagi, sambil mengingat-ingat, sejatinya Richard serta Vanya itu disebut oleh rekan sekantor sebagai pasangan yang cocok dan saling melengkapi.
Vanya juga merupakan pribadi yang jarang bercanda, tapi sepertinya hanya bisa tertawa lepas kalau sedang mendiskusikan, entah apa, bersama Richard. Jika Richard dikenal sebagai sosok yang pelit berbasa-basi, maka Vanya malah bisa dikategorikan agak misterius dan sedikit konservatif.
Kalau seorang Vanya Andaru bukan sosok yang konservatif, tentu turn over designer-nya Tiffany nggak akan setinggi selama ini. Cewek yang tak pernah mau terpancing membuka tentang urusan pribadinya kepada orang kantor itu, seperti mempunyai benteng pertahanan yang berlapis-lapis, tinggi pula! Hanya orang tertentu yang sanggup, berlama-lama bicara dengannya, dan salah satunya, ya Richard!
Sungguh aneh, bukan?
Kini di dalam hatinya, Valentina meyakinkan dirinya lagi bahwa keputusannya memilih direct bos sudah tepat. Dia yakin seribu persen, Richard ini jauh lebih komunikatif ketimbang Vanya. Ia juga percaya, akan lebih mudah mendapatkan chemistry jika direct bos-nya Cowok, sebagaimana teory umum yang berlaku. Ia pun duduk, memasang wajah siap menyimak apa yang akan disampaikan Richard.
“Bagaimana Val, kamu sudah pikirkan, proyek mana yang akan kamu tangani?” tanpa basa-basi, si Bos ganteng langsung bertanya padanya.
Senyum Valentina seketika memudar mendengar pertanyaan Richard yang langsung pada pokoknya itu.
‘Ih. Orang mah, tanya dulu kek, sudah makan siang belum, tadi makan siang sama siapa, besok kita makan siang bareng, ya? Eh..! Nggak gitu juga, sih. Ngarep dot com itu mah! Pikir Valentina.
Ia segera menghalau percakapan-percakapan menyesatkan yang menghinggapinya.
‘Hei! Bukannya ini pertanda baik? Melo bilang gue perlu pengalihan, kan? Dalam bentuk apa pun. Mau genit kek, agak gila sedikit, yang penting bukan mellow yellow saja. Ya gue tahu sih, nggak mungkin merebut si Richard ini dari tangan tunangannya. Nggak ada niat juga tuh. Tapi buat sekadar cuci mata, boleh lah, ya... anggap simbiosis mutualisma. Kerja gue jadi bersemangat, hasilnya bagus, kan tentunya dia ikut dipuji juga. Sementara dari pihak dia, hanya perlu bersikap manis ke gue. Ber – si – kap – ma - nis! Gampang, kan? Bisik hati Valentina percaya diri.
“Val?” panggil Richard, mengejutkannya.
“I.. iya, Pak? Apa tadi?” Valentina tergeragap, lantaran kegiatannya mensyukuri nikmat Tuhan atas pemandangan indah yang menyegarkan matanya, terjeda secara paksa. Begitu mendadak, tanpa aba-aba.
“Sudah kamu pikirkan mau menangani proyek yang mana?” pertanyaan Richard membuat Valentina langsung tergerak untuk menegakkan posisi duduknya.
- Lucy Liestiyo -