Baru sebentar membayangkannya saja, Valentina sudah menggoyangkan kepalanya sekuat mungkin. penuh kesadaran, ia mengusir pemikiran-pemikiran yang dirasanya hanya mengintimidasinya.
“Enggak. Dia kan hanya anak kecil. Kenal juga enggak. Kenapa harus dipikirkan, ucapannya? Ya oke, aku nggak akan lupa, berkat dia menabrakku, aku ‘terbebas’ dari penglihatan yang mengerikan itu,” gumam Valentina. Ada kegamangan dalam nada suara Valentina.
Ia melihat ke arah jam weker berwarna ungu yang ia letakkan di atas nachas. Tangannya menyentuh tombol lampu baca, memutarnya perlahan agar nyala lampu baca yang amat redup itu segera berubah menjadi terang.
“Astaga! Baru jam tiga. Masa bodoh! Aku harus bisa tidur. Persetan dengan segala macam mimpi yang bakal datang lagi nanti! Aku nggak mau migrain-ku kambuh, gara-gara kurang tidur,” dumal Valentina, seraya menggelengkan kepala dengan gemas.
Bertekad begitu, Valentina membuka laci nachas di samping tempat tidurnya. Tangan kanan Valentina merogoh laci hingga ke bagian paling dalam, hendak mencari-cari sesuatu yang amat sangat diperlukannya saat ini. Malangnya, apa yang dibutuhkannya itu tidak ditemukannya. Padahal seingatnya, dia juga sempat menaruh beberapa di sana, sekadar untuk berjaga-jaga. Terutama kalau keadaan yang sekarang terjadi. Tapi detik ini, selagi diperlukan olehnya, malah ‘benda berharga’ satu itu lenyap entah kemana! Entah bersembunyi di mana.
“Apa mungkin Melo, yang iseng memeriksa semua laci dan menyingkirkannya tanpa setahuku, tanpa seijinku? Masa sih?” tanya Valentina pada dirinya sendiri.
‘Apa boleh buat. Mungkin di depan ada,’ pikir Valentina kemudian.
Ia memantapkan hati untuk melangkah ke luar dari kamarnya. Sebelah tangannya mengurut dahinya untuk meredakan rasa pening yang timbul. Tujuannya satu : kotak obat di dekat pantry mungilnya.
Sesampainya di sana, ia mencari obat tidur, yang sejak dirinya tinggal di apartemennya, belum pernah disentuhnya. Namun kini, dia merasa amat sangat membutuhkannya. Tampaknya Valentina sedang mujur. Tidak butuh waktu lama, dia segera menemukan apa yang dicarinya. Diraihnya gelas kosong dari mini bar nya, lantas mengisinya dengan air dari dispenser. Segera ditelannya dua butir sekaligus.
Kembali ke kamarnya, Valentina berharap rasa kantuk segera menyapanya. Diredupkannya kembali lampu baca, demi memperlancar usahanya mengundang rasa kantuk.
*
Di tempat yang berbeda, ternyata ada seseorang yang juga tidak bisa nyenyak tidurnya. Seakan-akan, antara dirinya dengan Valentina, ada hubungan batin saja. Dia adalah Marvin. Cowok satu itu sudah membolak-balikkan badannya, sudah berulang kali mencoba memejamkan mata, tetapi hingga pagi hampir menjelang begini, dia belum kunjung dapat terlelap. Dia terus menerus terjaga. Pikirannya terus tertuju kepada seseorang : Valentina!
“Arrrgh!” Marvin mengerang kesal. Tangannya yang mengepal, meninju udara.
‘Untung saja besok itu masih hari libur. Tapi masalahnya, kenapa aku kepikiran Valentina terus? Aku tahu, dia butuh bantuan. Kalau dari apa yang dikisahkan Veranda, ditambah pertanyaan-pertanyaannya, itu merupakan sebuah penegasan, dia memang dikaruniai penglihatan, dia mungkin salah satu orang yang juga mendapatkan pesan-pesan. Jadi semua yang menimpanya itu bukan kebetulan. Yang menjadi masalah adalah, dia belum menyadarinya, atau tepatnya, orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak membantunya untuk proses penerimaan atas hal yang baru buatnya itu, malah menganggap dirinya yang bermasalah,’ pikir Marvin.
Marvin merenungkan kembali percakapannya dengan Valentina ketika Veranda pergi ke toilet tadi, lantas membandingkannya dengan apa yang didengarnya dari perbincangan Meisya dengan Valentina di lift, pada pertemuan pertama mereka. Sekejap saja, dia percaya dengan firasat yang ia dapatkan.
“Nggak salah lagi. Dia butuh dukungan. Masalahnya, bagaimana caranya membuat dia terbuka, menceritakan apa yang dia alami, tanpa harus membuatnya merasa aku masuk terlalu jauh ke dalam urusan pribadinya? Dia itu nggak seperti Veranda yang super extrovert,” desah Marvin.
Marvin lekas memutar otak.
Di kepalanya bermunculan ide untuk mendekati Valentina, sehingga akhirnya dapat menolong Valentina.
Sesaat kemudian, ia menjentikkan jarinya.
“Hm, ya! Acara perpisahan Bu Indira! Saat itu kan nggak ada Meisya, karena dia dan Eleonara belum kembali dari Tokyo. Pas,” cetus Marvin pula. Ia bersyukur, otaknya dapat diajak kompak, memberinya ide tersebut. Beban pikirannya terasa sedikit berkurang. Setidaknya, kini dia dapat berusaha memejamkan mata kembali.
Marvin tidak tahu, apakah dia harus bersyukur ataukah menyesali, ketika rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menutup mata.
Secepat dirinya tertidur, secepat itu pula dirinya dibawa ke alam mimpi. Sayangnya, bukan mimpi yang indah.
...
Di dalam mimpi tersebut, yang ia lihat adalah situasi yang remang-remang dan berkabut. Ketika ia mencoba menajamkan penglihatannya, apa yang dilihatnya membuatnya terkejut. Dia menyaksikan, Valentina sedang berusaha melangkah di jembatan yang rentan patah. Situasi di sekitar Valentina kelam dan senyap. Di bawah jembatan, terbentang sungai yang deras airnya. Saking deras, airnya terlihat bagaikan busa putih.
Marvin melihat betapa langkah Valentina begitu berat, tetapi gadis itu tidak punya pilihan kecuali melangkah. Ketika menoleh ke belakang, Valentina melihat jalan belakangnya, jalan yang tadi ditempuhnya, mendadak menjadi hutan belantara. Hutan yang begitu rapat. Gadis itu mengernyitkan dahinya. Dia ingat benar, tadi itu melintasi jalan yang lenggang, bukannya hutan belantar macam itu. Langkah kaki Valentina kini mulai goyah. Namun toh, ia tetap memaksakan melanjutkan perjalanannya.
Dengan susah payah, akhirnya Valentina mencapai pertengahan jembatan. Celakanya, mendadak jembatan bergoyang hebat. Valentina terkejut luar biasa dan berusaha berpegangan pada salah satu tepian jembatan. Rasa takut yang tergurat pada paras gadis itu.
Valentina berteriak-teriak meminta pertolongan, tetapi suaranya tidak terdengar. Yang terjadi kemudian, Valentina merasakan matanya buta. Valentina tidak dapat melihat apapun di depannya. Lebih dari itu, badannya juga terbelenggu tali kuat.
...
“Valent!” seru Marvin panik.
Marvin membuka mata dan menatap ke sekelilingnya. Diamatinya dengan cermat. Sebentar saja, Marvin dapat mengenali semuanya.
'Aku di kamarku, di unit apartemenku sendiri,' pikir Marvin.
Diusapnya peluh di dahinya.
“Jadi apa itu tadi? Mimpi? Maksud mimpinya apa? Valentina nggak bisa menemukan jalannya, karena dirinya sendiri yang menolak, atau lebih disebabkan orang-orang di sekitarnya yang nggak memahaminya, atau nggak mencoba mendengarkan dia? Atau kombinasi semuanya? Kenapa nggak ada petunjuk?” Marvin setengah bergumam.
Marvin mendecakkan lidah dengan kesal, kala tak kunjung mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
^* Lucy Liestiyo *^