“Wah, makan siangnya super komplit. Cita rasa juga pas semua. Kamu menyiapkan sama-sama Veranda ya Val?” tanya Marvin setelah mereka bertiga selesai menyantap hidangan.
Valentina menggeleng.
“Terima kasih. Tapi yang memasak semua itu Mbok Jum, asisten rumah tangga yang membantuku di rumah,” terang Valentina.
“Tapi Mbak Valen juga jago masak, kok Mas. Jago bikin kue, lagi. Cuma mungkin, karena tinggal di apartemen ini dapurnya juga mini, terus di bawah juga banyak yang jual masakan jadi, ya dia jarang masak mungkin sekarang,” sela Veranda. Sepertinya Veranda takut Marvin mempunyai penilaian negatif atas kakak perempuannya itu, yang bakal mengurangi daya tarik sang kakak. Dan Veranda sungguh tidak rela, dia kehilangan kesempatan untuk mendekatkan Marvin dengan Valentina. Dari sembilan puluh detik pertamanya mengenal Marvin, hati kecilnya sudah bicara padanya, bahwa Marvin adalah pria yang baik.
“Oh ya? Wah, hebat kalau begitu,” puji Marvin tulus.
“Mbak Val sama mas Marvin ngobrol saja dulu. Biar aku yang bereskan bekas makannya kita,” Veranda bangkit berdiri.
Valentina menggoyangkan telapak tangannya.
“Nggak apa, Mbak bantu kamu Ver. Vin, santai saja ya. Aku bantuin Veranda cuci piring sebentar,” kata Valentina.
Veranda tersenyum miring dan menelengkan kepalanya secara ekspresif.
“Tahu nggak Mas, kenapa? Itu karena Mbak Val nggak pernah percaya sama hasil kerjaku. Makanya mungkin dia takut nanti aku kurang bersih, cuci piringnya. Di kantor, pasti dia juga perfeksionis ya Mas?” ungkap Veranda.
Marvin tertawa kecil. Meski baru sebentar bekerja di perusahaan yang sama dengan Valentina, dia sudah cukup banyak mendengar tentang gadis satu itu dari pendahulunya, bu Indira. Dari Bu Indira pula dia mendapatkan keterangan bahwa sejatinya Valentina itu selain ‘dilirik’ oleh Richard, sebetulnya juga diincar oleh Vanya untuk masuk ke tim mereka masing-masing.
“Tentunya. Kalau tidak, mana mungkin dipromosikan bahkan 'diperebutkan' oleh dua orang brand manager yang paling top, di kantor?” kata Marvin.
"Ya dong, Mbak-ku," sahut Veranda, menyombongkan kakaknya.
“Ada yang perlu aku bantu nggak?” tanya Marvin, sebelum Valentina sempat menyanggah ucapannya.
“Nggak usah. Tamu adalah Raja. Duduk saja, Mas,” suruh Veranda yang menyempatkan mengarahkan Marvin untuk duduk di sofa ruang tamu. Marvin menurutinya.
Ketika Marvin duduk di sofa, tangannya tak sengaja menyenggol meja tamu. Sebuah kertas meluncur jatuh. Ia memungutnya. Lantaran penasaran dengan tampilannya yang menyolok, Marvin membalikkan kertas itu. Terdorong rasa ingin tahu, ia menelusuri deretan huruf yang ditulis dengan huruf bulat-bulat itu. Sebentar saja membacanya, ia seperti mendapatkan visi.
‘Apakah ini untuk Valen? Mengapa dibiarkan begitu saja? Apakah dia tidak tahu, ataukah tidak ingin tahu, bisa jadi dia adalah yang dipilih,’ kata Marvin dalam hati.
“Kertas apaan tuh Mas?” tanya Veranda, yang telah lebih dahulu mendatanginya, sementara Valentina sedang mengeringkan tangannya.
Veranda meletakkan segelas air putih di atas meja, di sorongkannya ke arah Marvin.
“Diminum Mas. Atau, mau minum yang lain?” tanya Veranda.
Marvin agak gugup dan cepat-cepat meletakkan kertas yang tadi terjatuh, ke atas meja tamu.
“Nggak tahu ini, tadi jatuh. Oh, air putih saja. Sudah kekenyangan Mas, makan macam-macam. Ada jus pula, tadi. Terima kasih ya Ver,” kata Marvin, menyahuti sekaligus kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Veranda.
Veranda penasaran dan meraih kertas tersebut.
“Kok seperti puisi ya?” Veranda melemparkan pertanyaan retoris.
“Tahukah kamu? Mereka ada di sekitarmu. Mengintaimu. Memantau setiap pergerakanmu. Terkadang mengikutimu tanpa kamu sadari..,” ucap Veranda dengan gaya orang sedang berdeklamasi.
Langkah Valentina yang tengah mendekati Marvin dan adiknya terjeda. Bulu kuduknya terasa meremang tanpa dikehendakinya. Entah mengapa, suara Veranda barusan, terdengar asing di telinganya. Seolah-olah, suara adiknya itu mengandung aura mistis yang kental. Seperti ada kekuatan yang menggetarkan, dan terus terhantar hingga ke gendang telinga Valentina, menyebabkan 'kegaduhan' di dalam sana.
Bibir Valentina langsung bergetar.
“Ver, jangan dilanjutkan! Stop!” suruh Valentina, sembari menutupi kedua telinganya.
Marvin maupun Veranda tersentak dan menoleh kepadanya.
“Mbak Val! Kenapa?” seperti baru terbebas dari pengaruh sesuatu yang tak kasat mata, suara Veranda kembali normal. Veranda mendekati sang kakak. Dibimbingnya kakaknya itu untuk duduk di sebelahnya.
Dahi Marvin berkerut.
“Kamu nemuin kertas itu di mana?” tanya Valentina pada Veranda, begitu ia duduk di sofa berhadapan dengan Marvin.
“Itu.., ada di atas meja. Mas Marvin, nemuin di mana, tadi?” Veranda meneruskan pertanyaan Valentina.
Marvin terdiam sesaat. Ia berusaha mencerna kejadian singkat yang tengah berlangsung. Ia juga berusaha mengaitkannya dengan mimpi yang datang padanya.
“Tadi terjatuh dari meja,” kata Marvin sehati-hati mungkin. Betapa dia ingin memakai celah ini untuk memancing pembicaraan. Apa daya, dia telanjur memperkirakan bahwa reaksi Veranda akan bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuannya untuk membantu Valentina.
Valentina menggeleng.
“Nggak mungkin! Jelas-jelas kemarin lusa sepulang kerja itu aku nggak mengeluarkannya lagi dari saku blazer yang aku pakai. Dan tadi pun, di meja itu nggak ada apa-apa,” bantah Valentina dalam ragu dan takut. Dia sudah bersiap untuk memeriksa blazer yang dikenakannya di hari Jumat lalu, di keranjang pakaian kotor. Hanya saja, tangan Veranda telah lebih dahulu menahan gerakannya.
Veranda menatapi wajah Valentina dengan frustasi.
“Mbak Val, sudah deh! Cuma puisi. Mungkin kebawa dari belanjaan yang tadi kita beli, kan ada segala kertas brosur. Atau mungkin dari kemarin-kemarin memang ada di situ. Mungkin Mbak Val lupa,” kata Veranda.
“Enggak! Mbak ingat jelas nggak naruh di situ. Lagi pula, itu bukan punya Mbak. Itu kemarin lusa jatuh, sewaktu Mbak ambil pakaian kerja,” jelas Valentina. Dia mulai ngotot dan kurang memperhitungkan, ada Marvin di antara mereka.
“Ya sudah dong. Orang kan bisa saja lupa. Bukan nggak mungkin, itu pusinya yang nyewa unit ini, atau siapa deh. Sudah Mbak, nggak usah dipikirin. Kita cerita yang asyik-asyik saja,” tukas Veranda.
Marvin masih menahan diri. Dia tidak bicara satu patah kata pun. Tetapi, otaknya terus berpikir keras.
“Nggak mungkin, Ver!” suara Valentina mulai meninggi. Sepertinya, rasa takut mulai menyebar ke sel-sel tubuhnya. Apalagi, bayangan wajah Ivan juga berkelebat. Apa yang diucapkan oleh Ivan kembali terngiang di telinga Valentina.
“Enggak!” seru Valentina sambil menggelengkan kepala.
Veranda segera merangkulnya.
“Mbak! Please deh, jangan mulai lagi! Ini nggak baik, buat Mbak Val!” bisik Veranda, setengah iba, selebihnya gabungan antara sedih, marah, kecewa serta jemu.
^* Lucy Liestiyo *^