bab 1
putri maharani
Seorang gadis berusia dua puluh tahun berjalan cepat menuju rumahnya dengan senyum ceria. Dia ingin cepat-cepat pulang dan menunjukkan nilainya kepada ibu dan saudara perempuannya, dan dia berhasil mendapatkan nilai tinggi dari semua siswa di kelasnya. Ini jelas sangat membanggakan baginya, karena dia hanyalah seorang gadis dari kelas bawah, dan teman-temannya kebanyakan dari kelas atas dan sering menghadiri kelas. Senyumnya hilang ketika melihat sekelompok orang berdiri dan mengetuk pintu rumahnya. Orang-orang ini terlihat mengintimidasi, berotot dan memiliki tato di lengan mereka. Dia berani mendekati orang."Siapa kamu?" tanyanya.
“Apakah Anda pemilik ruangan ini?” tanya seorang pria berkacamata hitam.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?" Dia melakukan yang terbaik untuk menghilangkan rasa takut yang dia rasakan.
"Kami di sini untuk menagih hutang ayahmu," kata pria itu.
“Hutang? Tapi ayahku tidak pernah bilang kalau dia meminjam uang.” Jawab gadis itu curiga.
“Kamu bisa melihat secarik kertas ini dengan mata kepalamu sendiri.” Pria itu menyerahkan secarik kertas dengan jumlah pinjaman terbaik ayahnya tertulis di atasnya.
Gadis itu ragu-ragu sejenak, lalu mengambil kertas itu dan membacanya dengan seksama. Wanita itu menutup mulutnya ketika melihat nama yang sangat besar tertulis di bagian bawah kertas yang dibawanya.Ayah saya tidak mungkin meminjam uang sebanyak itu, bukan? Mengapa dia meminjam begitu banyak uang? ' tanyanya pada dirinya sendiri, lebih tepatnya.
“Nona, Anda harus segera membayar atau kami akan menyita rumah, tidak hanya itu, tetapi kami juga dapat melaporkan kepada pihak berwenang bahwa Anda tidak dapat melunasi hutang ayah Anda.” Pria itu membuat tubuh gadis itu kaku.
"Bisakah Anda memberi saya waktu untuk menghasilkan uang? Sekarang, saya sama sekali tidak punya uang. Tolong beri saya waktu, jangan sita rumah kami, dan jangan panggil polisi." Wajah gadis itu sedikit sedih, dan dia tangan bahkan terjalin dengan mata memohon.Semua orang yang hadir saling memandang dengan cemas, seolah mengkompromikan permintaan gadis di depan mereka.
“Oke, tapi kamu harus melunasinya sesegera mungkin. Kami hanya memberimu bulan depan, dan jika kamu butuh waktu, kami akan memberi tahu bos kami. Tapi sebagai syarat, kamu harus bisa membayar bunga satu persen atas utang itu. ... Kami memberi Anda waktu tiga hari untuk menemukan bunga satu persen itu," kata tangan kanan rentenir itu.
“Terima kasih telah memberi saya waktu.” Meskipun tidak banyak waktu, dia menganggap dirinya beruntung karena setidaknya hari ini para pria tidak memaksanya untuk membayar hutang.
Kerumunan pergi di depannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia meninggalkan dirinya yang berpendidikan di kursi malas di rumah dan melirik ke pintu. Dia lega melihat pintu rumahnya tertutup, yang berarti tidak ada orang di rumah. setidaknya ibu atau saudara perempuanTidak tahu tentang itu, dia tidak akan pernah menceritakannya.
“ apakah kamu di rumah?” Mendengar suara kakaknya, gadis itu langsung mengangkat kepalanya.
“Iya, kamu dan ibu dari mana?” tanya gadis bernama lengkap putri maharani itu.
"
Ibu mengatakan sebelumnya bahwa dia ingin pergi ke taman. Jadi aku membawanya, saudari, "jawab saudara itu.
"Kamu sudah di sini sepanjang waktu?" Ibu bertanya pada putri.
"Baru saja, Bu. Ayo masuk," kata putri.
“Mana kunci rumahnya?” tanya putri pada adiknya, Dinda
“Ayo, Kak.” dinda memberikan kunci rumah kepada kakaknya.
putri bergegas dan membuka pintu rumahnya, lalu dia dan dinda yang mengikuti di belakang menopang kursi roda ibunya.
"Bagaimana ujianmu?" tanya Ibu. Nampaknya Bu Candrika sudah tidak sabar mendengar apa yang dikatakan putri sulungnya itu.putri langsung gugup saat ditanya begitu, gadis itu bergegas menyembunyikan kertas yang hendak ia berikan kepada ibunya di dalam sakunya, sedikit meremasnya hingga sepertinya kertas itu pasti akan lusuh.
"Nilaiku sangat jelek," ujar Evely sambil tersenyum sedih. Ia sengaja berbohong karena ia sudah memutuskan suatu keputusan yang besar, ia akan mengorbankan impiannya karena saat ini hanya dirinyalah tulang punggung keluarga.
"Tidak apa-apa, setidaknya kau sudah berusaha keras. Ibu yakin kalau semester depan kau pasti akan dapat nilai yang tinggi," ucap Bu Candrica tersenyum menenangkan putrinya sambil menyentuh lengan putri.
"Tapi aku tak yakin itu, aku rasa ... kalau sebaiknya aku berhenti saja dari kampus." putri menghela napas dalam-dalam setelah mengatakan ini.
"Mengapa kau berkata begitu? Apa ada yang mengganggumu di kampus?" tanya Bu Candrica.
"Tidak ada yang menggangguku, Bu, hanya saja saat ini aku merasa sangat menyesal melanjutkan pendidikanku. Tak seharusnya aku tetap lanjut sementara nilaiku terus turun, aku takut kalau nantinya apa yang aku lakukan hanya sia-sia. Lebih baik aku bekerja keras saja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita dan biaya sekolah dinda," jawab putri
"Kau tak boleh berkata seperti itu, Ibu sangat yakin kalau kau pasti akan menjadi orang sukses. Jangan pantang menyerah menggapai impianmu, put" Meskipun ibunya mengatakan itu, tetapi keputusan putri tidak bisa diubah lagi. Ia sudah sangat yakin kalau ia akan mengorbankan pendidikannya karena hanya dirinya lah yang bisa berusaha membayar utang itu. Kalau ia tidak segera membayarnya, maka akan sangat menyakitkan bagi keluarganya.
"Aku sudah memikirkan ini matang-matang, Bu, aku harap Ibu bisa menghargai keputusanku. Semua ini demi kebaikan kita," ucap putri sambil menyentuh punggung tangan ibunya.
"Kak, aku tak akan lanjutkan sekolahku. Lebih baik Kakak tetap kuliah," ujar dinda yang sedari tadi diam.
"Tidak, kau harus tetap sekolah, din Pendidikan itu sangat penting, jangan pernah berniat putus sekolah."
"Kalau Kakak menganggap pendidikan itu penting, mengapa Kakak malah ingin berhenti?" putri terdiam mendengar pertanyaan dinda
'Sebenarnya aku pun tak ingin berhenti, hanya saja keadaan yang memaksaku. Ini semua demi kebahagiaan kita, maka aku yang harus mengalah.'putri membatin dalam hati.
"Penting bagimu, tetapi bagi Kakak tak terlalu penting. Kau harus rajin belajar supaya bisa sukses, jangan seperti Kakak." putri tersenyum sambil mengusap rambut dinda dengan sayang.
"Kau benar-benar yakin dengan keputusanmu, put?" Bu Candrica kembali bertanya.
"Aku yakin, Bu." putri menjawab dengan mantap, ia akan berusaha untuk mengumpulkan uang yang banyak kali ini. Agar kehidupan mereka kembali tenang setelah semua utang itu lunas, fokusnya saat itu hanya ini. Walau ada sedikit perasaan sedih ketika ia harus mengorbankan pendidikannya.