Dhafin Alsa Alganta dan Dhafa Alsa Angkasa, berjalan beriringan menuju ke dalam mansion. Mereka berdua baru pulang dari liburan bersama teman-teman mereka.
Alsa adalah singkatan dari Alganta dan Angkasa. Keluarga fenomenal yang mana, seorang perempuan mempunyai dua suami yang kaya dan tampan. Tapi sampai sekarang belum ada gosip-gosip miring pada keluarga Alsa. Sebuah keluarga terlihat harmonis dengan wanita memiliki dua suami sekaligus mempunyai lima orang anak kandung dan satu anak angkat.
Pernikahan aneh namun nyata. Tapi tidak patut dicontoh oleh orang-orang luaran sana. Memiliki dua suami bukanlah perkara mudah. Menyatukan tiga kepala, melayani, dan juga sebagainya.
Sebuah senyuman manis merekah pada bibir Dhafin dan Dhafa setelah dua minggu tidak pulang ke rumah, rasanya sangat rindu sekali. Apalagi mendengar dua medusa marah-marah alias Adik kecil mereka Zapia Alsa Almalik dan Moma mereka Amaranda Almalik. Moma adalah singkat dari Mommy-Mama. Dua perempuan yang selalu menjadi penganggu di saat semuanya sedang sibuk, serius, dan melakukan kesalahan mereka semua akan diolok-olok oleh Ara dan Zapia.
"Moma!! Pia!! Kami pulang!!" teriak Dhafin dan Dhafa Memanggil Moma dan Pia.
Dhafin dan Dhafa semakin tersenyum melihat dua orang tersayang mereka sedang berkacak pinggang.
"Baru pulang? Nggak pindah sekalian." sindir Amaranda Almalik—Moma—Dhafin dan Dhafa.
"Kirain udah hanyut di pantai!" kali ini ini Pia sang Adik berbicara. Pia menatap tajam pada kedua Kakak kembarnya.
Dhafin dan Dhafa tertawa melihat bagaimana Pia dan Moma mereka marah. Sebuah kejadian yang amat di rindukan oleh mereka berdua. Sebuah keluarga penuh perhatian yang jarang didapatkan oleh anak-anak luaran sana.
"Kami..., rindu kalian." Dhafin dan Dhafa memeluk Pia dan Moma mereka secara bersama.
Pia dan Ara berusaha melepaskan pelukan dari pria berupa sama ini. "Jangan peluk-peluk nanti kami terkena virus," Ara berucap sarkas.
Lagi dan lagi, Dhafin dan Dhafa malah tertawa. Kali ini mereka tertawa lepas, mendengar ucapan dari sang Ibu.
"Moma, jahat!" Dhafa melepaskan pelukannya terlebih dahulu baru kemudian Dhafin.
"Baru tau?" Ara membalikkan badannya dan berjalan menuju ruang keluarga. Yang terdapat anak-anak dan suami-suaminya.
Ara mengambil duduk ditengah suami pertama dan keduanya. Kelvin Prince Alganta adalah suami pertamanya dan Bryan Putra Angkasa adalah suami keduanya. Kedua pria ini selalu terlihat akur dan menyayangi dirinya sepenuh hati.
Ara sangat beruntung?
Pastinya. Ia adalah seorang wanita sangat beruntung memiliki dua pria yang mencintai dirinya. Pernikahan aneh yang dijalaninya sering jadi bahan hujatan, ejekan, dan lainnya. Tetapi, ia hanya diam dan tidak memedulikan orang-orang berkomentar pedas.
Yang menjalani kehidupan adalah dirinya bukan orang lain. Untung saja, negara yang ia tempati termasuk negara tidak memedulikan seseorang. Walau ada segelintir orang-orang akan menghujat, menghina, dan berkata pedas. Tapi hanya segelintir tidak banyak.
"Dhafin dan Dhafa sudah pulang?" Bryan suami kedua Ara bertanya pada istrinya itu.
Ara mengangguk. "Sudah, masih ingat jalan pulang ternyata." Bryan dan Kelvin tertawa mendengar ucapan dari istri mereka.
"Sudahlah, mereka sudah besar." ucap Kelvin.
"Mereka masih putra-putra kecilku," timpal Ara.
"Malam Daddy, malam Papa." Daddy adalah sebutan untuk Kelvin—suami pertama Moma-nya. Sedangkan Papa adalah sebutan untuk Bryan. Agar mereka semua tidak keliru memanggil kedua ayah mereka.
"Malam," Kelvin dan Bryan menjawab bersamaan. Selalu kompak, perhatian, dan sayang pada keluarga.
Kelvin adalah pemilik dari perusahaan Alganta Group yang sekarang dipimpin oleh Dhafin. Sedangkan Bryan adalah pemilik dari rumah sakit Angkasa Hospital yang sekarang dipimpin oleh Dhafa.
"Kalian kenapa lama sekali pulang. Kesibukan perusahaan dan rumah sakit membuat kami berdua susah," ucap Bryan menatap pada putra kembarnya ini.
Dhafin dan Dhafa tertawa kecil. "Kami memperpanjang masa liburan," jawab Mereka tanpa dosa.
"Kakak selalu begitu," Kanaya Alsa Almalik. Anak angkat dari orangtuanya angkat bicara menatap sebal pada mereka.
Walau Kanaya adalah anak angkat. Tapi mereka sangat menyayangi Kanaya sebagai Adik mereka. Sama seperti mereka menyayangi Abraham Alsa Almalik, Fisha Alsa Almalik, dan Zapia Alsa Almalik. Mereka mempunyai empat adik. Tiga perempuan satu lelaki.
"Hahaha... sesekali Nay," Dhafa mengacak rambut pirang nan panjang milik Adiknya ini.
Naya menepis tangan Kakaknya. "Jangan! Ntar berantakan lagi!"
"Memangnya kamu mau ke mana?" Dhafin bertanya menatap Adiknya penuh selidik.
Naya menggeleng. "Tidak ke mana-mana. Di rumah aja," jawab Naya, merebahkan kepalanya di atas paha Dhafa.
Kanaya, Fisha, dan Pia seringkali bermanja pada saudara-saudara lelaki mereka. Apalagi Naya yang sangat bersyukur memiliki keluarga Alsa. Walau ia bukan anak kandung dari keluarga, tapi keluarga Alsa sudah menganggap dirinya bagaikan anak kandung.
Dhafa mengusap rambut Naya penuh kasih sayang. "Kau sudah punya kekaksih?" tanya Dhafa.
Naya menggeleng. "Belum,"
"Sebaiknya tidak usah. Aku tidak kau Adik-adikku ternoda oleh seorang pria,"
Dhafin dan Dhafa tidak mau adiknya ternoda oleh seorang lelaki hidung belang. Mereka berdua memang lelaki tidak baik-baik. Tetapi mereka selalu menjaga adik perempuan mereka sepenuh hati. Tidak mau terjebak dalam hal-hal menjerumuskan dalam dunia bebas.
Walau s*x sudah dibebaskan dalam negaranya. Namun mereka sebagai Kakak tertua berharap Adik mereka tidak mengikuti gaya s*x bebas.
Naya dan Fisha mencibir. "Seperti kalian saja tidak menodai seorang wanita," Dhafin dan Dhaf tertawa. "Mereka yang mau sama kami," ucap Dhafin enteng. Mereka tidak mau repot-repot menggoda seorang wanita. Kecuali wanita itu sendiri yang melemparkan diri pada mereka.
Abra hanya diam tidak mau ikut berbincang bersama keluarganya. Sifatnya pendiam, dingin, datar, dan jarang tersenyum. Membuat keluarga Alsa sering membuat lelucuan di hadapan Abra. Tapi tetap saja Abra tidak tertawa dan tersenyum.
"Abra diam-diam saja," Dhafin menggoda Abra. Dengan mencolek dagu Abra.
Abra mendesis melihat kelakuan Kakaknya. Abra berdiri dari duduknya berjalan menuju lift mansion. Mansion yang luasnya melebihi lapangan sepakbola ini. Di fasilitasi oleh lift, mall kecil, bioskop, dan lain sebagainya. Semuanya sudah lengkap oleh Bryan dan Kelvin.
"Sepertinya Abra kekurangan kasih sayang dari Jubaedah." Mereka berdua berbicara dalam bahasa Indonesia. Negara dari Neneknya sebelah Bryan dan Ara.
Keluarga Alsa tertawa mendengar ucapan dari Dhafin dan Dhafa. Abra yang masih tidak terlalu jauh, dapat mendengar ucapan dari pria kembar tersebut.
Terserah mereka saja. Selalu kata-kata itu menyemangati Abra saat di-bully dan diejek oleh saudara-saudaranya.
Abra bukan tidak mau melawan. Tapi ia tidak mau berdebat dengan saudara-saudaranya. Cukup ia diam dan tidak mendengarkan. Ia memang bukan pribadi menyenangkan semenjak sebuah kejadian menghancurkan hatinya dan membuat dirinya seperti ini.
"Sudah! Jangan ganggu Abra terus. Ia itu hanya seorang pria sedang terluka hatinya," Ara tersenyum sendu. Membayangkan dua tahun yang lalu Abra menangis-nangis akibat kekasih hatinya meninggal dunia.
Abra adalah pria tidak mau berhubungan dengan seorang gadis bila, tidak sungguh-sungguh mencintai gadis tersebut. Mantan kekasih Abra adalah orang yang pernah merasakan cinta Abra sampai sekarang. Meninggalnya Sharen membuat Abra membentuk pribadi yang baru.
Setiap orang mempunyai cara sendiru menutupi sebuah luka.
"Sharen sudah tenang di sana. Tidakkah Abra ingin mengenal seorang gadis lagi?" Dhafin bertanya pada keluarganya.
"Kami tidak tau," Bryan angkat bicara. Menatap miris pada nasib Abra.
"Sudahlah, Abra akan mencintai seorang perempuan nantinya." Ara menyemangati seluruh keluarganya.
"Kami ke kamar dulu," Dhafin dan Dhafa bangkit dari posisi duduknya. Berjalan menuju lift yang akan mengantarkan mereka pada lantai tiga letak kamar mereka berdua.
Dhafin dan Dhafa pria kembar bersifat ceria, murah tersenyum, dan humoris. Namun dibalik sifat mereka tidak ada yang tau. Mereka menyimpan banyak sebuah rahasia.