Bab 3. HAMIL?!

3070 Words
"Woi!!! Ganteng banget!" Jerit Ara dalam hatinya. "Mau meninggal, tahu gak?. Sumpah! Ini kayak pria-pria tampan yang ada di n****+. Mimpi apa gue semalam bisa melihat wajah kak Ken sedekat ini?!" Lanjutnya. Ia menutup mulutnya tak mau mengeluarkan jerit kekaguman yang akan membuat tidur Ken terganggu. Ia bahkan menutup wajahnya sendiri yang sudah salah tingkah melihat Ken dari jarak yang begitu dekat. Jemarinya hendak ingin berlabuh di wajah Ken, namun ia seketika tersadar dengan apa yang ia lakukan dengan Ken semalam. Itu adalah garis kepasrahan antara mau dan menolak. Satu sisi, ia menolak karena tidak ada ikatan sah yang yang mereka miliki. Satu sisi lagi karena Ara yang sangat mengagumi Ken dalam diam, sampai-sampai setiap malam selalu memaksa Ken hadir dalam setiap mimpinya. "Tapi..." Ara lemah mengetahui dirinya yang sudah tak per*wan lagi. Ia sontak berbalik, membelakangi Ken. Pikirannya kini penuh dengan reaksi apa yang akan dia dapatkan ketika nantinya keluarganya mengetahui hal ini. Seketika, air matanya lolos. "Papa, mama, kak Ed, maafkan Ara. Ara gak sengaja melakukan ini. Ini juga karena Ara gak bisa ngendaliin diri sendiri. Maafkan Ara, please." Batinnya. "Aca..." Gumam Ken, masih dengan keadaan mata yang tertutup. Mendengar hal itu, Ara berbalik dan memperhatikan Ken. Dalam tidurnya, Ken selalu menyebut nama Aca, bahkan sempat air matanya lolos tanpa sadar, dengan keadaaan yang yang masih tertidur. Padahal, semalam pria itu merenggut keper*wanan dari adik temannya, sekaligus dari fansnya. "Ya Tuhan, sakit sekali mendengar kak Ken menyebut nama Kasandra dalam tidurnya. Padahal semalam dia--" Ara tak bisa melanjutkan ucapannya dalam hati. Ia hanya bisa menahan rasa sakit yang ditorehkan oleh Ken secara tak sengaja. Ara kalut. Ia menangis tanpa bersuara, menutupi tubuhnya dengan selimut tipis yang ia gunakan satu berdua dengan Ken. Muak, Ara muak mendengar nama Kasandra yang selalu di sebut. Ia sampai menutup telinganya sendiri, seraya tangis dan hatinya yang berdenyut kesakitan. "Aca... Tidak ada perempuan selain kamu dalam hidupku. Please, jangan tinggalkan aku. Jangan tolak lamaranku," gumam Ken, semakin membuat Ara sakit hati. "Oke, cukup! Ada menyingkap selimut yang mereka pakai. Memungut bajunya dan memakainya dengan cepat. "Aku lelah berharap terus. Aku juga manusia yang bisa sakit hati. Daripada begini terus, aku lebih baik tak mengenal kak Ken sekalian, daripada terus disakiti." Ujar Ara dengan nada yang sangat rendah. Ara selesai memakai bajunya meski masih kusut. Ia kembali mendekati sisi ranjang Ken, berjongkok di sana. Ia memperhatikan wajah damai Ken yang masih tidur. "Kamu memang baik dan tampan, kak. Tapi sayang, bagaimanapun aku berusaha, sejauh manapun aku mengejar kakak, aku akan kalah dengan perempuan yang jauh segalanya dariku, kak. Aku harap, kakak tidak mengingat apa yang sudah kita lakukan semalam. Semoga bahagia dengan pilihan kakak, dan semoga Ara diberikan ketabahan untuk mencoba melupakan kakak. Aku akan membakar semua foto kakak di kamar Ara, dan semua file foto kakak di laptop Ara. Semoga ini jalan yang terbaik." Ujarnya dengan nada rendah. Jemari Ara hendak mau berlabuh lagi di alis Ken yang begitu menarik perhatian. Namun, harapan itu langsung terhempaskan ketika Ken kembali menggumamkan nama Kasandra. "Aca terus yang disebut. Kapan Ara-nya kak?" Tanya Ara dalam hati, mencoba tabah. Menghela nafas kasar, Ara mengambil ponselnya. Ia sudah bertekad untuk melupakan tentang Ken. Ketika ia hendak keluar dari kamar pria itu, tak sengaja ia melihat bercak kemerahan di sisi ranjang samping Ken. Ia mendekat untuk memastikannya. "Pantas aja sakit banget. Darahnya sampe nempel gitu." Ujarnya. Ia membuka aplikasi kamera di ponselnya dan memotret hal itu. "Biar ada bukti kalau Ara udah tidur sama kak Ken." Ucapnya. "Meski dia gak ngaku juga, sih." Sambungnya pasrah. Ara benar-benar keluar dari kamar Ken. Seraya berbisik pada dirinya sendiri untuk senantiasa kuat. "Masih banyak pria di luaran sana, Ara. Ingat! Kakak kamu punya banyak album cogan di agensinya. Jangan resah, jangan galau, kamu pasti gak jomblo selamanya!" "Tapi kak Ken gantengnya gak ada tandingan, woi!" Sesalnya lagi. *** "Kamu udah selesai kan disana?" Sayup-sayup terdengar pertanyaan dari Edward kepada adiknya yang masih sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. "Hmm..." Balas Ara dengan malas. "Memangnya kamu menginap di mana itu, dek?" Tanya Edward lagi. Tipikal kakak laki-laki yang cerewet kepada adik kandungnya, dalam hal yang positif. "Ulu Segara Luxury Suites & Villa." Jawab Ara singkat. "Loh, sama dong dengan Ken dan Aca?" Tanya Edward, memperjelas kesakitan Ara. Dia membatu setelah mendengar kedua nama itu di sebut. Ia tersenyum, hanya saja senyum itu entah mengartikan apa. "Mungkin. Tapi sayangnya Ara tak bertemu dengan mereka, kak. Lagipula, Ara sudah mau pulang sore ini. Buat apa ketemu mereka?" Ara menyambar ponselnya yang berada di atas ranjang, membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Ia akan tetap bicara dengan kakaknya sambil mandi. Tenang saja, ini hanya panggilan suara, bukan panggilan video. "Lah, kok tumben gak berapi-api kalau kakak nyebut nama Ken?" Tanya Edward keheranan. Ia sempat menertawakan gelagat aneh adiknya. Ara menatap dirinya di depan cermin yang ada di kamar mandi. Bibirnya memang tersenyum, hanya saja hatinya yang menangis dan dikatakan lantang oleh air matanya. "Kakak Ken sangat sulit untuk aku jangkau. Semakin aku berusaha, semakin aku tersakiti. Semakin aku merusak diriku sendiri dengan harapan yang belum tentu pasti akan aku dapatkan. Lebih baik melepaskan dibandingkan menggerogoti diri sendiri dengan perasaan yang tak terbalas." Batin Ara. "Dek?" "Sudah lah, kak. Aku akan pulang sore ini. Bye!" Ara memutuskan panggilan itu. Ia sudah bertekad untuk melupakan semuanya. Ia akan mulai menjalani hidupnya sama seperti sebelum mengenal Ken. "Aku pasti bisa!" Ujarnya menyemangati diri sendiri. "Kalau kangen, tinggal liat fotonya aja. Jangan ketemu orangnya langsung, yang nantinya akan menggumamkan nama perempuan lain." Ucapnya. Seketika ia teringat saat Ken mengagumkan nama Kasandra terus, "tidak, Ara!. Tidak ada foto, tidak ketemu, dan tidak mengenal sama sekali. Itu lah yang harus kamu lakukan sekarang, Ara!." "Kamu pasti bisa tanpa bayangan dan haluan dari kakak Ken!" Jeritnya dalam hati, lagi. *** Ara sudah siap. Ia tinggal meninggalkan villa dan beranjak ke Bandara untuk pulang ke Jakarta secepatnya. Tok... Tok... Dengan cepat Ara melepas ponselnya. Ia beranjak untuk membuka pintu untuk orang yang belum ia ketahui itu. "Iya?" Deg. "Kak Ken?" Batin Ara. Sontak, Ara langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi dingin. Ia menunduk, memberi jarak dengan Ken. "Hai, Ara!" Sapa Ken dengan begitu semangat. "Hai...." Balasnya lemah. "Lah, kok tumben lemes gitu? Ada apa dek?" Tanya Ken. Ara menggeleng, "tidak ada, kak." "Kakak boleh masuk gak?" Tanya Ken. Ara memberanikan diri untuk mendongak, menatap Ken.  Ia dengan tegas mengatakan, "tidak, kak. Ini kamar anak gadis. Lagian, untuk apa kakak masuk?. Asa sudah mau balik ke Jakarta." Ungkapnya. Terlihat kekecewaan dalam Ken, "yah... Padahal kakak mau ajak kamu jalan-jalan sama kami kalau kamu gak pulang. Kakak baru saja dapat informasi dari Ed kalau kamu ada di sini." "Apa dia tidak mengingat kejadian semalam?. Ah iya, dia hanya mengingat melakukannya dengan Aca, bukan Ara. Sakit sekali everybody!"  Batinnya. Ia menyembunyikan luka kekecewaannya. "Lagian, kalau aku ikut dengan mereka jalan-jalan, pada akhirnya aku akan menjadi nyamuk saja. Aku lebih baik sendiri, tahu gak?" Katanya dalam hati lagi. "Tidak, kak. Terimakasih atas tawarannya, tapi Ara harus cepat balik ke Jakarta. Ara ada kuliah besok." Ujarnya memberikan alasan. "Oke. Kalau begitu kakak antar ke bandara ya? Kakak mau memastikan kamu selamat sampai disana saja, dek." Ucap Ken terdengar begitu manis. "Tidak perlu, kak. Ara sudah gede, gak perlu dianter-anter lagi. Kakak teruskan saja quality time dengan kak Kasandra." Ara mengambil kopernya ke dalam. Ia tak tahu kalau Ken juga masuk ke dalam. Ketika tangannya hendak menggapai koper itu, tangan Ken lebih dulu menggapainya. "Biar kakak saja. Kamu tunggu di depan." Ujar Ken. "Biar Ara saja, kak. Nanti kak Kasandra salah paham. Ara agak malas berseteru lagi." "Tidak. Dia tidak akan salah paham, kok. Malah bagus kalau dia sampai cemburu." Kata Ken, membuat Ara salah paham. "Jadi maksudnya biar Kasandra cemburu dan menjambak rambut Ara, gitu?" Cerca Ara sambil menatap Ken kesal. Hanya saja pria itu tidak bisa peka dengan perempuan yang ada di depannya ini. Tak mau membuatnya menjadi panjang, Ara melengos keluar kamar. Ia berjalan dengan begitu cepat, bahkan sampai mengabaikan Kasandra yang melambaikan tangannya dengan senyuman yang begitu manis. Tidak perlu menunggu lama, sudah ada taksi yang menunggu di depan. Ken memasukkan koper Ara ke dalam bagasi. "Hati-hati ya, dek. Nanti kalau sudah sampai bandara kamu kasih tahu kakak. Bila perlu telpon kakak, oke?" Pinta Ken. Ara tak menjawabnya. Ia melengos dan langsung masuk ke dalam taksi. Ketika ia hendak menutup pintu mobil itu, ditahan oleh Ken. "Bisa kan dek?. Nanti kabari kakak kalau sudah sampai di bandara?" Pinta Ken, lagi. "Kenapa kakak malah perhatian seperti ini setelah Ara sudah memutuskan untuk melupakan kakak. Kalau seperti ini kan Ara bingung kak. Mau melupakan kakak, tapi masih kepikiran dengan perhatian kakak yang seperti ini." Batin Ara. Ia menatap lekat pria di depannya ini. "Dek, bisa kan?"  Tanya Ken, lagi. Ara mengangguk, "nanti kalau ada paket internet, kak. Kalau ada baterai hp juga." Jawabnya ketus. Ia menarik pintu mobil itu dan menutupnya. Ia fokus memandang ke depan, bukan ke arah Ken yang masih menatapnya kebingungan. Tak menyerah begitu saja, Ken bicara dengan sopir yang membawa Ara. "Pak, bawa adik saya dengan selamat ya, pak." Ken mengeluarkan dompetnya. Ia mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya kepada sopir itu. "Pak, ini bonus untuk bapak. Tolong bawa adik saya sampai selamat ya, pak." Kata Ken, kemudian menatap Ara yang juga sedang menatapnya. Tak berlangsung lama karena Ara sendiri yang memalingkan pandangannya ke arah lain. "Percuma. Ara sudah terlanjur kecewa, kak." Gumamnya pelan, sampai rasanya hanya dirinya saja yang mendengarnya. "Dek," panggil Ken. "Jalan saja, pak. Saya takut ketinggalan pesawat." Ujar Ara, mengabaikan panggilan dari Ken. *** Ara masuk ke pesawat, mencari kursi pesawat yang sesuai dengan tiketnya. Kini tidak seperti sebelumnya. Dia tak perlu lagi bersembunyi, tak perlu lagi memasang cermin kecil miliknya sebagai cctv yang akan menyoroti Ken dengan Kasandra. Kini, ia bebas. "Loh, kita ketemu lagi?" Sontak, Ara menoleh dan menatap seseorang yang berseru kepada-nya. Ternyata, ia satu pesawat lagi dengan wanita beranak satu, yang anaknya juga merupakan fans berat Ken. "Hai!" Sapa Ara. "Ternyata kita bersebelahan lagi," kata Ara ketika ia melihat tiket pesawat yang ada di tangannya. Ara duduk senyaman mungkin di dekat wanita itu. Perasaannya sedikit terasa ringan, dibandingkan dengan saat Ken berada di depan kamarnya. Mungkin karena dia sudah menemukan sosok yang satu frekuensi dengannya. "Bagaimana? Sukses bertemu aktor Ken?" Tanyanya. "Sukses." Jawab Ara dengan cepat. "Sukses mengecewakan diri sendiri. Menyakiti diri sendiri. Merepotkan diri sendiri." Lanjut Ara dalam hatinya. "Syukurlah," ujar wanita itu. *** Kepulangan Ara dijemput oleh kakaknya, Edward. Ia juga tak menyangka kalau kakak yang selama ini sering ia ajak bertengkar setiap hari, bisa begitu perhatian padanya. Sikap perhatian dari kakaknya ini membuat Ara tersentuh, terlebih ketika ia melihat bouquet bunga yang di bawa oleh Edward. Ara seakan berlari agar lebih cepat sampai di depan kakaknya yang sedang merentangkan tangannya. Ara langsung memeluk Ed. Ia memeluk pria itu dengan sangat erat, bahkan rasanya akan begitu banyak yang akan salah paham dengan mereka. Mungkin saja banyak yang akan ber-ekspetasi kalau mereka adalah sepasang kekasih, bukan adik-kakak. "Kakak kangen, dek. Gak ada teman yang bisa diajak berantem." Kata Ed sambil memeluk Ara, adiknya. "Ara juga, kak. Maafkan Ara yang sudah melakukan kesalahan. Itu di luar batas kemapuan Ara. Di luar kendali Ara, " ujar Ara, yang ternyata menangis di pelukan kakaknya. "Maksud kamu apa, dek? Luar kendali apa?" Tanya Ed. Seketika Ara tersadar. "Mampus! Gue hampir saja keceplosan." Cercanya dalam hati untuk dirinya sendiri. Langsung saja, Ara melepaskan pelukannya dari kakaknya. Menatap kakaknya dengan sorot mata kekesalan. "Ara kan gak suka bunga, Ed! Ngapain ngasi gue bunga!" Kesal Ara, yang sebenarnya hanya sebagai alibinya saja. Dia menarik kopernya sendiri keluar dari bandara, meninggalkan Edward yang menatapnya kebingungan. "Gak suka bunga?. Padahal kamarnya penuh bunga, lho. Aneh," gumamnya pelan, kemudian menyusul adiknya. *** Satu bulan berlalu. Ara fokus dengan kuliahnya dan hampir tak pernah lagi menjadi bertengkar dengan mahasiswi lain untuk memperebutkan siapa yang lebih berhak menjadi istri halu Ken. Bahkan, setiap kali mereka mencoba untuk memancing perdebatan dengan Ara, Ara langsung menghindar. Ara sudah memutuskan untuk tidak menjadi fans berat Ken lagi. Meski awalnya terasa berat dimana dia harus membuang semua poster Ken yang ada di kamarnya, menghapus foto-foto Ken yang tersimpan di laptopnya yang sampai menghabiskan penyimpanan sebanyak 10 GB, bahkan ia juga tak pernah menyebut nama Ken di depan kakaknya. Hal itu tentunya sangat aneh bagi Edward. Terlebih, hasrat Ara untuk hidup setiap hari kian menurun, membuat Edward khawatir. Sampai-sampai suatu hari Edward mengajak Ken untuk datang ke rumahnya karena Ara yang sakit demam. Semakin membuat Ed dan Ken kebingungan ketika Ara yang menolak Ken untuk datang ke rumah. Ia bahkan sampai mengunci kamarnya sendiri. Dan hari ini, satu hari sebelum ulang tahun Ara, perempuan itu merasakan hal yang begitu aneh dalam dirinya. Ia merasakan perubahan yang membuatnya kebingungan terus setiap saat. Emosinya yang naik turun, sering sakit-sakitan yang bermula dari setelah ia pulang dari Bali, dan terkadang dia mual dan muntah di pagi harinya. Bahkan, ada satu hal yang membuatnya ketakutan adalah ia sudah telat 3 Minggu dari periode menstruasinya. "Gak mungkin!" Ara menatap nanar benda kecil panjang yang ia pegang sekarang. Benda yang menunjukkan garis merah sebanyak dua, yang pada dasarnya meruntuhkan hidupnya secara instan. Bulir air mata Ara keluar seketika tanpa di suruh. Tubuh Ara pun ikutan meluruh, tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang ini. "Gue tidak mungkin HAMIL, kan?. Ini pasti error." Ujarnya. Ara mengambil dua testpack lagi di tasnya. Sore hari tadi dia keluar dari rumah tanpa sepengetahuan orang rumah, untuk membeli tespack akibat kecurigaannya pada dirinya sendiri. Dan naasnya, dua tespack itu menunjukkan data yang sama. DUA GARIS MERAH. *** Ara kebingungan mau melakukan apa. Dia menyembunyikan dirinya di bawah selimut, menangis seorang diri. Bahkan bajunya yang basah dia abaikan. Itu karena sesaat setelah ia mengetahui tentang dirinya yang hamil, ia langsung membersihkan dirinya dari rasa kotor dari dirinya sendiri. Ia menggunakan benda paling kasar sekalipun agar bisa menghempaskan perasaan kotor itu dari dalam dirinya. Nyatanya, itu tidak mempan. Ia malah semakin menyakiti dirinya sendiri. "Ara harus melakukan apa?" Tanyanya. "Ara tidak mungkin mengatakan pada papa, mama, dan kak Ed kalau Ara hamil, kan?. Dia pasti akan sangat marah dengan Ara." Gumamnya pelan. Ia menangis sampai rasanya air mata itu tak lagi sudi keluar dari matanya. "Tidak. Ara gak boleh diam terus seperti ini. Ada harus ke rumah kak Ken bagaimanapun caranya. Dia harus bertanggungjawab!" Ujarnya. Dengan cepat Ara menyambar jaket dari dalam lemarinya tanpa harus mengganti bajunya yang basah. "Dek mau kemana?" Tanya Edward ketika melihat Ara yang melewati ruang tengah. Nyatanya, Ara tak menjawabnya sedikitpun. Ia terus berjalan keluar dari rumah. *** Tidak lamaa akhirnya Ara sampai di rumah Ken menggunakan taksi yang belum ia bayar. Ia menyuruh sopir itu untuk menunggunya karena ia pikir tak perlu berlama-lama ada di sana. Ara membunyikan bel rumah. Tidak lama, Ken membukakan pintu untuknya. "Hai, Ara. Yuk masuk." Ujar Ken. Takut berani, Ara menatap Ken. Ini adalah pertemuan pertama Ara dengan Ken setelah hampir sebulan tidak bertemu, terhitung dari menghabiskan malam saat di Bali. "Kak Ken, nikahi aku!" Ujar Ara. "Loh, kenapa aku harus nikahi kamu, dek?" Tanya Ken kebingungan. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya sedikit tertawa. Ara memberikan tespack itu kepada Ken. "Aku hamil. Nikahi aku!" Ujar Ara. Ken mengambil benda kecil itu dari telapak tangan Ara. Dia menggeleng penuh ketegasan, menatap Ara dengan tatapan kasihan. "Gak bisa, dek." Ujarnya. Deg. "Kenapa?" Tanya Ara terdengar lemah. Dia sangat kecewa dengan apa yang dikatakan oleh Ken. "Aca sudah terima lamaran kakak." Jawab Ken. "Ya Tuhan..." Batin Ara, semakin merasa hancur. "Lagipula, kakak juga gak pernah merasa telah menghamili adek. Jadi, buat apa kakak bertanggung jawab?" Tanya Ken. Pertanyaan itu nyatanya semakin memperjelas posisi Ara. Dia tak berarti apa-apa bagi Ken. Ken dan Ara saling tatap untuk waktu yang sedikit lama. Ken menatap Ara dengan biasa saja, sedangkan Ara sudah menitikkan air mata. Dengan cepat Ara menyambar tespack yang sedang dipegang oleh Ken. "Ara cuman bercanda saja, kak. Ara gabut gak punya kerjaan. Ara pulang saja." Kata Ara, menghapus air mata di pipinya. Tangan Ara ditarik oleh Ken, "dek. Kamu beneran hamil? Ed sudah tahu?" Tanya Ken. Ara berbalik, menatap Ken dengan sorot mata terluka. "Sudah Ara katakan kalau Ara gak punya kerjaan. Ara cuman bercanda saja. Mengerti?" Tanyanya, menekan setiap kata. Ia menarik tangannya dari genggaman Ken, berlalu meninggalkan rumah Ken. "Hancur. Aku sudah hancur." Gumam Ara berjalan keluar dari rumah Ken. Ara tidak masuk ke taksi yang sebelumnya, melainkan jalan kaki dengan arah yang bertolak belakang dengan yang seharusnya. "Mbak!." "Mbak belum bayar," ujar Sopir taksi itu, membuat Ara berhenti. Ara melepas cincin yang ada di jari tengah tangan kanannya. Memberikan benda itu kepada sopir itu, "maaf, pak. Saya hanya punya ini. Bapak bisa menjualnya dan harganya bahkan lebih dari sepuluh kali naik taksi bapak. Maaf ya, pak." Ujarnya. Setelah memberikan itu, Ara pergi. Berlari, membawa perasaan hatinya yang sudah tergores luka. "I'm done!" *** Malam ini adalah ulang tahun Ara. Ara memohon pada papa dan kakaknya sebagai penyelenggara pesta untuk jangan mengundang banyak orang. Bahkan Ara saja yang ulang tahun tak mengundang temannya untuk datang merayakan. Kini, mereka sedang makan malam bersama dengan para tamu setelah tadi selesai potong kue. Sebenarnya ada beberapa orang yang Ara sesalkan datang ke acara malam ini, termasuk diantaranya adalah Ken yang datang dengan Kasandra sebagai pasangan kekasih. Hal itu membuat Ara semakin tidak bertenaga untuk ikut makan malam. "Dek, kenapa kamu gak kasih tahu sama papa kalau kamu ada masalah di kampus?" Tanya papa pada Ara yang sedang menatap piring makannya percuma. "Pa, kan Ed sudah bilang kalau jangan bah--" "Pa, Ara mau pindah kuliah." Sela Ara. Ia menatap papanya, bergantian ke mamanya dan Edward. "Kemana?. Jangan main-main dek, kakak gak mau ya kalau kamu kuliah jauh-jauh dari rumah." Ujar Edward. Ia begitu khawatir dengan hal itu. Ara tersenyum, hanya sebentar saja. Ia menatap Ken yang juga sedang menatapnya. "Malah, Ara mau jauh-jauh dari rumah." Ujarnya sambil menatap Ken. Kasandra menyadari kalau Ara sedang menatap Ken, yang membuatnya langsung mengalihkan perhatian Ken kepadanya. Hal itu membuat Ara menertawakan dirinya sendiri. Memperlihatkan semakin tak berharganya dia di hadapan Ken. Ara melengos, kini menatap papanya, lagi. "Ara mau kuliah di Amerika. Ara juga sudah daftar dan tinggal pindah saja. Ara pikir kalau Ara sudah dewasa, bisa membuat keputusan sendiri. Ara harap kalian bisa mengerti keputusan Ara." Ujarnya. Ia meninggalkan meja makan. Naik ke atas, menuju kamarnya. Sambil menaiki anak tangga, Ara menekan dadanya yang terasa sakit. Ia membiarkan air matanya mengalir. "Ara siap menjauh dan sakit sendiri." Gumamnya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD