Tale 102

2262 Words
Suster Ayla tersenyum mendengar pertanyaan Garlanda. Senang karena akhirnya Garlanda bisa bertahan cukup lama setelah ia terbangun. Dan juga senang karena pemuda itu sudah ada inisiatif untuk bertanya sedang berada di mana dirinya. Karena selama ini, Garlanda sama sekali belum menunjukkan perkembangan seperti itu. "Garland, kamu sekarang sedang berada di tempat yang aman. Di sini kamu sedang diobati. Supaya kamu bisa segera kembali sehat seperti semula. Kamu mengerti?" Garlanda terdiam. Meskipun sudah dijawab oleh suster Ayla, namun jawaban itu sebenarnya sama sekali belum menjawab pertanyaannya. "Tempat aman di mana? Pengobatan atas apa? Tolong jawab, Sus!" Garlanda akhirnya menjawab kembali, dengan menanyakan lebih detail tentang apa yang ingin ia ketahui. Suster Ayla tertegun. "Garland ... kamu ...." Belum selesai Suster Ayla menjawab, tiba-tiba tubuh pemuda itu jatuh tersungkur menghantam dinginnya lantai. Suster Ayla pun segera berlutut untuk memeriksa kondisi Garlanda. Ternyata ... pemuda malang itu kembali tertidur. "Garland ... Garlanda ...." Suster Ayla coba membangunkannya. Tapi percuma, karena Garlanda sudah kembali masuk dalam tidur yang dalam. Suster Ayla pun segera mencari bantuan, untuk membawa kembali Garlanda ke atas ranjangnya. *** Ayla berdiam diri di dalam kamarnya. Sudah 1 bukan sejak ia menjadi begitu dekat dengan Jodi. Mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Mereka bahkan tidak sungkan memosting kedekatan mereka di media sosial. Hingga semua orang mengira bahwa Ayla adalah pacarnya Jodi. Ayla sempat merasa bahagia atas status-nya yang banyak dikira sebagai kekasih Jodi. Tapi ... lama kelamaan terasa ada yang janggal. Ayla pikir, seiring berjalannya waktu Jodi akan menyatakan perasaan padanya. Ternyata ... hingga detik ini pun Jodi tetap belum melakukannya. Entah lah apa maunya Jodi. Apa ia ingin menjalani hubungan tanpa status, yang penting sudah tahu keduanya sama-sama suka, dan bahagia menjalani apa yang mereka miliki sekarang? Tali Ayla tidak mau seperti itu. Ia butuh hubungan yang jelas. Apa ia bilang pada Jodi saja apa yang ia mau? Sehingga Jodi bisa melakukan apa yang Ayla inginkan? Tapi ... bagaimana caranya, ya? Ponselnya bergetar di atas meja nakas. Ayla langsung mengambil ponselnya itu. Ternyata ada telepon dari Jodi. "Halo ... iya, Jod? Kenapa?" "Uhm ..., La ... malam ini ketemu, yuk?" Iya, kan? Jodi kembali mengajak bertemu. Kalau hubungan mereka sekadar berteman biasa, tidak mungkin kan jika Jodi sangat sering memintanya untuk bertemu. Apa lagi setiap mengajak bertemu begini, Jodi tidak pernah melibatkan orang kain. Bahkan Fariz dan Iput pun tak dilibatkan. "Mau ketemu di mana, Jod? Jam berapa?" tanya Ayla dan segenap kelemahannya yang memang tak akan pernah bisa menolak permintaan Jodi. "Uhm ... nanti gue jemput aja, deh. Tempatnya di mana, nanti biar jadi surprise aja. Yang penting jam 7 tepat lo harus udah siap." "Astaga ... sok misterius segala. Ya udah deh. Ada dress code, nggak?" "Uhm ... ntar kayaknya gue pakai kemeja warna krim. Lo nyesuain aja, ya." "Oke." "Ya, udah. Kalau gitu sampai jumpa nanti malam, ya." "Hm ...." Sambungan telepon pun kemudian terputus. Ayla masih menatap layar ponselnya dengan tatapan gusar. Bagaimana, ya? Ayla memiliki sedikit pikiran di otaknya. Apa nanti ia mengatakan saja pada Jodi saat keluar itu, meminta kejelasan untuk hubungan mereka? Tapi pertanyaannya, Ayla berani atau tidak? Astaga ... ini benar-benar sulit. *** Ayla memagut dirinya di cermin. Ia mengenakan gamis dress warna kombinasi cream dan navy. Dengan hijab berwarna senada. Ayla tak lupa sedikit memoles make up tipis, supaya ia tak terlihat pucat. Terakhir Ayla mengenakan sedikit parfum. Dan menyangklong tas selempang kecilnya. Ayla menatap tas selempang itu dari reflesi kaca. Tas selempang yang diberikan oleh Jodi dua minggu lalu, sebagai hadiah ulang tahunnya. Meskipun kecil, Ayla coba mencari tahu berapa harganya. Ternyata sama sekali tidak kecil. Bisa dibilang tas ini adalah barang paling mahal yang asa di rumahnya. Bahkan set komputer ayahnya pun bisa jadi kalah mahal dibanding tas ini. Ayla sempat mengomeli Jodi karena memberi hadiah yang terlalu mahal. Tapi Jodi ya tetap Jodi. Ia hanya selaku tertawa tiap Ayla mengomel. Menyebalkan memang. Tapi Ayla sayang. Bagaimana, dong? Ah, entah lah. Ayla pun segera keluar dari kamar. Ternyata asa Bunda yang sedang menyeterika baju seragam adiknya. "Lho, mau ke mana, Mbak?" tanya Bunda. "Aku juga nggak tahu, Bun. Jodi ngajakin keluar." "Terus kamu mau naik apa?" "Nanti dijemput sama Jodi." Bunda hanya mengangguk mengerti. Bunda terdiam. Kemudian kembali bicara. "Kamu sebenarnya pacaran atau nggak sih, Mbak, sama Jodi?" Ayla langsung menunduk dalam. Ia sudah menebak pertanyaan seperti ini cepat atau lambat pasti akan keluar dari mulut orang tuanya. Dan itu ternyata adalah sekarang. Orang tua mana yang tidak ketar-ketir, jika anak gadisnya dibawa ngalor ngidul oleh seorang laki-laki. Pasti mereka bertanya-tanya apa sebenarnya hubungan mereka, kan? Wajar. Justru aneh kalau tidak bertanya-tanya. "Uhm ... doain aja ya, Bun." Ayla memaksakan sebuah senyuman. Bunda beranjak dari duduknya, dan segera merangkul putrinya itu. "Bunda pasti mendoakan yang terbaik buat kamu. Kamu tuh masih muda. Masa depan kamu masih panjang. Jatuh cinta itu wajar, semua orang pernah mengalaminya. Tapi pesan Bunda, jangan sampai terbutakan oleh cinta ya, Nak. Cinta itu bahagianya hanya sesaat. Silakan kamu menikmati masa muda. Tapi saat kamu merasakan ada sesuatu yang salah, jangan ragu untuk berhenti. Kamu layak untuk mendapat yang lebih baik. Kamu yang menjalani. Kamu sendiri pasti yang tahu, mana yang harus dilakukan, dan mana yang bukan." Ayla lagi-lagi hanya tersenyum. "Iya, Bun. Makasih, ya." Jujur Ayla sangat terharu. Ia ingin menangis rasanya, namun sebisa mungkin ia tahan. Tentu ini sulit baginya juga. Hubungan tanpa status, ia bisa ditinggal kapan saja tanpa pamit. Tapi di saat bersamaan, ia juga sangat menikmati apa yang ia jalani bersama dengan Jodi selama ini. Ia berpikir, Jodi anak baik, pasti tidak akan tega meninggalkannya. Tapi di sisi lain, ia juga takut jika Jodi ternyata tidak sebaik yang ia kira. Terdengar deru suara motor di depan. Jodi sudah datang. Ayla diantar oleh Bunda berjalan ke depan rumah. Benar, Jodi sudah menunggu di sana dengan senyuman cerah di atas motor gedenya. "Assalamualaikum, Bunda." Jodi langsung turun dari motor kesayangannya itu. Ia bergegas menghampiri Bunda, lalu menjabat dan mencium tangannya. "Waalaikum salam." Bunda pun menyambut kedatangan Jodi dengan hangat. "Ini kalian mau ke mana, sih, sebenarnya?" tanya Bunda, sengaja untuk menggodai mereka berdua, dan juga memastikan Jodi sebenarnya mau mengajak putri sulungnya itu ke mana. Jodi cengengesan. "Makan malam aja, Bun. Biasa lah, anak muda." Jodi menjawab apa adanya, tapi tetap merahasiakan ke mana mereka akan pergi. "Ya udah, pokoknya hati-hati. Dijagain anak Bunda ya Jodi." "Iya, dong, Bunda. Pasti. Ya udah, kami berangkat dulu ya, Bun. Assalamualaikum." "Aku berangkat dulu ya, Bun. Assalamualaikum." Ayla pun berpamitan dan mencium tangan ibunya itu. "Waalaikum salam." Jodi naik duluan ke motornya, kemudian disusul Ayla yang sedikit struggle menyingsingkan gamisnya supaya bisa naik. Ia sudah terbiasa, sih. Kalau pergi dengan Jodi, harus wajib memakai dalaman yang nyaman. Supaya ia sendiri juga nyaman berada di boncengan. Mereka pun kemudian segera berangkat ke entah ke mana, hanya Jodi dan Tuhan yang tahu. *** "La, kenapa sih lo kalau gue bonceng nggak pernah pegangan?" tanya Jodi iseng. Ayla langsung menabok punggung Jodi dari belakang. "Waduh!" Jodi kaget sekali, meskipun pukulan Ayla memang lumayan juga sih rasanya. "Lhah, kok malah gue ditabok, sih!" Jodi berusaha protes. "Habisnya aneh-aneh aja. Jangan samain gue sama cewek lain yang rela maksiat demi cinta yang nggak halal!" Ayla langsung mencak-mencak. "Lhah, lo gue ajakin jalan selalu mau. Jalan berduaan begini bukannya sama aja kayak maksiat?" tanya Jodi lagi. Ayla langsung terkesiap. Benar juga, ya. "Uhm ... iya, sih. Sama aja Maksiat. Tapi kan setidaknya kita nggak pernah pegang-pegangan yang berlebihan. Sekadar gandengan tangan. Ya sama aja sih dosa. Tapi kan insya Allah nggak dosa-dosa amat. Beda ceritanya kalau gue peluk lo dari belakang!" Ayla berusaha menjelaskan situasinya. Jodi yang menyebalkan itu tetap tertawa terus. "Lo sebenarnya mau ngajakin gue makan malam di mana, sih?" tanya Ayla. Antara ingin mengalihkan pembicaraan, dan dia memang ingin tahu ke mana Jodi akan membawanya pergi. "Bentar lagi juga sampe. Udah lah, ntar lo juga tahu sendiri." Jodi tetap tak mau mengaku, dan terus melajukan motornya dengan kecepatan santai. Sebentar lagi sudah sampai? Berarti tempatnya dekat? Memangnya ada di dekat sini tempat makan malam yang bagus? Setahu Ayla hanya banyak angkringan. Eh, tidak. Bukannya Ayla meremehkan angkringan. Tapi ini Jodi lho yang sedang menraktirnya. Tidak mungkin kan ia hanya mengajak makan di angkringan? Tas saja harganya puluhan juta. Lagi pula kalau benar akan makan di angkringan, untuk Apa Jodi pakai kemeja segala. *** Ayla masih bingung di boncengan belakang. Jodi meminggirkan motornya supaya mereka bisa menyeberang ke barat jalan. Ayla lihat, tidak ada apa-apa di bagian barat jalan. Hanya ada rumah penduduk. Dan juga gang kecil yang tembus ke rel kereta api. Ayla tidak mau bertanya lagi. Nanti palingan Jodi juga tak mau mengaku lagi. Setelah jalanan sepi, mereka benar-benar menyeberang ke barat jalan. Ternyata Jodi masuk ke gang kecil yang dilihat Ayla tadi. Ayla makin penasaran, sebenarnya mereka mau ke mana? Tak lama setelah memasuki gang Itu, Jodi belok lagi ke arah kiri. Lebih tepatnya masuk ke sebuah tempat dengan gerbang yang sangat besar. Ternyata tempat itu adalah parkiran. Dan pada bagian yang menjorok, ada sebuah tempat yang gemerlap, dipenuhi cahaya lampu indah. Ayla terkesima. Tempat apa ini? Bisa-bisanya ada tempat sebagus ini di area dekat rumahnya, tapi ia sama sekali tidak tahu? "Jod ... ini ...." Ayla sampai tidak bisa berkata-kata. "Lo baru tahu, kan? Lo pasti nggak nyangka kan kalau di sekitar rumah lo ada tempat bagus begini?" Jodi bisa menebak semua isi kepala Ayla. Ayla pun tersenyum, takjub karena Jodi bisa menebak semua pertanyaannya. Jadi tempat ini adalah sebuah cafe. Namanya Rustic Nation. Dibangun dengan desain kekinian ala rustic nan aesthetic, ada tempat duduk outdoor dan indoor. Ada juga tempat duduk di bagian roof top. Cafe ini lebih mirip seperti food court. Karena dilengkapi dengan banyak boot yang jualan bermacam-macam makanan. Tinggal pilih saja. Jodi mengajak Ayla untuk duduk di bagian outdoor. Tepatnya pada bagian lesehan, pada hamparan rumput yang luas. Dilengkapi deretan meja-meja kecil. Tempat duduknya adalah bean bag berukuran besar. Karena kalau langsung duduk di atas rumput juga akan terasa sakit. Sepanjang berjalan dari pintu masuk sampai ke tempat duduk, Ayla terus menerus tersenyum. Terkesima dengan keindahan pesona tempat yang unik ini. "Kita makan dulu aja, ya. Urusan foto nanti aja deh. Perutnya dipikir dulu. Keburu laper." Ayla hanya mengangguk setuju atas instruksi Jodi itu. Seorang pelayan datang membawa buku menu dan juga kertas serta pulpen. "Ini buku menunya. Nanti setelah selesai mencatat, silakan langsung ke kasir saja, ya, Kak." Pelayanitu berucap dengan sopan dan selalu tersenyum. Jodi dan Ayla hanya mengangguk, kemudian segera memilih menu yang akan mereka santap. Tanpa Ayla ketahui, Jodi sejak tadi mencuri pandang padanya. Seperti ada beban di matanya. Seperti menyimpan sesuatu yang sangat ingin ia katakan, namun sangat sulit terucap. Ayla teringat dengan apa yang tadi hendak ia bicarakan dengan Jodi. Tapi ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Karena mood di antara keduanya sedang sangat bagus. Mereka banyak ngobrol dam bercanda selama menunggu pesanan. Juga sedikit mengabadikan momen di lokasi, sebelum nanti eksplorasi seluruh sudut, setelah makan. Mereka pesan paket grill untuk dua orang, dengan ekstra daging beef short plate. Mereka makan dengan situasi yanh menyenangkan dan sensasi menantang karena harus membakar sendiri dulu sebelum makan. Karena rasa lapar yang teramat sangat, makanan mereka pun habis dalam waktu sekejap. Dan mereka pun mulai melakukan eksplorasi sesuai rencana mereka. Berpose berdua dengan bantuan tripod, dan Jodi akhir-akhir ini selalu menjelma menjadi sosok fotografer pribadi Ayla, yang hasil jepretannya bagus bak profesional, meski hanya menggunakan kamera ponsel. Yang berbeda hari ini, Jodi banyak sekali merekam video. Padahal biasanya ia tidak begitu. Hanya merekam video sesekali saja. Sekiranya sudah cukup perjalanan, Jodi pun segera mengantar Ayla pulang. Berbeda dengan perjalanan pulang yang penuh canda tawa, suasana pulang ini begitu hening. Jodi mendadak jadi pendiam. Mengundang curiga seorang Ayla. Tapi Ayla mengira, mungkin Jodi hanya mengantuk saja. Dam akhirnya mereka sampai di rumah Ayla. Rumah sudah nampak sepi. Semua orang pasti sudah berada di kamar masing-masing meski pun belum tidur. Ayla memasang senyum cantiknya, begitu turun dari motor. Bersiap mendengarkan pamitan Jodi. Biasanya, Jodi akan langsung membalas senyumnya. Kali ini, ia menatap Ayla beberapa saat. Sebelum akhirnya ikut turun. Membuat Ayla semakin yakin bahwa ada yang tidak beres dari Jodi. "La ...," ucap Jodi, sembari meraih tangan Ayla dan menggenggamnya. Ayla hanya pasrah, mempersiapkan diri mendengarkan apa pun yang akan Jodi katakan. "La ... sebenarnya gue mau ngomongin hal ini ke lo sejak di cafe tadi. Tapi sulit banget rasanya. Dari pada merusak suasana, jadi gue memutuskan untuk mengatakannya, saat antar lo pulang aja." Ayla langsung teringat dengan tujuannya tadi juga. Yang batal ia ucapkan saat makan malam juga, karena ia pun takut merusak suasana. Ternyata Jodi pun memiliki sesuatu yang hendak ia katakan. Tapi ... kenapa perasaan Ayla jadi tak enak? "Lo sebenarnya mau ngomong apa sih, Jod? Kenapa lo aneh banget sejak di perjalanan pulang tadi?" "Sebenernya ... gue ... mau pamit." Ayla pun mengernyit. "Pamit? Ke mana?" "Gue ... besok pagi ambil penerbangan paling awal." "Lo mau ke mana, Jod?" Ayla ingin tegar dan kuat, namun ternyata ia tak bisa. Bahkan Jodi belum mengatakan semuanya secara detail, tapi air mata Ayla sudah jatuh berlinang. Jodi langsung tergerak menghapus air matanya. "Maafin gue ya, La. Karena ngasih tahunya mendadak. Gue mau nyusul orang tua ke ke Utah, La. Gue mau mulai memperbaiki hubungan gue sama mereka. Gue rasa nungguin mereka pulang bukan solusi. Makanya gue memutuskan untuk nyusul mereka aja ke sana." Ayla tak bisa berkata-kata. Belum juga ia mengatakan tentang keinginannya memperjelas status mereka. Tapi ... Jodi sudah pamit pergi duluan. Memang seharusnya sejak awal ia tidak boleh terlalu percaya diri. Jodi itu hanya memberi perhatian. Tapi Ayla sudah telanjur memberikan hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD